Anda di halaman 1dari 5

Diriku Berada Pada Sisi yang Lain

Potret Pengemis Dalam Cerpen


Dhirabrata Mahottam Negara
XI IPS 1
14

Setiap wilayah pasti memiliki masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh
karena itu, jika berbicara mengenai tindakan mengemis yang dilakukan oleh lapisan masyarakat
tertentu maka tidak akan ada habisnya. Kegiatan mengemis sering kali dihubungkan pada
masyarakat yang miskin, kotor, malas, dan mengganggu. Sehingga tidak heran jika pada suatu
daerah banyak ditemukan pengemis, maka para pengendara akan sering melihat baliho himbauan
untuk tidak memberikan bantuan apapun kepada para pengemis. Sehingga “menggusur”
dipandang menjadi salah satu cara yang paling ampuh dalam membersihkan kota dari
masyarakat yang dianggap mengganggu. Pada tulisan ini, penulis akan mencoba menelaah
kembali mengenai tindakan mengemis yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup dibawah
garis kemiskinan. Obyek telusur adalah cerpen “mata yang enak dipandang” (1991) karya
Ahmad Tohari, “Dawir, Turah, dan Totol” karya Ahmad Tohari, dan cerpen “Mereka Mengeja
Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari.

Pemaparan Sosok Diriku


Pada masing-masing cerpen penulis menghadirkan berbagai macam peristiwa yang
terinspirasi pada realita. Kehadiran sosok pengemis menggambarkan bahwa masih ada
masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan seringkali mendapatkan perilaku tidak
mengenakkan dari berbagai macam pihak. Di sisi lain kerasnya kehidupan yang harus mereka
lalui membuat sifat dan watak yang baru, bahkan pada usia dini pun mereka sudah disuguhkan
pada konflik yang bahkan belum dimengerti oleh anak kecil sekalipun. Sehingga jika cerpen
dapat dianggap sebagai salah satu karya yang mampu menyadarkan manusia maka hal inilah
menjadi salah satu jalan untuk memanusiakan manusia, hal ini karena dalam cerpen tersebut
penulis sering kali memaparkan bagaimana kerasnya kondisi lingkungan yang harus dilalui
tokoh tersebut.
“Mata Yang Enak Dipandang” menyajikan dua tokoh dengan perannya masing-masing
yaitu bernama Mirta dan Tarsa. Sosok Mirta digambarkan sebagai pengemis yang buta dan
sering kali dikerjai oleh temannya, temannya ialah Tarsa. Tarsa merupakan sosok pengemis yang
berbeda dengan Mirta, atau dapat dikatakan tanpa berkebutuhan khusus. Mirta dengan segala
kekurangannya masih memiliki tekad untuk bertahan hidup, terbukti sudah puluhan tahun
lamanya ia bergelut pada “bisnis” mengemis, sehingga tahu betul mana saja orang yang enak
untuk dimintai uang. Sedangkan Tarsa dengan segala kemampuannya sering kali mengerjai
Mirta, ia kerap menuntun Mirta pada jalan yang penuh dengan “rintangan” sehingga tak jarang
Mirta menginjak tahi anjing. Selain itu Tarsa sering memeras Mirta hingga pada puncaknya ia
membuat Mirta hampir pingsan karena kepanasan ketika mengemis pada siang bolong di
seberang jalan depan stasiun.
“Dawir, Turah, dan Totol” menghadirkan keempat tokoh berbeda yaitu Dawir sebagai
bapak dengan segala pengalamannya sebagai seorang pengemis. Turah sebagai istri dari Dawir
yang setia menemani dan terkadang berhubungan dengan pria lain, lalu Totol sebagai anak dari
Dawir dan Turah dengan sifatnya yang masih kanak-kanak dan gemar untuk bermain gaya
komando bersama dengan kedua orang tuanya. Tak lupa si Jeger, preman setempat yang gemar
memeras keluarga cemara tersebut dengan uang setoran yang harus diberikan kepada ia secara
berkala. Dawir, Turah, dan Totol hidup di dalam musala Terminal Lama yang sudah tidak
terpakai. Mereka beranggapan bahwa bangunan tersebut sudah jarang digunakan orang sehingga
menjadi tempat yang pas untuk mereka tinggal. Pada musala itulah Totol kerap berdiri tegap dan
memandang lurus kedepan seakan menjadi komando pasukan, tak lupa ia menarik pelatuk
senjata kesayangannya sehingga berbunyi trettetetetetetet.
Gupris dalam cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” digambarkan sebagai
tokoh kecil yang sudah mandiri sejak dini. Bersama dengan empat teman gelandangannya Gupris
sering kali mengemis di sekitar jalanan, bermodalkan gendang dari pipa paralon dan membran
dari karet serta kecrek dan gitar butut Gupris siap untuk menghibur para pengendara. Di sisi lain
Gupris memiliki kondisi yang sedikit berbeda dibanding temannya, ia tinggal di rumah bersama
dengan ibunya dan juga ia memiliki HP yang selalu ia bawa. Meski hanya sekolah sebentar
Gupris dapat membaca sehingga pada momen tertentu ia dapat merasakannya. Sekelompok anak
gelandang ini tumbuh pada lingkungan yang mengharuskan mereka mampu bertahan hidup tanpa
ketergantungan dengan orang lain. Sehingga segala cara dilakukan agar dapat menghasilkan
uang yang nantinya dapat dibelikan makanan sehari-hari.

Berada Pada Sisi Yang Lain


Jika pada bagian sebelumnya menjelaskan tokoh pada setiap masing-masing cerpen maka
pada bagian ini akan menjelaskan bagaimana perlakuan yang mereka terima sebagai seorang
pengemis, gelandangan, atau pemulung. Jika orang tertentu memiliki profesi tersebut tak jarang
masyarakat umum menganggapnya sebagai orang yang tidak berguna ataupun tidak dapat
berandil penuh dalam kehidupan bersosial. Sehingga tak jarang mereka akan mendapatkan
perilaku tidak sepantasnya seperti pemerasan, penuduhan, ataupun ancaman dari pihak lain. Jika
dapat dibuat benang merah dari ketika cerpen tersebut maka pada setiap alurnya akan muncul
gejolak dari setiap individu atas peristiwa yang sedang mereka alami. Bahkan karena seringnya
mendapatkan perilaku tidak pantas, tak jarang respon dari para pengemis, gelandangan, dan
pemulung tersebut cenderung biasa saja. Hal ini karena sudah lumrah mereka alami sehingga
mereka tahu betul sebenarnya apa yang ingin dirampas dari dirinya.
“Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka
meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa.
Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun”
(hal 135). Tarsa dan Mirta bagaikan pasangan sejoli yang tidak dapat terpisahkan, Mirta yang
buta harus dituntun oleh Tarsa yang tidak buta. Sehingga hal tersebut terkadang harus membuat
Mirta rela berkorban demi mendapatkan sebuah tangan yang bisa ia jadikan panutan ketika
berjalan. Puncak pengorbanan seorang Mirta terjadi pada peristiwa tersebut. Ditengah teriknya
matahari pada siang bolong dan panasnya suasana hari itu ditambah asap kendaraan, terpampang
jelas ada seorang pengemis yang tegap berdiri tanpa arah. Di sisi lain ketika Mirta sedang
bersusah payah untuk mencari logam, Tarsa asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung
sehingga hal tersebut membuat Mirta marah ketika kembali karena badannya sudah tidak kuat.
Mirta yang masih lelah diajak oleh Tarsa untuk kembali menuju stasiun karena kereta akan tiba,
tetapi seakan tubuh Mirta menolak ajakan Tarsa hal itu karena seluruh badan Mirta merasa
dingin dan mengigil.
“Mata Totol membulat melihat Dawir sedang ditelikung oleh Polisi. Dawir tidak
melawan, tapi juga tidak gugup, mungkin karena sebelumnya dia sudah tiga kali ditelikung
seperti ini” (hal 124). Seorang polisi mungkin saja telah dianggap sebagai teman sendiri oleh
para pengamen, hal itu karena sering kali mereka ditangkap oleh polisi ataupun Satpol PP yang
sedang menelusur kawasan tempat para pengamen beraksi. Tetapi yang menjadi perhatian lebih
ialah sikap Turah, sebagai istri Dawir ia tidak gugup sama sekali. Bahkan ketika polisi menyecar
Dawir dengan tuduhan nyopet pun ia tidak marah sama sekali. Hal itu karena ia tahu bagaimana
cara pandang polisi yang ada maunya “Tapi Turah tak suka cara polisi itu memandangnya. Itu
cara pandang lelaki yang ada maunya” (hal 125). Hal lain seperti pemerasan merupakan hal
yang tak asing bagi keluarga Dawir. Si Jeger tukang palak pandai menemukan celah untuk
memeras Turah. Jika Turah tidak menuruti kemauannya maka Jeger bisa berbuat lebih dari itu, ia
berkata akan menculik Totol bila Turah tidak menuruti kemauannya. Sehingga mau tidak mau,
suka tidak suka Turah harus merebahkan tubuhnya dan bermain tanpa minat.
Diantara keempat temannya hanya Gupris yang bersekolah meskipun sebentar. Teman
pengamen lainnya tidak ada yang bersekolah sehingga untuk membaca pun mereka tidak bisa.
Ketika Gupris menanyakan arti sebuah kalimat pada papan di pinggir jalan pun tak seorang
temannya ada yang tahu, keempat anak itu saling memandang satu dengan lainnya dan hanya
menggelengkan kepalanya. Hal ini mencerminkan bahwa pengamen tidak memiliki wawasan,
bahkan dasar sekalipun. Ketimpangan sosial sangat terasa pada kalimat ini “Keempat anak
laki-laki itu nyengir lalu bergantian menggeleng. Semua tidak tahu” (hal 5) sebagian besar tidak
bisa membaca sehingga untuk mencerna kata tertentu pun mereka tidak mampu. Selain itu
Gupris bersama dengan kelompok pengamennya mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan,
ketika sedang berkutat dengan tulisan pada papan tersebut muncullah seorang tokoh arogan yang
bekerja sebagai hansip tetapi hanya mau dipanggil sebagai sekuriti Dinas Sosial. Dengan percaya
diri sekuriti itu memaksa kelompok pengamen tersebut untuk membaca tulisan di papan yang
baru ia dirikan tadi pagi “He, kenapa berhenti. Baca terus. Aku ini sekuriti. Dan menyuruh kamu
membaca. Ayo terus” (hal 6). Tetapi sangat disayangkan Gupris dan teman pengamennya tidak
mengerti betul apa arti dari tulisan tersebut dan menanyakan kembali kepada sekuriti itu. Sekuriti
yang tidak siap membuat Gupris kecewa dengan pernyataan yang diberikan kepadanya, dengan
cepat ia menantang secara tersirat kepada sekuriti tersebut dan lekas meninggalkannya.
Kesimpulan
Jika ditelaah kembali ketiga cerpen karya Ahmad Tohari mengambil kisah dari realita
nyata disekitar yang terkadang tidak diketahui. Pemaparan masing-masing tokoh disajikan secara
spesifik sesuai dengan perannya masing-masing dalam lingkungannya. Ada yang menjadi
pengemis, pemalak, pengamen atau bahkan pengamen yang dituduh menjadi seorang copet.
Semua ini disajikan dengan pemeran pembantu lainnya seperti teman-teman Gupris dan Totol
yang menjadi pelengkap. Lalu kondisi tempat tinggal para tokoh digambarkan pada kondisi
yang reyot, di pinggir kota, ataupun bekas bangunan lama. Semua elemen ini menjadi semakin
lengkap dengan dihadirkannya kepolosan dan ketidak tahuan watak tokoh ataupun situasi yang
tidak nyaman seperti pemerasan, dan pemaksaan sehingga semakin mengesankan suasana yang
tidak kondusif. Secara tersirat memang karya sastra dapat menjadi salah satu jalan untuk
meningkatkan sifat kemanusiaaan manusia karena dengan menghadirkannya beragam peristiwa
mengejutkan tersebut diharapkan dapat menyadarkan masyarakat umum bahwasanya masih ada
orang diluar sana yang harus rela bekerja berkali-kali lipa agar dapat bertahan hidup.

Anda mungkin juga menyukai