Anda di halaman 1dari 2

Sirkus Pohon

M. Iqnastiar Ramadhan

Sirkus Pohon, novel ke sepuluh dari Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi ini
tampaknya lain dari novel-novel sebelumnya. Sirkus Pohon adalah sisi lain Andrea dalam
menuliskan sebuah realita. 

Jika beberapa tulisan sebelumnya cenderung bercorak realistis, semacam true story, maka
Sirkus Pohon adalah karya absurd dari sang maestro. Meskipun sisi-sisi kenyataan dan
pengalaman empiris tetap coba dimasukkan, sebagai gambaran sosial, kritik realitas maupun
harapan ideal dari nilai sebuah tulisan.

Cinta, cita-cita, kesederhanaan, kampung, masih mewarnai latar novel ini. Berkisah tentang
bujang lapuk- istilah melayu untuk menyebut perjaka tua yang tak laku-laku -- bernama
Sobriudin, Sobri atau nama kerennya Hob dengan segala lika-liku, intrik dan dramaturgi
kehidupan dan asmaranya. 

Sang tokoh yang menceritakan pada sudut orang pertama ini menarasikan keluguan,
kedunguan, bahkan ketololannya dengan penuh pede (percaya diri). Narasi absurd sang
tokoh, mulai dari berbicara dengan pohon delima, dialog sepasang kutilang sampai dengan
karakter badut yang penuh akan satire kehidupan.

***

Setelah lebih berusia kepala tiga, Sobri akhirnya mendapatkan cinta pertamanya. Hatinya
terpaut dengan seorang pujaan hati berama Dinda, seorang gadis penjaga toko. Pesimisme
dan rendah hati sempat menjadi hambatan dalam pengutarakan maksud hati. Tidak dinyana,
ternyata Dinda mempunyai rasa yang sama. Dua hati inipun akhirnya bersatu, dengan satu
syarat, Sobri harus punya pekerjaan tetap. 

Dan syarat yang sama juga diajukan adik Sobri yang paling cerewet dan galak, jika ia masih
mau "numpang" di rumahnya. Asmara mampu menyulut semangat, membangkitkan selera,
dan membakar motivasi. Sobri harus berjuang keras demi mendapatkan pekerjaan "tetap",
agar bisa meraih cinta dan mempertahankan hidupnya. Dan badut adalah pekerjaan tetap
yang membuat ia bahagia.

Menjadi seorang badut adalah pekerjaan tetap yang sangat dinikmati Sobri. Menjadi badut
adalah "kunci" yang akan membuka pintu untuk mempersunting pujaan hati. Dan melalui
pekerjaan badut  inilah Sobri akhirnya mampu meningkatkan kehidupannya, ia mampu
membangun rumah yang akan ditinggali setelah menikah nanti. Namun tragedi
menghampirinya. 

Sang kekasih tiba-tiba linglung seperti orang tidak waras. Pernikahan pun ditunda dalam
tempo waktu yang tidak ditentukan. Toh demikian, sang badut tetap setia menunggu
tambatan hatinya.

Selain roman cinta Sobri-Dinda, dalam Sirkus Pohon ini juga menceritakan kisah percintaan
dua anak manusia, Tegar dan Tara. Kedua anak yang awal bertemu di sebuah taman depan
Pengadilan Agama ini akhirnya menjadi cinta abadi yang tak tergantikan. 
Tegar yang menolong Tara dari gangguan anak-anak nakal, ketika mereka sama-sama kelas 5
SD ini menjadi benih simpati yang berubah menjadi cinta. Tanpa sempat bertanya nama sang
pahlawan, mereka akhirnya harus berpisah dengan meninggalkan kenangan rasa. 

Tara dengan spirit rindu yang mewarnainya, setiap bulan menggambarkan sketsa sang
pahlawan, hingga sampai terkumpul 120 sketsa, dengan metamorfosis wajah yang
berkembang setiap bulannya. 

Setelah menunggu sepuluh tahun, cinta mereka akhirnya pun dipertemukan, meskipun
sebenarnya mereka sudah saling mengenal dalam masa pencariannya masing-masing. " Cinta
adalah seni menunggu" (hal. 322).

***

"Fiksi, cara terbaik menceritakan fakta", begitu kutipan Andrea yang menjadi halaman
pembuka novel Sirkus Pohon ini. Andrea menangkap fenomena sosial melalui cerita fiksi,
bahkan fiksi paling absurd sekalipun. 

Fenomena sirkus pohon adalah sebuah realitas sosial. Sirkus pohon, mengisyaratkan adanya
kepercayaan yang berlebihan (bisa jadi dinamisme) pada sebuah pohon, yang oleh Andrea
diwakili oleh pohon delima. Sebuah pohon yang mempunyai kekuatan magis, mampu
memenangkan sebuah kompetisi, menjodohkan dua anak manusia, menyelesaikan semua
permasalahan, bahkan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. 

Meskipun terlihat sekedar mitos, namun fenomena tersebut masih banyak terjadi pada
masyarakat kita. Pohon delima sakti yang harus diarak-dipinjam dalam berbagai kontestasi
politik sebenarnya adalah kritik terhadap fenomena politik bangsa ini. Pohon delima dalam
realitas bisa jadi berupa pusaka, batu, keris, simbol agama bahkan tokoh yang selalu
didatangkan sebagai mesin kampanye untuk tujuan politik (hal. 262).

Berikutnya, Andrea sebenarnya juga hendak mengkritik kecenderungan materalistis dan


prestise yang menghinggapi manusia modern. Pekerjaan sebagai badut, yang mungkin oleh
sebagian orang dianggap sebagai pekerjaan rendahan, namun bagi Sobri adalah segalanya. 

Bahkan jika disuruh memilih, ia lebih memilih sebagai badut daripada menjadi pegawai
negeri, kontraktor, bahkan direktur perusahaan sekalipun. Karena pekerjaan adalah masalah
hati, jika cocok menikmatinya, itulah kebahagiaan.

***

Terakhir, Sirkus pohon adalah sisi lain kehidupan, di tengah gemerlapan kehidupan modern.
Kisah hidup manusia adalah milik manusia itu sendiri, bukan milik persepsi orang lain.
Kesederhanaan, cinta, kebahagiaan, persahabatan adalah pilihan hidup yang harus dilakoni
setiap orang, siapapun dia. Dan kehidupan ini tidak lain adalah sirkus. Setiap orang
berakrobat sesuai dengan profesi dan status masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai