Anda di halaman 1dari 15

SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI

“Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" adalah ungkapan bahasa Jawa yang paling saya sukai.
Maknanya kurang lebih: Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan
panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan. Kata-kata bijak ini bisa
kita baca dimana-mana, bahkan ditempel dimana saja, mungkin juga yang menulis atau menempel
tidak terlalu paham artinya.

"Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Pupuh Kinanthi"
dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar
Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara
Witaradya.

PEMAHAMAN MAKNA TEMBANG

Selengkapnya "Pupuh Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Jagra angkara winangun; (2) Sudira marjayeng westhi; (3) Puwara kasub kawasa; (4) Sastraning
jro Wedha muni*); (5) Sura dira jayaningrat; (6) Lebur dening pangastuti

*) ada yang menulis (4) “Wasita jro wedha muni”

Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:

(1) Jagra: Bangun (dalam pengertian “melek”); Angkara: Angkara; Winangun: Diwujudkan (Wangun:
Wujud); (2) Sudira: Amat berani; Marjayeng: Jaya ing, menang dalam ... ; Westhi: Marabahaya; (3)
Puwara: Akhirnya; Kasub: terkenal, kondang; Kawasa: Kuasa; (4) Sastra: Tulisan, surat-surat, buku-
buku; Jro: Jero, Di dalam; Wedha: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu; Muni: berbicara; (5) Sura:
Berani; Dira: Berani, kokoh; Jaya: menang; Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di; Rat: Jagad (6) Lebur:
Hancur; Dening: Oleh; Pangastuti: pamuji, pangalem, pangabekti, panembah.

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Baris ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah
terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara. Sedangkan baris
ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat
dikalahkan dengan kelembutan.

Di bawah adalah kisah pendukung “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang dapat dibaca
pada Serat Witaradya, tentang kesetiaan seorang istri yangt dapat mencegah niat buruk laki-laki
dengan “pangastuti”

KISAH NYAI PAMEKAS

Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai
Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah
tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung
sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk
menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang
Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari
niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma
kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan
mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma,
kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)

Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal
besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua
orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada
satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Allah yang Maha Melihat,
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas
berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras
justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan
kekerasan.

YUDISTIRA DAN CANDRABIRAWA

Menjelang akhir perang Bharayuda, Yudistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti
mandraguna dan memiliki aji-aji Candrabirawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi
bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna sudah kewalahan. Dipukul gada atau
dipanah, tidak mati malah bertambah banyak. Akhirnya Candrabirawa berhadapan dengan Yudistira,
raja yang dikenal berdarah putih, tidak pernah marah apalagi perang. Raksasa raksasa Candrabirawa
tidak dilawan.Bahkan didiamkan saja. Raksasa-raksasa Candrabirawa pun kembali ke tuannya

KELEMBUTAN MAMPU MENGUASAI JAGAD

Orang lemah lembut sering dianggap lemah. Ini masalahnya. Sehingga lebih banyak orang yang
berupaya menunjukkan kekuasaan dengan pamer kekuatan yang bermanifestasi sebagai tindak
angkara. Ia lupa bahwa sikap memberikan “pangastuti” mampu melebur tingkah yang “sura dira jaya
ning rat” Masih dalam Serat Witaradya, pupuh Kinanti R Ng Ranggawarsita menjelaskan seperti apa
manusia yang sudah mampu mengendalikan menata hawa nafsunya sebagai berikut:

(1) Ring janma di kang winangun; (2) Kumenyar wimbaning rawi; (3) Prabangkara dumipeng rat; (4)
Menang kang sarwa dumadi; (5) Ambek santa paramarta; (6) Puwara anyakrawati

Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:

(1) Ring (Maring: Kepada); Janma: Manusia; Di (Adi: baik); Kang: Yang; Winangun: Ditata; (2)
Kumenyar: Bercahaya; Wimba:Seperti; Rawi: matahari (3) Prabangkara: Matahari; Dumipeng:
Sampai ke; Rat: Jagad (4) Menang: Mengalahkan; Kang: Yang; sarwa: serba; Dumadi: Semua makhluk
(5) Ambek: Sifat; Santa: sabar; Paramarta: Adil bijaksana (6): Puwara: Akhirnya; Anyakrawati:
Memerintah

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Pada orang utama yang sudah mampu menata hawa nafsunya (tidak bersifat angkara murka);
Bercahaya seperti sinar matahari; Sinarnya menerangi jagad; menguasa seluruh isi jagad; wataknya
sabar, adil dan bijaksana; Akhirnya bisa menguasai jagad (maksudnya pemerintahan).
Pangastuti (panembah) disini dapat diartikan dengan penerapan laku-linggih dan solah muna-muni
(perilaku dan ucapan) dalam penerapan Basa Basuki.

Itulah "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti", yang mampu mengalahkan sifat yang
mengarah ke “Adigang Adigung Adiguna”. Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke 21
ini. (IwMM)
2.
”Sura diro jayaningrat lebur dening pangastuti,”

Saya tersenyum ketika membaca kalimat itu menjadi status BBM seorang teman. ”Pasti ada masalah dengan
orang yang lebih kuat dan kuasa dari dirinya,” batin saya.

Bagi orang Jawa, khususnya Jawa Tengah, DIY dan sekitarnya, kalimat itu memang tidak asing. Mungkin
kalimat itu menjadi satu dari sedikit budaya Jawa yang tak lekang digempur budaya barat. Dari orang tua hingga
anak-anak muda dengan segala tingkat pendidikan, kalimat itu begitu sering diucapkan. Status Facebook, BBM
sering sekali kalimat itu digunakan.
Arti kalimat itu pastilah sebagian besar tahu. Bahwa angkara murka atau kejahatan sebesar apapun akan kalah
atau hancur jika dihadapi dengan kelembutan dan kasih sayang. Kurang lebih seperti itu. Cuma seringnya
kalimat itu muncul ketika seseorang merasa dalam kondisi tak berdaya. Dia sedang bermasalah dengan orang
yang berkuasa atau kuat sehingga tak mampu melawan. Akhirnya pilih diam dan menyerah dan berharap
tuah suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti akan berlaku padanya.
Sebenarnya asal usul kalimat itu dari mana to ?...

Siapa  yang pertama kali menggunakan dan kenapa dia sampai menciptakan rangkaian kata yang spektakuler
tersebut ?...

Saya mencoba menelisik dan ujung-ujungnya ketemu lagi dengan yang namanya Ronggowarsito. Seorang
pujangga kondang Kraton Solo yang hidup pada 1802-1873.

Kalimat itu sebenarnya bagian dari sebuah tembang Kinanthi yang diciptakannya. Tembang itu sendiri termuat
dalam Serat Ajipamasa atau Serat Witaradya atau Serat Pustaka Raja Wedha yang ditulis Ronggowarsito.
Banyak nama tetapi sebenarnya itu satu buku. Buku itu berkisah tentang Raja Ajipamasa atau Kusumawicitra
yang berkuasa di Kraton Pengging.

Tembang Kinanthi tersebut berbunyi seperti berikut:

Jagra angkara winangun


Sudira marjayeng westhi
Puwara kasub kawasa
Sastraning jro Wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti

Ada juga yang menulis di baris keempat dengan “Wasita jro wedha muni”. Dua kalimat itu tidak memiliki
makna yang berbeda.
Makna dari tembang itu kurang lebih menggambarkan seseorang yang memiliki kekuasaan besar yang
mengakibatkan dia lupa diri. Dia mencoba memaksakan kehendak kepada siapapun. Namun
keangkaramurkaannya itu bisa luntur ketika dihadapi dengan penuh kelembutan, senyum dan kata-kata yang
sopan.

Lalu kenapa Ronggowarsito membuat tembang dengan syair seperti itu? Pasti ada latar belakangnya. Apa itu?

Syair itu muncul untuk menggambarkan sebuah kejadian yang dialami oleh Pangeran Citrasoma, putra mahkota
Prabu Ajipamasa. Sebagai calon pengganti raja tentu dia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang hampir tidak
terbatas. Mungkin hanya ayahnya yang masih bisa membatasi kekuasaan itu. Yang lain, tidak boleh melawan.

Hingga suatu hari, Citrasoma yang sudah mulai dewasa jatuh cinta kepada seorang wanita cantik jelita.
Sayangnya, wanita itu telah memiliki suami yakni Tumenggung Suralathi.

Tetapi yang namanya anak raja, tak peduli dengan hal itu. Dia tetap mencoba merebut Nyai Pamekas, nama
wanita itu dari suaminya. Bahkan mencari-cari kesempatan untuk mendekati untuk melakukan tindakan tidak
senonoh.

Hingga suatu malam, saat Tumenggung Suralathi tidak di rumah, Citrasoma pun menyelinap ke rumah Nyai
Pamekas. Tentu saja wanita itu kaget dan ketakutan. Apalagi Citrasoma dengan tegas mengatakan keinginannya
untuk bercinta dengan dirinya.

Nyai Pamekas tahu siapa yang dihadapi. Seorang pemuda yang sedang dilanda nafsu serta memiliki kekuasaan
besar. Maka dia berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyadarkan Citrasoma dari niatnya yang salah itu.

Semua penolakan disampaikan Pamekas dengan kalimat lembut. Tidak mencak-mencak apalagi memaki.
Karena sekali lagi orang yang dihadapi adalah orang kuat. Nyai Pamekas mencoba mengingatkan bahwa
tindakan Citrasoma tidak benar. Apalagi dia adalah calon raja yang harus memberi contoh baik kepada
rakyatnya. Semua kalimat disampaikan dengan lembut dan wajah yang selalu senyum.

Tapi dasar Citrasoma, tetap tak peduli dengan semua itu. Dia tetap memaksakan kehendaknya. Nyai Pamekas
pun memutar otak hingga akhirnya menemukan satu cara. Dia mengatakan sanggup melayani Citrasoma
dengan  jaminan tidak ada satupun yang tahu. Karena kalau sampai ada yang tahu, maka Nyai Pamekas
menyayangkan nama baik Citrasoma, anak raja dan calon raja. ”Semua orang di Katemenggungan ini harus
dibuat tidur agar tidak ada yang tahu,” kurang lebih seperti itu kata Nyai Pamekas.

Citrasoma pun menyanggupi. Sebagai calon raja pastilah dia sudah dibekali dengan ilmu kadigdayan yang tidak
main-main. Maka dia matek aji sirep hingga membuat semua orang di tempat itu tertidur pulas.

”Sudah Nyai. Syaratmu sudah aku penuhi. Mari penuhi permintaanku,” kata Citrasoma (Lagi-lagi ini kurang
lebih karena tidak ada dialog di buku Ronggowarsito).

Nyai Pamekas lagi-lagi tersenyum sebelum kemudian  berkata ”Belum semua tidur Pangeran,” katanya lembut.

Citrasoma pun keheranan. Dia yakin semua orang yang kena ilmu sirepnya pasti kelenger tak berdaya. ”Siapa
yang begitu sakti bisa menahan ilmuku,” batinnya

”Siapa yang belum tidur Nyai? Tidak mungkin ada yang bisa menahan ilmuku,” sesorah Citrasoma. Lagi-lagi
Nyai Pamekas tersenyum sebelum berujar ”Saya belum tidur, Pangeran juga belum tidur.”
”Ya tidak mungkin lah nyai, gimana mau melakukan jika aku dan kamu tidur,” sergah Citrasoma. ”Jangan
mengada-ada dan cari-cari alasan lah Nyai,” tambahnya.

Nyai Pamekas tetap saja tenang. ”Kecuali saya dan pangeran juga masih ada yang belum tidur,” ujarnya

”Siapa?” tanya Citrasoma

”Gusti kang Maha Kuasa,” ucap Pamekas yang seketika membuat Citrasoma terdiam. Kalimat singkat itu
seperti palu godam yang memukul kepalanya dan mengembalikan kesadarannya yang hilang ditelan nafsu.
Seketika dia sadar dan malu dengan kesalahan yang dia lakukan. Akhirnya dia pun mengurungkan niatnya dan
selamatlah dia dari tindakan tercela. Sementara Nyai Pemekas dengan kelembutannya berhasil mengalahkan
nafsu jahat orang yang memiliki kuasa sekaligus mempertahankan kesuciannya sebagai seorang istri.

Nah dari situlah Ronggowarsito kemudian menciptakan tembang Kinanthi yang memuat kata Suro Diro
Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti itu.

Mudah-mudahan bermanfaat. Setidaknya kita jadi tahu dan makin mantab menggunakan kalimat itu sebagai
filosofi hidup. Tidak hanya ketika kita didzolimi orang yang berkuasa.
3. SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI

Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti memiliki arti adalah setiap kebencian, kemarahan,
keras hati akan luluh oleh kelembutan, bijaksana, dan sabar. 

"Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Sekar Kinanthi"
dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar
Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara
Witaradya.

Selengkapnya "Sekar Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:


Jagra angkara winangun
Sudira marjayeng westhi
Puwara kasuh kawasa
Sastraning jro Wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti

Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:

Jagra: Bangun; Angkara: Angkara;


Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);
Sudira: Amat berani;
Marjayeng: Jaya ing, menang dalam ... ;
Westhi: Marabahaya;
Puwara: Akhirnya;
Kasuh: Tidak tahan;
Kawasa: Kuasa;
Sastra: Jro: Jero, Di dalam;
Tulisan, surat-surat, buku-buku;
Wedha: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu;
Muni: berbicara;
Sura: Berani;
Dira: Jaya: Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di;
Rat: Jagad Lebur: Hancur; Dening: Oleh;
Pangastuti: pamuji, pangalem, pangabekti, panembah.

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:


Bait ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah
terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara.
Sedangkan bait ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara
tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.
Di bawah adalah kisah pendukung "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" yang dapat dibaca
dalam "Serat Witaradya" tentang kesetiaan seorang isteri yang dapat mencegah niat buruk lelaki lain
dengan "pangastuti"

Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai
Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah
tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung
sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk
menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang

Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari
niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma
kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan
mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma,
kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)

Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal
besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua
orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada
satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Allah yang Maha Melihat,
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas
berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras
justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan
kekerasan.

Satu contoh lagi pada saat menjelang akhir perang Bharatayuda Yudistira harus melawan Prabu Salya
yang memiliki aji-aji Candra Birawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan
jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna dibuat kewalahan dengan raksasa Candra
Birawa ini. Setiap dipukul dengan gada oleh Bima, atau dipanah oleh Harjuna, jumlahnya malah
makin berlipatganda.

Akhirnya Candra Birawa berhadapan dengan Yudistira, Raja yang dikenal berdarah putih. Tidak
pernah marah apalagi berperang. Raksasa-raksasa Candra Birawa tidak dilawan. Bahkan didiamkan
saja. Tetapi raksasa dapat dikalahkan dan kembali kepada tuannya.

Itulah "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti". Sebuah ajaran yang patut kita renungkan
pada abad ke 21 ini.
1. 4. Sura dira jayaningrat,
Ra sura tegese wani
Dira teges kaprawiran
Rasa prawira lan wani
Jaya tan na wani tandhing
Ya rasa digang adigung
Ning rat tan ana kang padha
Rat jagad dianggep sepi
Datan eling wasesa Hwang Murbeng Jagad

2. Lebur dening pangastutinya


Bur lebur tatas lan tapis
Dening pakarti utama
Ninging cipta den kaesthi
Pambudidaya basuki
Ngastama mring Hyang Agung
Tumindak titi tumata
Tinaliti kang pratitis
Nyata lebur saka pakarti utama
5. Meskipun Bapak-Ibu saya adalah orang Jawa Wetanan, saya lahir dan besar
sebagai orang Jawa Kulon. Ya, saya lahir dan besar di Jawa Tengah bagian barat,
daerah pesisir utara Jawa yang bahasanya ngapak  banget. Jadi, filosofi orang Jawa
tidak begitu saya kenal.

Barulah, sesudah saya hijrah ke asal komunitas orang tua untuk sekolah, saya
mengenal filosofi-filosofi ini. Salah satunya adalah Suro Diro Joyo Ningrat Lebur
Dening Pangastuti. Filosofi ini saya kenal semasa SMA, karena gugus depan
pramuka di sekolah saya menggunakan amsal ini sebagai bagian dari tradisi
ambalan penegak di SMA ini. Begitupula saat saya bergabung menjadi siswa salah
satu perguruan silat, falsafah ini juga dipakai sebagai salah satu pegangan dalam
kehidupan seorang pendekar. Dan beberapa waktu yang lalu, falsafah ini menjadi
viral karena Presiden menggunakan sebagai status media sosialnya.

Sebagai pemangku adat, suka tidak suka saya mencari tahu apa makna dibaliknya,
kok yang dipilih adalah falsafah tersebut. Setelah ditelusuri, falsafah tersebut
asalnya dari tembang Kinanthi yang ditulis salah satu legenda pujangga Jawa,
Ronggowarsito. Makna cerita dibaliknyanya sungguh dalam sehingga Ronggowarsito
menulis tembang Kinanthi pun luar biasa.

Secara bahasa, falsafah tersebut diartikan sebagai berikut :

Suro berarti keberanian, Diro artinya kekuatan, Joyo adalah kejayaan, dan Ningrat
itu berkedudukan tinggi, bangsawan. Sementara, Lebur berarti hancur, Dening
artinya dengan, dan Pangastuti adalah kebijakan, kesabaran, kasih sayang. Secara
harfiah bisa dirangkai maknanya yaitu segala keberanian kekuatan kejayaaan dan
kedudukan akan hancur dengan kebijaksanaan, kesabaran, dan kasih sayang.

Segala kesombongan, angkara murka, kezaliman yang dilakukan oleh manusia


karena kekuatannya, kedudukannya, kejayaannya akan musnah atau kalah dengan
sikap bijaksana, sabar, dan kasih sayang. Hal ini berarti bahwa untuk mengalahkan
angkara murka, diperlukan suatu kebijaksanaan, kesabaran, dan kasih sayang.

Sejarah telah membuktikan hal tersebut, begitu pula di dalam agama telah dengan
rinci dijelaskan makna falsafah ini. Di dalam Islam, kita dapatkan kisah bagaimana
seorang Umar bin Khattab yang terkenal kuat, garang, dan berkeinginan membunuh
nabi Muhammad, justru masuk Islam setelah mendengar bacaan Al Qur'an dan
memahami maknanya. Begitupula ketika Nabi Muhammad senantiasa dijelek-
jelekkan salah seorang pengemis buta, namun justru Muhammad dengan rutin
memberinya makan dan menyuapinya. Atau kisah Nabi Yusuf yang digoda Zulaikha
dan dituduh berbuat tidak senonoh akhirnya mampu membuktikan bahwa
tuduhannya tidak benar dengan cara kebijaksanaannya.

Buya Hamka juga membuktikan falsafah ini ketika diperlakukan dengan tidak adil,
dipenjara oleh pemerintah saat itu, namun dengan akhlak dan kesabarannya, justru
Presiden Soekarno di akhir hidupnya meminta Hamka yang menjadi imam sholat
jenazahnya.

Segala kesombongan, angkara murka, hendaknya dihadapi dengan penuh


kesabaran dengan akhlak yang baik dan kebijaksanaan. Ini merupakan suatu
strategi untuk memenangkan "perang" tersebut. Bagaimana mengendalikan diri
untuk tidak reaktif terhadap provokasi. Kita juga sering mendengar pepatah yang
mengatakan bahwa batu jika ditetesi air terus menerus lama-lama akan berlubang
juga. Nah, kurang lebih makna dari falsafah Jawa ini adalah demikian.

gambar via yasdwipura.web.id 

Answered Jun 27, 2017


 1  0 

     

Sponsored 
6. Di tengah memanasnya hubungan KPK dengan Polri, Jokowi menulis sebuah ungkapan Jawa
kuno melalui akun Facebook Joko Widodo. "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti," " kata
Jokowi

apa sih arti kata itu?

”Sura diro jayaningrat lebur dening pangastuti,”

Bahwa angkara murka atau kejahatan sebesar apapun akan kalah atau hancur jika dihadapi dengan
kelembutan dan kasih sayang

Ronggowarsito yang pertama kali memunculkan kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening
Pangastuti tersebut.

Kalimat itu sebenarnya bagian dari sebuah tembang Kinanthi yang diciptakannya. Tembang itu
sendiri termuat dalam Serat Ajipamasa atau Serat Witaradya atau Serat Pustaka Raja Wedha yang
ditulis Ronggowarsito. Banyak nama tetapi sebenarnya itu satu buku. Buku itu berkisah tentang Raja
Ajipamasa atau Kusumawicitra yang berkuasa di Kraton Pengging.

Tembang Kinanthi tersebut berbunyi seperti berikut:

Jagra angkara winangun

Sudira marjayeng westhi

Puwara kasub kawasa

Sastraning jro Wedha muni

Sura dira jayaningrat

Lebur dening pangastuti


Ada juga yang menulis di baris keempat dengan “Wasita jro wedha muni”. Dua kalimat itu tidak
memiliki makna yang berbeda.

Makna dari tembang itu kurang lebih menggambarkan seseorang yang memiliki kekuasaan besar
yang mengakibatkan dia lupa diri. Dia mencoba memaksakan kehendak kepada siapapun. Namun
keangkaramurkaannya itu bisa luntur ketika dihadapi dengan penuh kelembutan, senyum dan kata-
kata yang sopan.

Lalu kenapa Ronggowarsito membuat tembang dengan syair seperti itu? Pasti ada latar belakangnya.
Apa itu?

Syair itu muncul untuk menggambarkan sebuah kejadian yang dialami oleh Pangeran Citrasoma,
putra mahkota Prabu Ajipamasa. Sebagai calon pengganti raja tentu dia memiliki pengaruh dan
kekuasaan yang hampir tidak terbatas. Mungkin hanya ayahnya yang masih bisa membatasi
kekuasaan itu. Yang lain, tidak boleh melawan.

Hingga suatu hari, Citrasoma yang sudah mulai dewasa jatuh cinta kepada seorang wanita cantik
jelita. Sayangnya, wanita itu telah memiliki suami yakni Tumenggung Suralathi.

Tetapi yang namanya anak raja, tak peduli dengan hal itu. Dia tetap mencoba merebut Nyai
Pamekas, nama wanita itu dari suaminya. Bahkan mencari-cari kesempatan untuk mendekati untuk
melakukan tindakan tidak senonoh.

Hingga suatu malam, saat Tumenggung Suralathi tidak di rumah, Citrasoma pun menyelinap ke
rumah Nyai Pamekas. Tentu saja wanita itu kaget dan ketakutan. Apalagi Citrasoma dengan tegas
mengatakan keinginannya untuk bercinta dengan dirinya.

Nyai Pamekas tahu siapa yang dihadapi. Seorang pemuda yang sedang dilanda nafsu serta memiliki
kekuasaan besar. Maka dia berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyadarkan Citrasoma dari
niatnya yang salah itu.

Semua penolakan disampaikan Pamekas dengan kalimat lembut. Tidak mencak-mencak apalagi
memaki. Karena sekali lagi orang yang dihadapi adalah orang kuat. Nyai Pamekas mencoba
mengingatkan bahwa tindakan Citrasoma tidak benar. Apalagi dia adalah calon raja yang harus
memberi contoh baik kepada rakyatnya. Semua kalimat disampaikan dengan lembut dan wajah yang
selalu senyum.
Tapi dasar Citrasoma, tetap tak peduli dengan semua itu. Dia tetap memaksakan kehendaknya. Nyai
Pamekas pun memutar otak hingga akhirnya menemukan satu cara. Dia mengatakan sanggup
melayani Citrasoma dengan jaminan tidak ada satupun yang tahu. Karena kalau sampai ada yang
tahu, maka Nyai Pamekas menyayangkan nama baik Citrasoma, anak raja dan calon raja. ”Semua
orang di Katemenggungan ini harus dibuat tidur agar tidak ada yang tahu,” kurang lebih seperti itu
kata Nyai Pamekas.

Citrasoma pun menyanggupi. Sebagai calon raja pastilah dia sudah dibekali dengan ilmu kadigdayan
yang tidak main-main. Maka dia matek aji sirep hingga membuat semua orang di tempat itu tertidur
pulas.

”Sudah Nyai. Syaratmu sudah aku penuhi. Mari penuhi permintaanku,” kata Citrasoma (Lagi-lagi ini
kurang lebih karena tidak ada dialog di buku Ronggowarsito).

Nyai Pamekas lagi-lagi tersenyum sebelum kemudian berkata ”Belum semua tidur Pangeran,”
katanya lembut.

Citrasoma pun keheranan. Dia yakin semua orang yang kena ilmu sirepnya pasti kelenger tak
berdaya. ”Siapa yang begitu sakti bisa menahan ilmuku,” batinnya

”Siapa yang belum tidur Nyai? Tidak mungkin ada yang bisa menahan ilmuku,” sesorah Citrasoma.
Lagi-lagi Nyai Pamekas tersenyum sebelum berujar ”Saya belum tidur, Pangeran juga belum tidur.”

”Ya tidak mungkin lah nyai, gimana mau melakukan jika aku dan kamu tidur,” sergah Citrasoma.
”Jangan mengada-ada dan cari-cari alasan lah Nyai,” tambahnya.

Nyai Pamekas tetap saja tenang. ”Kecuali saya dan pangeran juga masih ada yang belum tidur,”
ujarnya

”Siapa?” tanya Citrasoma

”Gusti kang Maha Kuasa,” ucap Pamekas yang seketika membuat Citrasoma terdiam. Kalimat singkat
itu seperti palu godam yang memukul kepalanya dan mengembalikan kesadarannya yang hilang
ditelan nafsu. Seketika dia sadar dan malu dengan kesalahan yang dia lakukan. Akhirnya dia pun
mengurungkan niatnya dan selamatlah dia dari tindakan tercela. Sementara Nyai Pemekas dengan
kelembutannya berhasil mengalahkan nafsu jahat orang yang memiliki kuasa sekaligus
mempertahankan kesuciannya sebagai seorang istri.
Nah dari situlah Ronggowarsito kemudian menciptakan tembang Kinanthi yang memuat kata Suro
Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti itu.

Mudah-mudahan bermanfaat. Setidaknya kita jadi tahu dan makin mantab menggunakan kalimat itu
sebagai filosofi hidup. Tidak hanya ketika kita didzolimi orang yang berkuasa.

Anda mungkin juga menyukai