Anda di halaman 1dari 2

Judul : Ronggeng Dukuh Paruk

Penulis : Ahmad Tohari

Isi : 7-9 halaman

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 978 – 979 – 22 – 7728 – 9

Cetakan : November 2011

Harga: Rp. 65.000,00

Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari
dan Jantera Bianglala, ini berarti dengan membeli satu buku kita dapat tiga buku sekaligus.
Apalagi dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun,
membuat saya penasaran dengan isi buku karya Ahmad Tohari ini. Ahmad Tohari adalah
penulis kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 yang tidak pernah melepaskan diri dari
pengalaman hidup kedesaanya. Diamemiliki kesadaran dan wawasan alam yang begitu jelas
terlihat pada buku ini.

Novel ini mengambil setting sekitar tahun 1965an. Semangat Dukuh Paruk kembali
menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru di Dukuh Paruk, bagi pedukuhan
ini ronggeng adalah perlambang. Tanpanya dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan
segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi, cantik dan menggoda.
Semua ingin merasakannya. Dari kawula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun
kabupaten.

Namun malapetaka politik membuat dukuh tersebut hancur secara fisik maupun mental.
Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena
kecantikannya Srintil tidak diperlakukan semena-mena di penjara. Pengalaman pahit sebagai
tahanan politik membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itu setelah
bebas ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia ingin menjadi wanita somahan. Sepercik
harapan muncul ketika Bajus muncul. Mesti akhirnya, ia kembali terhempas…

Dalam novel ini Dukuh Paruk adalah gambaran secara jelas dimana pola pikir dan budaya
masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan. Muatan gender
juga sangat terasa dimana Srintil (wanita) lebih dianggap sebagai objek oleh kebanyakan
orang, dan ironisnya kebanyakan wanita pun merasa bangga dengan keadaan ini.

Cerita tentang kesenian rakyat yang terbawa pada arus politik yang mengakibatkan para
pelakunya dituduh sebagai manusia yang mengguncangkan negara, bahkan orang-orangnya
ditahan dan harus menyandang status “tapol” membuat saya bertanya-tanya tentang awal
pembangunan sebuah rezim dinegri ini.
Satu-satunya kekurangan buku ini menurut saya adalah pengaturan line spacingnya yang
terlalu rapat, membuat mata pembaca cepat lelah. Namun secara keseluruhan, buku ini bagus
dan sangat layak sebagai koleksi.

Anda mungkin juga menyukai