Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS NOVEL STUDENT HIDJO

KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO

Disusun oleh
Nama : Shafa Azzahra
Kelas : XII MIA 2

Tahun Pelajaran 2018/2019

1
Analisis Novel Cerita Sejarah

Judul buku : Student Hidjo


Pengarang : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit,tahun terbit : NARASI, 2018
Jenis buku : Novel Sejarah
Tebal buku : vi + 186 halaman

1. Sinopsis
Kisah dimulai ketika ayah Hidjo, Raden Potronojo, berencana menyekolahkan Hidjo ke
Belanda. Raden Potronojo berharap hal itu bisa mengangkat derajat keluarga yang berasal dari
kalangan pedagang. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya
hidup kaum priyayi murni garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh,
khususya dimata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial. Berbeda
dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang
dinilai sarat “pergaulan bebas”.

Ketika bersekolah di Belanda, mata hidjo terbuka melihat kenyataan yang tidak sesuai
yang dengan ia bayangkan. Di sana ternyata sama saja seperti di Hindia Belanda. Ada orang
yang menjadi majikan, ada orang yang jonggos, ada yang jahat dan ada pula melihat kenyataan
yang tidak sesuai yang dengan ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit “hiburan” ketika dirinya
memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah yang ia tumpangi. Di mana,
hal ini mustahil dilakukan di Hindia Belanda. Hidjo yang kutu buku terkenal punya sikap yang
“dingin” dan dapat julukan “pendito”, akhirnya pun terlibat hubungan seksual di luar nikah
dengan Betje putri sang pemilik rumah yang ia tumpangi selama ia studi di Belanda.

2
Pertentangan batin karena melakukan aib dan mendapat surat panggilan untuk pulang ke Tanah
Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk pulang ke Jawa dan memutus tali cintanya pada Betje.

Persoalan semakin rumit ketika perjodohan dengan Raden Ajeng Biroe yang masih sanak
keluarga, meskipun Hidjo sesungguhnya terpikat oleh Raden Ajeng Woengoe, putri Regent
Djarak yang sangat cantik. Namun di akhir cerita perjodohan berubah Hidjo dijodohkan dan
menikah dengan Woengoe sedangkan Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki
Woengoe.
2. Pembahasan:
A. Unsur instrinsik
a.Tema
Novel Mas Marco “Student Hidjo” bertemakan cinta-sosial, dimana dalam novel ini
menggambarkan cinta Hidjo untuk Woengoe, Betje, dan Biroe bersinggungan dengan
cinta Walter untuk Roos, Woengoe, dan Betje. Selain tema percintaan tersebut, tema
mobilitas sosial (pergerakan sosial) juga terasa jelas ketika hubungan Hidjo dengan
perempuan bangsawan didukung oleh ayahnya agar keluarganya mendapat posisi sosial
yang lebih tinggi. Bagian tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi
bangsawan melalui pernikahan jika ia memiliki uang yang cukup. Kemudian, menjelang
akhir novel, cinta juga dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya dapat ditemukan orang-
orang berpendidikan Belanda.
b. Alur
Alur campuran (maju mundur), bisa dilihat dari cerita tersebut yang dimulai dari
tahap klimaks, yaitu ketika Ibu Hidjo tidak menyetujui rencana Bapak Hidjo untuk
menyekolahkannya ke Belanda. Setelah itu, barulah penulis memaparkan pengenalan
masalah dan latar belakang mengapa permasalahan atau konflik di dalam cerita tersebut
bisa terjadi. Kemudian, barulah dinaikkan ke tahap antiklimaks (mulai terlihatnya
penyelesaian masalah oleh tokoh) dan berakhir di tahap penyelesaian, yaitu ketika Hidjo
berakhir dengan menikahi Woengoe, perempuan pilihan orang tuanya, bukannya Betje,
kekasih hatinya.
c. Tokoh dan Penokohan
Tokoh-tokoh dalam novel “Student Hidjo” diantaranya:
1. Hidjo = Pemuda berumur 18 tahun, wataknya pendiam, berbudi pekerti baik,
menurut pada orang tua, gila membaca, meski begitu ia mudah bergaul bahkan terkadang
gampang terpengaruh. Dia seorang anak saudagar kaya bernama Raden Protonojo dan
Raden Nganten.

3
“… Kalau saya pikir, besok atau tujuh tahun lagi, cukuplah kedua anak itu
dikawinkan. Sebab saat ini Hidjo baru berumur 18 tahun dan Biroe 13 tahun.”
(Halaman 5, paragraf 1)
“Ayah, Ibu, dan saudara lelaki saya cinta sekali dengan Tuan Hidjo. Sebab dia
anak pintar dan halus budi bahasanya. Kalau dia tidak ditanya, dia tidak berkata.
Dia pendiam sekali.” (Halaman 39, paragraf 3)
“Ya, sebab dia lebih suka membaca bukunya daripada untuk tulis-menulis,” kata
Biroe dengan panjang lebar. “dia kalau dirumah tidak pernah meninggalkan
bukunya. Saya khawatir kalau besok dia gila, sebab terlalu banyak belajar.”
(Halaman 41, paragraf 5)
“Malam itu pikiran Hidjo selalu tergoda oleh ceritanya Faust yang telah dilihatnya
di Koninklijke Schowburg.” (Halaman 89, paragraf 5)

2. Raden Potronojo = Ayah dari Hidjo, ia sosok ayah yang sangat memperhatikan
masa depan Hidjo, sifatnya baik, penyayang, dan bijaksana.
“Benar, Hidjo sudah tamat belajarnya di HBS. Tetapi, karena rupanya dia sangat
maju dalam belajarnya dan pikirannya tajam, maka sebaiknya dia saya suruh
meneruskan belajarnya agar menjadi ingenieur di Negri Belanda.” (Halaman 2,
paragraf 1)
“O, perkara itu tidak perlu kita pikirkan,” jawab raden Potronojo. “Sebab perkara
hidup matinya seseorang itu hanya tergantung kepada Tuhan.” (Halaman 2,
paragraf 3)

3. Raden Nganten = Ibu Hidjo, seorang yang sangat takut terhadap pengaruh
budaya barat yang bebas, sangat menyayangi Hidjo sehingga timbul kehawatiran yang
berlebihan.
“Kanda… Kanda.. Bagaimana mungkin anakmu kamu kirim ke Negeri Belanda.
Begitulah, Raden Nganten Potronojo menangis di depan suaminya, waktu ia
dikasih tahu bahwa anak lelakinya akan dikirim ke Belanda untuk sekolah
ingenieur.” (Halaman 1, paragraf 1)
“Tetapi Kanda, kata Raden Nganten sambil menyapu airmatanya, waktu ini di
Eropa baru terjadi peperangan. Saya khawatir kalau Hidjo mendapat malapetaka
di perjalanan. Sebab orang berkata, waktu ini perjalan ke Eropa sedang sulit. Juga
saya mendengar kabar banyak kapal yang tenggelam lantaran kena tambang atau
dibinasakan oleh kapal selam.” (Halaman 2, paragraf 2)

4
“Kalau kamu pergi ke Negri Belanda, siapa yang saya lihat saban hari Djo! Djo!”
kata ibu Hidjo sambil menangis sangat keras. “Anakku cuma kamu
s..e..n..d..i..r..iiii!!!”(Halaman 7, paragraf 3)

4. R.A. Biroe = Gadis cantik berumur 13 tahun, berbudi pekerti baik, menurut
kepada orang tua, lembut dan sopan, meski begitu ia bukan gadis kaku. Dia merupakan
sepupu dari Hidjo yang dijodohkan sejak kecil.
“Waktu Biroe baru membaca separo, wajahnya bertambah manis. Sesuadah Biroe
membaca surat itu, dengan cepat ia meletakan surat itu diatas meja dan tidak
berani melihat wajah R.M. Wardojo. Ini satu bukti bahwa surat itu sangat cocok
dengan keinginannya.” (Halaman 156, paragraf 4)
“Lantaran mendengar perkataan Hidjo, dengan berani Raden Ajeng melemparkan
selendang suteranya tepat mengenai dada Hidjo. Hal itu menunjukkan perkataan
Hidjo membikin hatinya bahagia.” (Halaman 16, paragraf 5)

5. R.A. Woengoe = Gadis cantik yang merupakan adik dari teman sekelas Hidjo,
yaitu R.M. Wardojo. Woengoe berwatak lembut, sopan, anggun, mudah bergaul dan
berbudi baik.
“Waktu saya baru lulus dari HBS, saya datang ke tempat teman sekolah saya,
yaitu anaknya Regent Djarak. Kedatangan saya di kabupaten itu dikenalkan oleh
teman saya kepada saudara perempuannya.” (Halaman 30, paragraf 6)
“Ini suatu tanda, saudara perempuan teman saya, Raden Ajeng Woengoe
kebiasaan dan sikapnya sangat halus sekali. Dan boleh jadi lebih halus dari
kebiasaan dan sikapnya Biroe.” (Halaman 30, paragraf 8)
“Saya senang sekali berkumpul dengan orang seperti Tuan Hidjo itu, kata Raden
Woengoe sambil memegang kalung zamrudnya. Sebab kata-katanya dapat
dirasakan dan mengandung nasihat yang bagus-bagus.” (Halaman 40, paragraf 1)

6. R.M. Wardojo = Merupakan kakak dari Raden Ajeng Woengoe, berwatak


lembut, pemalu, sopan, mudah bergaul dan berbudi baik.
“Meskipun ia menaruh hati kepada Biroe, tetapi hal itu selalu disembunyikan,
jangan sampai ada orang yang mengetahuinya.” (Halaman 63, paragraf 6)
“Mobil yang membawa kedua Raden Ajeng dan Raden Mas Wardojo berjalan di
depan. Tetapi, Raden Mas duduk jejer dengan sopir mobil.”(Halaman 64, paragraf
3)
“Dimana saya mesti duduk?” Tanya raden mas kepada saudara perempuannya,
waktu dia masih berdiri dimukanya.” (Halaman 65, paragraf 7)

5
7. Betje = Gadis Belanda yang sangat tulus mencintai Hidjo, suka menggoda,
cenderung bebas dalam bergaul, ambisius, dan melakukan apa yang dia suka.
“Kalau kamu ke Tanah Jawa, saya ikut.!” Jawab Betje setelah dia mendengarkan
cerita Hidjo. Dan air matanya bercucuran menunjukkan tanda kesedihannya.”
(Halaman 184, paragraf 1 )
“Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya
berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang.”
(Halaman 96, paragraf 3)
“Nee, saya lebih suka pergi berdua saja dengan Tuan!” jawab Betje mengandung
maksud. (Halaman 92, paragraf 1)
“Biarin, saya lebih suka jadi perempuan Hindia daripada jadi perempuan
Belanda!” (Halaman 55, paragraf 5)
d. Setting
1. Tempat
Di Indonesia dan Belanda, khususnya selama belajar di Negeri Belanda , di
Batavia, di Sabang dan di Solo.
“Pada suatu sore di Kota Solo, awan gemawan bersinar terang sehingga membuat
masyarakat kota itu menjadi bahagia.” (Halaman 9, paragraf 1)”
“Satu minggu lamanya kapal yang dinaiki Hidjo sudah sampai di Subang. Disini,
para penumpang dipersilahkan untuk turun menikmati pemandangan darat dan
panorama.” (Halaman 26, paragraf 3)
“Sudah tiga hari Hidjo dan gurunya berada di Amsterdam dan melihat-lihat
pemandangan kota itu.” (Halaman 51, paragraf 1)
2. Waktu
Sekitar tahun 1920-an, ketika dalam masyarakat kolonial masih berkembang
diskriminasi ras dan golongan. Karena kisah dalam novel cerita sejarah ini masih
menggambarkan kebiasaan masyarakat yang masih mendiskriminasikan ras dan golongan
pribumi serta mengagung-agungkan golongan Belanda. Kebiasaan dan pandangan di
masyarakat ini sangat berkembang di era sekitar tahun 1920-an.
e. Gaya Bahasa
Novel “Student Hidjo” menggunakan gaya bahasa Melayu pasar, karena novel ini
terbit di abad ke-20, dimana pada masa itu perkembangan produksi bacaan yang
dilahirkan oleh orang-orang bumiputra dengan menggunakan gaya bahasa “melayu
pasar”. Bacaan yang ditulis dalam melayu pasar mempergunakan bahasa lisan sehari-hari
yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup, lebih bebas dari ikatan tata
bahasa.
f. Sudut Pandang
Sudut pandang orang ketiga serba tahu, karena penulis menceritakan kisah Hidjo
sebagai tokoh utama dan si penulis tahu apa saja yang dialami oleh tokoh dan juga
wataknya.
6
g. Amanat
1. Jika belajar harus sungguh-sungguh.
2. Kebaikan orang harus dibalas dengan kebaikan pula.
3. Berbakti kepada orangtua.
4. Jangan mudah dipengaruhi oleh lingkungan.
5. Selalu menghormati kebudayaan dan adat istiadat tempat yang dikunjungi.
B. Unsur Ekstrinsik

1. Latar Belakang Mas Marco Kartodikromo


Mas Marco Kartodikromo, kelahiran Cepu (Jawa Tengah) tahun 1890 dan meninggal
dalam pengasingan di Digul (Irian Jaya), 18 Maret 1932. Dia pernah menjadi Sekretaris
Sarekat Islam Solo, dan ikut mendirikan Inlandsche Journalisten Bond bersama Tjipto
Mangunkusumo dan R.M. Sosrokartono. Pernah bermukim di Negeri Belanda tahun
1916-1917 dan beberapa kali dipenjarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda karena
perjuangannya sebagai tokoh komunis. Karyanya : Mata Gelap (novel, 1914), Sair-Sair
Rempah (kumpulan sajak, 1918), Student Hidjo (novel, 1919), Rasa Merdika (novel,
1924), dan Cermin Buah Keroyalan (novel, 1924).
2. Nilai-nilai
1. Nilai Budaya : pertentangan kenyataan hubungan antara kaum pribumi dan kolonial
di Indonesia dan Belanda pada masa kolonial (diskriminasi ras dan golongan)
“Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya
masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement .”
(Halaman 2, paragraf 5)
2. Nilai politik : anggota-anggota Serikat Islam cenderung lebih mudah mendapatkan
fasilitas-fasilitas.
“Di depan Sriwedari, orang-orang yang hendak membeli karcis masuk sudah beribu-
ribu. Meskipun begitu, Raden Hidjo bisa mendapatkan karcis lebih dahulu, karena
ditolong oppas (penjaga) yang bertugas di keramaian itu.” (Halaman 13, paragraf 1)
3. Nilai moral : mematuhi dan menghormati orang tua dan berlaku sopan santun.
“ “Jangan menangis, Bu!” bujuk Hidjo, membujuk ibunya supaya jangan menangis.
“Kalau begitu, saya tidak mau pergi ke negeri Belanda saja!” ” (Halaman 7, paragraf
4)
4. Nilai sosial : membantu sesama dalam berbagi urusan.
“ “Maukah Tuan mengantar kita melihat-lihat panorama?” tanya seorang dari
perempuan itu. “Dengan senang hati!” jawab Hidjo sopan. ” (Halaman 27, paragraf 1)

7
8

Anda mungkin juga menyukai