Anda di halaman 1dari 8

SASTRA NUSANTARA

Sastra Jawa : Serat Purusangkara

Oleh :
Nama

: Umi Kulsum

NIM

: 13010111130026

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

Identitas Buku
Judul

: Serat Purusangkara

Pengarang

: Empu Sindungkara

Penyalin

: R. NG. Ranggawarsita

Koleksi

: Museum Radyapustaka

Halaman

: 150 halaman

Jenis Sastra

: Sastra Jawa Baru

Deskripsi Serat Purusangkara


Naskah Serat Purusangkara koleksi Museum Radyapustaka terdiri atas 150 halaman isi
dan 2 halaman pembuka. Halaman pembuka menerangkan judul, penyalin, saat
penyalinan, dan masa lama yang diceritakan. Berbeda dengan sejumlah karya R. NG.
Ranggawarsita pada umumnya.
Serat Purusangkara disusun dalam bentuk prosa, sehingga tidak ada tanda metra. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa jawa ragam campuran, yaitu ragam karma dan ngoko.
Serat Purusangkara ditulis dengan huruf jawa, dapat terlihat pada jaman penyalinan
naskah ini belum terdapat aturan penulisan yang sistematis seperti saat ini.

Kedudukan Serat Purusangkara


Serat Purusangkara dalam Penulisan Sejarah Jawa
Serat Purusangkara memiliki berbagai macam tarikh, baik mengikuti perhitungan tahun
matahari maupun bulan. Meskipun dalam keberadaannya hanya sedikit. Penggunaan
tarikh kamariah dan syamsiah itu disebabkan karena penyalin merindukan hal baru,
meskipun ia terdidik dalam tradisi lama.
Dalam serat ini tokoh Prabu Jayapurusa dilukiskan sangat menonjol, selain Prabu
Purusangkara sendiri. Prabu Jayapurusa yang dimaksud adalah Prabu Jayabaya raja
Kediri.
Dalam serat ini dijelaskan bahwa Prabu Jayapurusa berputra Raden Jayaamijaya, Dewi
Pramesthi, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Ketiga putri itu kemudian dikembalikan
oleh suami mereka, yakni Prabu Astradarma/ Prabu purusangkara dan saudarasaudaranya. Maka kerajaan

Yawastina tenggelam, dikabarkan pula bahwa Raden

Jayaamijaya menikah dengan Dewi Satapi.

Serat Purusangkara sebagai Sumber Pentas Wayang Madya


Wayang madya muncul setelah adanya wayang kulit atau wayang gedog. Awalnya
merupakan usulan dari Sri Mangkunegara IV kepada pujangga R. Ng. Ranggawarsita
sebagai pencipta serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaradya. Wayang Madya
merupakan perpaduan antara wayang kulit dan wayang gedog, secara fisik maupun cerita.
Serat Parusangkara sebagai sumber lakon wayang Madya, selain itu ada juga naskah dari
Serat Gendrayana dan Serat Yudayana. Ketiga serat tersebut sebenarnya sudah memiliki
unsur pentas pewayangan. Namun pementasan wayang madya sampai sekarang masih
belum banyak dilakukan oleh dalang, padahal banyak sekali segi yang menarik darinya.
D

Isi Singkat Serat Purusangkara


1. Resi Mayangkara datang ke Yuwastina bermaksud mengawinkan Prabu Astradarma
dengan Putri Widarba.
Resi Mayangkara dari pertapaan Kendhalisada datang di tengah persidangan yang
sedang dilaksanakan oleh Prabu Astradarma. Maksud kedatangannya adalah
mengemban perintah Sang Hyang Narada untuk mengawinkan Prabu Astradarma
bersudara dengan Putri Prabu Jayapurusa. Untuk mempererat tali persaudaraan yang
telah retak karena pertikaian yang pernah terjadi antara Prabu Sariwahana dan Prabu
Jayapurusa.
2. Sang Gawaksa dan Sang Pradegsa melamar Dewi Pramesthi.
Datanglah Sang Gawaksa dan Sang Pradegsa utusan Prabu Yaksadewa dari kerajaan
Selauma di persidangan untuk melamar dewi Pramesthi. Setelah surat dibaca Prabu
Jayapurusa mengambil jalan tengah, tidak menerima maupun menolak lamaran raja
raksasa itu. Namun mendengar ancaman dari pihak Yaksadewa jika terjadi
penolakan, sang Prabu marah dan berselisih dengan kedua utusan Yaksadewa.
3. Raden Jayaamijaya meminta bantuan kepada Resi Mayangkara.
Dalam perjalanan Raden Jayaamijaya bertemu dengan Resi Mayangkara, kemudian
Sang resi menolong Jayaamijaya dengan imbalan diberi Putri Widarba. Terjadilah
pertarungan hebat dan pasukan Selauma kalah.
4. Perkawinan Prabu Astradarma bersaudara dengan para Putri kerajaan Widarba.
Prabu Jayapurusa mengawinkan Resi Mayangkara dengan Dewi Pramesthi. Resi
Mayangkara mempertemukan ketiga putra Yawastina dengan ketiga putri Widarba.

Raden Astradarma dengan Dewi Pramesthi, Raden Darmasarana dengan Dewi


Pramuni, sedang Raden Darmakusuma dengan Dewi Sasanti.
5. Prabu Yaksadewa menyerang kerajaan Widarba.
Sang Gawaksa dan Sang Pradegsa kembali ke Selauma, mendengar hasil lamaran
yang gagal membuat Prabu Yaksadewa murka dan memutuskan untuk menyerang
Widarba. Pertempuran hebatpun terjadi, namun karena kehendak Dewata maka
seluruh korban dari kedua belah pihak dihidupkan kembali. Dengan kemenangan
ditangan Prabu Jayapurusa.
6. Prabu Astradarma kembali ke Yawastina.
Dua bulan setelah kemenangan itu, Prabu Astradarma menyatakan kepada mertuanya
bahwa ia ingin kembali ke Yawastina. Prabu Jayapurusa memperkenankan dan
memberikan gelar Prabu Astradarma bernama Prabu Purusangkara.
7. Perkawinan Raden Jayaamijaya dengan Ken Satapi.
Prabu Jayapurusa menyatakan pada Patih Suksara akan rencana perkawinan Raden
Jayaamijaya selaku putranya dengan Putri Ken Satapi, putrid Ajar Subrata di
pertapaan Gunung Padhang.
8. Patih Sudarma mengantar Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti kembali
ke Widarba.
Dewi Pramesthi telah mengandung justru bersamaan dengan kedua adiknya, Dewi
Pramuni dan Dewi Sasanti. Prabu Purusangkara mengira dan menilai bahwa
kehamilan permaisurinya itu bukan darinya. Dalam hatinya ia mengira istrinya itu
telah berselingkuh dengan kedua adiknya sendiri. Kebimbangan dalam sikapnya itu
membuat Dewi Pramesthi teracuhkan, sehingga terjadi pertengkaran hebat. Dan Dewi
Pramesthi diperintahkan untuk pulang ke Widarba, yang kemudian diikuti oleh kedua
adiknya juga.
9. Prabu Jayapurusa Murka, kerajaan Yawastina tenggelam.
Prabu Purusangkara benar-benar memutus hubungan dengan kerajaan Widarba,
bersamaan dengan kemarahan sang Prabu malapetaka pun melanda kerajaan
Yawastina. Akibat dari sikap kekanak-kanakan prabu Purusangkara yang merugikan
rakyat Widarba membuat Prabu Jayapurusa marah dan mengheningkan cipta untuk
memisahkan kedua kerajaan tersebut. Hingga Yawastinapun akhirnya tenggelam. Dan
Prabu Jayapurusa menyesal karena memutuskan hati ketiga putranya dan rakyat
Yawastina yang tidak bersalah.

10. Cara menyembuhkan penyakit Dewi Pramesthi.


Pada suatu ketika, Dewi Pramesti istri almarhum Prabu Purusangkara kemasukan
hewan werna. Ia terus mengeluh dan segala usaha dilakukan, namun yang bisa
menyembuhkan adalah Capa yang akhirnya diberi gelar Arya Wiracana.
11. Ki Sadya dan Nyai Tingkep menghadap Prabu Jayapurusa.
Ki Sadya dan Nyai Tingkep menghadap Jayapurusa, bersama 26 anaknya yang
kebanyakan kembar atas petunjuk Prabu itu. Kemudian Prabu Jayapurusa mengangkat
ki Sadya menjadi Umbul Branyut dan istrinya Nyai Tingkep menjadi Nini Branyut.
Setelah itu keduanya kembali ke desa Dhadapwong.
12. Dewi Pramesthi berputra Raden Anglingdarma.
Dewi Pramesthi akhirnya melahirkan bayi putra yang tampan bersamaan dengan
Begawan Manikara yang ternyata berputra juga, seorang Putri. Prabu Jayapurusa
memberi nama untuk putri Begawan Manikara dengan nama Dewi Setyawati.
Sedangkan Begawan Manikara memberi nama cucu Prabu Jayapurusa, Anglingdarma.
13. Prabu Jayapurusa meruat Bhatara Granti dan Dewi Malini.
Prabu Jayapurusa beserta Patih Suksara dan perwiranya pergi ke Pagedhongan, ia
melihat sepasang belibis dan itik hidup rukun. Merasa diejek oleh kedua hewan itu,
sang Prabu memanah keduanya yang kemudian menjelma menjadi Bhatara Granti dan
Dewi Malini. Mereka dikutuk karena kelakuan tak pantas terhadap orang tua. Setelah
menerangkan hal itu keduanya lenyap.
14. Madrim dan Madrika.
Selain itu, Prabu Jayapurusa bertemu dengan gadis Madrim yang disiksa oleh
Madrika yang ingin memiliki harta ayahnya. Akhirnya Madrika mati, dan Madrim
dibawa ke kerajaan Widarba.
15. Perkawinan Madrim dan Arya Susastra.
Prabu Jayapurusa meminta Madrim untuk dikawinkan dengan adik Patih Suksara
yang bernama Arya Susastra, ayahnya Madra menyetujui. Setelah waktu yang
ditentukan mereka menikah.
16. Prabu Darmadewa beserta saudara-saudaranya menyerbu Widarba.
Prabu Jayapurusa mendapat laporan penyerbuan Prabu Dharmadewa dan saudarasaudaranya. Ia ragu akan kemampuan yang ia miliki untuk melawan mereka. Sang
Prabu mengheningkan cipta dan mendapatkan keyakinan karena ia adalah titisan
Dewa Wisnu yang tidak akan kalah dalam peperangan. Dharmadewa gugur di medan
perang dan Prabu Jayapurusa pulang dengan kemenangan ke Wibadra.

Cuplikan Serat Purusangkara


Dhuh Eyang Sang Maharsi Mayangkara, sakalangkung suka bingahing manah
kula, amiyarsa pangandikanipun eyang sadaya wau, namung saking kinten kula,
mila makaten rehning uwa prabu punika boten panggih-pinanggeh kalian kula,
utawi lajeng memengsahan kalian kadang kula sepuh ingkang nama Prabu
Ajidarma ing Malawapati, saking sandayaning manah kula boten manawi
katumut-tumutaken awoning sadherek, menawi makaten boten wande badhe
andadosaken kalingseman kula.
Arti:
Aduhai kakeknda Sang Maharsi Mayangkara, hatiku sangat bahagia mendengar sabda
kakek semua itu, hanya menurut perkiraanku, oleh karena Ua Prabu tidak pernah
berjumpa denganku, atau selanjutnya bermusuhan dengan saudara tuaku yang bernama
Prabu Ajidarma di Malawapati, oleh karena keraguanku seandainya diikutkan kejelekan
saudara, jika demikian tentu akan membuatku malu.
Penjelasan:
Kutipan diatas menunjukan perasaan bahagia Prabu Purusangkara/ Prabu Astradarma atas
maksud kedatangan Resi Mayangkara ke Yawastina. Akan tetapi yang menjadikan
keraguan hati Sang Prabu Purusangkara adalah permusuhan saudara tuanya yang bernama
Prabu Ajidarma raja Malawapati dengan Prabu Jayapurusa, calon mertuanya. Apakah
nanti dirinya tidak didikut-ikutkan keburukan perangai saudaranya itu. Jika ia ditolak
Jayapurusa tentulah sangat membuatnya malu.
He kulup Patih Sudarma, sira matura kuwala marang putraningsun kaki Prabu
Purusangkara, ing samengko putraningsun nini Pramesthi sakadange karo pisan
ora kinanggokaken pasuwitane marang anak prabu sakadange sarta banjur
pinaringake bali maringsun maneh, iya wis padha ingsun tampani kabeh, among
memekas ingsun marang sira kulup nuryo kaaturna marang anak prabu
Purusangkara, ora luwih among pada alunusna ing karaharjan aja padha angowahi
kang dadi rukuning sasanak. Amung iku kawula kaaturna marang anak prabu ing
Yawastina.

Arti:
Hai anakku Patih Sudarma, katakanlah kepada putraku kaki Prabu Purusangkara, putriku
nini Dewi Pramesthi dan kedua adiknya kini tidak lagi diperlukan pengabdiannya kepada
anak Prabu (Purusangkara) bersaudara serta kemudian dikembalikan kepadaku lagi sudah
kuterima semua, hanya pesanku kepadamu anakku (hendaknya) segera disampaikan
kepada anakku Prabu Purusangkara, supaya (kita) saling melestarikan dan melanjutkan
tali perdamaian janganlah saling mengubah kerukunan persaudaraan. Hanya itu saja
sampaikanlah kepada anak Prabu di Yawastina
Penjelasan :
Prabu Jayapurusa berpesan kepada patih Sudarma supaya disampaikan kepada Prabu
Purusangkara bahwa Prabu Jayapurusa menerima perlakuan pengembalian ketiga
putrinya. Jayapurusa tetap mengharapkan bahwa kejadian yang menyakitkan hati
cukuplah sampai disitu saja, janganlah sampai berlanjut menjadi perpecahan
persaudaraan.
Telas pangendikanipun Sang Hyang Narada, Prabu Jayapurusa dupi amiyarsa
langkung ngungun asmu welas datheng putra mantu katiga pisan sarta rumaos
gegetun dhateng sirnaning praja Yawastinan sawadya balanipun , awekasan Prabu
Jaypurusa kumembeng mijil kang waspa, dahat kararantan dhateng tresnaning
putra mantu. Sang Hyang Narada tansah anglipur amrih lipuring rudatin.
Arti :
Selesai sabda Sang Hyang Narada, selesai mendengar itu, Prabu Jayapurusa sangat heran

bercampur kasihan kepada ketiga putra mantunya serta menyesal atas kehancuran
Yawastina beserta bala tentaranya, Prabu Jayapurusa meneteskan air mata kesedihan yang
teramat dalam karena rasa kasih cintanya kepada putra menantu. Sang Hyang Narada
senantiasa menghibur agar kesedihannya berkurang.
Penjelasan :

Perasaan berdosa dan penyesalan yang sangat dalam terasa bagi Prabu Jayapurusa saat
mendengar berita Kerajaan Yawastina beserta bala tentara dan rakyat yang tidak berdosa
tenggelam. Berita itu ia peroleh dari Sang Hyang Narada yang kemudian ikut menghibur
sang Prabu.

Komentar
Sastra Jawa ini berbentuk prosa, yang kemudian mudah dipahami karena tersampaikan
secara lugas. Tidak seperti tembang dan sejenisnya yang diimbuhi keindahan tata bahasa
yang kadang sulit untuk di mengerti, serat ini seperti bercerita sejarah tentang penggalan
hidup seorang Raja bernama Purusangkara.
Karena berlatarkan sejarah sebuah kerajaan, pengaruh agama Hindu sangat kental.
Terutama mengenai dewa-dewa yang kemudian menjelma/menitis menjadi manusia.
Lokalitas sangat terasa sekali, karena masing-masing kerajaan akan semakin
memperluaskan wilayahnya dengan cara pernikahan, meskipun dalam cerita ini maksud
itu lebih teruntuk perbaikan tali silahturahmi.
Kehormatan akan suatu kerajaanpun sangat menunjukkan gengsi yang tinggi bagi orang
jaman itu, bila meras tersinggung atas sikap tertentu perang sering kali menjadi jalan
keluar favorit. Menjatuhkan rakyat yang tidak berdosa dan hanya demi gengsi sang
pemimpin semata.

Anda mungkin juga menyukai