ABSTRAK Kisah Añjani sebagai ibu Hanuman terdapat dalam berbagai karya sastra,
baik sastra klasik maupun sastra modern. Imaji atas tokoh ini sangatlah beragam sangatlah
beragam, tergantung kapan, oleh siapa, dan untuk apa kisah Añjani digubah. Tulisan ini
bertujuan memaparkan kisah Añjani dalam beberapa karya sastra klasik seperti Kapiparwa,
Serat Arjunasasrabau Sindusastran, dan Hikayat Seri Rama, serta karya sastra modern
seperti Anak Bajang Menggiring Angin dan Di Pinggir Telaga Madirda. Dengan demikian
akan didapatkan imaji yang lebih utuh tentang tokoh Añjani dalam berbagai versi.
KATA KUNCI sastra klasik, sastra modern, imaji
1. Pengantar
Perempuan buruk berwajah kera dengan kaki serta tangan
berbulu panjang dan lebat serupa bulu kera. Barangkali itulah imaji
yang terlintas dalam benak kita manakala kita mendengar nama
Anjani. Atau barangkali akan muncul imaji seorang perempuan yang
sangat sakti karena kedahsyatannya dalam bertapa. Bisa jadi muncul
pula imaji akan seorang perempuan biadab yang tak bertanggung
jawab karena begitu saja meninggalkan anaknya yang baru saja
dilahirkannya. Bahkan, mungkin ada pula yang berpikir bahwa
Anjani hanyalah seorang perempuan lemah yang menjadi korban
karena nafsu birahi seorang dewa. Pendeknya, setiap orang pasti
mempunyai imaji berbeda, tergantung pada kisah Anjani yang
pernah dibaca, didengar, maupun ditontonnya.
Berikut ini dipaparkan kisah Anjani yang terdapat dalam
beberapa karya sastra klasik dan modern dengan harapan akan
didapatkan imaji sosok Anjani yang lebih utuh dalam berbagai versi.
Yosephin Apriastuti Rahayu adalah staf ahli Pustaka Artati Universitas Sanata Dharma
serta pengajar bahasa Indonesia dan Jawa di Wisma Bahasa. Alamat korespondensi: Jl.
STM Pembangunan 6A, Mrican, Yogyakarta, 552281
E-mail: simbok@gmail.com
143
144 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
2
Kira-kira tujuh bulan sebelum Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya naik takhta.
146 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Namun, akhirnya Subali dan Sugriwa tahu rahasia itu dari emban-
nya, Jembawan. Mereka pun sangat ingin memiliki cupu manik itu.
Sang resi pun kaget mendengar permintaan kedua putranya karena
merasa tak pernah memberikan apa pun kepada Añjani. Maka
dipanggilnya Añjani untuk ditanyai dari mana asal cupu manik itu.
Pada awalnya, Añjani tidak mau mengakui bahwa cupu manik itu
ada padanya. Dia sangat takut kepada ibunya. Akan tetapi, setelah
sang resi mengatakan bahwa siapa pun yang berbohong akan hancur,
musnah tak berbekas, Añjani mengatakan yang sebenarnya. Cupu
manik itu lantas diserahkan kepada sang resi. Dari tutup cupu itu
sang resi pun tahu siapa pemiliknya. Dipanggilnya Windradi dan
disuruhnya mengaku dari mana asal cupu manik itu. Windradi
sangat malu dan tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun di
hadapan sang resi. Setelah mengulang pertanyaannya sampai tiga
kali, sang resi tak bisa bersabar lagi. Windradi yang diam saja itu
dikatakannya seperti tugu. Seketika itu juga Windradi berubah
menjadi tugu batu. Añjani dan kedua adiknya menangisi ibunya
yang tak bergerak lagi. Añjani memohon kepada sang resi untuk
mengampuni dosa ibunya dan meruwatnya agar menjadi manusia
kembali. Akan tetapi, sang resi malahan membuang tugu batu itu
hingga jatuh di hutan Alengka. Sang resi berkata bahwa ibunya yang
telah menjadi tugu itu akan menjadi senjata sakti para kera kelak
pada saat perang besar melawan para raksasa. Pada saat itulah
ibunya akan terbebas. Sementara itu, sangatlah sulit menentukan
siapa yang berhak atas cupu manik Asthagina. Karenanya, sang
resi melemparkan cupu manik itu ke udara. Siapa yang berhasil
menangkapnya, dialah yang berhak mendapatkannya. Añjani dan
kedua adiknya segera mengejar cupu manik itu. Tentu saja Añjani
tertinggal jauh dari kedua adiknya. Cupu manik itu akhirnya jatuh
ke hutan, menjadi telaga Sumala. Tutupnya terlontar ke dalam puri
di Ayodya, menjadi telaga Nirmala. Subali dan Sugriwa segera
menceburkan diri ke telaga Sumala dengan maksud mendapatkan
cupu manik itu. Bukannya cupu manik yang mereka dapatkan,
melainkan seluruh badan yang berubah menjadi kera. Añjani pun
tak luput dari mala petaka itu. Wajahnya yang telah dibasahi dengan
air telaga Sumala itu pun berubah menjadi wajah kera. Pun pula
tangan dan kakinya ditumbuhi bulu panjang dan lebat serupa bulu
kera. Mereka bertiga segera menghadap sang resi memohon
pembebasan. Sang resi meminta mereka bertapa. Subali harus ber-
tapa seperti keluang (ngalong), Sugriwa seperti kijang (ngidang), dan
Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 147
___________________________________________________________________________________
3
Manikam ini adalah hasil persetubuhan Rama dan Sita ketika mereka menjadi kera.
Karena tidak mau melahirkan anak kera, Rama menyuruh inang pengasuhnya mengurut
Sita. Kerongkongan Sita disogok dan diurut naik. Sita muntah-muntah dan dari mulutnya
keluarlah sebuah manikam. Manikam itu dibungkus oleh Rama dengan daun budi.
Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 149
___________________________________________________________________________________
Manikam itu diberikannya kepada Bayu Bata untuk dimasukkan ke mulut Anjani yang
sedang bertapa di tengah laut.
4
Daun jati malela adalah kehidupan sejati yang warnanya putih, dan di dalamnya
terkandung baja hitam yang melambangkan senjata sakti dan tekad bulat untuk
meluhurkan dunia dan membasmi angkara murka (Sindhunata, 1995:44).
150 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
7. Penutup
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa imaji tentang sosok
Anjani sangatlah beragam, tergantung kapan, oleh siapa, dan untuk
apa kisah Anjani digubah. Ada yang menggambarkan Anjani se-
bagai orang yang jujur, tabah, dan tekun dalam bertapa. Ada pula
yang menggambarkan Anjani sebagai orang yang mudah putus asa.
Dalam hal hamil dan melahirkan Hanuman pun, Anjani digambar-
kan dengan berbagai cara. Ada yang menggambarkan Anjani se-
bagai “wadah” saja, ada yang menempatkan Anjani pada posisi
yang cukup tinggi, ada pula yang melukiskan turut aktif men-
ciptakan “kehidupan baru”.
152 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Naskah:
Cantakaparwa, koleksi Gedong Kirtya Singaraja, nomor IVa. 389/7.