Anda di halaman 1dari 10

AÑJANI:

DARI SASTRA KLASIK KE SASTRA MODERN

Yosephin Apriastuti Rahayu1

ABSTRAK Kisah Añjani sebagai ibu Hanuman terdapat dalam berbagai karya sastra,
baik sastra klasik maupun sastra modern. Imaji atas tokoh ini sangatlah beragam sangatlah
beragam, tergantung kapan, oleh siapa, dan untuk apa kisah Añjani digubah. Tulisan ini
bertujuan memaparkan kisah Añjani dalam beberapa karya sastra klasik seperti Kapiparwa,
Serat Arjunasasrabau Sindusastran, dan Hikayat Seri Rama, serta karya sastra modern
seperti Anak Bajang Menggiring Angin dan Di Pinggir Telaga Madirda. Dengan demikian
akan didapatkan imaji yang lebih utuh tentang tokoh Añjani dalam berbagai versi.
KATA KUNCI sastra klasik, sastra modern, imaji

1. Pengantar
Perempuan buruk berwajah kera dengan kaki serta tangan
berbulu panjang dan lebat serupa bulu kera. Barangkali itulah imaji
yang terlintas dalam benak kita manakala kita mendengar nama
Anjani. Atau barangkali akan muncul imaji seorang perempuan yang
sangat sakti karena kedahsyatannya dalam bertapa. Bisa jadi muncul
pula imaji akan seorang perempuan biadab yang tak bertanggung
jawab karena begitu saja meninggalkan anaknya yang baru saja
dilahirkannya. Bahkan, mungkin ada pula yang berpikir bahwa
Anjani hanyalah seorang perempuan lemah yang menjadi korban
karena nafsu birahi seorang dewa. Pendeknya, setiap orang pasti
mempunyai imaji berbeda, tergantung pada kisah Anjani yang
pernah dibaca, didengar, maupun ditontonnya.
Berikut ini dipaparkan kisah Anjani yang terdapat dalam
beberapa karya sastra klasik dan modern dengan harapan akan
didapatkan imaji sosok Anjani yang lebih utuh dalam berbagai versi.

2. Añjani dalam Kapiparwa


Kapiparwa (KP) terdapat dalam teks Cantakaparwa (CP) yang
dikompilasi antara paroh kedua abad ke-14 hingga 1839 M. KP
merupakan bagian terakhir dari CP. Dalam teks CP tidak terdapat

Yosephin Apriastuti Rahayu adalah staf ahli Pustaka Artati Universitas Sanata Dharma
serta pengajar bahasa Indonesia dan Jawa di Wisma Bahasa. Alamat korespondensi: Jl.
STM Pembangunan 6A, Mrican, Yogyakarta, 552281
E-mail: simbok@gmail.com

143
144 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________

informasi apa pun mengenai siapa kompilatornya. Yang jelas, CP


merupakan kumpulan berbagai kisah yang ditulis dalam Bahasa
Jawa Kuna, di antaranya kisah tentang Karna, Sutasoma, Suprasena,
dan KP. KP mengisahkan perkawinan para bhagawan dengan para
widadari yang menurunkan sejumlah kera. Kisah tentang Anjani dan
kedua adiknya, Subali dan Sugriwa, juga terdapat dalam bagian ini
(Ensink, 1967:8-14).
Dikisahkan, Bhagawan Jamadagni dianugerahi oleh Bhaga-
wan Pulaha, seorang gadis bernama sang Dewanī. Mereka mem-
punyai seorang anak perempuan bernama Añjani. Sang Dewanī selalu
melakukan puja-samadi. Batara Suryalah keinginan jiwanya. Pada
akhirnya keduanya bertemu dan berolah asmara. Tak lama kemudian,
Dewanī melahirkan Sang Bāli. Sang Dewanī tidak pernah lupa akan
pujasamadinya. Kemudian Batara Indra datang menginginkannya.
Añjani menyaksikan semua itu, lalu menangislah dia. Sang batara
berusaha menenangkannya dengan memberinya manik asthagina.
Añjani pun diam. Batara Indra kemudian berolah asmara dengan
sang Dewanī. Maka, lahirlah Sugriwa yang berwajah mirip dengan
Bāli, seperti saudara kembar. Pada suatu hari Añjani bermain-
main dengan manik asthagina itu. Bāli dan Sugriwa melihatnya.
Mereka pun menginginkan manik asthagina itu. Añjani tidak mau
memberikannya meskipun dipaksa oleh kedua adiknya itu. Kedua
adiknya mengira bahwa manik asthagina itu adalah milik ayah dan
ibunya. Ternyata itu pemberian dewa. Mengertilah sang bhagawan.
Disuruhnya ketiga anaknya mandi dengan air amerta. Jika bukan
miliknya, manik asthagina itu hendaknya dikembalikan kepada
pemiliknya. Dan ketiga anaknya itu, jika benar-benar anaknya, akan
tetap menjadi manusia. Akan tetapi, jika bukan anaknya, mereka
akan berubah menjadi kera. Ternyata, setelah mandi dengan air
amerta, semua berubah menjadi kera. Menangislah mereka di hadapan
sang bhagawan. Mereka kemudian disuruh bertapa. Sang Bāli harus
bertapa di Gunung Malaya dengan cara tidak makan, membisu, dan
tidak tidur. Sugriwa bertapa di Angganala dengan cara menengadah
setahun, menunduk setahun. Sementara itu, Añjani harus bertapa
dengan cara yang sangat sulit. Daun yang jatuh di depannya saja
yang boleh dimakannya. Konon, Sang Parameśwara sedang berkasih-
kasihan dengan sang Ghorī. Setetes maninya jatuh di atas daun
kendal. Daun itu terbawa angin dan sampailah di hadapan Añjani.
Dimakannya daun itu, lalu Añjani pun hamil dan melahirkan seekor
kera putih yang dinamainya Hanuman (CP 236b-238a).
Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 145
___________________________________________________________________________________

3. Añjani dalam Serat Arjunasasrabau Sindusastran


Serat Arjunasasrabau (SAS) karya Sindusastra adalah salah satu
dari sekian banyak karya sastra Jawa Baru yang mengisahkan Arjuna
Sasrabau dalam bentuk tembang macapat. SAS digubah atas
perintah Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya yang tak lain
adalah Kangjeng Sinuhun Paku Buwana VII. Pada waktu itu Sindu-
sastra bekerja sebagai abdi dalem carik di Kapurbayan.
Kangjeng Gusti Pangran Adipati, Purubaya nagri Surakarta,
mangun wasita karsane, aluraning luluhur, … winangun ing
sarkara …kang kinen mangapus, Hangabehi Sindusastra …
(Sindusastra, 1930: 3)
Terjemahan
‘Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya di Negara
Surakarta, keinginannya menggubah cerita, silsilah para
leluhur, … digubah dalam tembang dhandhanggula … yang
disuruh menggubah, Hangabehi Sindusastra …’
SAS digubah di Surakarta pada hari Rabu Pon, tanggal 28,
bulan Jumadilawal, tahun Jimawal (Rebo Epon panitraning manis,
Jumadilawal Jimawal warsa, enjang ping wolu likure), 1245 Hijriyah
(Ijrah nabi sewu, rong atus wandasa gangsal) dengan sengkalan
wiku misik swara tunggil, yakni tahun 1757 Jawa atau 1829 Masehi.2
Sindusastra menggunakan Serat Kanda sebagai sumber cerita. Adapun
Serat Kanda itu digubah pada zaman Kartasura. Bisa dikatakan
bahwa Sindusastra hanyalah menyadur, tidak menciptakan cerita baru
(Poerbatjaraka, 1954:155-156).
Konon ada seorang resi yang sangat tekun bertapa, bernama
Resi Gotama. Sang resi jatuh cinta kepada seorang apsari dari surga,
bernama Windradi. Mereka pun akhirnya menikah. Sebenarnya, se-
belum menikah dengan sang resi, Windradi telah memadu kasih
dengan Dewa Surya. Hubungan itu ternyata tetap berlangsung,
hingga Windradi mempunyai tiga orang anak, Añjani, Subali, dan
Sugriwa. Sang resi tidak pernah sedikit pun curiga kepadanya.
Añjani memiliki cupu manik Asthagina pemberian ibunya. Konon
cupu manik itu berasal dari Dewa Surya. Dengan memiliki cupu
manik itu, Añjani bisa mendapatkan apa pun yang diinginkannya.
Segala isi dunia, samudra, maupun surga dapat dilihat di dalam
cupu manik itu. Añjani harus merahasiakannya dari siapa pun.

2
Kira-kira tujuh bulan sebelum Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Purbaya naik takhta.
146 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________

Namun, akhirnya Subali dan Sugriwa tahu rahasia itu dari emban-
nya, Jembawan. Mereka pun sangat ingin memiliki cupu manik itu.
Sang resi pun kaget mendengar permintaan kedua putranya karena
merasa tak pernah memberikan apa pun kepada Añjani. Maka
dipanggilnya Añjani untuk ditanyai dari mana asal cupu manik itu.
Pada awalnya, Añjani tidak mau mengakui bahwa cupu manik itu
ada padanya. Dia sangat takut kepada ibunya. Akan tetapi, setelah
sang resi mengatakan bahwa siapa pun yang berbohong akan hancur,
musnah tak berbekas, Añjani mengatakan yang sebenarnya. Cupu
manik itu lantas diserahkan kepada sang resi. Dari tutup cupu itu
sang resi pun tahu siapa pemiliknya. Dipanggilnya Windradi dan
disuruhnya mengaku dari mana asal cupu manik itu. Windradi
sangat malu dan tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun di
hadapan sang resi. Setelah mengulang pertanyaannya sampai tiga
kali, sang resi tak bisa bersabar lagi. Windradi yang diam saja itu
dikatakannya seperti tugu. Seketika itu juga Windradi berubah
menjadi tugu batu. Añjani dan kedua adiknya menangisi ibunya
yang tak bergerak lagi. Añjani memohon kepada sang resi untuk
mengampuni dosa ibunya dan meruwatnya agar menjadi manusia
kembali. Akan tetapi, sang resi malahan membuang tugu batu itu
hingga jatuh di hutan Alengka. Sang resi berkata bahwa ibunya yang
telah menjadi tugu itu akan menjadi senjata sakti para kera kelak
pada saat perang besar melawan para raksasa. Pada saat itulah
ibunya akan terbebas. Sementara itu, sangatlah sulit menentukan
siapa yang berhak atas cupu manik Asthagina. Karenanya, sang
resi melemparkan cupu manik itu ke udara. Siapa yang berhasil
menangkapnya, dialah yang berhak mendapatkannya. Añjani dan
kedua adiknya segera mengejar cupu manik itu. Tentu saja Añjani
tertinggal jauh dari kedua adiknya. Cupu manik itu akhirnya jatuh
ke hutan, menjadi telaga Sumala. Tutupnya terlontar ke dalam puri
di Ayodya, menjadi telaga Nirmala. Subali dan Sugriwa segera
menceburkan diri ke telaga Sumala dengan maksud mendapatkan
cupu manik itu. Bukannya cupu manik yang mereka dapatkan,
melainkan seluruh badan yang berubah menjadi kera. Añjani pun
tak luput dari mala petaka itu. Wajahnya yang telah dibasahi dengan
air telaga Sumala itu pun berubah menjadi wajah kera. Pun pula
tangan dan kakinya ditumbuhi bulu panjang dan lebat serupa bulu
kera. Mereka bertiga segera menghadap sang resi memohon
pembebasan. Sang resi meminta mereka bertapa. Subali harus ber-
tapa seperti keluang (ngalong), Sugriwa seperti kijang (ngidang), dan
Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 147
___________________________________________________________________________________

Añjani seperti katak (nyanthuka). Menurut sang resi, mereka memang


harus menjalani kehidupan seperti itu karena ada tugas besar yang
harus mereka emban (Sindusastra, 1931:3-9).
Bertahun-tahun lamanya Añjani bertapa di pinggir telaga
Madirda. Tiada berkain, hanya berselimutkan rambutnya yang
panjang. Daun kering yang jatuh di hadapannya dan embun yang
menetes di bibirnya, itulah yang menjadi santapannya. Batara Guru
pun mendatanginya untuk mengabulkan permintaannya. Malang
bagi Añjani, Batara Guru tak bisa menahan birahinya. Dikibaskan-
nya kama yang keluar itu dengan tangannya. Kama itu jatuh di atas
daun asam yang kemudian terbawa angin dan jatuh di hadapan
Añjani. Dimakannya daun asam yang telah tercampur kama Batara
Guru itu. Tak lama kemudian, Añjani pun hamil. Tahu bahwa diri-
nya hamil tanpa suami, Añjani sangatlah berduka. Betapa malu
Añjani dengan keadaannya sekarang. Serasa ingin mati saja. Semua
yang telah dia lakukan seperti tak ada artinya. Bukannya kebebasan
yang diperoleh, melainkan rasa malu akibat kehamilannya. Konon,
tibalah saatnya Añjani melahirkan seekor kera putih, Anoman
namanya. Para apsari segera menyambut kelahirannya. Dan pada
saat itu juga, terbebaslah Añjani dari mala petaka yang telah me-
nimpanya. Ia telah kembali seperti wujudnya semula. Para apsari
pun membawanya ke surga dan dimuliakanlah dia sebagai seorang
bidadari (Sindusastra, 1932:9-15).

4. Añjani dalam Hikayat Seri Rama


Hikayat Seri Rama (HSR) adalah salah satu karya sastra
berbahasa Melayu yang mengisahkan riwayat Rama dan Sita. Tidak
ada informasi yang jelas mengenai waktu penggubahan HSR. Akan
tetapi, dari catatan kaki salah satu naskah yang dipakai sebagai
dasar suntingan Ikram, yaitu naskah Laud Or. 291, diketahui bahwa
HSR digubah sebelum tahun 1633 M. Konon, naskah ini tergolong
naskah Melayu tertua (Ikram, 1980:72).
Alkisah, ada seorang begawan bernama Gutama, menikah
dengan Dewi Indera. Anjani adalah anak pertama mereka. Begawan
Gutama sangat tekun bertapa. Hari-harinya dihabiskannya dengan
bertapa. Setelah beberapa saat sang begawan bertapa, istrinya pergi
ke Keinderaan untuk menemui dewa dan bermukah dengannya.
Sekembalinya dari Keinderaan, sang istri hamil, lalu melahirkan
seorang anak laki-laki rupawan. Anak itu diberi nama Balia. Sejak
148 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________

semula, Anjani mengetahui perselingkuhan yang dilakukan ibunya.


Anjani pun tahu bahwa ibunya mendapatkan hadiah cumbul manik
Astagina dari raja para dewa. Anjani meminta hadiah itu. Ibunya
bersedia memberikan hadiah itu dengan syarat Anjani tidak boleh
mengatakan segala perbuatan ibunya itu kepada ayahnya. Anjani
pun tidak boleh memberikan hadiah itu kepada Balia. Anjani me-
nyetujuinya. Suatu hari sang begawan pergi ke gunung. Pada waktu
itu Dewi Indera pun bermukah dengan seorang anak raja, lalu hamil
dan melahirkan seorang anak laki-laki tampan bernama Sugriwa.
(HSR, 1938:118-119).
Pada suatu waktu, Anjani bermain-main dengan manik Asta-
gina. Balia melihatnya, lantas berpikir bahwa ibunya pilih kasih.
Balia pun mendatangi Anjani untuk meminjam manik Astagina itu.
Meskipun telah diminta berkali-kali, manik Astagina itu tak hendak
diberikan. Balia merampasnya dari tangan Anjani. Namun, Anjani
berhasil merebutnya kembali lalu menelannya. Setelah itu, Anjani
mengatakan sebuah rahasia tentang Balia dan Sugriwa bahwa
mereka bukanlah anak Begawan Gutama. Mendengar pernyataan
Anjani, Begawan Gutama menyuruh Anjani mengatakan yang se-
benarnya, siapa bapak kedua adiknya itu. Dengan jujur, Anjani
mengatakan bahwa ibunya telah berselingkuh. Begawan Gutama
sangat marah. Dipanggilnya Dewi Indera dan disuruhnya mengakui
perbuatannya. Dewi Indera tak mau mengakuinya. Untuk mem-
buktikan apakah kedua anak itu benar-benar anaknya atau bukan,
Begawan Gutama menyuruh mereka mandi di sebuah kolam. Jika
memang mereka benar-benar anaknya, mereka akan berwajah se-
perti dewa. Namun, jika mereka bukan anaknya, mereka akan
berubah menjadi kera. Seketika itu juga kedua anak laki-laki itu
berubah wujud menjadi kera. Begawan Gutama pun menceraikan
Dewi Indera. Karena rasa dendamnya, Dewi Indera mengutuk
Anjani bahwa mulutnya akan ternganga selama seratus tahun. Saat
itu juga, mulut Anjani pun ternganga. Karena rasa malu yang amat
sangat, Anjani pergi ke tengah laut dan bertapa di atas jarum. Ia
berdiri di atas jarum itu seratus tahun lamanya. Pada akhir masa
tapanya, Bayu Bata menerbangkan sebuah manikam3 yang berasal

3
Manikam ini adalah hasil persetubuhan Rama dan Sita ketika mereka menjadi kera.
Karena tidak mau melahirkan anak kera, Rama menyuruh inang pengasuhnya mengurut
Sita. Kerongkongan Sita disogok dan diurut naik. Sita muntah-muntah dan dari mulutnya
keluarlah sebuah manikam. Manikam itu dibungkus oleh Rama dengan daun budi.
Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 149
___________________________________________________________________________________

dari Rama dan Sita, lalu memasukkannya ke mulut Anjani. Seketika


itu juga hamillah Anjani. Tak lama sesudah itu, genapkah masa
bertapanya. Anjani kembali ke rumahnya, namun bapak dan ibunya
sudah tak di sana lagi. Pada suatu hari baik, tepatnya Hari Jumat
saat tengah hari, Anjani melahirkan bayi kera berwarna putih,
Hanuman namanya.

5. Anjani dalam Anak Bajang Menggiring Angin


Anak Bajang Menggiring Angin (ABMA) adalah sebuah novel
karya Sindhunata yang sangat terkenal. Novel tersebut memapar-
kan kisah Ramayana dengan bahasa yang sangat indah dan penuh
kiasan. ABMA terdiri atas delapan bagian. Kisah tentang Anjani
terdapat pada bagian kedua. Kisah yang ditampilkan Sindhunata
kurang lebih sama dengan kisah Anjani dalam SAS dan dalam
wayang. Adapun perbedaannya antara lain sebagai berikut. Anjani
bukanlah anak sulung, melainkan anak bungsu resi Gotama. Nama
kedua kakaknya adalah Guwarsa dan Guwarsi. Batara Guru jatuh
cinta kepada Anjani ketika melihat Anjani bertapa. Dalam suara gaib
Batara Guru menyuruh Anjani makan ron jati malela4 yang akan
membuatnya hamil dan melahirkan seorang anak yang sangat diha-
rapkan dunia. Ketika Anjani makan daun itu, dia merasa me-
nyenyam rasa cinta yang tertinggi. Kebahagiaan yang tak terkira pun
dirasakannya. Pada waktu melahirkan, Anjani tidak melahirkan
seorang bayi, tetapi seberkas sinar ilahi (teja). Sinar ilahi inilah yang
kemudian menjadi bayi dalam rupa seekor kera berbulu putih
seputih kapas. Itulah Anoman.

6. Anjani dalam Di Pinggir Telaga Madirda


Di Pinggir Telaga Madirda (DPTM) adalah bagian kedua dari
sebuah prosa lirik bertemakan Anjani, karya Linus Suryadi AG.
Bagian ini mengisahkan pergulatan hidup Anjani dalam bertapa di
pinggir Telaga Madirda. DPTM dimuat dalam jurnal kebudayaan
Kalam edisi ke-12 tahun 1998 dan dipentaskan di LIP pada tanggal
10 dan 11 Februari 1999.

Manikam itu diberikannya kepada Bayu Bata untuk dimasukkan ke mulut Anjani yang
sedang bertapa di tengah laut.
4
Daun jati malela adalah kehidupan sejati yang warnanya putih, dan di dalamnya
terkandung baja hitam yang melambangkan senjata sakti dan tekad bulat untuk
meluhurkan dunia dan membasmi angkara murka (Sindhunata, 1995:44).
150 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________

Linus Suryadi AG memodifikasi kisah Anjani sedemikian


rupa dengan menggunakan berbagai ekspresi yang sarat dengan
kultur Jawa. Hal yang sangat menarik dan perlu dicermati dari
DPTM ini adalah bahwa dalam tapanya Anjani benar-benar me-
lakukan persetubuhan dengan Siwa. Satu hal yang tak mungkin
dilakukan oleh siapa pun yang sedang bertapa.
“Lihat”, ujar Bethara Siwa,
“Saya tak memberi daun sinom
seperti fantasi para dalang
yang pintar nyanggit bahasa lambang
untuk membungkus sebuah kejadian.
Saya pun tak memberi ron jati malela
seperti kata pendeta Sindhunata
yang tangkas memainkan imajinasi
untuk kejadian yang mustahil dia alami.
Tapi memang, saya suka main cinta
untuk berbagi rasa dalam ada
membagi benih Tirta Amerta
denganmu, putri Resi Gotama.”
(Linus Suryadi AG, 1998:88)

Setelah itu, Anjani pun menari-nari, membayangkan dirinya sebagai


bidadari.
“Lihat”, ujar Anjani yang mesem
sambil terus ngigal dan goyang
gerak-geriknya kaya mentok berjalan
badan condong dan pinggul ke belakang,
ia pun nembang Asmaradana lagi:
“Saya tak mendapat daun sinom
lambang dan fantasi para dalang
buah sanggitan pujangga Jawa
yang jenaka tapi elok berkumandang.
Juga tidak ron jati malela
lambang dan fantasi Bethara Siwa
buah riset dan angan Resi Sindhunata
bagi harapan dan mimpi hidup sempurna.
Tapi memang, saya digrumut Siwa
untuk berbagi rasa dalam ada
kebagian benih Tirta Amerta
denganmu, penguasa Tri-buwana.”
(Linus Suryadi AG, 1998:91)
Rahayu, Añjani: Dari Sastra Klasik ke Sastra Modern 151
___________________________________________________________________________________

7. Penutup
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa imaji tentang sosok
Anjani sangatlah beragam, tergantung kapan, oleh siapa, dan untuk
apa kisah Anjani digubah. Ada yang menggambarkan Anjani se-
bagai orang yang jujur, tabah, dan tekun dalam bertapa. Ada pula
yang menggambarkan Anjani sebagai orang yang mudah putus asa.
Dalam hal hamil dan melahirkan Hanuman pun, Anjani digambar-
kan dengan berbagai cara. Ada yang menggambarkan Anjani se-
bagai “wadah” saja, ada yang menempatkan Anjani pada posisi
yang cukup tinggi, ada pula yang melukiskan turut aktif men-
ciptakan “kehidupan baru”.
152 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pustaka. 1938. Hikajat Seri Rama. Batavia-C: Balai Poestaka.


Ensink, J. 1967. “On The Old-Javanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma”.
VKI 54. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Ikram, Achadiati. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat
dan Struktur. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1954. Kapustakan Djawi. Jakarta/ Amsterdam: Penerbit
Djambatan. Cetakan kedua.
Sindhunata. 1995. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Cetakan keempat.
Sindusastra, R. Ng. 1930-1932. Arjunasasrabau. Betawi Sentrem: Bale Pustaka.
Suryadi AG, Linus. 1998. “Di Pinggir Telaga Madirda” dalam Kalam 12.

Naskah:
Cantakaparwa, koleksi Gedong Kirtya Singaraja, nomor IVa. 389/7.

Anda mungkin juga menyukai