Anda di halaman 1dari 69

Awatara

By:
Agung
Dhananjaya(01)
Ayu Sri W. (06)
Beliana Puspita (09)
Yudha (15)
Inten Kusuma(18)
Trisia Andayani(30)
Widya Suari (31)
Yani(34)

Daftar Isi
Pengertian
Awatara
1. Matsya
2. Kurma
3. Waraha
4. Narasimha
5. Wamana

6.
Parasuram
a
7. Rama
8. Kresna
9. Buddha
10. Kalki

Awatara
Awatara adalah inkarnasi dari TuhanYang Maha
Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha
Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia,
mengambil suatu bentuk dalam dunia material,
guna menyelamatkan dunia dari kehancuran
dan kejahatan, menegakkan dharma dan
menyelamatkan orang-orang yang
melaksanakan Dharma/Kebenaran.
Dalam Bhagawadgita, salah satu kitab suci
agama Hindu selain Weda, Kresna sebagai
perantara Tuhan Yang Maha Esa bersabda:

Yad yad hi dharmasya glnir bhavati bhrata


abhyutthnam adharmasya tadtmanam srjmy
aham paritrnya sdhnm vinya ca duskrtm
dharma samsthpanarthya sambavmi yuge
yuge
(Bhagavad-gt, 4.7-8)
Artinya:
Manakala kebenaran merosot dan kejahatan
merajalela,
Pada saat itulah aku akan turun menjelma ke
dunia,
Wahai keturunan bharata (Arjuna).
Untuk menyelamatkan orang-orang saleh
Dan membinasakan orang jahat
Dan menegakkan kembali kebenaran,
Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman.

Agama Hindu mengenal adanya Dasa


Awatara. Dasa Awatara adalah sepuluh
Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan
material Dewa Wisnu dalam misi
menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara,
sembilan diantaranya diyakini sudah pernah
menyelamatkan dunia, sedangkan satu di
antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara),
masih menunggu waktu yang tepat (konon
pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia.
Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum
dalam sebuah kitab yang disebut Purana.

Matsya Awatara
Matsya (Sansekerta: ; matsya berarti ikan)
adalah awatara Wisnu yang pertama, yang
muncul pada masa Satyayuga, pada masa
pemerintahan Raja Satvabrata (lebih dikenal
sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra
Wiwaswan, dewa matahari. Matsya Awatara
turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja
Manu mengenai bencana air bah yang akan
melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja
Manu untuk segera membuat bahtera besar.

Dalam kitab Matsyapurana diceritakan, pada suatu


hari, saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal
sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di
sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya
dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta
perlindungan. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai
tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun
ikan tersebut bertambah besar, hampir
memenuhi seluruh kolam. Akhirnya beliau
memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih
besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulangulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan
yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.

Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan


tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Ikan
itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi
akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat
selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja
membuat sebuah bahtera besar untuk
menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi
bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup
yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina
dan jantan), serta membawa obat-obatan,
makanan, dan bibit segala macam tumbuhan. Ikan
tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir
besar tiba, diharapkan agar Saptaresi (tujuh nabi)
dibawa serta dan bahtera tersebut diikat ke tanduk
sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya

Seratus tahun kemudian, kekeringan


yang hebat melanda bumi. Banyak
makhluk yang mati kelaparan.
Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh
macam awan yang dengan hebatnya
mencurahkan hujan lebat. Dengan
cepat, air yang dicurahkan menutupi
daratan di bumi. Oleh karena
Waiwaswata Manu sudah membuat
bahtera sesuai dengan petunjuk
yang disampaikan awatara Wisnu,
maka ia beserta pengikutnya
selamat dari bencana.

Kurma
Kurma (Sansekerta: ; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua
dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul
pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut
bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor
kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau
Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan
tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para
Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk
laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang
bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan
para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan
memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut
dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung
tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta
amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.

Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan


asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung
Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta
amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup
menjadi abadi. Terdapat sebuah gunung bernama
Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa
(Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana.
Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga
beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari
Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut
Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut.
Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa
yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu,
menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh
menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.

Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit


lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki
puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak
melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa,
rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara
dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para
Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan
rakshasa memegang kepalanya.Naga Basuki
menyemburkan bisa membuat pihak asura dan
rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil
awan mendung yang kemudian mengguyur para
asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di
gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya
membuat lautan Ksira mengental, pemutaran
Gunung Mandara pun makin diperhebat.

Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut


Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh
segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian
meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru
dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha:
tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi,
binatang, dan harta karun muncul, yaitu:
Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
Apsara, kaum bidadari kahyangan
Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
Uccaihsrawa, kuda para Dewa
Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan
keinginan
Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
Airawata, kendaraan Dewa Indra
Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran

Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi


tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak
mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa
tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura
dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik
mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para
asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan
ke tempat asalnya, Sangka Dwipa. Melihat tirta amerta
berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu
memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali.
Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi
seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini.
Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan
rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan
kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar
terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta
kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita
tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi
Dewa Wisnu.

Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah.


Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan
asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama
dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran
dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan
senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para
asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang
langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta
amerta berada di pihak para Dewa. Para Dewa
kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa
Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta
sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang
merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika
mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya
menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta.

Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan


Chandra, yang kemudian melaporkannya
kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian
mengeluarkan senjata chakranya dan
memenggal leher sang rakshasa, tepat
ketika tirta amerta sudah mencapai
tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati,
namun kepalanya masih hidup karena tirta
amerta sudah menyentuh tenggorokannya.
Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya
dan Chandra, dan bersumpah akan
memakan mereka pada pertengahan bulan.

Waraha
Waraha (Sanskerta: ; Varha) adalah awatara
(penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang
berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa
Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai
Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam
kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada
seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa
Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya
(raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan
Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik,"
suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.

Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu


menjelma menjadi babi hutan yang memiliki
dua taring panjang mencuat dengan tujuan
menopang bumi yang dijatuhkan oleh
Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang
dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar
karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka
terjadilah pertempuran sengit antara
raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu.
Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun
yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun
pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang
menang.

Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau


mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan
dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan
kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada
orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi
Pertiwi dalam wujud awatara tersebut. Waraha
Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang
membawa planet bumi dengan kedua taringnya
dan meletakkannya di atas hidung, di depan
mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia
berkepala babi hutan, dengan dua taring
menyangga bola dunia, bertangan empat,
masing-masing membawa: cakra, terompet dari
kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.

Nama lain
Bhuwaraghan
Waraghan
Warha
Yagnawaraha
Sreewaraham
Adhiwaraha

Narasinga
Narasinga (Devanagari: ;
disebut juga Narasingh, Nrasiha)
adalah awatara
(inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang
turun ke dunia, berwujud manusia
dengan kepala singa, berkuku tajam
seperti pedang, dan memiliki banyak
tangan yang memegang senjata.
Narasinga merupakan simbol dewa
pelindung yang melindungi setiap

Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman


Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura
(raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci
segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu,
dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada
orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun
yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh
oleh Waraha, awatara Wisnu. Agar menjadi sakti, ia
melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya
memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah
Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan
permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia
diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak
akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak,
dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain.

Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan


bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak
bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak
bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa
dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa
dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar
permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon
berkah, para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra,
menyerbu rumahnya. Narada datang untuk
menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa,
bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah,
anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik
oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman,
menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan
diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.

Wamana
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: ; Vmana)
adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa
Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang
Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan
kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (
Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali
telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu
Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi
hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan
sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa
payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama
Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap,
meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadangkadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."

Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab


Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab,
Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana
Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali
mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan
hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar
tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana
yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu
pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul
di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua.
Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh
Bali. Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga
jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja
Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya
. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.

Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar


dan terus membesar. Dengan ukurannya yang
sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan
bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia
menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia
menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena
tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali
menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah
kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan
kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar
Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan
menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.

Kisah Wamana Awatara dan Raja Bali


diperingati setiap tahun pada
perayaan Onam di Kerala (India). Di
sana juga terdapat kuil yang khusus
memuja beliau (Wamana). Selain di
sana, beberapa kuil Wamana
tersebar di India, salah satunya di
Kanchipuram, dekat kuil Kamakshi.

ParasuRama
Parasurama (Sanskerta: ,;Parashurma Bhrgava)
atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu,
adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam ajaran
agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama
bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya
adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi
Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang
keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini
banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain
sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu
sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia
sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama
putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria
tersebut.

Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni,


seorang resi keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun
terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir
Jamadagni memberi nama putranya itu Rama.Sewaktu
muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri,
yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena
kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan
Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu
marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putraputranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia
menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan
mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak,
putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada
yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin
marah dan mengutuk mereka menjadi batu.

Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas


ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah
kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan
sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara
lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima
Renuka kembali, serta mengembalikan keempat
kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa
bangga dan memenuhi semua permintaan
Parasurama. Pada zaman kehidupan Parasurama,
ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum
kesatria yang gemar berperang satu sama lain.
Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang
seharusnya berperan sebagai pelindung kaum
lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu
raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak
dan panah milik Rama putra Jamadagni.

Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis


seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan
telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah
merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara
pengorbanan suci di suatu tempat bernama
Samantapancaka. Penyebab khusus mengapa
Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria
adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya
bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi
milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh
raja tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya,
anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam
dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian
Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci
Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.

Rama
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: ; Rma) atau
Ramacandra (Sansekerta: ; Rmacandra) adalah seorang
raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada
zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia
berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut
pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang
ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan
kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah
sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari
Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera
sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia
dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya
"Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan
sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi
Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.

Kresna
Kresna atau Krishna (Dewanagari: ; dilafalkan ka
menurut IAST; dilafalkan 'k .n dalam bahasa Sanskerta)
adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu
karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut
pula Nryana, yaitu sebutan yang merujuk kepada
perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha.
Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda
yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam
Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan
tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita). Dalam
Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara
Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang
paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi
Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala
awatara (termasuk Wisnu).[2]

Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari


Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan
kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam
wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh
raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam
kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara
kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran
kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia
mampu menampakkan secercah kemahakuasaan
Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada
waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung.
Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan
Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat
secara langsung, melainkan melalui mata batin
mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.

Buddha
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana
(Susastra Hindu) sebagai Awatara kesembilan dari Dasa awatara
Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai
Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima awatara Wisnu. Kata
Buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan". Buddha Awatara
terlahir sebagai putera mahkota Raja Suddhodana di sebuah kerajaan
Hindu bernama Kapilawastu di India Utara (sekarang merupakan
wilayah kerajaan Nepal) dengan nama Siddharta Gautama yang
berarti "Dia yang mencapai segala hasratnya".
Namun ajaran Siddhartha Gautama tidak menekankan keberadaan
"Tuhan sang Pencipta" [1] dan konsekuenskinya, agama Buddha
termasuk bagian dari salah satu mazhab nstika (heterodoks,
harafiah "Itu tidak ada") menurut mazhab-mazhab agama Dharma
lainnya, seperti Dvaita. Namun beberapa mazhab lainnya, seperti
Advaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk
maupun filsafatnya.[

Kalki
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (
Sanskerta: ; Jepang: )
(juga disalin sebagai Kalkin dan
Kalaki) adalah awatara kesepuluh
dan awatara (inkarnasi) terakhir
Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang
akan datang pada akhir zaman
Kaliyuga (zaman kegelapan dan
kehancuran).

Kata Kalki seringkali merupakan suatu


kiasan dari keabadian atau masa. Asal
mula nama tersebut diperkirakan berasal
dari kata Kalka yang bermakna kotor,
busuk, atau jahat dan oleh karena itu
"Kalki" berarti Penghancur kejahatan,
Penghancur kekacauan, "Penghancur
kegelapan", atau Sang Pembasmi
Kebodohan. Dalam bahasa Hindi, kalki
avatar berarti inkarnasi hari esok.

Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan


dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di
mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul.
Penggambaran yang umum mengenai Kalki
Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang
mengendarai kuda putih (beberapa sumber
mengatakan nama kudanya Devadatta
(anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda
bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang
digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan
menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan
kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.

Salah satu sumber yang pertama kali


menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana,
yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta
sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah
Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian
Trimurti, dan merupakan penengah yang
mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran
sesuatu. Kalki juga muncul di salah satu dari 18
kitab Purana yang utama, Agni Purana. Kitab
purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah
Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana,
bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.

Anda mungkin juga menyukai