Anda di halaman 1dari 17

TUGAS AGAMA HINDU

AWATARA DEWA WISNU

OLEH :
NAMA

: A.A.NGR. FRADY CAKRANEGARA

KELAS

: VII.4

NO.ABSEN

: 19

SMP NEGERI 7 DENPASAR

2015Matsya Awatara

Matsya Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang
menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang maha
besar. Dalam kitab Matsyapurana diceritakan, pada suatu hari, saat Raja Satyabrata
(yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan
kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan.
Akhirnya beliau memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat
tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir
memenuhi seluruh kolam. Beliau memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih
besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar
bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan
penjelmaan Dewa Wisnu. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan
terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar
sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar,
dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya
berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, dan
bibit segala macam tumbuhan. Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir
besar tiba, diharapkan agar Saptaresi (tujuh nabi) dibawa serta dan bahtera tersebut

diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan
seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk
yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang dengan
hebatnya mencurahkan hujan lebat. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi
daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai
dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya
selamat dari bencana.

Kurma Awatara

Kurma Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu
dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di Lautan
Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha (Air suci
kehidupan). Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri
yang terdapat dalam Kitab Adiparwa.
Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang
di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air
suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nryana (Wisnu)
bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera
(Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu,
kerjakanlah!". Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nryana, berangkatlah para
Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung
Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana.
Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah
mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai
tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa
yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung
tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa
Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas.

Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan
menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan
para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya
demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala,
Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu
Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan
rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya
membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun
tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum
racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila:
biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun
muncul, yaitu:
Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur
Apsara, kaum bidadari kahyangan
Kostuba, permata yang paling berharga di dunia
Uccaihsrawa, kuda para Dewa
Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan
Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi
Airawata, kendaraan Dewa Indra
Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran
Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para
Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak
mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta
menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa
dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.
Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu
memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah
wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik
tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat
dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya,

mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita
tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu,
para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa
dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak samasama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan
senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian
mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta
berada di pihak para Dewa.
Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana
mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang
merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian
ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal
tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya
kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan
memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai
tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta
amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya
dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.

Waraha Awatara

Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait
dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam. Menurut mitologi Hindu, pada
zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik
raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa
hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat
antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang
memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan
oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung
lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara
raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun
yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Setelah Beliau memenangkan
pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya
yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada
orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi
dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala
dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola
dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang
(sangkakala), teratai, dan gada.

Narasimbha Awatara

Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa
(Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang sangat lalim dan
menindas Adharma. Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga
(zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu
membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang
apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang
lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya
memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul
dan mengabulkannya. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan
ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma,
Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi
yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai
manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan
tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga
berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh
oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia
dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di

luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di
pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Makna dari cerita
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan
ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek,
melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga
seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga
merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India,
Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan
dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha
menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni
pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama
dan Kresna.

Wamana Awatara

Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil
berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha Raja Bali yang sombong
dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak Dharma.
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari:

; Vmana) adalah awatara

Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa,
seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan
memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada.
Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun
tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara
dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung.
Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil
bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadangkadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita
dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada
saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah
dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana
yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang

Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana


tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan
langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia
menyuruh Brahmana kecil itu melangkah. Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut
membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu
melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak
surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena
tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu,
tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana
memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada
Manwantara berikutnya.

Parasurama Awatara

Parasu Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Rama Parasu
yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari
ajaran Dharma. Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu
membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain
berupa busur panah yang besar luar biasa. Lukisan Parasurama yang sedang
memotong seribu lengan Raja Arjuna
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah
kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit
menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak
terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena
kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni. Konon Parasurama bertekad untuk
menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah
mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun
mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka.
Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra.

Rama Awatara
Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk
menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka. Dalam
agama Hindu, Rama (Sanskerta: ; Rma) atau Ramacandra (Sansekerta: ; Rmacandra) adalah seorang
raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau
Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan
awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya
yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan
sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang
sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan
sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan
Lawa.
Asal-usul nama "Rama"
Rm dalam kitab Regweda dan Atharwaweda adalah kata sifat yang berarti "gelap, hitam", atau kata benda yang
berarti "kegelapan", bentuk feminim dari kata sifat tersebut adalah rm. Dalam Wisnu sahasranama, Rama adalah
nama lain Wisnu yang ke-394. Dalam interpretasi dari komentar Adi Sankara, yang diterjemahkan oleh Swami
Tapasyananda dari Misi Ramakrishna, Rama memiliki dua pengertian: 1) Brahman yang maha kuasa yang
menganugerahkan para yogi; 2) Ia (Wisnu) yang meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama, putera
Dasarata.
Ayah Rama adalah Raja Dasarata dari Ayodhya, sedangkan ibunya adalah Kosalya. Dalam Ramayana diceritakan
bahwa Raja Dasarata yang merindukan putera mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut
Putrakama Yadnya. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar
diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putera.
Yang tertua bernama Rama, lahir dari Kosalya. Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kekayi, dan yang terakhir
adalah Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putera yang gagahgagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Resi Wasista
Cerita hidup Rama tertuang dalam epos Ramayana yang merupakan salah satu bagian dari Itihasa yang diyakini
oleh umat hindu dan merupakan sebuah epos yang menginspirasi masyarakat secara luas. Banyak terkandung nilainilai luhur yang tersirat dalam cerita tersebut. Ada baiknya kita menonton atau setidaknya membaca kisah ini.

Krishna Awatara
risna Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda
dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak Dharma..
Kresna atau Krishna (Dewanagari: ; dilafalkan kr s n a menurut IAST; dilafalkan 'k .n dalam bahasa Sanskerta)
adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia
disebut pula Nryana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di
Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya

dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita).
Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai
Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai
sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).[2]
Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan
sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana,
sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan
ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang
hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut
adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui
mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.
Asal usul nama "Krishna"
Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk
menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit
gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil
Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat
raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit
cerah.
Kehidupan Sang Kresna
Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan
Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah
negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita
merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.
Penitisan
Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam
Bhagawatapurana:
Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah
sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan
kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan
mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu.

Kitab Mahabharata yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun
dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.
Kelahiran
Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa
Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[5]
Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki,
dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni,
Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan
kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki
termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke
penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah
satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua

putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera
ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh
orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu,
Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra
(putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai
Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka,
termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain
ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua.
Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka
masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri
bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari
berbagai wujud Dewi Laksmi.
Bharatayuddha dan Bhagawad Gita
Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia
menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan
dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar.
Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.
Kehidupan di kemudian hari
Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus
di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna Baladewa
melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di
bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa
kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata,
kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya
menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah
mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya
adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.
Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100
SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam
Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah
itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga.
Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007
sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kaliyuga.[7]
Hubungan keluarga
Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu
yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan
Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan
musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.

Buddha Awatara
Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta
Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha
dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana.
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai Awatara kesembilan
dari Dasa awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari
dua puluh lima awatara Wisnu. Kata Buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan". Buddha Awatara terlahir
sebagai putera mahkota Raja Suddhodana di sebuah kerajaan Hindu bernama Kapilawastu di India Utara (sekarang
merupakan wilayah kerajaan Nepal) dengan nama Siddharta Gautama yang berarti "Dia yang mencapai segala
hasratnya".
Namun ajaran Siddhartha Gautama tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" [1] dan konsekuenskinya,
agama Buddha termasuk bagian dari salah satu mazhab nstika (heterodoks, harafiah "Itu tidak ada") menurut
mazhab-mazhab agama Dharma lainnya, seperti Dvaita. Namun beberapa mazhab lainnya, seperti Advaita, sangat
mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya.[2]
Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan
kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang
menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang siasia dan tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk memulihkan keseimbangan.
Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ketujuh
sebelum Masehi (2400 tahun yang lalu). Ayahnya sangat menginginkan dia menjadi Maharaja Dunia, namun
pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa anaknya akan menjadi
Buddha karena melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan Pertapa Suci atau Pertapa. Keempat hal
tersebut selalu berusaha ditutupi olah ayahnya. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan
pertapa suci dilihat oleh Siddharta.
Namun Siddharta memang sudah ditakdirkan untuk menjadi Buddha. Ramalan pertapa Kondanna menjadi
kenyataan. Keinginan Siddharta untuk menjadi Buddha terlintas ketika ia melihat empat hal tersebut. Keempat hal
tersebut pula yang membuka pikirannya untuk mencari obat penawarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi
pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajarannya, namun semuanya tidak membuat
Siddharta puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya pada
malam Purnama Sidhi bulan Waisak.

Kalki Awatara
alki Awatara yaitu penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan,
pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut
keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya pertentangan-pertentangan agama di
dunia ini.
Dalam ajaran Agama Hindu, Kalki (Sansekerta: ; Jepang: ) (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki)
adalah awatara kesepuluh dan Maha Avatra (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang
pada akhir zaman Kali Yuga ini (zaman kegelapan dan kehancuran).

Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari keabadian atau masa. Asal mula nama tersebut diperkirakan
berasal dari kata Kalka yang bermakna kotor, busuk, atau jahat dan oleh karena itu "Kalki" berarti Penghancur
kejahatan, Penghancur kekacauan, "Penghancur kegelapan", atau Sang Pembasmi Kebodohan. Dalam bahasa
Hindi, kalki avatar berarti inkarnasi hari esok.
Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa
Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang
mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta (anugerah Dewa) dan dilukiskan
sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan
menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah
masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu
bagian Trimurti, dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga
muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki
adalah Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul

Anda mungkin juga menyukai