Anda di halaman 1dari 1

Samudramantana 

(Dewanagari:
समद्र
ु मन्थन; IAST: Samudramanthana) atau Ksirasagaramantana (Dewanagari:
क्षीरसागरमन्थन; IAST: Kṣirasāgaramanthana) merupakan salah satu cerita mitos agama Hindu yang
tercatat dalam beberapa kitab-kitab Purana, serta tersisipkan di dalam naskah Adiparwa, kumpulan
pertama dari 18 kitab Mahabharata. Samudramanthana merupakan istilah bahasa Sanskerta yang
secara harfiah berarti "pengadukan samudra", sedangkan Kṣirasāgaramanthana berarti
"pengadukan lautan susu" (kṣirasāgara adalah nama lautan susu dalam mitologi Hindu).[1]
Berdasarkan salah satu sumbernya, yaitu kitab Mahabharata, maka dapat diketahui bahwa cerita ini
berlatar belakang agama Hindu dan merupakan bagian dari pengaruh kebudayaan yang diadopsi
dari India. Kisah ini menguraikan upaya para dewa dan asura (raksasa, detya, danawa) dalam
memperoleh air keabadian, atau "tirta amerta" dari pengadukan samudra susu, melalui proses yang
mirip dengan cara pembuatan mentega tradisional, yaitu mengaduk-aduk cairan krim susu.
Selain di India, kisah ini terkenal di lingkungan kerajaan-kerajaan yang dipengaruhi budaya Hindu,
seperti Kerajaan Khmer di Kamboja, kerajaan-kerajaan Jawa Kuno di Indonesia, serta
kerajaan Thailand. Terdapat relief rendah yang besar dan indah menggambarkan Samudramantana
pada dinding candi Angkor Wat. Terdapat pula mastaka atau kemucak candi berupa replika adegan
Samudramantana di Trowulan, Majapahit. Pada masa kini adegan Samudramantana juga terwujud
dalam bentuk patung di Bandara Suwarnabhumi, Bangkok, Thailand.
Menurut kepercayaan Hindu, kisah Samudramantana terjadi di "Ksirasagara" (lautan susu), suatu
tempat dalam kosmologi Hindu yang mengelilingi benua Kraunca (Krauncadwipa).[1] Kisah ini
berawal dari perseteruan para dewa dan asura (raksasa, detya, danawa) untuk memperoleh air suci
"tirta amerta" yang dapat memberikan keabadian bagi siapa saja yang
meminumnya. Wisnu menyarankan para dewa dan asura agar mereka bekerja sama untuk
mendapatkan amerta, alih-alih berseteru. Ia pun memimpin kaum dewa dan asura untuk
melilitkan nāga raksasa Basuki pada gunung Mandara, lalu memindahkan gunung tersebut ke
samudra, sebagai tongkat pengaduk. Supaya gunung Mandara tidak tenggelam, maka Wisnu
berubah wujud menjadi Kurma, yaitu kura-kura raksasa untuk menopang gunung Mandara. Wisnu
memerintahkan para asura untuk memegang bagian pangkal tubuh Basuki, sementara para dewa
memegang bagian ekornya. Akibatnya para asura terkena bisa yang keluar dari mulut Basuki.
Meskipun demikian, para dewa maupun para asura tetap bekerja sama menarik tubuh Basuki
dengan gerakan seperti menarik tambang, untuk menggoyang gunung Mandara, sehingga samudra
susu teraduk.
Dari dalam adukan ini muncullah racun berbahaya yang disebut Halahala. Racun ini demikian
berbahaya sehingga dapat memusnahkan alam semesta. Wisnu membujuk Siwa untuk membantu,
maka Siwa menelan racun ini dan menyelamatkan jagat raya. Istri Siwa, yaitu Parwati membantu
menekan leher Siwa agar racun tidak lolos keluar. Karena hal itu, leher Siwa berubah menjadi biru,
sehingga muncul julukan Siwa sebagai Nilakanta (dari bahasa Sanskerta: nila= biru; kantha= leher).

Anda mungkin juga menyukai