Anda di halaman 1dari 26

Aksara Lontara

Introduction
Sejarah
Media
Penggunaan
Penggunaan kontemporer

Kerancuan
Bentuk
Aksara dasar
Diakritik
Tanda baca
Diakritik pemati

Sandi
Contoh teks
Perbandingan dengan
aksara Makassar
Blok unicode
Galeri
Lihat pula
Rujukan
Daftar pustaka

Pranala luar

Aksara Lontara
Koleksi digital
Naskah digital
Lainnya
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Lainnya
Unicode Bahasa Bugis Tanda baca

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lontara
ᨒᨚᨈᨑ

Jenis aksara Abugida


Bahasa Bugis, Makassar, Mandar, Bima (dengan modi kasi), Ende (dengan modi kasi)
Periode Abad 17 hingga sekarang
Silsilah Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Abjad Proto-Sinai
Abjad Fenisia
Abjad Aramea
Aksara Brahmi

Dari aksara Brahmi diturunkanlah:


Aksara Pallawa
Aksara Kawi
Lontara

Aksara kerabat Bali

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Batak
Baybayin
Buhid
Hanunó'o
Jawa
Kulitan
Lampung
Makassar
Rejang
Rencong
Sunda Kuno
Tagbanwa
Arah penulisan Kiri-ke-kanan
ISO 15924 Bugi, 367
Nama Unicode Buginese
Rentang Unicode U+1A00–U+1A1F
Artikel ini memuat simbol fonetik IPA. Tanpa dukungan multibahasa, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter
Unicode. Untuk panduan pengantar tentang simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.

Aksara Lontara, juga dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru adalah salah satu aksara
tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan
Makassar, namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima
di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modi kasi.[1] Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India
melalui perantara aksara Kawi.[2] Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan
setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara
ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam
kehidupan sehari-hari.

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Aksara Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan
merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah
penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua)
dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara
Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan
konteks.

Sejarah
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang
signi kan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Lontara menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf
Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[3] Aksara ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan,
kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.[2][4][5] Kesamaan gra s aksara-
aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara
kedua aksara tersebut.[6] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatra Selatan,
Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari pengaruh purwarupa aksara Gujarat, India.[7]

Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-
aksara tersebut adalah aksara Makassar (atau aksara Jangang-Jangang), Lontara, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya,
keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang
menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.
[8]

Media
Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Teks umum ditulis dengan
tinta lokal menggunakan rusuk daun palem atau kallang (kalam) yang terbuat dari batangan buluh.[9] Terdapat pula beberapa

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
naskah beraksara Lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan
tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan
menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Namun demikian, media ini hanya ditemukan pada beberapa contoh saja;
sastra beraksara Lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.[10] Selain kertas, aksara Lontara juga dapat ditemukan pada
benda-benda tertentu sebagai bagian dari seni terapan, misal pada cap[11] dan kerajinan perak.[12]

Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh B. F. Matthes. Matthes
dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan
tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di
Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam,
sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan
beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar dan Bugis, dengan font Lontara yang
digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi
model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian
menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara Lontara yang
awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.[13]

Penggunaan
Secara tradisional, aksara Lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi
beraksara Lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa Bugis, diikuti oleh bahasa Makassar, kemudian bahasa Mandar yang
materinya paling sedikit. Masyarakat Toraja yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara Lontara karena
tradisi sastra Toraja mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskah asli.[14] Aksara Lontara yang sedikit dimodi kasi juga
digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti
bahasa Bima di Sumbawa timur dan bahasa Ende di Flores.[15]

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Gulungan lontar Bugis episode I La Galigo dalam koleksi Naskah kertas episode I Catatan harian Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Naskah Kutika m
Tropenmuseum La Galigo dalam koleksi atau lontara' bilang. Makassar penanggalan
Universitas Leiden Salah satu baris
berbelok-belok

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang
berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara'
untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik
tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibagi ke dalam
beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (attoriolong
dalam bahasa Bugis, patturioloang dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah
masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[16] Dibandingkan dengan catatan-
catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu
yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif
sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan
realistis.[17][18] Meskipun begitu, catatan sejarah seperti attoriolong Bugis dan patturiolong Makassar tidak terlepas dari fungsi
politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.[19]

Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa
dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.[20] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
(Bugis: arung, Makassar: karaeng), atau perdana menteri (Bugis: tomarilaleng, Makassar: tumailalang). Buku harian semacam ini
umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis
akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong,
namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati
segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak
terputus.[20] Salah satu peninggalan catatan harian beraksara Lontara dalam koleksi publik adalah satu volume catatan harian
Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22 Kerajaan Boné, berkuasa 1775–1812 M) yang ia isi sendiri antara 1 Januari 1775 M
hingga 1795 M.[21]

Salah satu sastra puitis yang umum ditemukan dalam naskah lontara adalah epos Bugis I La Galigo (ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ, dikenal pula
dengan nama Sure' La Galigo ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri
dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episode
cerita yang merentang hingga beberapa generasi karakter, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari
segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu kesatuan yang koheren. Apabila disatukan, keseluruhan I La Galigo dapat
mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastra terpanjang di dunia.[22] Konvensi puitis dan alusi
Galigo kemudian melahirkan pula genre puisi tolo', yang menggabungkan kesejarahan genre lontara' dengan bentuk puitis Galigo.
[23]

Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa,
azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.[24] Naskah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran abjad Jawi untuk
istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih
diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara
Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di Sengkang yang mempublikasikan berbagai teks Islami
dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan
jumlah publikasi beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara
Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan
aksara Lontara sepenuhnya.[25]

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Penggunaan kontemporer
Dalam ranah kontemporer, aksara Lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an
dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Namun bukti-bukti anekdotal mensugestikan bahwa
metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi
masyarakat akan aksara Lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara Lontara
dan mengenal beberapa huruf, namun jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan
yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara Lontara umumnya terbatas pada generasi tua yang kadang masih
menghasilkan teks Lontara untuk tujuan pribadi.[26][27] Salah satunya misal Daeng Rahman dari desa Boddia, Galesong (sekitar 15
km di selatan kota Makassar), yang sejak tahun 1990 menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di Galesong (sebagaimana genre
kronik attoriolong/patturioloang) dalam catatan beraksara Lontara yang pada tahun 2010 mencapai 12 buku.[28] Teks Lontara yang
isinya tidak dapat dibaca oleh pemiliknya kadang dikeramatkan, meski substansi isinya seringkali tidak sebanding dengan
romantisasi pemilik teks tersebut. Saat sejarawan William Cummings sedang meneliti tradisi penulisan sejarah Makassar,
misalnya, sebuah keluarga (yang semua anggotanya buta aksara Lontara) menuturkan padanya mengenai naskah warisan
beraksara Lontara milik keluarga yang selama ini tidak berani mereka buka. Namun, ketika naskah tersebut akhirnya
diperbolehkan untuk dilihat, ternyata isinya tidak lebih dari bon pembelian kuda.[29]

Kerancuan
Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata
tertutup meskipun bahasa Bugis dan Makassar yang kerap menggunakan aksara Lontara memiliki banyak kata dengan suku kata
tertutup. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan
aksara Lontara, sehingga kata seperti sara (kesedihan), sara' (menguasai), dan sarang (sarang) semuanya akan ditulis sebagai sara
ᨔᨑ dalam aksara Lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan ᨅᨅ dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: baba, baba', ba'ba,
ba'ba', bamba, dan bambang.[30]

Mengingat bahwa penulisan aksara Lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Papan nama beraksara Lontara Museum Balla Lompoa, Gowa

konsisten, naskah beraksara Lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui
konteks. Pembaca teks Lontara memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan
untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.[31][32] Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul;
pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks
kalimat yang bersangkutan, sehingga penanda vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.

Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui
oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berbahasa Makassar berikut untuk mengilustrasikan
bagaimana penulisan Lontara dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi
bagian yang rancu:

Kemungkinan Cara Baca


Aksara Lontara (Bahasa Makassar)
Latin Arti
a'bétai ia menang (intransitif)
ᨕ ᨈᨕᨗ[33]
ambétai ia mengalahkan ... (transitif)
nakanréi pépé' balla' datoka api melahap sebuah klenteng
ᨊᨀ ᨕᨗ ᨅᨒᨉᨈᨚᨀ[29]
nakanréi pépé' balanda tokka' api melahap sang Belanda botak

Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di
atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk
mengintepretasikan apa yang ia baca.[30] Karena seringkali tidak memiliki informasi krusial dalam menuliskan bahasa yang
bersangkutan, beberapa penulis seperti Noorduyn menjuluki aksara Lontara sebagai "aksara defektif."[34]

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Bentuk
Aksara dasar
Aksara dasar (ina’ sure’ ᨕᨗᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, anrong lontara’ ᨕᨑᨚᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) dalam aksara Lontara
merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 23 aksara dasar dalam aksara Lontara, sebagaimana
berikut:[35]

Ina’ Sure’ atau Anrong Lontara’

ka ga nga ngka

ᨀ ᨁ ᨂ ᨃ
pa ba ma mpa

ᨄ ᨅ ᨆ ᨇ
ta da na nra

ᨈ ᨉ ᨊ ᨋ
ca ja nya nca

ᨌ ᨍ ᨎ ᨏ

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ya ra la wa

ᨐ ᨑ ᨒ ᨓ
sa a ha

ᨔ ᨕ ᨖ

Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni ngka ᨃ, mpa ᨇ, nra ᨋ, dan nca ᨏ. Keempat aksara
ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis. Namun, dalam
praktik penulisan tradisional Bugis-pun, keempat aksara ini seringkali tidak dipakai dengan konsisten, bahkan oleh juru tulis
profesional.[36]

Diakritik
Diakritik (ana’ sure’ ᨕᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, ana’ lontara’ ᨕᨊᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) adalah tanda yang melekat
pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 5 diakritik dalam aksara Lontara,
sebagaimana berikut:[35]

Ana’ Sure’ atau Ana’ Lontara’

-i -u -é[1] -o -e[2]

Nama Bugis tetti’ riase’ tetti’ riawa kecce’ riolo kecce’ rimunri kecce’ riase’
Nama Makassar ana’ i rate ana’ i rawa ana’ ri olo ana’ ri boko (anca’)

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
na ni nu né no ne (nang)

ᨊ ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨚ ᨊᨛ
Catatan
^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"

^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"

Bahasa Makassar tidak memiliki bunyi pepet (e sebagaimana dalam kata "empat", /ə/ dalam representasi IPA), sehingga diakritik
kecce’ riase’ Bugis tidak diperlukan dalam penulisan bahasa Makassar. Namun begitu, juru tulis Makassar kadang memanfaatkan
ulang diakritik ini untuk menandakan bunyi nasal akhir /-ŋ/ dalam teks berbahasa Makassar dan dikenal dengan nama anca’.[37]

Tanda baca
Teks tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara
Lontara diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: pallawa dan tanda pengakhir bagian. Pallawa berfungsi seperti titik atau
koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat.
Tanda baca ini dapat ditemukan dalam semua naskah beraksara Lontara. Tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah
teks ke dalam satuan yang menyerupai bab, namun penggunaannnya hanya teratestasi dalam lembar contoh aksara Bugis yang
diproduksi Percetakan Nasional Prancis (Imprimerie Nationale) pada tahun 1990 M.[35][38]

Tanda Baca

pallawa akhir bagian

᨞ ᨟

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Sumber kontemporer kadang juga mengikutsertakan ekivalen aksara Lontara untuk tanda baca Latin seperti koma, titik dua, titik
koma, tanda seru, dan tanda tanya. Namun tanda-tanda bacaan tersebut merupakan rekaan kontemporer yang tidak pernah
ditemukan dalam naskah tradisional.[35]

Diakritik pemati
Aksara Lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak memiliki diakritik pemati (virama) atau penanda sejenis yang mematikan
vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja mengikuti pelafalan kata yang
bersangkutan. Tidak adanya diakritik pemati asli merupakan salah satu alasan utama banyaknya kerancuan dalam teks Lontara
standar. Namun begitu, varian aksara Lontara yang digunakan untuk menulis bahasa Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores
diketahui memiliki diakritik pemati asli yang telah digunakan dalam tradisi tulis Bima-Ende sejak masa pra-kemerdekaan.[39][40]
Diakritik pemati Bima-Ende ini tidak diserap balik ke dalam penulisan Bugis-Makassar sehingga Lontara standar Bugis-Makassar
tetap tidak memiliki diakritik pemati hingga masa modern.[40]

Lontara Bugis-Makassar baru bereksperimen dengan rekaan diakritik pemati pada abad 21 M, umumnya sebagai upaya untuk
memudahkan pengajaran aksara Lontara dalam kurikulum muatan lokal dan untuk memudahkan penulisan tepat bahasa
Indonesia serta istilah asing. Pada tahun 2003, penulis Djirong Basang tercatat menyarankan tiga diakritik baru untuk aksara
Lontara: diakritik pemati (virama), hentian glottal, dan nasal.[35] Sejak itu, Anshuman Pandey mencatat adanya tiga macam
alternatif virama yang pernah diusulkan dalam sejumlah publikasi mengenai Lontara Bugis-Makassar hingga tahun 2016.[39]
Namun begitu, tidak semua pihak menyetujui usulan penambahan diakritik pemati dalam aksara Lontara, dan usulan ini juga tidak
memiliki status resmi maupun konsensus umum sehingga bentuk diakritik antar pihak bisa jadi kontradiktif.[39][41][42] Satu hal yang
pasti ialah diakritik pemati tidak pernah muncul dalam konteks penggunaan tradisional dan naskah historis nyata Bugis-
Makassar.[31]

Diakritik pemati

Rekaan Modern Bugis/Makassar


Virama
Bima/Ende[39] Virama Virama Virama Hentian
Nasal[35]
Alt.1[39] Alt.2[35] Alt.3[39] Glottal[35]

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
n na' nang

Sandi
Aksara Lontara memiliki versi sandi bernama Lontara Bilang-bilang yang kadang digunakan dalam sastra Bugis untuk fungsi
spesi k penulisan basa to bakke', semacam teka-teki permainan kata, serta élong maliung bettuanna, puisi dengan makna
tersembunyi yang memanfaatkan basa to bakke'. Dalam sandi ini, tiap aksara dasar dalam Lontara standar digantikan dengan
bentuk-bentuk yang diturunkan dari abjad dan angka Arab. Diakritik tidak diubah dan digunakan sebagaimana dalam Lontara
standar, namun menempel pada aksara dasar yang bentuknya telah disandikan. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi abjad
Arab yang tercatat pernah digunakan di wilayah Pakistan-Afghanistan. Prinsip dasar dari sandi ini adalah pengalihan atau
subtitusi huruf Arab menjadi stilisasi angka dari nilai masing-masing huruf berdasarkan sistem bilangan abjad Arab. Dalam versi
Lontara Bilang-bilang, beberapa huruf untuk bunyi Arab yang tidak digunakan dalam bahasa Bugis dihilangkan, sementara huruf-
huruf untuk bunyi yang muncul dalam bahasa Melayu dan Bugis ditambahkan melaui prinsip subtitusi yang sama.[40][44]

Contoh teks
Berikut adalah cuplikan permulaan attoriolong Kerajaan Boné (naskah NBG 101 koleksi Universitas Leiden) yang ditulis dalam
bahasa Bugis. Bagian ini mengisahkan legenda tomanurung ("ia yang turun") yang mengawali munculnya kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan.[45] Alih aksara dan terjemahan bebas diadaptasi dari Macknight, Paeni & Hadrawi (2020).[46]

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Tabel sandi lontara bilang-bilang beserta ekivalen lontara standarnya sebagaimana dicatat oleh Matthes[43]

Aksara Lontara[47] Alih aksara Latin[48] Terjemahan bebas[49]


ᨕᨗᨕᨁ ᨄᨘᨈᨊᨕᨑᨘ ᨙᨕ᨞ᨑᨗᨁᨒᨗᨁᨚ᨞ Ia garé’ puttana arung ménré’é| Konon katanya terdapat raja-raja (arung),
ᨊᨑᨗᨕᨔᨛᨕᨑᨘ᨞ᨕᨁᨈᨛᨊᨔᨗᨔᨛᨈᨕᨘ ᨞ᨔᨗᨙᨕᨓᨕᨉ᨞ riGaligo| dé’na riaseng arung| dahulu pada [zaman kisah La] Galigo, tetapi
ᨔᨗᨕ ᨅ ᨆᨊᨗᨈᨕᨘ ᨞ᨔᨗᨕᨅᨛᨒᨗᨅᨛᨒᨗᨕ᨞ ᨊᨕᨉᨛ᨞ Aga tennassiseng tauwé| siéwa kemudian tiada lagi yang digelari raja. Sebab tak
ᨕᨄᨁᨗᨔᨗᨕᨑᨗᨕᨔᨛ ᨅᨗᨌᨑ᨞ᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨗᨄᨗᨈᨘᨈᨘᨑᨛᨊᨗ᨞ ada| Sianré-balémani tauwé| tahu lagi orang-orang bagaimana caranya

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ᨕᨗᨈᨊ᨞ ᨕᨑᨘ᨞ᨔᨗᨀᨘᨓᨈᨚᨊᨗᨑᨚ᨞ᨕᨗᨈᨊ᨞ Siabelli-belliang| Dé’na bertukar kata satu sama lain. Orang-orang
ᨈᨕᨘ ᨈᨛᨔᨗᨔᨛᨔᨗᨙᨕᨓᨕᨉ᨞ᨈᨛ ᨕᨉᨛ᨞ᨈᨛᨀᨛᨅᨗᨌᨑ᨞ ade’|apa’gisia riasengngé bicara| saling memakan satu sama lain seperti ikan.
Riasengngi pitu-tturenni| Saling menjual satu sama lain [sebagai budak].
ittana| dé’ arung| Sikuwa toniro| Tiada lagi aturan adat, apalagi hukum.
ittana| tauwé tessise-ssiéwa Tersebutlah tujuh turunan lamanya tiada raja.
ada| tekké ade’| tekké bicara| Selama ini pula orang-orang tiada lagi dapat
bertukar kata, tiada adat, tiada hukum.
Naiamani ammulanna| nangka
arung| Engka séuwa esso| Beginilah permulaan adanya raja-raja. Konon
nasianré billa’é| letté| péwattoni pada suatu hari, kilat dan guntur saling makan
ᨊᨕᨗᨕᨆᨊᨗᨕᨆᨘᨒᨊ᨞ᨊᨃᨕᨑᨘ᨞ᨕᨛᨃ ᨕᨘᨓᨕᨛᨔᨚ᨞ tanaé| Riasengngi| engkai sipasa [=bersahutan-sahutan], tanah berguncang,
ᨊᨔᨗᨕ ᨅᨗᨒᨙᨕ᨞ᨒᨛ ᨞ ᨓᨈᨚᨊᨗᨈᨊᨙᨕ᨞ᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨗ᨞ makkua| Naia pajana billa’é| konon sepekan lamanya seperti ini. Begitu usai
ᨕᨛᨃᨕᨗᨔᨗᨄᨔᨆᨀᨘᨕ᨞ᨊᨕᨗᨕᨄᨍᨊᨅᨗᨒᨙᨕ᨞ᨒᨛ ᨞ letté| péwang tanaé| takko’ seluruh kilat, guntur dan gempa, tiba-tiba
ᨓᨈᨊᨙᨕ᨞ᨈᨀᨚᨕᨛᨃᨈᨕᨘᨑᨗᨈ᨞ᨓᨚᨑᨚᨕ ᨞ engka tau rita| woroané| seseorang terlihat di tengah padang, berpakaian
ᨑᨗᨈᨛᨂᨊᨄᨉ ᨞ᨆᨔᨂᨗᨄᨘ ᨞ᨍᨍᨗᨊᨗᨔᨗᨄᨘᨒᨘᨈᨕᨘ ᨞ ritengngana padangngé| putih-putih. Berkumpullah orang-orang
ᨈ ᨓᨊᨘᨕ᨞ᨈ ᨓᨊᨘᨕ᨞ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨕᨔᨗᨈᨘᨑᨘᨔᨗ᨞ masangiputé| Jajini sipulung berdasarkan wilayah (wanua) masing-masing.
ᨑᨗᨈᨕᨘᨆᨙᨕᨁᨙᨕ᨞ᨆᨔᨛ ᨂᨗ᨞ᨈᨚᨆᨊᨘᨑᨘ᨞ tauwé| tasséwanua| Lalu disepakati oleh orang-orang seluruhnya
tasséwanua| Iana riassiturusi| untuk menggelari [orang yang tiba-tiba muncul
ritau maégaé| masengngéngngi| tersebut] tomanurung.
tomanurung|
Jajini passéuwa tangnga’| tau
maégaé| Naia nassiturusi| Jadilah orang-orang seluruhnya menyatukan
pokke’éngngi aléna| llao paham. Mereka bersepakat mengikatkan diri
ritauwéro| nasengngé mereka dengan orang yang disebut tomanurung
ᨍᨍᨗᨊᨗᨄ ᨕᨘᨓᨈᨂ᨞ᨈᨕᨘᨆᨙᨕᨁᨙᨕ᨞ᨊᨕᨗᨕᨊᨔᨗᨈᨘᨑᨘᨔᨗ᨞ tomanurung| Lattu’i koria| ini. Pergilah mereka ke arahnya. Berkata orang-
ᨄᨚᨀᨛᨙᨕᨂᨗᨕ ᨊ᨞ᨒᨕᨚᨑᨗᨈᨕᨘ ᨑᨚ᨞ Makkedani tau tebbe’é| "Iana orang kebanyakan, "Kami datang kepada
ᨊᨔᨛ ᨈᨚᨆᨊᨘᨑᨘ᨞ᨒᨈᨘᨕᨗᨀᨚᨑᨗᨕ᨞ᨆᨀᨛᨉᨊᨗᨈᨕᨘᨈᨛᨅᨛᨙᨕ᨞ mai kilaowang riko| Lamarupe’| engkau, yang diberkati. Kasihanilah kami
ᨒᨊᨆᨕᨗᨀᨗᨒᨕᨚᨓᨑᨗᨀᨚ᨞ᨒᨆᨑᨘᨄᨛ᨞ᨕᨆ ᨕᨊᨀᨛ᨞ amaséannakkeng| aja’na sebagaimana anak-anak. Janganlah menghilang.
ᨕᨍᨊᨆᨘᨕᨒᨍ᨞ᨆᨘᨈᨘᨉᨊᨑᨗᨈᨊᨆᨘ᨞ᨊᨕᨗᨀᨚᨊᨄᨚᨕᨈᨀᨛ᨞ muallajang| Mutudanna Engkau telah duduk di tanahmu. Engkau
ᨙᨕᨒᨚᨆᨘᨙᨕᨒᨚᨑᨗᨀᨛ᨞ᨊᨄᨔᨘᨑᨚᨆᨘᨊᨀᨗᨄᨚᨁᨕᨘ᨞ ritanamu| Naikona poatakkeng| jadikanlah kami budak. Kehendakmu adalah
ᨊᨆᨕᨘᨕᨊᨆᨛ᨞ᨊᨄᨈᨑᨚᨆᨛ᨞ᨆᨘ ᨕᨕᨗᨓᨗ᨞ Élo’mu élo’ rikkeng| kehendak kami. Apapun yang engkau
ᨀᨗ ᨕᨕᨗᨈᨚᨕᨗᨔᨗ᨞ ᨀᨘᨕᨆᨚᨋᨚᨆᨘᨊᨚᨆᨕᨗ᨞ Napassuromuna kipogau’| perintahkan akan kami laksanakan. Bahkan jika
ᨊᨕᨗᨀᨚᨀᨗᨄᨚᨄᨘᨕ᨞ Namau anammeng| na anak dan istri kami kau tolak, maka kami akan
patarommeng| mutéaiwi| menolak mereka juga. Jika engkau berkenan
kitéaitoisi| Rékkua monromuno menetap di sini maka engkau kami pertuan."
mai| naiko kipopuang|"

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Perbandingan dengan aksara Makassar
Bahasa Makassar pada awalnya ditulis menggunakan sebuah aksara asli Makassar sebelum berangsur-angsur tergantikan
sepenuhnya dengan aksara Lontara karena pengaruh Bugis. Kedua aksara yang berkerabat dekat ini memiliki aturan tulis yang
hampir identik, meski secara rupa terlihat cukup berbeda. Perbandingan kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana
berikut:[50]

Aksara Dasar

ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra ca ja nya nca ya ra la w

Bugis
ᨀ ᨁ ᨂ ᨃ ᨄ ᨅ ᨆ ᨇ ᨈ ᨉ ᨊ ᨋ ᨌ ᨍ ᨎ ᨏ ᨐ ᨑ ᨒ ᨓ

Makassar

Diakritik

-a -i -u -é[1] -o -e[2]

na ni nu né no ne

Bugis
ᨊ ᨊᨗ ᨊᨘ ᨊᨚ ᨊᨛ

Makassar

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Catatan
^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"

^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"

Tanda baca

pallawa akhir bagian


Bugis
᨞ ᨟
passimbang akhir bagian
Makassar

Blok unicode
Artikel utama: Bugis (blok Unicode)

Buginese[1][2]
Of cial Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1A0x ᨀ ᨁ ᨂ ᨃ ᨄ ᨅ ᨆ ᨇ ᨈ ᨉ ᨊ ᨋ ᨌ ᨍ ᨎ ᨏ
U+1A1x ᨐ ᨑ ᨒ ᨓ ᨔ ᨕ ᨖ ◌ᨗ ◌ᨘ ᨙ◌ ◌ᨚ ◌ᨛ ᨞ ᨟
Catatan
1. ^Per Unicode versi 13.0

2. ^Abu-abu berarti titik kode kosong

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Galeri

Naskah Sure' Naskah dengan Naskah Kisah Perang Dua Pangeran Bugis yang Naskah I La Galigo, koleksi Perpustakaan Nasional Naskah Kutika
Bawang, daftar kata-kata Memperebutkan Seorang Permaisuri, koleksi Indonesia
koleksi dalam bahasa Perpustakaan Kongres Amerika
Perpustakaan Makassar

Lihat pula
Bahasa Bugis
Bahasa Makassar
Bahasa Mandar
Aksara Makassar
Aksara Nusantara

Rujukan
1. ^ Tol 1996, hlm. 213, 216. 3. ^ Macknight 2016, hlm. 55.

2. ^ a b Macknight 2016, hlm. 57. 4. ^ Tol 1996, hlm. 214.


5. ^ Jukes 2014, hlm. 2.

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
6. ^ Noorduyn 1993, hlm. 567–568. 25. ^ Tol, Roger (2015). "Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a
7. ^ Miller, Christopher (2010). "A Gujarati origin for scripts of Manuscript Tradition". Journal of Islamic Manuscripts. 6: 66–90.
Sumatra, Sulawesi and the Philippines". Annual Meeting of the doi:10.1163/1878464X-00601005.
Berkeley Linguistics Society. 36 (1). 26. ^ Jukes 2014, hlm. 16–17.
8. ^ Tol 1996, hlm. 213–214. 27. ^ Macknight 2016, hlm. 66–68.
9. ^ Macknight 2016, hlm. 61. 28. ^ Jukes 2014, hlm. 12.
10. ^ Tol 1996, hlm. 217–219. 29. ^ a b Cummings, William (2002). Making Blood White: historical
11. ^ Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World transformations in early modern Makassar. Honolulu: University
of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Singapore: NUS Press. of Hawai'i Press. ISBN 9780824825133.
ISBN 9813250860. 30. ^ a b Jukes 2014, hlm. 6.
12. ^ Macknight 2016, hlm. 63–65. 31. ^ a b Tol 1996, hlm. 216–217.
13. ^ Noorduyn 1993, hlm. 537, 543–544. 32. ^ Jukes 2014, hlm. 8.
14. ^ Tol 1996, hlm. 213. 33. ^ Jukes 2014, hlm. 9.
15. ^ Tol 1996, hlm. 216. 34. ^ Noorduyn 1993, hlm. 533.
16. ^ Tol 1996, hlm. 223–226. 35. ^ a b c d e f g h Everson, Michael (05-10-2003). "Revised nal
17. ^ Cummings 2007, hlm. 8. proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS"
(PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N2633R).
18. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. xi-xii.
19. ^ Cummings 2007, hlm. 11. 36. ^ Noorduyn 1993, hlm. 544–549.

20. ^ a b Tol 1996, hlm. 226–228. 37. ^ Noorduyn 1993, hlm. 549.

21. ^ Gallop, Annabel Teh (01 January 2015). "The Bugis diary of the 38. ^ Kai, Daniel (2003-08-13). "Introduction to the Bugis Script"
(PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/03-254).
Sultan of Boné". British Library. Diakses tanggal 11 April 2020.
22. ^ Tol 1996, hlm. 222–223. 39. ^ a b c d e f Pandey, Anshuman (2016-04-28). "Proposal to encode
VIRAMA signs for Buginese" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2.
23. ^ Tol 1996, hlm. 228–230.
Unicode (L2/16-075).
24. ^ Tol 1996, hlm. 223.

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
40. ^ a b c Miller, Christopher (2011-03-11). "Indonesian and Philippine 44. ^ Tol, Roger (1992). "Fish food on a tree branch; Hidden meanings
Scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Bugis poetry". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
in Unicode". UC Berkeley Script Encoding Initiative. Leiden. 148 (1): 82-102. doi:10.1163/22134379-90003169.

41. ^ Ahmad, Abd. Aziz (2018). Prosiding Seminar Nasional Lembaga 45. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 33–34.
Penelitian Universitas Negeri Makassar: Pengembangan tanda 46. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 54, 77–78, 109–110.
baca aksara Lontara. hlm. 40-53. ISBN 978-602-5554-71-1 . 47. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 54.
42. ^ Jukes 2014, hlm. 7–8. 48. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 109–110.
43. ^ Matthes, B F (1883). Eenige proeven van Boegineesche en 49. ^ Macknight, Paeni & Hadrawi 2020, hlm. 77–78.
Makassaarsche Poëzie. Martinus Nijhoff.
50. ^ Jukes 2014, hlm. 2, Tabel 1.

Daftar pustaka
Everson, Michael (05-10-2003). "Revised nal proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS" (PDF). ISO/IEC
JTC1/SC2/WG2. Unicode (N2633R).
Jukes, Anthony (2014). "Writing and Reading Makassarese". International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast
Asia: Proceedings (dalam bahasa Inggris). LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo
University of Foreign Studies.
Tol, Roger (1996). "A Separate Empire: Writings of South Sulawesi". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The
Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.
Macknight, Charles Campbell (2016). "The Media of Bugis Literacy: A Coda to Pelras". International Journal of Asia Paci c Studies
(dalam bahasa Inggris). 12 (supp. 1): 53–71.
Macknight, Charles Campbell; Paeni, Mukhlis; Hadrawi, Muhlis, ed. (2020). The Bugis Chronicle of Bone (dalam bahasa Inggris).
Diterjemahkan oleh Campbell Macknight; Mukhlis Paeni; Muhlis Hadrawi. Canberra: Australian National University Press.
ISBN 9781760463588.
Noorduyn, Jacobus (1993). "Variation in the Bugis/Makasarese script". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam
bahasa Inggris). KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 149 (3): 533–570.

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Aksara Lontara.

Koleksi digital
Koleksi naskah British Library
Koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Koleksi acuan OXIS (Origins of Complex Society in Sulawesi)
Southeast Asia Digital Library kompilasi Northern Illinois University

Naskah digital
Buku Harian Sultan Ahmad al-Salih dari Kerajaan Boné (1775 hingga 1795) koleksi British Library no. MS 12354
Buku Harian Muhammad Ramadan, Ma'danrang dari Kerajaan Boné (1790 hingga 1800) koleksi British Library no. Or 8154
Hikayat Amir Hamzah berbahasa Makassar koleksi British Library no. Add MS 12347
I La Galigo - vol 1-12 koleksi Universitas Leiden no. NBG-Boeg 188
I La Galigo - cuplikan koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia no. NB 27A
Kumpulan puisi Tolo' Bugis koleksi British Library no. Add MS 12346
Patturiolong Galesong koleksi Hasin Daeng Jarung dari desa Boddia, Galesong. Didigitalisasi sebagai bagian dari Endagered
Archive Program oleh British Library, proyek no. EAP365

Lainnya
Proposal Unicode untuk Aksara Lontara
Proposal Unicode untuk VIRAMA (diakritik pemati) Lontara
Proposal Unicode untuk karakter tambahan dalam blok Lontara
Blog Studi Asia-Afrika British Library, topik Bugis
Artikel Lontara di situs omniglot.com

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Laman transliterasi aksara Lontara oleh Benny Lin
Unduh font aksara Lontara di Situs Saweri, Aksara di Nusantara, atau Google Noto Font

Sistem tulisan [hide]


Abjad [show]

Abugida [hide]
Assam · Bengali · Brahmi · Chakma · Cham · Dewanagari · Divehi (Dhives Akuru) · Nagari Timur ·
Gujarati · Gupta · Gurmukhī · Kaithi · Lepcha · Limbu · Manipuri (Meitei Mayek) · Mithila · Modi ·
Utara
Nagari · Nagari Timur · Nepal · Phagspa · Ranjana · Siddhaṃ · Śāradā · Soyombo · Sylheti Nagari · Takri ·
Tibet · Tokharia
Rumpun aksara Ahom · Burma · Grantha · Kadamba · Kalinga · Kannada · Kawi Kuno · Khmer · Lanna · Lao · Malayalam ·
Brahmi
Selatan Malesung · Mon · Oriya · Pallawa · Saurashtra · Sinhala · Tai Dam · Tai Le · Tamil · Telugu · Thai · Varang
Kshiti
Bali · Batak · Baybayin · Buhid · Hanunó'o · Jawa (Buda) · Kaganga (Rejang · Lampung · Rencong) ·
Keluarga Kawi
Lontara · Makassar · Sunda (Sunda Kuno) · Tagbanwa

Stenogra silabis Boyd · Penduduk asli Kanada · Ge'ez · Aksara braille Jepang · Kharosṭ hī
̣  · Meroe · Stenogra Pitman ·
Lainnya
Aksara Pollard · Sorang Sompeng · Tāna · Stenogra alami Thomas

Alfabet [show]

Ideo/Piktogram [show]

Logogram [show]

Semisilabis [show]

Silabis [show]

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Kategori

This page is based on a Wikipedia article written by contributors (read/edit).


Text is available under the CC BY-SA 4.0 license; additional terms may apply.
Images, videos and audio are available under their respective licenses.
Cover photo is available under CC BY-SA 4.0 license. Credit: Alteaven (see original le).

Enjoying Wikiwand?
Give good old Wikipedia a great new look:

Get Wikiwand

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Home About Us Press Site Map Terms Of Service Privacy Policy

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD

Anda mungkin juga menyukai