Anda di halaman 1dari 4

Nama: Marta Enjelina Simbolon

Npm: 180210229505
Mk: Historiografi Sunda
Dosen: Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum
Dr. Dra. Ellis Suryani Nani Sumarlina, MS

TUGAS!
1. Bagaimana Historiografi aksara dan Bahasa Sunda dalam tradisi naskah sunda?
Jawab: aksara yang berkembang di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-14 sampai abad
ke-18 yang pada awalnya digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda Kuno. Aksara Sunda
Kuno merupakan perkembangan dari Aksara Pallawa yang mencapai taraf modifikasi bentuk
khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah lontar pada Abad XVI. Penggunaan
Aksara Sunda Kuno dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti
yang terdapat di Astana Gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti
Kebantenan yang terdapat di Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi. Edi S.
Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuno sudah begitu lama tergeser
karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke wilayah Priangan
kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu para menak Sunda lebih banyak menjadikan
budaya Jawa sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh
kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan
dan ikon-ikon Jawa. Aksara Sunda Kuno umumnya dijumpai pada naskah-naskah berbahan
daun lontar yang tulisannya digoreskan dengan pisau. Naskah yang ditulis menggunakan
aksara ini di antaranya adalah Bujangga Manik, Sewa ka Darma, Carita Ratu Pakuan, Carita
Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, dan Carita Waruga Guru. Aksara Sunda Kuno
terdapat pada kolom 89 – 92 di dalam Table van Oud en Nieuw Indische Alphabetten (Holle,
1882). Dalam perkembangannya, Aksara Sunda Kuno tidak mempertahankan huruf-huruf
dari Aksara Kawi yang tidak digunakan dalam Bahasa Sunda Kuno. Huruf-huruf Aksara
Kawi yang punah pada Aksara Sunda Kuno yaitu:

1. Huruf konsonan; meliputi huruf kha, gha, cha, jha, ṭa (cerebral), ṭha (cerebral), ḍa
(cerebral), ḍha (cerebral), ṇa (cerebral), tha, dha, pha, bha, ṣa (cerebral), dan śa
(palatal).
2. Huruf vokal; meliputi huruf ā (a panjang), ī (i panjang), ū (u panjang), ṝ (ṛ panjang),
dan ḹ (ḷ panjang). Sebagian besar naskah maupun prasasti tidak membedakan huruf
dan tanda diakritik antara bunyi ӗ (e pepet) dengan ӧ (e pepet panjang), walaupun
demikian beberapa naskah membedakan huruf dan tanda diakritik antara bunyi ӗ
dengan ӧ.
Pada awal tahun 2000-an pada umumnya masyarakat Sunda hanya mengenal adanya satu
jenis aksara di Tatar Sunda yang disebut sebagai Aksara Sunda. Namun demikian perlu
diperhatikan bahwa setidaknya ada empat jenis aksara yang menyandang nama Aksara
Sunda, yaitu Aksara Sunda Kuno, Aksara Sunda Cacarakan, Aksara Sunda Pegon,
dan Aksara Sunda Baku. Dari empat jenis Aksara Sunda ini, Aksara Sunda Kuno dan Aksara
Sunda Baku dapat disebut serupa tetapi tak sama. Aksara Sunda Baku merupakan modifikasi
Aksara Sunda Kuno yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk
menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Modifikasi tersebut meliputi penambahan huruf
(misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan
perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).
Dalam sejarahnya, bahasa Sunda mengalami beberapa periodisasi atau perkembangan.
Perkembangan linguistik tersebut sejalan dengan perkembangan kebudayaan Sunda yang
mengalami kontak budaya dengan kebudayaan lain. Para ahli biasanya membagi periodisasi
bahasa Sunda secara garis besar menjadi dua tahap utama, bahasa Sunda Kuno dan bahasa
Sunda Modern yang ciri kebahasaannya dapat dibedakan dengan cukup jelas. Sementara itu,
menurut Hendayana (2020), perkembangan bahasa Sunda dapat dibagi menjadi tiga periode,
yaitu:

1. Bahasa Sunda Kuno (Buhun)


2. Bahasa Sunda Klasik (Peralihan)
3. Bahasa Sunda Modern (Kiwari)
Bahasa Sunda Kuno adalah nama yang diberikan bagi bentuk dialek temporal bahasa Sunda
yang ditemukan dalam prasasti-prasasti serta naskah-naskah yang dibuat sebelum abad ke-17.
Bahasa ini umumnya diyakini sebagai pendahulu bahasa Sunda yang digunakan di zaman
sekarang. Berdasarkan tataran sintaksis, morfologi, serta leksikonnya, bahasa Sunda Kuno
sedikit banyak menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan bahasa Sunda Modern.
Bahasa ini lazimnya digunakan di Kerajaan Sunda pada masa pra-Islam yang dituliskan pada
naskah dari berbagai media, seperti daun lontar, gebang, dan daluang. Bahasa ini digunakan
dalam berbagai bidang, seperti bidang keagamaan, kesenian, kenegaraan, dan sebagai alat
komunikasi sehari-hari.
Bahasa Sunda Kuno kebanyakan ditulis menggunakan aksara Sunda Kuno dan aksara Buda,
selain itu, beberapa naskah berbahasa Sunda Kuno juga ada yang ditulis menggunakan aksara
Kawi. Contoh naskah-naskah yang menggunakan bahasa Sunda Kuno di antaranya adalah:

1. Carita Parahyangan
2. Sewaka Darma
3. Sanghyang Siksa Kandang Karesian
Bahasa Sunda Klasik atau bahasa Sunda Peralihan adalah bahasa transisi yang
menjembatani bahasa Sunda Kuno dengan bahasa Sunda Modern. Bahasa ini merupakan
perkembangan selanjutnya dari bahasa Sunda Kuno setelah runtuhnya Kerajaan
Sunda pada tahun 1579. Runtuhnya Kerajaan Sunda bersamaan dengan menguatnya
pengaruh Islam yang merasuk ke dalam wilayah orang Sunda. Kosakata bahasa Sunda Klasik
dipengaruhi kuat oleh bahasa Arab, kemudian bahasa Melayu, serta mulai
munculnya tingkatan bahasa yang diadopsi dari kebudayaan monarki bercorak Islam. Bahasa
ini digunakan pada abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19 terutama dalam bidang agama
dan pemerintahan. Sistem penulisan bahasa Sunda Klasik pada awalnya memakai aksara
Sunda Kuno dengan model bentuk yang lazim ditemukan dalam naskah-naskah, tetapi seiring
berjalannya waktu, sistem penulisan bahasa Sunda Klasik mulai mengadopsi aksara-aksara
asing seperti abjad Pegon dari abjad Arab, Cacarakan dari Hanacaraka, serta alfabet
Latin yang disesuaikan dengan fonologi bahasa Sunda.[9] Naskah yang ditulis
dalam Cacarakan berbentuk puisi yang berjenis guguritan dan wawacan, yakni puisi yang
digubah dalam bentuk dangding atau lagu, memiliki aturan gurulagu, guruwilangan,
dan gurugatra dalam setiap pada 'bait' dan padalisan 'baris'. Sementara itu, naskah-
naskah dalam abjad Pegon sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab dan bahasa Melayu serta
ditulis dalam bentuk syair atau puisi pupujian.
Salah satu contoh naskah berbahasa Sunda Klasik adalah naskah Carita Waruga Guru yang
ditulis pada abad ke-18 menggunakan aksara Sunda Kuno. Selain naskah tersebut, beberapa
contoh naskah yang menggunakan bahasa Sunda Klasik di antaranya adalah:

1. Sajarah Cikundul
2. Hikayat Paras Rasul
3. Carios Samaun
Bahasa Sunda Modern adalah bentuk bahasa Sunda yang mulai berkembang setelah
adanya kolonialisme Belanda di Indonesia, bahasa ini dikembangkan dan dikodifikasi dengan
ditandai oleh terbitnya kamus-kamus yang membahas bahasa Sunda. Perjalanan panjang
berkembangnya bahasa Sunda Modern dapat diuraikan melalui peristiwa-peristiwa di bawah
ini.

1. Tahun 1841: Terbitnya Kamus Bahasa Belanda-Melayu dan Sunda yang didasarkan
kepada senarai kosakata yang telah dikumpulkan oleh De Wilde, yang ditulis
oleh Roorda di Amsterdam. Peristiwa ini menandai diakuinya bahasa Sunda sebagai
bahasa yang mandiri secara resmi.
2. Tahun 1842: Walter Robert van Hoëvell, seorang pendeta yang bertugas
di Batavia menulis sebuah jurnal mengenai istilah-istilah etnografi Djalma Soenda.
3. Tahun 1843: Diadakan sayembara penyusunan kamus bahasa Sunda dengan lema
terbanyak yang digagas oleh Pieter Mijer, seorang sekretaris Perhimpunan Batavia
untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan yang berhadiah 1000 Gulden dan medali emas. Hal
ini menjadi pemicu orang-orang Eropa untuk mempelajari bahasa Sunda.
4. Tahun 1862: Untuk pertama kalinya, kamus bahasa Sunda-Inggris diterbitkan oleh
Jonathan Rigg, seorang pengusaha asal Inggris yang memiliki perkebunan di Bogor
Selatan. Terbitnya kamus bahasa Sunda-Inggris ini membuat beberapa pihak orang
Belanda kecewa, salah satunya adalah Koorders,
seorang doktor teologia dan hukum yang ditugaskan ke Hindia-Belanda tahun 1862
untuk mendirikan sekolah guru (Kweekschool). “Ini membuat saya sedih karena
penyusunnya bukan orang Belanda”, kata Koorders (1863).
5. Tahun 1872: Dipilihnya bentuk bahasa Sunda yang dituturkan di Bandung sebagai
bahasa Sunda yang paling murni menurut pemerintah kolonial Belanda, bentuk
bahasa ini kemudian dibakukan untuk dijadikan bahasa Sunda baku dengan
diterbitkannya kamus-kamus serta buku-buku tata bahasa Sunda oleh para sarjana
dan penginjil. Tahun 1912, ditegaskan kembali bahwa dialek Bandung sebagai
bahasa Sunda baku. Penetapan tersebut masih berpengaruh hingga kini.
Semenjak itu, bahasa Sunda terus mengalami perkembangan, sastra-sastra Sunda mulai
dikembangkan dan bahasa Sunda menjadi bahasa pengantar di sekolah tingkat dasar maupun
tingkat lanjut, hal ini didukung dengan diterbitkannya buku-buku atau bahan bacaan lain
berbahasa Sunda yang dipelopori oleh Raden Muhammad Musa, seorang penghulu
besar Limbangan, Garut yang juga didorong oleh Karel Frederik Holle,
seorang berkebangsaan Belanda yang menaruh perhatian besar terhadap bahasa
dan kebudayaan Sunda.
Sistem penulisan bahasa Sunda Modern menggunakan alfabet Latin dengan beberapa ejaan
yang berbeda, selain itu, dalam penggunaan terbatas, bahasa Sunda Modern juga dapat ditulis
menggunakan abjad Pegon dan Cacarakan. Keadaan ini terus berlanjut hingga pada
tahun 1997, diadakan lokakarya yang diselenggarakan di Universitas Padjajaran untuk
menetapkan aksara Sunda baku yang model bentuknya didasarkan pada aksara Sunda
kuno dengan beberapa penyederhanaan, aksara ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu
sistem penulisan bahasa Sunda Modern (kontemporer) yang diajarkan di sekolah-sekolah.

2. Jelaskan hubungan antara kerajaan galuh dengan sistem etika berpolitik atau etika damai
masa lampau dan masa kini?

Jawab: komunikasi politik adalah proses penyampaian/pertukaran pesan dari komunikator


kepada komunikan yang isi pesannya mengandung faktor-faktor kekuasaan, pemerintahan
atau isu-isu yang dikeluarkan oleh para pemegang kekuasaan. Komunikasi politik juga
bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”
(Saptya MP & Suryani NS, 2019). Dalam komunikasi politik, istilah yang dimaksud
dengan komunikator politik adalah individu-individu yang menduduki struktur
kekuasaan, individu-individu yang berada dalam suatu institusi, asosiasi, partai politik,
lembaga-lembaga pengelola media massa dan tokoh-tokoh masyarakat. Komunikator
politik dapat pula berupa negara, badan-badan internasional dan mereka yang mendapat
tugas atas nama negara (Harun & Sumarno, 2006: 11). Singkatnya, komunikator politik
adalah individu atau sekelompok individu yang menyampaikan pesan yang berkaitan
dengan kekuasaan dan kebijakan/aturan/ kewenangan pemerintah yang bertujuan untuk
memengaruhi khalayak. Komunikator dalam komunikasi politik, yaitu individu-individu
yang menduduki struktur kekuasaan, karena merekalah yang mengelola, mengendalikan
lalu lintas transformasi pesan-pesan komunikasi dan mereka yang menentukan
kebijaksanaan komunikasi nasional. Karena itu, sebagai komunikator politik dituntut
berbagai persyaratan agar proses komunikasi mencapai sasaran sebagaimana yang
diharapkan (Harun & Sumarno, 2006: 11).
Persyaratan-persyaratan tersebut yakni
1) memiliki nuansa yang luas tentang barbagai aspek dan masalah-masalah kenegaraan,
2) memiliki komitmen moral terhadap sistem nilai yang sedang berlangsung,
3) berorientasi kepada kepentingan negara,
4) memiliki kedewasaan emosi (emotional intellegence), dan
5) Jauh dari sikap hipokrit (cognitive dissonance). Nimmo (2005: 30) membagi
komunikator politik menjadi 3 jenis, yakni politikus, profesional, dan aktivis. Politikus
adalah individu yang memegang jabatan pemerintah (baik itu eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif). Politikus ini memiliki pengaruh terhadap alokasi ganjaran, bisa
menuntun/mencegah perubahan sosial, dan bisa memengaruhi pembentukan opini publik
di masyarakat. Politikus sendiri terbagi menjadi dua, yakni partisan dan ideolog. Partisan
adalah anggota dari sebuah partai politik, sedangkan ideolog adalah orang yang berpikir;
“menjual” idenya untuk masa depan bangsa dan negara. Istilah profesional dalam artikel
ini bisa diartikan sebagai orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah
pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang muncul akibat revolusi
komunikasi, seperti munculnya media massa lintas batas dan perkembangan sporadis
media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk
menjadi konsumen informasi dan hiburan. Profesional disebut juga makelar simbol yaitu
orang yang menerjemahkan sikap pengetahuan dan minat suatu komunikasi bahasa ke
dalam komunitas bahasa lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti.
Komunikator profesional ini meliputi jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas,
juru bicara, juru kampanye, dsb). Sedangkan aktivis politik adalah orang yang terjun ke
dalam politik hanya sebatas part time (dalam waktu senggang), maka disebut juga
volunteer atau sukarelawan. Aktivis politik terdiri dari dua jenis, yaitu juru bicara dan
pemuka pendapat

Anda mungkin juga menyukai