Aksara Jawa
Informasi
Bahasa Jawa
Sunda
Madura
Sasak
dll
Proto-Sinaitic
Silsilah
Fenisia
Aramea
Brahmi
Pallawa
Kawi/Jawa Kuna
Aksara Jawa
Batak
Baybayin
Buhid
Hanun'o
Kaganga (Rejang)
Lontara (Bugis)
Rencong
Sunda Kuno
Tagbanwa (Tagalog)
Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida. Setiap huruf pada aksara Jawa melambangkan suatu suku kata
dengan vokal /a/ atau //, yang dapat dimodifikasi dengan sejumlah tanda baca vokal
(layaknya harakat pada abjad Arab), konsonan akhir, dan ejaan asing[2]. Huruf memiliki bentuk subskrip yang
berguna untuk menulis tumpukan konsonan di tengah kalimat, dan beberapa diantaranya memiliki bentuk
"kapital" yang digunakan untuk menulis nama. Terdapat pula tanda-tanda yang setara dengan koma, titik, titik
dua, serta kutip, dan terdapat pula tanda yang menunjukkan angka, membuka puisi/tembang, mengawali surat,
dll[3]. Aksara Jawa ditulis tanpa spasi (scriptio continua)[2], dan karena itu pembaca harus paham dengan teks
bacaan untuk dapat membedakan tiap kata.
Dewasa ini, bahasa Jawa lebih umum ditulis dengan huruf latin karena lebih praktis. Walaupun aksara Jawa
telah diimplemetasikan dalamUnicode sejak 2009, penggunaannya di media digital masih tidak semudah huruf
latin karena hanya dapat ditampilkan dengan benar pada program yang menggunakan teknologi SIL
Graphite seperti Firefox atau Thunderbird email client. Hal ini cenderung membuat penggunaan aksara Jawa
tidak luas.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Sejarah
2 Karakter
o 2.1 Huruf
2.1.3 Pasangan
2.2.1 Vokal
2.2.2 Konsonan
3 Karakter Tambahan
4 Angka
5 Tanda Baca
6 Urutan Huruf
7 Penggunaan
o 8.1 Unicode
o 8.2 Blok
o 8.3 Font
9 Galeri
10 Lihat pula
11 Catatan kaki
12 Pranala luar
Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang
berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur
keagamaan dan terjemahan Sansekerta yang biasa ditulis dalam naskah daunlontar. Perbedaan terdapat pada
bentuk aksara, sementara ortografi keduanya hampir sama. Perbedaan juga terlihat pada perlakuan huruf
dasar, dimana sejumlah huruf diabaikan pada ortografi kontemporer karena tidak dipakai dalam bahasa Jawa
modern.
Pada periode kerajaan Islam, diperkenalkan urutan hanacaraka untuk memudahkan pengingatan duapuluh
konsonan yang dipakai dalam bahasa Jawa. Urutan tersebut tidak mengikutsertakan
aksara mahaprana dan murda karena penggunaannya yang menurun sejak perkenalan Islam, namun
keduanya masih dipertahankan untuk ejaan baku. Aksara rekan untuk menulis bahasa asing (pada masa itu
terutama untuk bahasa Arab) juga pertama kali berkembang pada masa ini. Pada abad 17, tulisan tersebut
telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan[4].
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan
Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa[6]. Setelah kemerdekaan
Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, diantaranya
"Patokan Panoelise Temboeng Djawa" oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,[6] dan
sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006. [7][8][9][10] KBJ juga
berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.
Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan
pada 1926, dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa
majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti "Jaka Lodhang". Aksara Jawa masih
diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.
Sebuah huruf dasar tanpa tanda baca disebut sebagai sebuah aksara (
), yang merepresentasikan
suku kata dengan vokal /a/ atau // tergantung dari posisinya.[2] Namun vokal juga tergantung dari dialek
pembicara; dimana dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih
cenderung menggunakan //. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton
1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal // apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal //, kecuali dua huruf setelahnya
merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Aksara Nglegna[sunting | sunting sumber]
Aksara Nglegna
ha na ca ra ka
h/ n t k
da ta sa wa la
d t s w
pa dha ja ya nya
p d j
ma ga ba tha nga
m g b
Aksara murda ( ) atau aksara ged digunakan seperti halnya huruf kapital dalam tulisan latin,
kecuali untuk menandakan awal suatu kalimat. Murda digunakan pada huruf pertama suatu nama, umumnya
nama tempat atau orang yang dihormati. Tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, dan apabila huruf
pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, huruf kedua yang menggunakan murda. Apabila huruf
kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka huruf ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya.
Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan.
Perlu diperhatikan bahwa huruf ca murda tidak lazim digunakan. Bentuk pastinya tidak diketahui karena
umumnya hanya bentuk pasangannya yang diapakai.
Aksara Murda
na ca ka ta sa pa nya ga ba
Untuk menulis suatu konsonan murni, tanda baca pangkon digunakan untuk menekan vokal huruf dasar.
Namunpangkon hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila konsonan terjadi di tengah kalimat,
huruf pasangan() digunakan.
Pasangan adalah huruf subskrip yang menghilangkan vokal inheren aksara tempat ia terpasang. Misal, apabila
huruf nadipasangkan dengan pasangan da, maka akan dibaca nda. Setiap huruf mempunyai pasangannya
masing-masing, dengan bentuk dan peletakan yang beragam.
Pasangan dapat diberi tanda baca, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada
penempatan. Tanda baca yang berada di atas dipasang pada aksara, sementara tanda baca yang berada di
bawah dipasang padapasangan. Tanda baca yang berada sebelum dan sesudah huruf dipasang segaris
dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh dipasang dengan satu pasangan, dan pasangan dapat dipasang
dengan sejumlah tanda baca. Dalam teks lama,pasangan wa dapat ditempelkan dengan pasangan lain
sebagai pengecualian karena dianggap sebagai tanda baca.
Nglegna Pasangan
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Murda Pasangan
na ca ka ta sa pa nya ga ba
Vokal murni umumnya ditulis dengan huruf ha (yang dapat merepresentasikan konsonan kosong) dengan
tanda baca yang sesuai. Selain cara tersebut, terdapat juga huruf yang merepresentasikan vokal murni
bernama aksara swara ( ) yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya
huruf murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" ditulis dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang yang
bernama "Ayu", aksara swara digunakan. Swara juga digunakan untuk mengeja kata bahasa asing.
Unsur Argon semisal, ditulis denganswara.
Aksara swara
a i u o
a/ i u e/ o
Tanda baca vokal disebut sebagai sandhangan swara ( ), dan merupakan tanda baca yang
paling umum. Terdapat lima sandhangan untuk bahasa Jawa modern. Tanda baca vokal tidak boleh digunakan
lebih dari satu dalam sebuah aksara, dengan pengecualian tarung yang dapat digunakan dalam beberapa
kombinasi terbatas, semisal taling-tarung. Terdapat pula kombinasi pepet-tarung, namun hanya digunakan
dalam transkripsi bahasa Sunda. Sebuah tarung tunggal juga dapat merepresentasikan -a panjang (/a/),
namun vokal tersebut hanya digunakan dalam bahasa Jawa Kuno. Tanda baca vokal dapat digunakan
bersama tanda baca konsonan.
Dalam teks tertentu, wulu dan pepet hanya dibedakan dari ukurannya; wulu lebih kecil dan pepet lebih besar.
Namun perbedaan ukuran ini kadang kurang kentara dalam tulisan tangan atau teks kaligrafik.
Sandhangan swara
a i u e o
ka/k ki ku k ke/k ko
Terdapat dua jenis tanda baca konsonan, tanda baca pengakhir (sandhangan panyigeging
wanda, ), dan tanda baca penyisip (sandhangan
wyanjana, . Pangkon memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara
Brahmi lainnya, yakni untuk menghilangkan vokal suatu huruf dasar untuk membentuk konsonan akhir. Namun
beberapa konsonan akhir mempunyai tanda baca khusus, dimana dalam kasus tersebut pangkon tidak boleh
digunakan. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon. Seperti halnya
tanda baca vokal, tanda baca konsonan tidak boleh digunakan lebih dari satu dalam satu huruf, namun boleh
digunakan bersama dengan tanda baca vokal.
Sandhangan wyanjana
Cakra mempunyai dua bentuk, inisial dan ligatura yang ditunjukkan pada contoh diatas. Bentuk kedua
lebih sering digunakan.
Keret tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal karena telah memiliki vokal //.
Aksara Mahaprana
dha sa ja tha
Secara historis, ra agung digunakan untuk menulis nama orang yang dihormati, seperti halnya huruf murda.
Namun, huruf itu sendiri tidak dikategorikan sebagai murda dan tidak memiliki akarKawi ataupun Pallawa.
Rekan Latin
fa qa va za
Rekan Arab
tsa a kha dza za a a a a a' gha fa qa
a a xa a za sa a ta da a fa qa
Rekan Sunda
nya reu leu
a r l
Rekan Cina
the se nie hwe yo syo
aa ii uu ai au
a i u ai au
aa ii uu ai au eu
Tarung Wulu melik Suku mendut Dirga mur Dirga mur-tarung Pepet-tarung
ka ki ku kai kau k
Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 09 sebagai berikut:
Angka
1 2 3 4 5 6 7 8 9 0
siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga nol
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka
Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi;
. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis
dengan .
Beberapa angka Jawa memiliki bentuk yang sangat mirip dengan karakter silabel Jawa, semisal (6)
dengan (aksara e), dan (7) dengan (la). Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks
ditandai dengan tanda pada pangkat, yang ditulis sebelum dan setelah angka. Misal, "Selasa 19 Maret 2013"
ditulis dengan:
Naskah Jawa, terutama yang dibuat di Kraton, umum dihias dengan berbagai dekorasi. Tanda baca tertentu juga
diperlakukan selayaknya dekorasi, karena itu banyak variasi yang dapat ditemukan dalam naskah Jawa.
Special Pada
Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat
Pada luhur
lebih tinggi
Pada madya Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama
Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat
Pada andhap
lebih rendah
Pada guru Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat
Wasana
Menandakan akhir puisi.[2][3]
pada
Tanda baca khusus berasal dari naskah keraton yang sangat dekoratif, sehingga bentuknya lebih rumit
dibanding tanda baca umum. Tanda baca ini juga memiliki banyak varian karena sifatnya yang ornamental,
dihias berdasarkan selera dan kemampuan penulis.
Terdapat juga beberapa tanda baca yang tidak dikategorikan dalam dua pada tersebut:
Pada lainnya
Name Font
Tirta tumts
Isen-isen
Pada rangkep
Tirta tumts dan Isen-isen memiliki fungsi unik yang sekarang tidak ditemukan lagi dalam ortografi Jawa
modern sebagai "tanda perbaikan". Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan salah
satu dari dua tanda tersebut sebanyak tiga kali. Tirta tumts digunakan oleh penulis Yogyakarta,
sementara Isen-isen digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penulis dari Yogyakarta ingin
menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka akan ditulis:
Pada wu---luhur
Pangrangkep pada dasarnya adalah angka Arab dua () yang menandakan kata berulang. Menariknya,
metode menggunakan angka untuk menandakan kata berulang bertahan dalam ortografi Bahasa Indonesia
dengan tulisan latin. Metode ini menjadi tidak resmi sejak EYD tahun 1972, namun penggunaannya masih
sering terlihat dalam bahasa tertulis masa kini, seperti "hati2" atau "anak2"
Urutan paling umum dalam aksara Jawa adalah urutan hanacaraka, dimana 20 huruf dasar disusun
membentuk puisi atau pangram sempurna yang menceritakan tentang tokoh legendaris Aji Saka dan awal
mula terciptanya aksara Jawa[12], sebagai berikut;
Hana caraka
Data sawala
Padha jayanya
Maga bathanga
Terdapat dua utusan/pembawa pesan. Yang berbeda pendapat. (Mereka berdua) sama kuatnya. Inilah mayat
mereka.
Aksara Jawa juga dapat disusun dengan urutan kaganga yang mengikuti kaidah Panini. Urutan ini dipakai
untuk mengatur aksara Jawa pada periode Hindu-Buddha, dan sekarang masih dipakai sebagai urutan aksara
Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap huruf dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa
Jawa kuno. Urutannya sebagai berikut:
ISO k kh g gh c ch j jh h h t th
IPA k k t t d d t t
Javanese
ISO d dh n p ph b bh m y r l v s h
IPA d d n p p b b m j l s
Javanese
Kalangan neo-konservatif Jawa juga mengemukakan urutan alternatif yang dengan ciri kedua urutan diatas.
Huruf disusun berdasarkan sekuensi hanacaraka, namun huruf murda dan mahapranadiikutsertakan beserta
bunyi aslinya sebagaimana dalam urutan kaganga. Hal ini dianggap memudahkan pelafalan dan berguna
untuk menulis bahasa asing. Urutannya sebagai berikut:
Penggunaan[sunting | sunting sumber]
Aksara jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa[13] seperti Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas 3 hingga 5 SD.[14] Walaupun
demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan
terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal
memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat
simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak
adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara[14], serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena
kompleksitas aksara Jawa.
Aksara Jawa juga dapat digunakan untuk menulis bahasa Sunda. Namun aksara dimodofikasi dan dikenal
dengan nama Cacarakan. Salah satu perbedaann terlihat dari tidak digunakannya huruf dha dan tha, sehingga
konsonan dasarnya hanya terdiri dari 18 huruf;
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, ja, ya, nya, ma, ga, ba, nga.
Perbedaan lain juga terlihat dari penggunaan kombinasi diakritik pepet-tarung untuk vokal //, vokal tersebut
tidak terdapat dalam bahasa Jawa, penyederhanaan tanda baca vokal /o/ menjadi satu diakritik yang
disebut tolong, serta bentuk "nya" yang terdiri dari "na" dan pasangan "nya" (lihat bagian rekan untuk bahasa
Sunda),
Aksara Bali dan Jawa pada dasarnya hanyalah varian tipografik. Namun dari itu, huruf diperlakukan dengan
berbeda, karena bahasa Bali tidak menganggap aksara murda dan mahaprana arkaik. Keduanya masih
dipakai, dengan terbatas, untuk pengejaan kata yang berbunyi sama, serta dalam teks religius untuk
mengtransliterasikan bahasa Sansekerta.
Hanacaraka gaya Jawa Hanacaraka gaya Bali
Karena sifatnya yang fonetis, aksara Jawa dapat dipakai untuk menulis bahasa Indonesia dan kata serapan
bahasa asing, dan penggunannya banyak dipelopori oleh pengguna Aksara Jawa kalangan neo-konservatif.
Hal ini dapat dilihat pada tempat-tempat umum wilayah berbahasa Jawa, terutama diSurakarta dan sekitarnya.
Kata dari bahasa asing ditulis sebagaimana kata tersebut diucap, bukan berdasarkan pengejaannya. Sebagai
contoh, "Solo Grand Mall" ditransliterasikan menjadi yang secara harfiah
ditransliterasikan kembali menjadi "solo gren mol".
Aksara Jawa banyak digunakan dalam percetakan Hindia-Belanda abad 19, namun perkembangannya
berhenti menjelang Perang Dunia II dan digantikan oleh sistem ortografi Latin yang dikenalkan Belanda [15].
Ketika sistem informasi elektronik muncul, terjadi sejumlah usaha revitalisasi aksara Jawa dengan
mengintegrasikannya ke dalam sistem komputer, yang telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas
Leiden (dipimpin Willem van der Molen) dan pada 1987 oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan[16]. Integrasi
ini diperlukan agar setiap karakter dalam aksara Jawa memiliki kode unik yang diakui di seluruh dunia. Namun
karena penggunaan yang menurun dan kompleksitas rendering, upaya ini berjalan dengan lambat.
Pada Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV 2006, mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna serta usaha
untuk meregistrasi aksara Jawa dalam standar Unicode mulai intensif dilaksanakan. Tim khusus Registrasi
Unicode aksara Jawa berhasil dibentuk dengan dikomandani oleh Hadiwaratama/Hadi Waratama (Bandung),
Ki Sudarto HS/Ki Demang Sokowaten (Jakarta) dan Ki Bagiono Sumbogo/Djokosumbogo (Jakarta). Kerja
keras selama kurang lebih 3 tahun ini akhirnya membuahkan hasil dengan telah diterimanya aksara Jawa
sebagai aksara yang diakui dalam standar Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar
pada tanggal 1 Oktober 2009.[18] Dalam pernyataan resmi di situs Unicode, disebutkan orang-orang yang
terlibat dalam upaya penstandaran aksara Jawa ini adalah: Bagiono Djokosumbogo, Michael Everson (teknis),
Hadiwaratama (ketua tim), Donny Harimurti, Sutadi Purnadipura, dan Ki Demang Sokowaten. [19][20]
Sebenarnya dalam aksara-aksara Nusantara, aksara Jawa merupakan yang ke-5 untuk diakui Unicode,
setelah aksara Bugis, aksara Bali (keduanya sejak 5.0[21][22]), aksara Rejang dan aksara Sunda (keduanya
sejak 5.1[23]) telah diakui. Dibandingkan dengan aksara Bali (aksara Nusantara lain dengan kompleksitas yang
sama dilihat dari segi rendering) aksara Jawa perlu waktu pengembangan yang lebih lama hingga akhirnya
diterima dalam Unicode.
Javanese[1]
Tabel Unicode.org (PDF)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x
U+A99x
U+A9Ax
U+A9Bx
U+A9Cx
U+A9Dx
Catatan
1.^Sebagaimana dalam Unicode versi 6.1
Lihat pula Tabel alternatif Unicode aksara Jawa yang diurutkan berdasarkan hanacaraka
Font[sunting | sunting sumber]
dengan sampel teks baris pertama Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam bahasa
Jawa.
Dalam situsnya, Unicode memberikan kredit kepada Michael Everson dan Jason Glavy yang telah
menyumbangkan font untuk aksara Jawa[24]. Saat ini terdapat beberapa font aksara Jawa yang banyak
beredar, seperti Hanacaraka/Pallawa (oleh Teguh Budi Sayoga) yang berdasarkan
ANSI[25][26], Adjisaka (oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten)[27], JG Aksara Jawa (oleh Jason
Glavy)[28], Carakan Anyar (oleh Pavkar Dukunov)[29], serta Tuladha Jejeg (oleh R.S. Wihananto) yang
berdasarkan teknologi font pintar Graphite SIL[30].
Dari segi teknis, semua font diatas memiliki kekurangannya masing-masing. Semisal, JG Aksara Jawa
dapat menimbulkan konflik dengan sistem tulisan lain karena font tersebut menggunakan kode aksara-
aksara seperti Limbu (1900-194F), Tai Le (1950-197F), New Tai Lu (1980-19DF), Simbol Khmer (19E0-
19FF), Bugis/Lontara (1A00-1A1F), Tai Tham (1A20-1AAD), Bali (1B00-1B7F), dan Sunda (1B80-1BBF).
Tidak mengherankan karena font JG Aksara Jawa dibuat tahun 2003, sebelum aksara Jawa masuk
Unicode. Font Adjisaka juga memiliki masalah yang serupa. Sementara itu, font Tuladha Jejeg hanya
dapat menampilkan pasangan dan bentuk kompleks lainnya di program yang memanfaatkan teknologi
Graphite SIL, seperti browser Firefox, Thunderbird email client, dan beberapa prosesor kata open source.
Font lain yang beredar dengan cakupan tidak begitu luas adalah Surakarta.[31] yang dibuat Matthew
Arciniega pada tahun 1992 sebagai screen font untuk Mac, dan Tjarakan yang dikembangkan sekitar
tahun 2000 oleh perusahaan bernama AGFA Monotype.[32][33] Kemudian terdapat juga font Jawa berbasis
simbol Aturra[34] yang dikembangkan oleh Aditya Bayu sekitar 2012-2013.
Papan nama jalan diSurakarta dengan huruf latin dan aksara Jawa
Salah satu puisi-puisi tembok Leiden, Serat Kalatidha, dengan aksara Jawa