Anda di halaman 1dari 1

Aksara Jawa Satu lagi aset kebudayaan asli Indonesia yang diakui dunia, yaitu aksara Jawa yang

mendapat pengakuan resmi dari Unicode, lembaga di bawah naungan UNESCO. Pengakuan ini diberikan pada 2 Oktober 2009, bersamaan dengan penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan BangsaBangsa (UNESCO). Dengan pengakuan itu, kini aksara Jawa bisa dipakai untuk komputer yang setara dengan huruf lain di dunia yang telah digunakan dalam komputer, seperti Latin, Cina, Arab, dan Jepang. Pengakuan tersebut diberikan setelah Ki Demang Sokowaten dari Yogyakarta pada 9 September 2007 silam mendaftarkannya ke Unicode. Banyak keuntungan bagi Indonesia apabila aksara Jawa diakui UNESCO sebagai simbol salah satu bahasa ibu di dunia, diantaranya: terlindungi dari ancaman kepunahan, melindungi dan melestarikan sendi-sendi kebudayaan aksara Jawa, serta tidak bisa dicuri atau diklaim pihak manapun. Aksara Jawa Hanacaraka atau yang dikenal dengan nama Carakan termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskahnaskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara Assyiria. Aksara Jawa modern adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dari struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata hari. Aksara Na mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata nabi. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara latin. Klasifikasi Aksara Jawa Kelompok Aksara Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis. Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada). 1. Huruf Dasar (Aksara Nglegena) Pada aksara Jawa Hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu cerita pendek: ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ([dha]) ja ya nya ([a]) ma ga ba tha ([a]) nga ([a]) Berikut ini adalah aksara nglegena: 2. Huruf Pasangan (Aksara Pasangan) Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pasangan untuk se agar n pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan s tulisan akan terbaca manganasega. Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata. Berikut ini adalah daftar pasangan: 3. Huruf Utama (Aksara Murda) 4. Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara) 5. Huruf Tambahan (Aksara rkan) 6. Huruf Vokal Tidak Mandiri (Sandhangan) 7. Tanda Baca (Pratandha) Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa a. Berdasarkan bentuk aksara dibagi menjadi 3, yakni: 1. Ngetumbar 2. Mbata Sarimbag 3. Mucuk Eri b. Berdasarkan daerah asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa: Yogjakarta Surakarta Aturan Baku Penggunaan Aksara Jawa Hanacaraka Penggunaan (pengejaan) Hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan aksara ini. Pertemuan pertama menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena loka karya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih penulisan ejaan baru menjadi bentuk Ronggawarsita -bentuk ini banyak dipakai pada naskahnaskah abad ke-19- dengan mengurangi penggunaan taling-tarung. Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam mempelajari tulisan Hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut. Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan perubahan beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan). Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara-Aksara Nusantara

Anda mungkin juga menyukai