BAB I
Pengertian
Pasal 1
Pasal 2
(1). Sastra Ajisaka, merupakan bagian dari mitologi dan filosofi aksara Jawa yang secara umum
menggambarkan konsep sangkan paraning dumadi.
(2). Sejarah Aksara Jawa, secara kronologi aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Jawa Kuno
(Kawi), yang melalui proses panjang hingga menjadi bentuk seperti aksara Jawa yang kita kenal
sekarang.
Pasal 3
(1). Silabik, adalah lambang-lambang tata tulis yang mewakili suku kata, yang menyusun kata.
(2). Scriptio continua, dalam bahasa Jawa gaya penulisan seperti ini disebut sastra lampah.
(3). Penulisan aksara Jawa tidak mengacu pada penulisan Latin.
(4). Legena atau nglegena, adalah distribusi aksara Jawa yang belum mendapat sanḍangan.
BAB II
Kelengkapan Aksara
Pasal 4
Kelengkapan Aksara Jawa terdiri dari:
(1). Aksara wyanjana adalah aksara-aksara selain aksara vokal, menurut warga aksara dapat dibedakan
menjadi akṣara golongan warga tenggorok/guttural/kaṇṭhya, Akṣara golongan warga langit -
langit/palatal/tālavya, Akṣara golongan warga lidah/retrofleks/mūrdhanya, akṣara golongan warga
gigi/dental/dantya, akṣara golongan warga bibir/oṣṭhya/labial.
(2). Aksara swara adalah aksara yang digunakan untuk menuliskan vokal yang menjadi suku kata.
Aksara swara terdiri dari aksara swara utama, aksara swara mandiri, dan aksara swara dirga.
(3). Aksara rekan adalah aksara rekaan untuk penulisan kosa kata asing yang masih dipertahankan
seperti aslinya atau kosa kata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Jawa
(4). Angka adalah bagian dari aksara jawa yang digunakan sebagai lambang numerik yang penulisannya
harus diapit dengan pada pangkat.
(5). Sanḍangan, adalah tanda yang digunakan untuk merubah atau menambah bunyi aksara atau
pasangan. Sandhangan dibedakan menjadi sandhangan swara, sandhangan wayanjana,
sandhangan panyigeg, dan sandhangan pangkon
(6). Pada atau tetenger adalah tanda baca yang digunakan dalam penulisan aksara Jawa.
a) Pada adalah tanda yang digunakan dalam penulisan aksara Jawa, baik di awal, di tengah,
maupun di akhir.
b) Pada Adeg /꧊/ adalah tanda petik, yaitu tanda baca yang berfungsi untuk secara berpasangan
d) pada windu /꧆/, pada windu ini biasa digunakan bersama dengan pada adeg-adeg membentuk
pada guru.
e) Pada Guru adalah tanda / ꧋ ꧞ ꧋/ digunakan untuk pembuka kalimat dalam surat-menyurat dan
di dalam buku perdata yang memuat pasal-pasal hukum.
f) Pada Pancak adalah tanda / ꧉ ꧞ ꧉ / digunakan untuk penutup kalimat dalam surat-menyurat
dan di dalam buku perdata yang memuat pasal-pasal hukum.
g) Pada Lingsa adalah tanda / ꧈ / digunakan: pada akhir bagian kalimat sebagai tanda intonasi
setengah selesai; di antara bagian-bagian di dalam pemerian; pada akhir singkatan nama orang;
gelar; dan singkatan lain yang bukan akronim,
h) Pada Lungsi adalah tanda / ꧉ / yang digunakan untuk mengakhiri sebuah kalimat,
i) Pada Pangkat adalah tanda / ꧇ / digunakan pada akhir penyataan lengkap jika diikuti rangkaian
j) Pada Luhur adalah tanda / ꧅/ yang digunakan di dalam surat atau karangan yang berwujud
tembang atau puisi yang ditulis oleh orang yang derajat kedudukan atau pangkatnya tinggi dan
ditujukan kepada bawahannya, atau orang tua kepada orang yang lebih muda.
k) Pada Madya adalah tanda / ꧄/ yang digunakan di dalam surat atau tembang yang ditulis
oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang kedudukannya sederajat atau sebaya.
l) Pada Andhap adalah tanda /꧃/ yang digunakan di dalam surat atau tembang yang ditulis
oleh orang yang berkedudukan rendah ditujukan kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi,
atau orang muda kepada yang lebih tua.
tulis. Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan tanda tersebut sebanyak
tiga kali. Tirta tumétés biasa digunakan oleh penulis Yogyakarta.
r) pada isèn-isèn /꧟/ adalah semacam tanda koreksi yang berguna untuk menandakan salah tulis.
Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan tanda tersebut sebanyak tiga
kali. Isèn-isèn biasa digunakan oleh penulis Surakarta.
s) pangrangkep /ꧏ/ digunakan sebagai tanda pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia
dekoratif yang biasa digunakan sebagai pengapit judul, sehingga tampak lebih menarik dan
menonjol.
u) Cecak telu / ꦀ / sering disebut nukta, yang merupakan tanda untuk menulis fonem dari kata –
kata pinjaman karena belum adanya lambang bunyi dalam aksara Jawa yang bisa mewakili bunyi
tersebut.
v) Candra bindu/panyangga /
ꦀ/ merupakan tanda untuk menyengaukan vokal, dalam aksara
Jawa. Candrabindu ini digunakan sebagai penanda aksara yang dianggap suci.
BAB III
Tata Tulis
Pasal 5
Tembung Lingga
Tembung lingga adalah kata dasar, yaitu kata yang belum mendapatkan imbuhan. Penulisan tembung
lingga dalam aksara Jawa ditulis sesuai dengan pelafalan.
(1). Tembung lingga atau kata dasar ditulis sesuai dengan pelafalan.
(2). Tembung lingga atau kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata dengan suku pertama menggunakan
pepet [ꦀ]/menga nglegena, penulisannya sesuai yang dikehendaki penulis.
(3). Tembung lingga atau kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata dan suku kata bagian depan berbunyi
sengau, penulisan sesuai dengan pelafalannya.
(4). Wanda atau suku kata yang bukan merupakan suku kata terakhir, penulisannya sesuai yang
dikehendaki penulis.
(5). Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ja (ꦀꦗ) dan atau ca (ꦀꦕ), jika terletak
dibawah aksara na mati / konsonan [ꦤ], maka aksara na tersebut berubah menjadi aksara nya
(ꦚ).
(6). Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ḍa ( ꦀꦝ) dan atau ṭa ( ꦀꦛ), jika
terletak dibawah aksara na mati / konsonan [ꦤ], maka aksara na tersebut berubah menjadi aksara
ṇa (ꦢ).
(7). Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ḍa ( ꦀꦝ) dan atau ṭa ( ꦀꦛ), jika
terletak dibawah aksara sa mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara
ṣa (ꦰ).
(8). Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ja ( ꦀꦗ) dan atau ca ( ꦀꦕ), jika
terletak dibawah aksara sa mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara
śa (ꦯ).
(9). Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ka ( ꦀꦏ) jika terletak dibawah
aksara sa mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara ṣa (ꦰ).
(10). Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan sa (ꦀ ꦰ ) jika diikuti aksara ka
mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara ṣa (ꦰ).
Pasal 6
Tembung Andhahan
Tembung Andhahan adalah kata yang telah mendapat ater-ater /awalan, seselan/sisipan, dan
panambang/akhiran.
Pasal 7
Tembung Andhahan dengan Ater-ater
(1). Penulisan tembung andhahan yang mendapatkan anuswara. Jika kata suku kata terdepan luluh
/menyatu, awalan anuswara tidak ditulis dengan ha (ꦲ ) / han (ꦲꦤ꧀) / ham (ꦲꦩ꧀) /hang
Pasal 8
Tembung Andhahan dengan Seselan
(1). Seselan terdapat 6 (enam) jenis antara lain in, um, er, el, eth, eth.
(2). Kata yang mendapat seselan tidak ditulis rangkap.
(3). Kata yang mendapat seselan ꦫ atau ꦭ (er atau el), suku kata pertama dan kedua dijadikan satu
suku kata.
(4). Kata dengan seselan ꦤ ditulis sebagai berikut:
a. kata dasar berawalan ꦲ, ditulis dengan menambah bunyi sengau ng di depan kata.
b. kata dasar berawalan selain ꦲ, ditulis dengan meletakkan seselan ꦤ di aksara awal kata
tersebut
(5). Seselan ꦤ digunakan bersama dengan panambang -ake /ꦲꦏꦺ/ ditulis dengan meletakkan
Pasal 11
Tembung Andhahan dengan Panambang
(1). Panambang terdapat 7 (tujuh) jenis antara lain -a /ꦲ/; -e /ꦏꦲ/; -ipun /ꦲꦶꦥ ꦤ꧀/; I /ꦲꦶ/; an
b. Wanda menga dengan sandhangan wulu atau taling, panambang ꦲ berubah ꦪ jika yang
c. Wanda menga dengan sandhangan suku atau taling-tarung, panambang ꦲ berubah ꦮ, jika
e. Wanda sigeg dengan sandhangan swara, bunyi sandhangan swara berubah jejeg
f. Jika bersamaan dengan ater-ater ꦱ, panambang ꦲꦤ꧀ dan panambang ꦏꦲ, panambang
ꦲ berubah ꦪ
a. Panambang ꦏꦲ untuk ngoko, ꦲꦶꦥ ꦤ꧀ untuk krama, jika disambung wanda menga berubah
b. Panambang ꦏꦲ (ꦲꦶꦥ ꦤ꧀) jika disambung dengan wanda sigeg, aksara ꦲ berubah
menjadi aksara sigeg wanda yang disambung
(4). Panambang ꦲꦶ
a. Jika disambung dengan wanda menga, panambang ꦲꦶ ditolong panambang ꦲꦤ꧀꧈ ditulis
dengan pasangan ꦤ
b. Jika disambung dengan wanda sigeg, panambang ꦲꦶ aksara ꦲ berubah menjadi aksara sigeg
wanda yang disambung
c. Panambang ꦲꦶ bagi kata yang dengan ater-ater ꦺ atau dengan seselan ꦤ꧈ diganti ꦲꦤ꧀
a. Jika disambung dengan wanda menga, panambang ꦲꦤ꧀ luluh dengan wanda yang
disambung
b. Jika wanda yang disambung berupa sandhangan wulu maka berubah taling, suku berubah
taling-tarung
c. Panambang ꦲꦤ꧀ disambung wanda menga dengan sandhangan wulu atau taling, berubah
ꦪꦤ꧀
d. Panambang ꦲꦤ꧀ disambung wanda menga dengan sandhangan suku atau taling-tarung
berubah ꦮꦤ꧀
e. Kata dengan wanda wekasan menga dengan sandhangan wulu, sandhangan wulu berubah
taling, panambang ꦲꦤ꧀ berubah ꦪꦤ꧀
f. Kata dengan wanda wekasan menga dengan sandhangan wulu, taling atau suku, panambang
dapat luluh atau tidak luluh dengan wanda wekasan kata yang dipanambangi
g. Ater-ater ꦥ bersamaan dengan panambang ꦲꦤ꧀, ater-ater tidak luluh dengan awal kata
penulisan ꦺ
i. Ater-ater ꦺ bersamaan dengan panambang ꦲꦤ꧀ atau ꦲꦤ꧀ ditulis dan diucapkan ꦺ
j. Panambang ꦲꦤ꧀ yang disambung pada kata wanda wekasan dengan wignyan, ditulis tetap
sesuai aslinya
a. Jika disambung pada wanda menga, maka berubah ꦲꦤ꧀, ditulis tanpa pasangan ꦤ
b. Jika disambung pada wanda sigeg, panambang ꦲꦤ꧀ aksara ꦲ berubah menjadi aksara
d. Ater-ater ꦺ luluh atau bunyi sama dengan awal kata yang mendapat ater-ater
f. Tembung andhahan dengan akhiran ꦲꦤ꧀ dari kata dasar dengan wanda wekasan menga,
(7). Panambang ꦲꦤ
a. Jika bersambung dengan wanda menga, panambang ꦲꦤ ditulis ꦲꦤ꧀, maka ditulis dengan
pasangan ꦤ
b. Jika disambung pada wanda sigeg, panambang ꦲꦤ pada aksara ꦲ berubah menjadi aksara
sigeg wanda yang disambungkan
c. Panambang ꦲꦤ digunakan bersamaan dengan ater-ater anuswara, ater-ater tripurusa, ater-
a. Jika disambung pada wanda sigeg, aksara ꦲ berubah menjadi aksara sigeg wanda yang
disambungkan
b. Jika disambung dengan sigeg aksara ꦺ, panambang ꦲꦏꦺ (ꦲꦺꦤ꧀) berubah ꦺꦏꦺ
(ꦺꦺꦤ꧀)
c. Jika disambung wanda menga, panambang ꦲꦏꦺ (ꦲꦺꦤ꧀) tetap, tetapi dibantu sesigeg
ꦺ. Jika kata dasar wanda wekasan dengan sandhangan wulu (ꦀꦶ) berubah taling (ꦏꦀ), suku
d. Jika panambang ꦲꦏꦺ (ꦲꦺꦤ꧀) digunakan bersama ater-ater anuswara wanda terakhir
seselan ꦤ
Pasal 12
Tembung Rangkep
(2). Tembung Dwi-lingga yang suku kata awalnya: a, serta suku kata akhir sigeg, kalau dibuat dwi-
lingga, suku kata awal kata yang belakang tidak berubah menjadi sisigeg tadi, seperti:
Pasal 13
Tembung Camboran
(1). Tembung camboran tugel atau camboran wancahan ditulis sesuai dengan pengucapannya.
(2). Tembung camboran wutuh penulisannya sesuai dengan bentuk katanya dan pengucapannya, dalam
hal ini tidak mengenal sastra lampah seperti tata penulisan huruf Kawi.
Pasal 14
Daya Tembung
(1). Daya tembung adalah penulisan sebuah kata yang seolah-olah dipengaruhi oleh suara kata lain dalam
suatu bentuk frasa atau kata majemuk.
(2). Penulisan kata terakhir yang berawalan vokal dalam sebuah frasa atau kata majemuk harus ditulis
sesuai dengan aslinya, dan tidak mengikuti kata depannya yang berakhiran konsonan.
(3). Penulisan kata turunan pada kata ulang dwilingga yang berawalan vokal dan berakhiran konsonan
harus ditulis sesuai kata dasarnya.
(4). Penulisan vokal /a/ di akhir sebuah kata jika bertemu vokal /i/ pada kata berikutnya, maka kedua vokal
tersebut berubah menjadi /e/
(5). Penulisan kata berawalan vokal di belakang sebuah kata yang berakhiran konsonan /ng/, maka
penulisan kata yang mengikuti tersebut tetap
Pasal 15
Kata Serapan
(1). Kata serapan adalah kata yang berasal dari Bahasa asing yang sudah diintegrasikan ke dalam suatu
Bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum.
(2). Penulisan a ganda (dobel a) apabila pengucapannya dengan jelas penulisan dalam aksara Jawa
menggunakan aksara suara [ꦄ]
(3). Penulisan ai dalam satu kata diperlakukan dengan beberapa penulisan yaitu :
a. ai yang tidak bervariasi dengan e, diperlakukan sebagai dua aksara dan ditulis dengan aksara
suara.
b. ai yang bervariasi dengan e diperlakukan sebagai satu suara dan ditulis menggunakan dirge
mure (bunyi diftong)
(4). Penulisan ae dalam satu kata diperlakukan sebagai dua aksara ditulis menggunakan aksara suara
[ꦌ]
(5). Penulisan au dalam satu kata diperlakukan dengan beberapa alternative penulisan yaitu
menggunakan aksara suara [ꦈ] atau menggunakan sandhangan mure raswadi (bunyi diftong)
(6). Penulisan ié dalam satu kata menggunakan pelancar [ ꦪ] ditulis sesuai pengucapannya.
(7). Penulisan ua dalam satu kata diperlakukan dengan menggunakan aksara suara [ꦄ] dan
(8). Penulisan ia dalam satu kata ditulis dengan menggunakan aksara suara [ꦄ] dan menggunakan
(9). Penulisan oa dalam sstu kata diperlakukan dengan menggunakan aksara suara [ꦄ] dan
(10). Penulisan eo dalam satu kata diperlakukan dengan pelancar aksara [ꦪ]
(11). Penulisan eu dalam satu kata diperlakukan sesuai dengan tulisan latinnya,.
(12). Penulisan ui dalam satu kata diperlakukan dengan menggunakan pelancar aksara [ ꦮ].
Pasal 16
Akronim dan Singkatan
(1). Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata, atau bagian lain yang
ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar.
(2). Singkatan merupakan sebuah huruf atau sekumpulan huruf sebagai bentuk pendek dari sebuah atau
beberapa kata.
(3). Penulisan akronim dan singkatan didasarkan padha pengucapannya.
(4). Penulisan singkatan yang berada di belakang, misalnya nama marga, gelar kesarjanaan, maka
penulisannya diawali dan diakhiri dengan pada lingsa.
(5). Penulisan akronim dan singkatan tidak perlu menggunakan aksara murda.
BAB IV
Penutup
Rumusan tata tulis atau uger pasang aksara Jawa ini merupakan evaluasi dan sedikit memberi
warna pada kaidah penulisan aksara Jawa modern, dengan harapan aksara Jawa dengan kaidah
penulisan yang telah ada, akan tetap lestari sampai pada generasi berikutnya tanpa harus mengalami
perubahan uger pasang yang sporadis dan brutal, karena apabila hal tersebut terjadi, sama saja kita
memutus benang merah teks – teks Jawa klasik sehingga generasi ke depan tidak lagi bisa membaca
karya sastra lama yang masih banyak berserak di banyak koleksi naskah perpustakaan dalam maupun
luar negeri. Oleh karena itu melalui rumusan ini, diketengahkan tata tulis atau uger pasang aksara
Jawa yang telah mengalami perbandingan – perbandingan tata tulis dari beberapa dekade dimana kaidah
tata tulis aksara Jawa digunakan, dan hasilnya adalah seperti yang bis akita baca pada lembaran bab –
bab dalam rumusan ini.
Rumusan tata tulis ini diharapkan bisa menjadi mediasi bagi kalangan yang masih ngugemi
budaya Jawa untuk bisa mengekspresikan kembali olah cipta, rasa dan karsa melalui aksara Jawa.
Beberapa hal mendasar telah ditambahkan dalam tata tulis atau uger pasang ini sebagai bentuk
kompromi dan kesiapan aksara Jawa untuk selalu mengawal budaya adiluhung Jawa di era Modern.
Hal – hal tersebut yang berkaitan dengan telah terdaftarnya aksara Jawa pada Unicode Aksara – Aksara
Daerah di Dunia.
Penjelasan Pasal
BAB I
Pengertian
Pasal 1
ayat (1)
secara harafiah berasal dari bahasa Sansekerta अक्षर = अ + क्ष + र (a+kṣa+ra) yang berarti tidak
hancur atau abadi.
ayat (4)
wyanjana secara harafiah berasal dari bahasa Sanskṛta. व्यंजन (vyañjana) yang berarti konsonan, dalam
bahasa Jawa diadopsi menjadi ꦮꦾꦚꦗꦤ (wyañjana), untuk mengelompokan aksara – aksara selain
aksara vokal
ayat (5)
Secara harafiah berasal dari bahasa Sanskṛta स्वर (svara) yang berarti vokal, dalam bahasa Jawa
ayat (6)
Aksara Murda secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta मूर्ध (mūrdha) yang berarti kepala, bagian
tertinggi, dalam bahasa Jawa diadopsi menjadi ꦩꦹꦫ꧀ꦣ꧈ꦩꦂ ꦫ꧀ (mūṝdha, murdha), istilah ini pada tata tulis
aksara Jawa hasil Parepatan Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari (Soerakarta) digunakan untuk
menuliskan kata-kata yang bersifat penghormatan atau disebut tata prunggu. Aksara-aksara yang
dimaksud adalah aksara–aksara yang sebagaian besar termasuk golongan mahaprana, diantaranya
ꦢ꧈ꦑ꧈ꦡ꧈ꦯ꧈ꦦ꧈ꦘ꧈ꦓ꧈ꦨ.
ayat (7)
Mahaprana secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta महाप्रण (mahāpraṇa) yang berarti hembusan berat,
istilah ini digunakan untuk mengkategorikan aksara – aksara yang diucapkan dengan hembusan berat,
ꦢ꧈ꦑ꧈ꦡ꧈ꦯ꧈ꦦ꧈ꦘ꧈ꦓ꧈ꦨ꧈ꦖ꧈ꦙ꧈ꦫ꧀꧈ ꦰ꧈ꦜ꧈ꦞ.
ayat (8)
Alpaprana secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta अल्पप्रण (alpapraṇa) yang berarti hembusan
ringan, istilah ini digunakan untuk mengkategorikan aksara – aksara yang diucapkan dengan hembusan
ringan, ꦤ꧈ꦺ꧈ꦠ꧈ꦱ꧈ꦥ꧈ꦚ꧈ꦒ꧈꧀꧈ꦕ꧈ꦗ꧈ꦢ꧈ ꦛ꧈ꦝ.
ayat (9)
Mandaswara secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta मन्दस्वर (mandasvara) yang berarti suara lemah,
istilah ini digunakan untuk mengkategorikan aksara – aksara yang diucapkan lemah, sehingga kadang juga
diistilahkan sebagai semi vokal, jenis aksara ini bisa dengan mudah melebur dengan aksara lainya.
ꦪ꧈ꦫ꧈ꦭ꧈ꦮ.
ayat (10)
Śāstra lampah merupakan mekanisme bertemunya aksara tertutup (konsonan yang terjadi dalam proses
virama) yang bertemu dengan aksara swara, dimana aksara konsonan tadi tidak mengalami sigeg namun
menjadi menga atau suku kata terbuka.
Contoh: - ꦲꦊꦥ꧀ + ꦅꦺꦁ + ꦈꦩ pada tradisi penulisan lama ditulis ꦲꦊꦥꦶꦺꦔ ꦩ
Pada tata tulis berikutnya menjadi:
- ꦲꦊꦥ꧀ + ꦅꦺꦁ + ꦈꦩ menjadi ꦲꦊꦥꦅꦺꦁꦈꦩ
ayat (11)
Virama secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta विराम (virāma) merupakan tanda untuk mematikan
konsonan peyangganya, dalam bahasa Jawa istilah virama ini dikenal sebagai sanḍangan pangkon (ꦀ꧀).
ayat (12)
Candrabindu secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta छन्द्रविन्द्दु (chandrabindu) merupakan tanda
untuk menyengaukan vokal, dalam aksara Jawa candrabindu ini digunakan sebagai penanda aksara yang
dianggap suci (ꦀ )
ayat (13)
Anuswara secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta अनुस्िार (anusvāra) merupakan tanda untuk
menyengaukan konsonan atau memberikan konsonan sengau setelah vokal, dalam bahasa Jawa
anuswara ini dikenal sebagai sanḍangan cecak (ꦀꦁ). Dalam beberapa kasus anuswara ini tidak berujud
tanda cecak tetapi berujud aksara ꦔ꧀, apabila bertemu dengan aksara ꦲ꧈ꦺ꧈ꦑ꧈ꦒ꧈ꦓ꧈ꦯ.
ayat (14)
Wisarga secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta ववसर्ध (visarga) merupakan tanda untuk [h] pada
posisi akhir, dalam bahasa Jawa wisarga ini dikenal sebagai sanḍangan wignyan (ꦀ ).
ayat (15)
Nukta secara harfiah berasal dari bahasa Sanskṛta नुक्ता (nuktā) merupakan tanda untuk menulis kata –
kata pinjaman, dalam bahasa Jawa nukta ini dikenal sebagai sanḍangan cecak telu (ꦀ).
Pasal 2
ayat (1). sudah jelas.
ayat (2). sudah jelas.
Pasal 3
ayat (1). sudah jelas
ayat (2). .
Scriptio continua, dalam bahasa Jawa gaya penulisan seperti ini disebut sastra lampah. Dalam aksara
Jawa (dan aksara-aksara Asia Tenggara) lainnya yang merupakan turunan aksara Brahmi secara
tradisional satu huruf dengan huruf lainnya dalam penulisan tidak dipisah. Bahkan batas-batas morfologis
kata-kata sering menjadi kabur dan huruf terakhir kata-kata bisa mempengaruhi huruf-huruf awal kata-kata
selanjutnya (disebut hukum sandi). Ini merupakan ciri khas aksara Jawa yang merupakan sebuah abugida
dan diwarisi dari sistem penulisan bahasa Sanskṛta.
BAB II
Kelengkapan Aksara
Pasal 4
Kelengkapan Aksara Jawa terdiri dari:
ayat (1).
Aksara wyanjana, व्यंजन (vyañjana) adalah penyebutan akasara jawa yang merujuk pada aksara yang
digunakan untuk menulis kata-kata berbahasa jawa berdasarkan artikulasi keluarnya aksara yang berjenis
konsonan. Aksara Wyanjana terdiri dari:
a) Akṣara golongan warga tenggorok / guttural / kaṇṭhya;
Letup tak bersuara Letup bersuara Semi Vokal
Alpaprana Mahaprana Alpaprana Mahaprana
Sengau
Aksara Pasangan Aksara Pasangan Aksara Pasangan Aksara Pasangan Aksara Pasangan Aksara Pasangan
ꦺ ꦀꦏ ꦑ ꦀꦑ ꦒ ꦀꦒ ꦓ ꦀꦓ ꦔ ꦀꦔ ꦲ ꦀꦲ
ka kha ga gha nga ha
ꦕ ꦀꦕ ꦖ ꦀꦖ ꦗ ꦀꦗ ꦙ ꦀꦙ ꦚ ꦀ ꦘ ꦀꦘ ꦪ ꦀꦪ ꦯ ꦀꦯ
ꦛ ꦀꦛ ꦜ ꦀꦜ ꦝ ꦀꦝ ꦞ ꦀꦞ ꦢ ꦀꦟ ꦫ ꦀꦫ ꦰ ꦀꦱ
n
ꦠ ꦀꦠ ꦡ ꦀꦡ ꦢ ꦀꦿ ꦫ꧀ ꦀꦣ ꦤ ꦀꦤ ꦭ ꦀꦭ ꦱ ꦀꦰ
n n n
ta tha da dha na la sa
ꦥ ꦀꦰ ꦦ ꦀꦦ ꧀ ꦀꦧ ꦨ ꦀꦨ ꦩ ꦀꦩ ꦮ ꦀꦮ
pa pha ba bha ma
Catatan:
a. Pada tata tulis hasil “Poetoesan Parepatan Koemisi Kasoesastran” di Srewedari Soerakarta
tahun 1926 dan Pedoman Penulisan Aksara Jawa hasil Konggres Bahasa Jawa tahun 1996 di
Batu Malang penggunaan aksara dan pasangan banyak yang mengalami perubahan bentuk dan
fungsinya, maka aksara dan pasangan yang mengalami perubahan bentuk dan fungsi tersebut
dikembalikan kepada bentuk dan fungsi semula.
1) Aksara yang dikembalikan kepada bentuk dan fungsi aslinya adalah
a) Aksara Murda, yaitu: ꦢ (Na), ꦑ (Ka), ꦡ (Ta), ꦯ (Sa), ꦦ (Pa), ꦘ (Nya), ꦓ
(Ga), ꦨ (Ba) dikembalikan seperti fungsi semula yaitu menjadi aksara Mahaprana.
Dengan demikian aksara murda yang berfungsi penulisan kata untuk penghormatan
ditiadakan.
ꦑ kha ꦀꦑ
ꦓ gha ꦀꦓ
ꦖ cha ꦀꦖ
Akṣara Pasangan Keterangan
ꦙ jha ꦀꦙ
ꦜ ṭha ꦀꦜ
ꦞ ḍha ꦀꦞ
ꦢ ṇha ꦀꦟ
ꦡ tha ꦀꦡ
ꦫ꧀ dha ꦀꦣ
ꦦ pha ꦀꦦ
ꦨ bha ꦀꦨ
2) Bentuk pasangan yang dikembalikan kepada bentuk dan fungsi aslinya adalah:
Pasangan
Akṣara Kembali ke
semula
bentuk asli
ꦚ ꦀꦚ ꦀ
nya
ꦀꦝ ꦀꦣ
ꦫ꧀ dha
ꦀꦱ ꦀꦰ
ꦱ sa
3) Bentuk pasangan yang tidak dikembalikan kepada bentuk dan fungsi aslinya adalah:
Pasangan
Akṣara Keterangan
bentuk asli perubahan
dipertahankan karena bentuk asli sudah
ꦪ ya ꦀꦾ ꦀꦪ menjadi sandangan pengkal
dipertahankan karena bentuk asli sudah
ꦫ ra ꦀ ꦀꦫ menjadi sandangan cakra
meskipun bentuk yang sudah mengalami
perubahan ꦀꦧ adalah pinjaman dari ꦨ,
꧀ ba ꦀ ꦀꦧ tetapi aksara ꦨ sudah dibuatkan
ayat (2).
Aksara Swara
a) Aksara Swara digunakan untuk menuliskan vokal yang menjadi suku kata.
b) Aksara Swara digunakan untuk memperjelas pelafalan, contoh:
Aji = ꦄꦗꦶ, Haji = ꦲꦗꦶ Ayo = ꦄꦏꦪꦴ, Hayo = ꦲꦏꦪꦴ
ꦆ ꦀꦆ ꦥꦗꦒꦆꦏꦩꦰꦴꦂ
pajeg impor
i
ꦈ ꦀꦈ ꦔꦗꦺꦈꦏ ꦩꦺꦴ
ngajak umroh
u
ꦌ ꦀꦌ ꦮꦶꦱꦌꦏꦭ ꦺꦠꦿꦶꦺ꧀
wis elektrik
é
ꦎ ꦀꦎ ꦏꦕꦠꦎꦫꦚ
cèt oranye
o
ꦊ ꦀꦊ ꦲꦮꦺꦊꦩꦱ꧀
lê awak lêmês
ꦄ ꦀꦄ ꦺꦂꦠ ꦱ ꦄꦩꦱ꧀
ê kertas emas
Catatan: karena ꦄ dianggap aksara mandiri maka tidak mengadakan aksara swara ꦄꦶ꧈ ꦄ ꧈
ꦏꦄ꧈ ꦏꦄꦴ꧉
ꦎꦴ ꦀꦎꦴ ꦠ ꦠ ꦥꦎꦴꦫꦠ꧀
tutup aurat
au
ꦉꦴ ꦀꦉꦴ ꦉꦴꦔꦴ
reungeu
rêu
ꦊꦴ ꦀꦊꦴ ꦲꦊꦴ
heleu
lêu
g) Aksara Swara tidak bisa diberi sanḍangan swara,
h) Aksara Swara bisa diberi sanḍangan panyigeg wanda yang berupa wignyan, layar, atau cecek.
ayat (3). .
Aksara rekan
a) Aksara Rekan adalah aksara rekaan untuk penulisan kosa kata asing yang masih dipertahankan
seperti aslinya atau kosa kata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Jawa.
b) Aksara Rekan dapat menjadi pasangan, dapat diberi pasangan, serta dapat diberi sanḍangan.
c) Nukta untuk pasangan yang berada dibawah aksara yang dimatikan diletakkan dibawah.
d) Berikut ini adalah aksara rekan:
Aksara Rekan
Alih Latin Penulisan Latin
Pokok Pasangan
ꦺ ꦀꦏ꦳ خ kha ꦺ ꦠꦧ khutbah
ꦐ ꦀꦐ ق qa ꦆ ꦐꦿ iqra
ꦀꦗ ꦳ ꦳
ꦗ ز za ꦗꦩꦗꦩ꧀ zamzam
ꦮ ꦀꦮ ꦳ va ꦮꦺ ꦩ꧀ vakum
ꦝ ꦀꦝ ꦳ ض dha
꦳
ꦄꦥꦝꦭ꧀ afdhal
ꦡ ꦀꦡ ꦳ ط tha ꦄ꧀ ꦡꦭꦶ꧀꧀ Abu Thalib
ayat (4). .
Angka Jawa
a) Angka Jawa adalah bagian dari aksara jawa yang digunakan sebagai lambang numerik.
b) Angka jawa sebagaimana dimaksud ayat 4 point a) adalah lambang bilangan dari das (꧐) hingga
꧇꧒꧇ ꧀ꦶꦩꦮꦱꦏꦶꦛ
꧇꧔꧇ ............................
2) Rincian
Contoh :
Jenis-jenis segi tiga:
꧇꧑꧇ ꦱꦒꦶꦠꦶꦒꦱꦩꦱꦶꦱꦶ
꧇꧒꧇ ꦱꦒꦶꦠꦶꦒꦱꦩꦺꦺꦶ
4) Luas
Contoh :
꧋꧀ꦏꦭꦫ꧀ ꦱ ꦤ ꦏꦸꦮꦶꦗꦩ꧀ꦂꦏꦫ꧇꧑꧐꧐꧇ ꦏꦩꦠꦂ ꦥꦂꦱꦒꦶ꧉ (Bale dhusun kuwi jembare 1
00 meter persegi)
꧋ꦱꦮ ꦏꦲꦗꦩꦧꦂꦏꦫ꧇꧕꧇ ꦏꦲꦺꦠꦂ꧉(Sawahe jembare 5 hektar)
5) Isi
Contoh :
꧋ꦒꦭꦱꦲꦶꦺꦶꦲꦏꦩꦴꦠ꧀꧇꧑꧐꧐꧇ꦩꦶꦭꦶꦭꦶꦠꦂ꧉ (Gelas iki amot 100 mili liter)
꧋ꦠꦁꦺꦶ꧀ꦚ ꦲꦶꦺꦶꦲꦏꦩꦴꦠ꧀ ꧇꧑꧐꧐꧐꧐꧇ ꦭꦶꦠꦂ꧉ (Tangki banyu iki isi 10.000 liter)
6) Nilai uang
Contoh :
꧋꧀ ꦺ ꦲꦶꦺꦶꦉꦒꦏꦤ꧇꧕꧐꧐꧐꧇ꦫ ꦥꦶꦪ ꧉ (Buku iki regane Rp. 5.000)
ꦏꦲꦱ ꦺ꧀꧉ (Andi wisudha dina Senin Legi, tanggal 17 Maret 2020)
8) Operasi hitungan
Contoh :
꧋꧇꧙꧇ꦭꦤ꧀꧇꧒꧇ꦕꦤꦝꦺꦲꦏꦤ꧇꧑꧑꧇꧉ (Sanga lan loro canḍakane sewelas)
꧇꧐꧈꧕꧇(0,5)
꧒
꧇ ꧇(2/4)
꧔
e) Dalam hal operasi bilangan, dimana Angka Jawa belum ada lambang bilangan yang mewakili, maka
bisa menggunakan aksara latin, romawi, atau lainnya sesuai dengan kebutuhan (Contohnya:
diferensial, integral, akar pangkat, rumus kimia, fisika dan lain-lainnya)
2) Nomor identitas
Contoh :
ꦌꦤ꧀ꦆ꧈ꦺ꧇꧓꧓꧑꧓꧑꧑꧒꧓꧐꧖꧗꧑꧐꧐꧐꧑꧇ (NIK :3313112306710001)
3) Nomor surat dan ayat dalam kitab suci
Contoh:
ꦱ ꦫꦠꦄꦤꦤꦶꦱ꧈ꦄꦪꦠ꧀꧇꧑꧐꧇ (Surat An Nisa, ayat : 10)
4) Nomor pada kitab perundang-undangan
꧀꧀꧀꧇꧔꧇ꦥꦱꦭ꧀꧇꧓꧇ꦄꦪꦠ꧀꧇꧑꧇ ꦺꦶꦠ꧀ꦈꦢꦝꦁꦈꦢꦝꦁ ꦲ ꦺ ꦩꦰꦶꦝꦤ (BAB 4
Pasal 2, ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
ayat (5)..
Sanḍangan
Yang dimaksudkan dengan sanḍangan adalah tanda yang digunakan untuk merubah atau
menambah bunyi aksara atau pasangan. Sanḍangan dibedakan menjadi sanḍangan swara,
sanḍangan wayanjana, sanḍangan panyigeg, dan sanḍangan pangkon.
a) Sanḍangan swara pendek
wujud nama swara contoh
ꦀꦶ wulu i ꦥꦶꦥꦶ pipi
ꦀ suku u ꦱꦺ suku
c) Sanḍangan wyanjana.
wujud nama swara contoh
ꦀ cakra pengganti panjingan ꦫ (r) ꦺꦿꦱ krasa
ꦀ keret
pengganti cakra dan pepet ꦥꦭ prelu
(re)
Catatan:
Penggunaan wignyan hanya pada akhir kata, ketika ada ꦲ di tengah kata untuk mematikannya
dengan cara diberi pasangan.
contoh: ꦒꦗ ꧈ꦱꦮ
ꦢꦂꦲꦩ꧀ ꧀ꦂ ꦲꦤ꧀
Penggunaan cecak hanya pada akhir kata, ketika ada ꦔ di tengah kata untuk mematikannya
dengan cara diberi pasangan.
contoh: ꦺꦕꦁ꧈ ꧀ꦮꦁ꧈ ꦭꦮꦁ
ayat (6)..
Tanda / Tetenger
a) Pada adalah tanda yang digunakan dalam penulisan aksara Jawa, baik di awal, di tengah, maupun
di akhir.
b) Pada Adeg /꧊/ adalah tanda petik, yaitu tanda baca yang berfungsi untuk secara berpasangan untuk
menandai ucapan, kutipan, frasa, atau kata. Contohnya untuk menandai sebuah dialog.
c) Pada Adeg-adeg adalah tanda / ꧋ / yang digunakan di depan kalimat pada tiap-tiap awal alenia.
d) pada windu /꧆/, pada windu ini biasa digunakan bersama dengan pada adeg-adeg membentuk pada
guru.
e) Pada Guru adalah tanda / ꧋ ꧞ ꧋/ digunakan untuk pembuka kalimat dalam surat-menyurat dan di
dalam buku perdata yang memuat pasal-pasal hukum. Contoh: Salam kawilujengan dhumateng
panjenengan. /꧋ ꧆ ꧋ ꦱꦭꦩꦏꦮꦶꦭ ꦗꦁꦔꦤꦝꦸꦩꦠꦁꦥꦤꦗꦤꦁꦔꦤ꧀꧈ ....../
f) Pada Pancak adalah tanda / ꧉ ꧞ ꧉ / digunakan untuk penutup kalimat dalam surat-menyurat dan
di dalam buku perdata yang memuat pasal-pasal hukum. Contoh: Matur nuwun. /ꦩꦠꦂ ꦤ ꦮ ꦤ꧀꧈
꧉꧆꧉/
h) Pada Lungsi adalah tanda / ꧉ / yang digunakan untuk mengakhiri sebuah kalimat, contoh: Simbah
j) Pada Luhur adalah tanda / ꧅/ yang digunakan di dalam surat atau karangan yang berwujud
tembang atau puisi yang ditulis oleh orang yang derajat kedudukan atau pangkatnya tinggi dan
ditujukan kepada bawahannya, atau orang tua kepada orang yang lebih muda, contoh: Layang
tumekaa marang /꧅ꦭꦪꦁꦠ ꦩꦺꦲꦩꦫꦁ .../
k) Pada Madya adalah tanda /꧄/ yang digunakan di dalam surat atau tembang yang ditulis oleh
seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang kedudukannya sederajat atau sebaya, contoh:
Serat mugi katur /꧄ꦱꦫꦠꦩꦸꦒꦶꦺꦠꦂ /
l) Pada Andhap adalah tanda / ꧃ / yang digunakan di dalam surat atau tembang yang ditulis oleh
orang yang berkedudukan rendah ditujukan kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi, atau
orang muda kepada yang lebih tua, contoh: Serat mugi konjuk /꧃ꦱꦫꦠꦩꦸꦒꦶꦏꦺꦴꦤꦘꦸꦺ꧀꧈ /
m) Purwapada adalah tanda / ꧅ ꧀ ꦖ꧅ / yang digunakan untuk permulaan tembang yang ditulis
mengapit judul pupuh permulaan (kalau ada) atau di depan bait awal pupuh permulaan, contoh:
Dhandhanggula / ꧅ ꧀ ꦖ꧅ꦝꦤꦝꦁꦒ ꦭ/.
o) Wasanapada adalah tanda /꧅ꦆ꧅/ yang digunakan di akhir karangan suatu tembang atau
p) Pada Piseleh adalah tanda / ꧌ ꧍ / yang digunakan untuk mengapit sebuah kata, dalam aksara Latin,
fungsinya sama dengan tanda petik yang mengapit sebuah kata, frasa atau kalimat, contoh: Nonton
sing “melek”dhewe /ꦏꦤꦴꦏꦤꦠꦴꦤꦱꦁ꧈꧌ꦩꦏꦭꦺ꧀ ꧍ꦏꦝꦏꦮ ꧉ /
q) Pada tirta tumètès /꧞/ adalah semacam tanda koreksi yang berguna untuk menandakan salah tulis.
Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan tanda tersebut sebanyak tiga kali.
Tirta tumétés biasa digunakan oleh penulis Yogyakarta. Contohnya seorang juru tulis ingin menulis
‘pada luhur’ ꦥꦢꦭ ꦲꦂ namun terlanjur menulis ‘pada hu’ ꦥꦢꦲ sebelum ia sadar kesalahannya,
maka kata ini dapat dikoreksi menjadi ‘pada hu···luhur’ ꦥꦢꦲ ꧞꧞꧞ꦭ ꦲꦂ .
r) pada isèn-isèn /꧟/ adalah semacam tanda koreksi yang berguna untuk menandakan salah tulis.
Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan tanda tersebut sebanyak tiga kali.
Isèn-isèn biasa digunakan oleh penulis Surakarta. Contohnya seorang juru tulis ingin menulis ‘pada
luhur’ ꦥꦢꦭ ꦲꦂ namun terlanjur menulis ‘pada hu’ ꦥꦢꦲ sebelum ia sadar kesalahannya, maka
s) pangrangkep /ꧏ/ digunakan sebagai tanda pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia informal
setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (contohnya: pirang-pirang (ꦥꦶꦫꦁꦥꦶꦫꦁ) →
pirang2 ꦥꦶꦫꦁꧏ).
t) Rerenggan kiwa lan tengen /꧁ ꦀꦀꦀꦀꦀꦀꦀ꧂ / adalah tanda baca yang bersifat dekoratif
yang biasa digunakan sebagai pengapit judul, sehingga tampak lebih menarik dan menonjol.
u) Cecak telu / ꦀ / sering disebut nukta, yang merupakan tanda untuk menulis fonem dari kata – kata
pinjaman karena belum adanya lambang bunyi dalam aksara Jawa yang bisa mewakili bunyi
tersebut.
v) Candra bindu/panyangga /
ꦀ/ merupakan tanda untuk menyengaukan vokal, dalam aksara Jawa.
Candrabindu ini digunakan sebagai penanda aksara yang dianggap suci. Contohnya: Om (ꦎꦴ)
BAB III
Tata Tulis
Pasal 5
Tembung Lingga
Tembung lingga adalah kata dasar, yaitu kata yang belum mendapatkan imbuhan. penulisan tembung
lingga dalam aksara Jawa ditulis sesuai dengan pelafalan.
ayat (1).
Tembung lingga atau kata dasar ditulis sesuai dengan pelafalan.
Contoh kata:
- nata → ꦤꦠ
- wani →ꦮꦤꦶ
- donya →ꦏꦢꦴꦚ
ayat (2).
Tembung lingga atau kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata dengan suku pertama menggunakan pepet
[ê] atau menga nglegena, penulisannya sesuai yang dikehendaki penulis. .
Contoh kata:
- negara → ꦤꦒꦫ atau ditulis nagara →ꦤꦒꦫ
ayat (3).
Tembung lingga atau kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata dan suku kata bagian depan berbunyi
sengau, penulisan sesuai dengan pelafalannya.
Contoh kata:
- tembaga → ꦠꦩꦧꦒ
- jemparing → ꦗꦩꦰꦫꦁ
- sangsara → ꦱꦔ ꦰꦫ
ayat (4).
Wanda atau suku kata yang bukan merupakan suku kata terakhir, penulisannya sesuai yang dikehendaki
penulis.
Contoh kata:
- drekuku → ꦢꦺ ꦺ atau ditulis derkuku → ꦢꦂꦺ ꦺ
ayat (5).
Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ja (ꦀꦗ) dan atau ca (ꦀꦕ), jika terletak
dibawah aksara na mati / konsonan [ꦤ], maka aksara na tersebut berubah menjadi aksara nya (ꦚ)
Contoh kata:
- kañji → ꦺꦚꦗꦶ
- kuñcung → ꦺ ꦚꦕꦸꦁ
ayat (6).
Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ḍa ( ꦀꦝ) dan atau ṭa ( ꦀꦛ), jika terletak
dibawah aksara na mati / konsonan [ꦤ], maka aksara na tersebut berubah menjadi aksara ṇa (ꦢ)
Contoh kata:
- keṇḍil → ꦺꦢꦝꦶꦭ꧀
- kaṇṭil → ꦺꦢꦛꦶꦭ꧀
ayat (7).
Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ḍa ( ꦀꦝ) dan atau ṭa ( ꦀꦛ), jika terletak
dibawah aksara sa mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara ṣa (ꦰ)
Contoh kata:
- kaṣḍut → ꦺꦰꦝꦸꦠ꧀
- peṣṭi → ꦥꦰꦛꦶ
ayat (8).
Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ja ( ꦀꦗ) dan atau ca ( ꦀꦕ), jika terletak
dibawah aksara sa mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara śa (ꦯ)
Contoh kata:
- meśjid → ꦩꦯꦗꦶꦢ꧀
- paścima → ꦥꦯꦕꦶꦩ
ayat (9).
Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan ka ( ꦀꦏ) jika terletak dibawah aksara sa
mati / konsonan [ꦱ], maka aksara sa tersebut berubah menjadi aksara ṣa (ꦰ).
Contoh kata:
- miskin → ꦩꦶꦰꦏꦶꦤ
- masker → ꦩꦰꦏꦂ
- muskil → ꦩ ꦰꦏꦶꦭ꧀
ayat (10).
Tembung lingga atau kata dasar yang menggunakan pasangan sa (ꦀ ꦰ ) jika diikuti aksara ka mati /
- muksa →ꦩ ꦺꦱ
- beksa → ꧀ꦺꦱ
- paksi →ꦥꦺꦱꦶ
- laksita → ꦭꦺꦱꦶꦠ
Pasal 6
Tembung Andhahan adalah kata yang telah mendapat awalan, sisipan, dan akhiran.
Pasal 7
Tembung Anḍahan dengan ater-ater
ayat (1).
Penulisan tembung andhahan yang mendapatkan anuswara. Jika kata suku kata terdepan luluh /menyatu,
awalan anuswara tidak ditulis dengan ha (ꦲ) / han (ꦲꦤ꧀) / ham (ꦲꦩ꧀) /hang (ꦲꦔ꧀),
dikecualikan untuk menggenapi guru wilangan pada tembang.
Contoh kata:
- tantang → nantang → ꦤꦤꦠꦁ tidak ditulis hanantang → ꦲꦤꦤꦠꦁ
ayat (2).
Tembung andhahan atau kata turunan dengan awalan anuswara. Jika kata suku kata terdepan tidak luluh
/tidak menyatu, awalan anuswara ditulis dengan ha (ꦲ)
Contoh kata:
- an/han + da + di → ꦲꦤꦿꦢꦶ tidak ditulis da + di → ꦤꦿꦢꦶ
ayat (3).
Tembung adhahan atau kata turunan dengan kata dasar yang diawali dengan nasal /anuswara dan
berawalan pa-, maka penulisan kata turunan dari kata dasar yang berawalan nasal tersebut ditulis seperti
penulisan latinnya.
Contoh kata:
- pa + nembah → ꦥꦤꦩꦧ tidak ditulis pan + nembah → ꦥꦤꦤꦩꦧ
ayat (4).
Kata yang diawali dengan ha jika diberi awalan pi- atau pri-, maka kata tersebut ditulis tetap.
Contoh kata:
- pi + ala → ꦥꦶꦲꦭ
- pi + andel → ꦥꦶꦲꦤꦿꦭ꧀
Pasal 8
Tembung Andhahan dengan Seselan
ayat (1).
Seselan terdapat 6 (enam) jenis antara lain in, um, er, el, eth, eth.
ayat (2).
Kata yang mendapat seselan tidak ditulis rangkap.
Contoh:
- tuku + in → tinuku → ꦠꦶꦤ ꦺ
- guyu + um → gumuyu → ꦒ ꦩ ꦪ
ayat (3).
Kata yang mendapat seselan ꦫ atau ꦭ (er atau el), suku kata pertama dan kedua dijadikan satu suku
kata.
Contoh:
- kerelip → krelip → ꦺꦉꦭꦶꦥ꧀ → ꦺꦭꦶꦥ꧀
ayat (4).
Kata dengan seselan ꦤ ditulis sebagai berikut:
Contoh :
- asah + in → ingasah → ꦲꦱ → ꦲꦶꦔꦱ
Pasal 11
Tembung Andhahan dengan Panambang
ayat (1).
Panambang terdapat 7 (tujuh) jenis antara lain -a, -e/-ipun, i, an, en, ana, aken →
ꦲ꧈ꦏꦲ/ꦲꦶꦥ ꦤ꧀꧈ꦲꦶ꧈ꦲꦤ꧀꧈ꦲꦤ꧀꧈ꦲꦤ꧈ꦲꦺꦤ꧀
ayat (2).
Panambang ꦲ jika disambung
g. Wanda menga legena ditulis apa adanya, hanya pengucapan wanda menga seperti taling tarung,
bunyi panambang ꦲ seperti aksara ꦮ mandaswara
Contoh :
- Bisa + a → bisaa → ꧀ꦶꦱꦲ → ꧀ꦶꦏꦱꦴꦮ
i. Wanda menga dengan sanḍangan suku atau taling-tarung, panambang ꦲ berubah ꦮ, jika yang
- Tawu + a → tawua → ꦠꦮ ꦲ
- Nyuwowo +a → nyuwowoa → ꦚ ꦏꦮꦴꦏꦮꦴꦲ
Contoh :
- Nunggang + a → nungganga → ꦤꦁ ꦒꦁꦔ
- Adus + a → adusa → ꦲꦢ ꦱꦱ
l. Jika bersamaan dengan ater-ater ꦱ, panambang ꦲꦤ꧀ dan panambang ꦏꦲ, panambang ꦲ
berubah ꦪ
Contoh :
- Sacilikane + a → sacilikanea → ꦱꦕꦶꦭꦶꦭꦏꦏꦤꦤꦪ
ayat (3).
Panambang ꦏꦲ꧈ ꦲꦶꦥ ꦤ꧀
c. Panambang ꦏꦲ untuk ngoko, ꦲꦶꦥ ꦤ꧀ untuk krama, jika disambung wanda menga berubah ꦏꦤ
d. Panambang ꦏꦲ (ꦲꦶꦥ ꦤ꧀) jika disambung dengan wanda sigeg, aksara ꦲ berubah menjadi
aksara sigeg wanda yang disambung
Contoh :
- Bedhug + e → bedhuge → ꧀ꦝꦏꦒꦒ
ayat (4).
Panambang ꦲꦶ
d. Jika disambung dengan wanda menga, panambang ꦲꦶ ditolong panambang ꦲꦤ꧀꧈ ditulis dengan
pasangan ꦤ
Contoh :
- Nyuka + i → nyukani → ꦚ ꦺꦤꦤꦶ
e. Jika disambung dengan wanda sigeg, panambang ꦲꦶ aksara ꦲ berubah menjadi aksara sigeg
wanda yang disambung
Contoh :
- Nyriyos + i → nyriyosi → ꦚꦶꦶꦏꦪꦴꦱꦱꦶ
f. Panambang ꦲꦶ bagi kata yang dengan ater-ater ꦺ atau dengan seselan ꦤ꧈ diganti ꦲꦤ꧀
Contoh :
Dari kata dasar dengan wanda wekasan sigeg
- Ka + lebet + an → kalebetan → ꦺꦊ꧀ꦠꦠꦤ꧀
Dari kata dasar dengan wanda wekasan menga, ditulis menggunakan panambang ꦲꦤ꧀ rangkap
- Ka + suka + an → kasukanan → ꦺꦱ ꦺꦤꦤꦤ꧀
k. Jika disambung dengan wanda menga, panambang ꦲꦤ꧀ luluh dengan wanda yang disambung
Contoh :
- Gawa + an → gawan → ꦒꦮꦤ꧀
l. Jika wanda yang disambung berupa sanḍangan wulu maka berubah taling, suku berubah taling-tarung
Contoh :
- Bali + en → balen → ꧀ꦏꦭꦤ꧀
m. Panambang ꦲꦤ꧀ disambung wanda menga dengan sanḍangan wulu atau taling, berubah ꦪꦤ꧀
Contoh :
- Ka + suci + an → kasucian → ꦺꦱ ꦕꦶꦪꦤ꧀
n. Panambang ꦲꦤ꧀ disambung wanda menga dengan sanḍangan suku atau taling-tarung berubah
ꦮꦤ꧀
Contoh:
- Jejodho + an → jejodhoan → ꦗꦏꦗꦴꦏꦝꦴꦮꦤ꧀
o. Kata dengan wanda wekasan menga dengan sanḍangan wulu, sanḍangan wulu berubah taling,
panambang ꦲꦤ꧀ berubah ꦪꦤ꧀
Contoh :
- Ka + dade + an → kadadean → ꦺꦢꦏꦢꦪꦤ꧀
p. Kata dengan wanda wekasan menga dengan sanḍangan wulu, taling atau suku, panambang dapat
luluh atau tidak luluh dengan wanda wekasan kata yang dipanambangi
Contoh :
- Gadhe → gadhean → gadhen → ꦒꦏꦝ → ꦒꦏꦝꦪꦤ꧀ → ꦒꦏꦝꦤ꧀
q. Ater-ater ꦥ bersamaan dengan panambang ꦲꦤ꧀, ater-ater tidak luluh dengan awal kata yang
Contoh :
- Pa + suket + an → pasuketan → ꦥꦱ ꦺꦠꦠꦤ꧀
- Pa + dhukuh + an → padhukuhan → ꦥꦝ ꦺ ꦲꦤ꧀
r. Ater-ater bersamaan dengan panambang ꦲꦤ꧀ berarti tembung aran, pengucapan ꦺ꧈ penulisan
ꦺ
Contoh :
- Ka + patih + an → kapatihan → ꦺꦥꦠꦶ ꦲꦤ꧀
s. Ater-ater ꦺ bersamaan dengan panambang ꦲꦤ꧀ atau ꦲꦤ꧀ ditulis dan diucapkan ꦺ
Contoh:
- Ke + dawa + an → kedawan → ꦺꦢꦮꦤ꧀
t. Panambang ꦲꦤ꧀ yang disambung pada kata wanda wekasan dengan wignyan, ditulis tetap sesuai
aslinya
Contoh :
- Lenggah + an → lenggahan → ꦊꦁꦒ ꦲꦤ꧀
Panambang ꦲꦤ꧀
h. Jika disambung pada wanda menga, maka berubah ꦲꦤ꧀, ditulis tanpa pasangan ꦤ
Contoh :
- Tata + en → tatanen → ꦠꦠꦤꦤ꧀
i. Jika disambung pada wanda sigeg, panambang ꦲꦤ꧀ aksara ꦲ berubah menjadi aksara sigeg
wanda yang disambung
- Jupuk + en → jupuken → ꦗ ꦥ ꦺꦏꦤ꧀
m. Tembung andhahan dengan akhiran ꦲꦤ꧀ dari kata dasar dengan wanda wekasan menga, ditulis
d. Jika bersambung dengan wanda menga, panambang ꦲꦤ ditulis ꦲꦤ꧀, maka ditulis dengan
pasangan ꦤ
Contoh :
- Tamba + ana → tambanana → ꦠꦩꦧꦤꦤꦤ
ꦺ lan seselan ꦤ
Ater-ater anuswara
Contoh :
- Ny + sapu + ana → nyaponana → ꦚꦏꦥꦴꦤꦤꦤ
Ater-ater ꦢꦺ꧀
Contoh :
- Dak + crita + ana → dakcritanana → ꦢꦟ꧀ꦺꦕꦶꦠꦤꦤ
Ater-ater ꦏꦺꦴ
Contoh :
- Ko + tampa + ana → kotampanana → ꦏꦺꦴꦠꦩꦰꦤꦤ
Ater-ater ꦢꦶ
Contoh :
- Di + resik + ana → diresikana → ꦢꦶꦉꦱꦶꦺꦏꦤ
Ater-ater ꦺ
Contoh :
- Ka + jupuk + ana → kajupukana → ꦺꦗ ꦥ ꦺꦏꦤ
Seselan ꦤ
Contoh :
- Rembug + in + ana → rinembugana → ꦫꦶꦤꦩꦧꦸꦒꦒꦤ
(ꦺꦺꦤ꧀)
Contoh :
- Nyoplok + ake → nyoplokake → ꦏꦚꦴꦏꦥꦭꦴꦺꦏꦏꦺ
h. Jika disambung wanda menga, panambang ꦲꦏꦺ (ꦲꦺꦤ꧀) tetap, tetapi dibantu sesigeg ꦺ.
Jika kata dasar wanda wekasan dengan sanḍangan wulu berubah taling, suku berubah taling-tarung
Contoh :
- Dadi → ndadekake → ꦢꦢꦶ → ꦲꦤꦿꦏꦢꦺꦲꦏꦺ
j. Jika panambang ꦲꦏꦺ (ꦲꦺꦤ꧀) digunakan bersama ater-ater tripurusa, ater-ater ꦺ lan
seselan ꦤ
Contoh :
Ater-ater tripurusa
- Dak + slonjor + ake → dakslonjorake → ꦢꦏꦺꦱꦭꦴꦏꦚꦗꦴꦂꦫꦏꦺ
Ater-ater ꦺ
Seselan ꦤ
- Temu + in + ake → tinemokake → ꦠꦶꦤꦏꦩꦴꦺꦲꦏꦺ
Pasal 12
Tembung Rangkep
ayat (1).
Tembung Dwi-purwa yang mengulang sanḍangan swara, seperti :
Contoh:
- rigen: ꦫꦶꦒꦤ → ririgen: ꦫꦶꦫꦶꦒꦤ꧀
ayat (2).
Tembung Dwi-lingga yang suku kata awalnya: a, serta suku kata akhir sigeg, kalau dibuat dwi-lingga,
suku kata awal kata yang belakang tidak berubah menjadi sisigeg tadi, seperti:
Contoh:
Pasal 13
Tembung Camboran
ayat (1).
Tembung camboran tugel atau camboran wancahan ditulis sesuai dengan pengucapannya. Contohnya:
- dubang → ꦢ ꧀ꦁ
- bangjo → ꧀ꦏꦔꦗꦴ
- wiwawite → ꦮꦶꦮꦮꦶꦏꦠꦠ
ayat (2).
Tembung camboran wutuh penulisannya sesuai dengan bentuk katanya dan pengucapannya, dalam hal
ini tidak mengenal sastra lampah seperti tata penulisan huruf Kawi.
Contohnya:
- naga sari → ꦤꦒꦱꦫꦶ
Pasal 14
Daya Tembung
ayat (1).
Daya tembung adalah penulisan sebuah kata yang seolah-olah dipengaruhi oleh suara kata lain dalam
suatu bentuk frasa atau kata majemuk.
ayat (2).
Penulisan kata terakhir yang berawalan vokal dalam sebuah frasa atau kata majemuk harus ditulis sesuai
dengan aslinya, dan tidak mengikuti kata depannya yang berakhiran konsonan. Contoh:
- bedhil angin → ꧀ꦝꦶꦭꦲꦔꦶꦤ꧀ bukan ꧀ꦝꦶꦭꦭꦔꦶꦤ꧀꧈
ayat (3).
Penulisan kata turunan pada kata ulang dwilingga yang berawalan vokal dan berakhiran konsonan harus
ditulis sesuai kata dasarnya.
Contoh:
abang-abang → ꦲ꧀ꦁꦲ꧀ꦁ bukan ꦲ꧀ꦔ꧀ꦁ
ayat (4).
Penulisan vokal /a/ di akhir sebuah kata jika bertemu vokal /i/ pada kata berikutnya, maka kedua vokal
tersebut berubah menjadi /e/,
contoh:
ana + ing menjadi aneng → ꦲꦤ + ꦲꦁ menjadi ꦲꦏꦤꦁ
ayat (5).
Penulisan kata berawalan vokal di belakang sebuah kata yang berakhiran konsonan /ng/, maka penulisan
kata yang mengikuti tersebut tetap,
contoh:
ing inggil → ꦲꦁꦲꦶ ꦔ ꦒꦶ ꦭ꧀ bukan ꦲꦁꦔꦁꦒꦶꦭ꧀
Pasal 15
Kata Serapan
ayat (1).
Kata serapan adalah kata yang berasal dari Bahasa asing yang sudah diintegrasikan ke dalam suatu
Bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum.
ayat (2).
Penulisan a ganda (dobel a) apabila pengucapannya dengan jelas penulisan dalam aksara Jawa
menggunakan aksara suara [ꦄ]
ayat (3).
Penulisan ai dalam satu kata diperlakukan dengan beberapa penulisan yaitu :
c. ai yang tidak bervariasi dengan e, diperlakukan sebagai dua aksara dan ditulis dengan aksara suara.
contoh:
- syair ditulis → ꦱꦾꦆꦂ
- trailer ditulis → ꦻ ꦠꦿ ꦊꦂ
ayat (4).
Penulisan ae dalam satu kata diperlakukan sebagai dua aksara ditulis menggunakan aksara suara [ ꦌ]
Contoh:
maestro ditulis → ꦩꦏꦌꦱꦏ ꦠꦿꦴ
ayat (5).
Penulisan au dalam satu kata diperlakukan dengan beberapa alternative penulisan yaitu menggunakan
aksara suara [ꦈ] atau menggunakan sanḍangan mure raswadi (bunyi diftong)
contoh:
- aula ditulis ꦄꦈꦭ
contoh:
siar ditulis → ꦱꦆꦄꦂ
b. menggunakan pelancar aksara [ya]
Contoh:
sosial ditulis → ꦏꦱꦴꦱꦶꦪꦭ꧀
ayat (9).
Penulisan oa dalam sstu kata diperlakukan dengan :
a. Menggunakan aksara suara [ꦄ]
Contoh:
soal ditulis → ꦏꦱꦴꦄꦭ꧀
ayat (10).
Penulisan eo dalam satu kata diperlakukan dengan pelancar aksara [ꦪ]
Contoh:
- geografi ditulis → ꦏꦒꦏꦪꦴ ꦒꦿꦥꦶ
ayat (11).
Penulisan eu dalam satu kata diperlakukan sesuai dengan tulisan Latinnya,.
Contoh:
- neutron ditulis → ꦏꦤꦈ ꦠꦿꦎꦤ꧀
ayat (12).
Penulisan ui dalam satu kata diperlakukan dengan menggunakan pelancar aksara [ ꦮ].
Contoh:
- kuitansi ditulis → ꦺ ꦮꦶꦠꦤ ꦰꦶ
Pasal 16
Akronim dan Singkatan
ayat (1).
Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata, atau bagian lain yang ditulis
dan dilafalkan sebagai kata yang wajar.
ayat (2).
Singkatan merupakan sebuah huruf atau sekumpulan huruf sebagai bentuk pendek dari sebuah atau
beberapa kata.
ayat (3).
Penulisan akronim dan singkatan didasarkan padha pengucapannya.
Contoh:
- Hansip ditulis → ꦲꦤ ꦰꦶꦥ꧀
BAB IV
Penutup