Aksara kaganga
Aksara KAGANGA terdiri dari 27 buah tua (19 huruf tunggal dan 8 huruf pasangan atau
huruf ngibang), dan 13 tanda baca.
2. Incung kerinci
Pedoman Penulisan Aksara Incung
Surat Incoung memiliki beberapa variasi bentuk untuk beberapa huruf dan tanda baca. Dalam
menulis hendaknya pilihlah salah satu bentuk varian huruf atau tanda baca saja untuk digunakan
diseluruh teks. Penulisan diftong: diftong [au] ditulis dengan bantuan huruf ‘wa’ mati dan untuk
diftong [ai] ditulis dengan bantuan huruf ‘ya’ mati. Penggunaan aksara vokal ‘i’ dan ‘u’ untuk diftong
adalah tidak tepat. Misalnya, ‘sungai’ dalam aksara Incung akan ditulis 'sungay' bukan sunga-i.
Tanda baca [i] dan [-h] jika digunakan bersamaan, maka tanda baca [-h] yang terlebih dulu harus
ditulis. Misalnya “Sirih” ditulis sir-h-i bukan siri-h. Tanda baca [e] dan [o] dapat digunakan sesuai
dengan kesepakatan Seminar Aksara Kuno Kerinci tahun 1992. Jika tidak digunakan, bunyi suara
bervokal [e] dapat hanya ditulis dengan aksara dasar saja dan untuk beberapa kesesuaian, dapat
pula ditulis dengan dibubuhi tanda baca [i], dan untuk bunyi suara bervokal o dapat
ditulis/diwakilkan dengan aksara dasar dengan tanda baca [u]. Misalnya: “Pemerintah” ditulis
‘pamarintah’ “Oleh” ditulis ‘ulih’ “Seorang” ditulis ‘saurang’ “Kemerdekaan” ditulis ‘kamardikaan’
3. Aksara Batak
Beberapa aturan penulisan yang harus diperhatikan dalam menulis Aksara Batak adalah
sebagai berikut:
1. Jika hatadingan “e” dan haluaan “o” adalah sebuah suku kata yang berdiri sendiri
maka terlebih dahulu ditulis ina ni surat “a” lalu diikuti anak ni surat yang
bersangkutan.
Contoh:
2. Jika “singkora” I dan “haborotan” U sebagai suku kata yang berdiri sendiri maka
penulisan dapat berdiri sendiri.
Contoh:
3. Jika anak ni surat terletak di depan sebuah ina ni surat yang diikat oleh pangolat
dalam satu suku kata, maka anak ni surat tersebut melekat pada ina ni surat yang di
ikat pangolat
4. Aksara Sunda
Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini
ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal.
Berikut ini merupakan aksara dasar pada Lontara:
Hurup lontara atau induk surat lontara Terdapat empat aksara yang
merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni, ngka, mpa, nra, dan nca. Keempat
aksara ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan
merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis.
Tanda baca
Teks tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak
banyak menggunakan tanda baca. Aksara Lontara diketahui hanya memiliki
pallawa sebagai tanda baca.
Pallawa berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks
ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat.
Tanda baca ini dapat ditemukan dalam semua naskah beraksara Lontara.
6.aksara Bali
Aksara Bali adalah aksara tradisional masyarakat Bali dan berkembang di Bali.
Aksara Bali merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa.
Aksara ini mirip dengan aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk
huruf.
Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal
(aksara suara). Huruf konsonan (aksara wianjana) berjumlah 33 karakter. Aksara
wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat aksara
wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang
dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.
Meski ada aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu,
pengucapannya sering disetarakan dengan aksara wianjana Bali. Misalnya, aksara
dirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca
seperti aksara hresua (pengucapan pendek).
Dalam aksara Bali, terdpat suatu sistem pengelompokkan huruf menurut dasar
pengucapannya yang disebut warga aksara. Dalam bahasa Bali, warga berarti
“jenis”/”kelompok” dan aksara berarti “huruf”/”lambang penulisan”, bukan sistem
tulisan. Dalam aturan menulis aksara Bali, ada 5 warga aksara yang utama, yaitu:
[1]
Kanthya. Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit
dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara. Yang
termasuk warga kanthya adalah konsonan langit-langit belakang/guttural dan
celah suara (glotal). Huruf konsonan yang termasuk warga kanthya terdiri dari: Ka
(k), Ga (g), Ga gora (gh), Nga (ng). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga
kanthya adalah A.
Talawya. Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit
mulut. Yang termasuk warga talawya adalah konsonan langit-langit/palatal. Huruf
konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Ca (c), Ca laca (ch), Ja (j), Ja
jera (jh), Nya (ny), Sa saga (sy). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga
talawya adalah I.
Murdhanya. Warga murdhanya adalah kelompok fonem yang berasal dari tarikan
lidah ke belakang menyentuh langit-langit. Beberapa di antaranya termasuk
konsonan rongga-gigi. Yang termasuk warga murdhanya adalah konsonan tarik-
belakang/retrofleks dan rongga-gigi/alveolar. Huruf konsonan yang termasuk
warga murdhanya terdiri dari: Ta latik (ṭ), Da madu (ḍ), Na rambat (ṇ), Sa sapa
(ṣ), Ra (r). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga murdhanya adalah Ra
repa (Ṛ).
Dantya. Warga dantya adalah kelompok fonem yang berasal dari sentuhan lidah
dengan gigi. Beberapa di antaranya termasuk konsonan rongga-gigi. Yang
termasuk warga dantya adalah konsonan gigi/dental dan rongga-gigi/alveolar.
Huruf konsonan yang termasuk warga dantya terdiri dari: Ta (t), Ta tawa (th), Da
(d), Da madu (dh), Na (n), Sa danti (s),[2] La (l). Sedangkan huruf vokal yang
termasuk warga dantya adalah La lenga (Ḷ).
Osthya. Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir
atas dan bawah. Yang termasuk warga oshtya adalah konsonan dwibibir/labial.
Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Pa (p), Pa kapal (ph),
Ba (b), Ba kembang (bh), Ma (m), Wa (w). Sedangkan huruf vokal yang termasuk
warga talawya adalah U.
Aksara wianjana (konsonan)
Aksara wianjana disebut pula konsonan atau huruf mati dalam aksara Bali.
Meskipun penulisannya tanpa huruf vokal, setiap aksara dibaca seolah-olah
dibubuhi huruf vokal /a/ atau /ə/[3] karena merupakan suatu abugida. Selama
aksara wianjana tidak dibubuhi pangangge aksara suara (tanda huruf vokal: i, u, é,
o, ě, ai, au), maka aksara tersebut dianggap dibubuhi vokal /a/ atau /ə/.[3] Jika
menulis dengan huruf latin, kata “na” merupakan gabungan dari huruf
konsonan /n/ dan vokal /a/. Dalam aksara Bali, kata “na” disimbolkan dengan satu
huruf saja, bukan gabungan dari huruf konsonan “n” dan huruf vokal “a”.
Dalam bahasa Bali, huruf Ha tidak dibaca saat digunakan pada permulaan kata.
Biasanya, meskipun dalam penulisan kata menggunakan huruf Ha, bunyi
konsonan /h/, yang diucapkan hanya vokalnya saja. Contohnya, dalam penulisan
kata “hujan”, dipakai huruf Ha di depan kata. Namun pada saat membaca kata
“hujan”, orang Bali lebih memilih tidak mengucapkan /hu/, melainkan hanya
mengucapkan /u/. Jadi yang diucapkan adalah /ud͡ʒan/.[4]
Aksara ardhasuara adalah semivokal. Kata ardhasuara (dari bahasa Sanskerta)
secara harfiah berarti “setengah suara” atau semivokal. Dengan kata lain, aksara
ardhasuara tidak sepenuhnya huruf konsonan, tidak pula huruf vokal. Yang
termasuk kelompok aksara ardhasuara adalah Ya, Ra, La, Wa. Gantungan-nya
termasuk pangangge aksara (kecuali gantungan La), yaitu nania (gantungan Ya);
suku kembung (gantungan Wa); dan guwung atau cakra (gantungan Ra). Kata-
kata yang diucapkan cepat, seolah-olah vokalnya dipangkas, menggunakan
gantungan aksara ardhasuara. Contoh kata: “pria” (bukan “peria”); “satwa” (bukan
“satuwa”); “satya” (bukan “satiya”); “proklamasi” (bukan “perokelamasi”)
Pangangge
Pangangge (lafal: /pəŋaŋge/) atau dalam bahasa Jawa disebut sandhangan, adalah
lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu aksara
wianjana maupun aksara suara dan memengaruhi cara membaca dan menulis
aksara Bali. Ada berbagai jenis pangangge, antara lain pangangge suara,
pangangge tengenan (lafal: /t̪ əŋənan/), dan pangangge aksara.
Pangangge suara
Bila suatu aksara wianjana (konsonan) dibubuhi pangangge aksara suara (vokal),
maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf Na dibubuhi ulu
dibaca Ni; Ka dibubuhi suku dibaca Ku; Ca dibubuhi taling dibaca Cé. Untuk
huruf Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak.
Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.
Pangangge tengenan
Pangangge tengenan (kecuali adeg-adeg) merupakan aksara wianjana yang bunyi
vokal /a/-nya tidak ada. Pangangge tengenan terdiri dari: bisah, cecek, surang, dan
adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara Dewanagari, tanda bisah berfungsi
sama seperti tanda wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda
adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.
Gantungan
Karena adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar aksara
wianjana bisa “mati” (tanpa vokal) di tengah kalimat dipakailah gantungan.
Gantungan membuat aksara wianjana yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan
dengan huruf “a”, misalnya aksara Na dibaca /n/; huruf Ka dibaca /k/, dan
sebagainya. Dengan demikian, tidak ada vokal /a/ pada aksara wianjana seperti
semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki gantungan tersendiri. Untuk
“mematikan” suatu aksara dengan menggunakan gantungan, aksara yang hendak
dimatikan harus dilekatkan dengan gantungan. Misalnya jika menulis kata “Nda”,
huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf Na dilekatkan dengan gantungan Da.
Karena huruf Na dilekati oleh gantungan Da, maka Na diucapkan /n/.
Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama,
namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak
diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu
huruf yang sama disebut tumpuk telu (tiga tumpukan). Untuk menghindari hal
tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[8]
[sunting] Pasang pageh
Dalam lontar, kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak
ditemukan berbagai aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa.
Penulisan aksara seperti itu disebut pasang pageh, karena cara penulisannya
memang demikian, tidak dapat diubah lagi.[9] Aksara-aksara tersebut juga
memiliki nama, misalnya Na rambat, Ta latik, Ga gora, Ba kembang, dan
sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap aksara harus diucapkan dengan
intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara tersebut. Namun kini ucapan-
ucapan untuk setiap aksara tidak seperti dulu.[10] Aksara mahaprana (hembusan
besar) diucapkan sama seperti aksara alpaprana (hembusan kecil). Aksara dirgha
(suara panjang) diucapkan sama seperti aksara hrasua (suara pendek). Aksara
usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak
dihiraukan lagi dalam membaca, namun dalam penulisan, pasang pageh harus
tetap diperhatikan.
Aksara maduita
Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya orang Bali
menyerap kata-kata dari bahasa Sanskerta dan Kawi untuk menambah kosakata.
7. Aksara Jawa
Ha yang merupakan perwakilan dari huruf H dan A adalah satu suku kata yang
utuh jika dibandingkan dengan kata “hari”.
Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku
kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Oleh karenanya cacah huruf
pada suatu penulisan kata disingkat jika dibandingkan dengan tata cara penulisan
aksara latin.
Layaknya dengan aksara Hindi, pada bentuk yang original tata cara Penulisan
Aksara Jawa yaitu aksara Jawa Hanacaraka ditulis dengan cara menggantung atau
terdapat garis pada bagian bawahnya. Kemudian seiringnya waktu, dan juga
adanya modifikasi akhirnya pada era modern ini para pendidik mengajarkan
aksara jawa melalui penulisan aksara hanacaraka di atas garis.
Aksara Carakan adalah aksara paling dasar. Dilihat dari namanya saja
carakan, berarti aksara ini dipakai untuk menuliskan kata-kata. Tiap dari
aksara carakan ini mempunyai bentuk pasangannya. Adapun aksara
pasangan dipakai untuk mematikan (menghilangkan vokal) aksara
sebelumnya.