Anda di halaman 1dari 7

Laki-laki dalam bingkai dapur Bugis

Istilah dapur (tradisional) disini mencakup pengertian dapur sebagai ruang /bangunan, tempat
menyimpan peralatan masak dan tempat berlangsungnya kegiatan makan minum. Eksistensi
dapur ini timbul bersamaan dengan diketemukannya api oleh manusia. Dapur bagi orang Bugis-
Makassar sangat dekat dengan proses dan eksistensi keluarga. Keluarga yang masih “hidup”
dapat ditengarai dengan dapur yang masih berasap. Sebaliknya sebuah dapur yang sudah tidak
berasap lagi menandakan bahwa keluarga pemilik dapur sudah mati.

Dapur tradisional Bugis-Makasar pada umumnya berbentuk segi empat, mengikuti filsafat orang
Sulawesi Selatan yang disebut “Sulapa Eppa” yang artinya “Yang dianggap paling sempurna
adalah yang bersegi empat”. Bentuk formasi bangunan untuk perletakan tungku ada yang terbuat
dari kayu dan ada pula yang diletakkan diatas lantai rumah secara berdampingan. Bangunan
dapur tradisional Bugis-Makasar ada yang bertingkat dua. Lantai atas digunakan untuk tempat
menyimpan dan mengeringkan kayu bakar atau menyimpan peralatan dapur. Lantai bawah
digunakan untuk memasak. Tungku masak yang digunakan kebanyakan masih menggunakan
tiga batu yang diatur diatas lantai yang sudah diberi pasir atau tanah. Dalam satu dapur bisa
berderet dua sampai tiga buah tungku. Bila masih memerlukan tungku lagi, dibuatlah tungku
yang terpisah dengan dapur yang disebut dapo (Bugis) atau palu (Makasar) yang mudah
dipindah-pindahkan.

Di beberapa daerah di Sulawesi bagian Selatan, palu yang mempunyai bentuk seperti perahu
dengan tiga tatakan sangat dominan dipakai. Sedangkan untuk wilayah utara cukup bervariasi,
diantaranya : formasi tiga batu, bentuk silinder, dua besi panjang sejajar, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, dapur tersebut bergeser ke ruang belakang dan dibuatkan
bangunan tambahan khusus dibagian belakang atau bagian sebelah kiri bangunan induk.
Bangunan khusus untuk dapur ini disebut Jongke atau Bola Dapureng. Jongke ini merupakan
tempat pelaksanaan kegiatan penyediaan makanan dan minuman keluarga atau tamu, serta
tempat untuk menyimpan makanan dan peralatan masak.

Dapur orang Bugis-Makasar [sesuai dengan pengetahuan lokal para nenek moyang mereka]
diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika dapur menghadap utara maka orang yang
memasak akan menghadap ke Selatan, begitu pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari asap dapur yang sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat
atau timur. Hal ini masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap keadaan
lingkungan sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal lain yang kurang
diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi udara di dapur tidak sehat.

Pada umumnya peralatan dapur tradisional orang Bugis-Makasar dapat diklasifikasikan menurut
jenis material peralatan tersebut :

a. Terbuat dari tanah liat: dapo/pallu (anglo), Oring tana/Uring buta (periuk), bempa/gumbang
(tempayan), dan lain – lain.

b. Terbuat dari logam yaitu: oring beddi/uring bassi (periuk), panci, ceret, pammutu bessi/pamja
besi (wajan) piso/ lading (pisau), bangkung / berang parang), baki.

c. Terbuat dari bambu: pabberang api (peniup api), paccipi (penjepit), pattapi (niru), rakki
(tempat mengeringkan bahan makanan), jamba (tempat nasi dari anyaman bambu).

d. Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), piring kayu.

e. Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng/inungang (gelas tempurung), sinru


kaddaro/si’ru kaddaro (sendok tempurung), piring kaddaro.

f. Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi), appanatireng


santang(tapisan santan), paberesse/pa’berassang (tempat beras).

g. Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang (cobek)

Fungsi dan Pandangan terhadap Dapur

Fungsi dapur juga mengalami perkembangan mengikuti budaya dan masyarakat. Fungsi dapur
sekarang dapat disebutkan sebagai berikut :a. Tempat untuk kegiatan penyediaan dan pengolahan
makanan dan minuman untuk keluarga dan tamu. Disini perempuan memegang otoritas penuh
atas ruang dan waktu.b. Tempat menyimpan peralatan dan persediaan makanan dan minuman.c.
Tempat cuci dan pembuangand. Tempat untuk sosialisasi awal bagi anak perempuan memasuki
dunia perempuan serta mempererat hubungan kekerabatan dengan anggota keluarga lain atau
tetanggae. Tempat usaha : membuat kue, makanan dan minuman.

Sejalan dengan fungsi-fungsi dapur tersebut, tumbuh nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi
oleh anggota masyarakat setempat. Misalnya, untuk menerima tamu (bukan famili), tidak
melewati batas ruang tamu, apalagi masuk ruang dapur. Karena dapur merupakan rahasia
keluarga / kehidupan rumah tangga, sehingga ruang dapur dibatasi hanya untuk kerabat dekat
saja. Pemanfaatan dapur sebagai salah satu bagian rumah juga membawa nilai - nilai atau norma
- norma yang harus ditaati. Oleh karena itu ada beberapa perilaku yang tidak boleh dilanggar
karena dapat membawa bencana bagi siapa saja yang melanggarnya.

Beberapa pantangan tersebut adalah :

1. Tidak boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku dia akan bersifat
seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang yang suka menginjak dapur akan
suka melanggar norma / nilai di bidang seks.

2. Anak gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan bersuamikan
orang tua atau mempunyai anak tiri.

3. Pada saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam. Hal ini
dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan pulang dari melaut.

4. Pada musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api dapurnya kepada
dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan padinya habis dimakan
ulat / tikus.

5. Laki - laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-laki.

6. Laki - laki (suami) tidak boleh memegang Alat - alat masak. Hal ini menandakan suami
tidak percaya kepada istrinya.

7. Tidak boleh memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok dan sebagainya,
hal ini menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh

8. Tidak boleh duduk mengangkang saat mencuci bahan makanan Barangkali pose duduk
mengangkang saat membasuh bahan makanan sudah jarang dilakukan di dapur. Saat ini
sebagian masyarakat terutama di perkotaan telah menggunakan bak pencucian piring
yang letaknya lebih tinggi. Sehingga seseorang tidak harus berada dalam posisi duduk
jongkok saat mencuci beras. Namun, di beberapa rumah yang masih menggunakan lantai
sebagai tempat melakukan aktivitas mencuci, posisi duduk masih sering dilakukan.
Duduk mengangkang sambil mencuci bahan makanan utamanya beras dipercaya dapat
membuat makanan yang sedang dicuci lebih cepat basi. Jika mencuci ikan dengan posisi
duduk ini, bau amis pada ikan tidak akan hilang. Posisi duduk yang disarankan saat
mencuci bahan makanan adalah duduk dengan mengatupkan rapat kedua tungkai hingga
ujung dua lutut bertemu. Selain itu, posisi duduk agak menyerong ke kiri atau ke kanan
agar bagian depan tubuh tidak berhadapan langsung dengan bahan makanan yang sedang
dicuci. Meski terkesan repot, aturan ini dapat membiasakan kaum perempuan untuk
duduk dengan posisi lebih sopan

9. Membaca solawat nabi maupun surah pendek saat membasuh ikan Mitos yang satu ini
tentunya sudah dipengaruhi dengan ajaran Islam yang masuk pada masyarakat Bugis.
Anjuran melafalkan solawat nabi maupun membaca surah pendek saat mencuci sumber
bahan makanan hewani agar tidak meninggalkan bau amis. Selain itu, diwajibkan
membasuh sebanyak tiga kali ikan dan daging lain agar bebas dari darah yang masih
menempel pada daging hewan.

10. Tidak makan pada penutup makanan Larangan untuk makan pada penutup makanan
ditujukan bagi anak lelaki. Anak laki-laki yang menggunakan penutup, baik penutup
panci maupun piring yang sebelumnya digunakan untuk menutup makanan, dipercaya
akan menjadi "penutup malu". Maksudnya, kelak anak lelaki ini akan menikahi gadis
hanya untuk menutupi aib sang gadis. Larangan yang cukup serius ini tetap dipercaya dan
dijalankan oleh masyarakat Bugis hingga hari ini.

11. Menusuk bawang pada ujung pisau saat mengupas atau mengiris bawang Untuk
menghindari mata pedih saat mengupas maupun mengiris bawang, masyarakat Bugis
percaya satu anjuran. Yakni menusukkan bawang pada ujung pisau yang digunakan untuk
mengupas maupun mengiris bawang. Jika ingin menyaksikan pemandangan ini, sekali-
kali masuklah ke dapur saat sebuah hajatan akan digelar. Para ibu yang bertugas
menguliti dan mengiris puluhan kilogram bawang menghindari mata perih dengan cara
ini. Unik dan sederhana.

Dalam kehidupan masyarakat bugis dapur bukan hanya bercerita tentang perempuan dalam
menyuguhkan makanan bagi keluarga namun juga bercerita tentang seseorang laki-laki
(kallolo) . Dalam masyarakat bugis dikenal dengan Makkalu Dapureng Wekka Pitu. Makna salah
satu filosofi Bugis "Makkalu Dapureng Wekka Pitu" yang secara bahasa dapat diterjemahkan
dengan kata "mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali". filosofi ini di peruntuhkan bagi mereka
pemuda (kallolo) bugis sebelum melepas masa lajangnya dimana pemuda tersebut sudah
mencapai masa yang mapan untuk membina mahlighai bahtera rumah tangga.

Tentu kita masih ingat pesan orang tua (leluhur) kepada pemuda bugis yang ingin segera
mengahiri masa lajangnya yaitu  "Makkalu Dapureng Wekka Pitu" apalagi sudah memiliki niat
untuk berumah tangga karena perkawinan adalah momen yang sangat ditunggu-tungu kaum
muda untuk melepas masa lajangnya.  terlebih lagi apabilah calon yang akan dinikahinya adalah
orang yang dicintainya. oleh karena itu penulis mencoba mengungkap  makna dibalik  "makkalu
dapureng wekka pitu "

Ketika pemuda  menyampaikan niat kepada orang tuanya kalau dirinya sudah siap untuk
menikah, maka orangtua yang murni keturunan bugis dan faham pesan-pesan leluhur tentu orang
tua membalasnya dengan kata "mulle mua makkaluri dapurenge wekka pitu" artinya sanggupkah
kau tawaf (mengelilingi) dapur sebanyak tujuh kali.

Tawaf di dapur sebanyak tujuh kali bukanlah hal yang sulit, jangankan tujuh kali, seribu kalipun
pasti banyak yang bisa apa lagi melihat dapur khas orang Bone paling besar satu meter persegi.

Tapi bukan itu yang dimaksud, kata itu punya makna yang mendalam, punya pesan yang tersirat
bagi pemuda yang siap untuk menikah. oleh karena itu bagi pemuda yang suda mau menikah
wajib mendalami makna "makkaluri dapureng wekka pitu"

Untuk mengelilingi dapur sebanyak tuju kali seorang pemuda harus mempersiapkan tiga kayu
dalam artian agar dapur itu tetap beroperasi  yaitu Kayu (aju) pertama "mulle mua ga,
polengangi aju  tunung bine mu na wedding madummpu dapureng na" ( sanggupkah kau
menyiapkan kayu bakar untuk istrimu supaya dapurnya bisa berasap). artinya seorang suami
harus bisa menafkahi memberi makan terhadap istri dan menjadi penopang hidup bagi keluarga
untuk mencari rezki supaya bisa menutupi belanja sang istri. karena setelah menikah pastinya
kita sudah malu untuk terus dibiayai oleh orang tua, oleh karena itu setelah menikah kita harus
mandiri dan mampu menafkahi keluarga kita sendiri.
Kayu (aju) kedua  "mulle mua ga, polengangi waju binemu na tutukengi welang pelang na"
sanggupakah kau menyediakan baju buat istrimu untuk menutupi tubuhnya). sebagai seorang
laki-laki normal, pastinya kita mau istri kita tampil menarik nan elegant, untuk tampil menarik
nan elegant pastinya harus ditopang dengan  pakaian yang wajar, oleh karena itu sebagai suami
yang baik kita harus menyiapkan kebutuhan sang istri itu. alangkah malunya seorang suami
kalau istrinya jarang ganti baju, apalagi watak orang bugis "maraja siri"(rasa malunya tinggi)
dan juga sanggupkah menyiapkan tempat tinggal buat istri mu supaya ada tempat bagi kamu
untuk bercengkrama dan membina keluarga). 

Setelah menikah pastinya kita sudah memiliki kehidupan sendiri dan tidak lagi tinggal  di rumah
orang tua  atau rumah mertua, oleh karena itu seorang suami harus menyiapkan diri untuk hidup
mandiri dan membuat rumah sendiri. ada istilah bugis mengatakan " namua lo maruru, assaleng
bolata mato, magello mua pa'panedding,e" ( biar mau rubuh, asal rumah sendiri, perasaan akan
senang)

Kayu (aju) ketiga "engka moga aju-aju poncommu lega-lega ditenggana dua batu-batu mu"
(adakah kayu-kayu pendekmu yang berada ditengah-tengah dua batu-batu mu) aju ini merupakan
aju yang paling penting, karena ini menyangkut tentang kelanjutan generasi dan juga kepuasan
seorang wanita, banyak wanita yang mengatakan walau bergelimang harta  tapi tidak pernah
diberikan nafkah batin maka sama halnya bohong.

Muncul pertanyaan, kenapa orang tua kita dahulu menyuruhkita mengelilingi dapur sebanyak
tujuh kali ? ternyata orang tua mengisyaratkan kalau diwaktu lajang mu kau punya nyawa
(sumange) satu, maka setelah menikah nyawa (sumange) itu harus bertambah menjadi tujuh
(memiliki tanggungjawab moral yang tinggi sebagai bentuk watak putra bugis dalam
mengembang amanah sebagai seorang kepala keluarga)

Itulah bagian dari pesan para leluhur dan orangtua kita dahulu yang selalu mempertanyakan
kesanggupan kita untuk mengitari dapur sebanyak tujuh kali. kesimpulannya sebelum menikah
seorang laki-laki putra bugis harus siap untuk  memenuhi kebutuhan sandang, pangan papan, dan
kebutuhan batin sang istri dengan semangat tujuh kali lipat. bagi pembaca,"mulle mua makkaluri
dapureng'e wekka pitu ?" pesan yang penuh makna tanppa disadari itu sangat bermamfaat bagi
kehidupan setelah memiliki tanggungjawab yang berbeda yaitu sebagi kepala keluarga

Membaca rangkaian diatas secara tidak sadar nenek moyang mendidik kita sebagai manusia
tanpa sekat antara Laki-laki dan Perempuan. Namun perlu di ingat tetap ada porsi masing-masing
bagi laki-laki dan perempuan di dapur.

http://www.bugiswarta.com/2014/08/filosphy-bugis-makna-makkalu-dapureng.html

(https://www.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=234556916642189&id=174778575953357)

Sumber Artikel : https://makassar.terkini.id/mitos-dalam-masyarakat-bugis-ketika-berada-di-


dapur/

Anda mungkin juga menyukai