Anda di halaman 1dari 8

Makanan Dalam Konsep Budaya Sasak

I. Pendahuluan
Suku sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dengan bahasa
sehari-hari adalah bahasa sasak. Sebagian besar suku sasak adalah beragama
islam, dan sebagian kecil masih menganut islam watu telu. Jumlah suku sasak
yang mendiami pulau Lombok sekitar 3 juta orang.
Pada awal abad ke-17, Kerajaan Karangasem dari Bali berhasil menanamkan
pengaruhnya di wilayah barat Pulau Lombok dan pada tahun 1750 seluruh wilayah
PulauLombok berhasil dikuasai kerajaan Hindu dari Bali itu. Dengan dikuasainya
Pulau Lombok oleh Bali, maka orang-orang Bali berdatangan ke Lombok
sekaligus membawa serta kebudayaan mereka ke Lombok termasuk dalam
kebudayaan makan.

Dengan adanya perpindahan tersebut maka sampai saat ini sebagian kebudayaan
Suku sasak merupakan akibat pengaruh dari kebudayaan Bali dengan Islam,
termasuk dalam memahami dan melaksanakan kegiatan yang berhungan dengan
makanan.

II. Konsep tentang Makanan


Menurut orang Sasak, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan yang
dapat mengenyangkan dan menyenangkan hati. Dilihat dari pengertian
itu, makanan orang Sasak dapat dibedakan menjadi makanan sehari-hari atau
makanan pokok, makanan upacara, dan makanan panganan ( bahasa Sasak :
kakenan).

Makanan pokok pada umumnya adalah nasi dan lauk pauk (” jangan dalam bahasa
sasak”). Perbandingan antara kedua jenis makanan itu selalu jumlah nasi lebih
banyak dari lauk pauknya. Ragam lauk pauk setiap kali makan pada umumnya
hanya satu macam ditambah dengan sayur hijau (jangan kelak) dengan sambal dan
garam sebagai perangsang.

Dalam konsep makanan orang Sasak, bahwa yang dapat mengenyangkan dan
menggemukkan hanyalah nasi. Lauk pauk dan sayur mayur hanya berfungsi
sebagai penyedap dan pelancar. Karena itu susunan menu tidak pernah terpikirkan
oleh mereka. Bagi mereka nasi adalah makanan yang utama. Bila sudah ada nasi,
kesehatan dan pertumbuhan orang pasti terjamin. Makan selain nasi dianggap
belum makan, sekalipun sampai kenyang.
Orang sasak juga mempercayai kehidupan setelah mati, makhluk gaib dan arwah
nenek moyang. Untuk menghormati hal-hal tersebut agar dapat memberikan
keselamatan baik bagi yang sudah mati maupun yang masih hidup maka diadakan
upacara-upacara tertentu. Dalam setiap upacara-upacara tersebut maka mereka
akan menyajikan makanan yang lebih dari pada kebiasaan sehari-hari, terutama
kualitas dan kuantitasnya.

Golongan makanan yang ketiga adalah yang disebut oleh orang Sasak dengan
kakenan. Kakenan artinya makanan selain nasi. Termasuk ke dalam golongan ini
adalah segala jenis jajan, jagung, dan berbagai jenis umbi-umbian yang enak
dimakan sebagai nyamikan.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, maka suku sasak tidak
mengkonsumsi makanan makanan tertentu seperti babi, darah, bangkai kecuali
ikan dan belalang. Begitu juga makanan yang dianggap hidup di dua alam seperti
katak serta makanan yang menjijikkan seperti kelelawar dan ular.

Masyarakat juga masih ada yang pantang terhadap makanan tertentu dengan alasan
kesehatan seperti ibu hamil tidak boleh makan nenas, durian karena panas dan
berdampak pada bayi yang dikandungnya. Orang patah tulang tidak boleh makan
daun paku karena bisa membuat ngilu.

Masih ada juga kepercayaan terhadap makanan tertentu seperti belut dapat
menambah darah, daging dapat meningkatkan keperkasaan pada lelaki dan makan
garam sebelum makan dapat menghindari dari gangguan makhluk halus atau
orang yang berniat jahat kepada kita.

Menyisakan makanan merupakan hal yang tabu, berarti tidak menghargai karunia
Allah yang telah memberikan makanan, oleh karena itu untuk menanamkan hal itu
maka anak-anak diajarkan untuk makan sesuai kebutuhannya dan tidak boleh ada
sisa. Pada acara-acara keagamaan dan adat maka jika ada sisa maka akan dibawa
pulang sebagai berkat.

2. Prilaku Makan Suku Sasak


Suku sasak sangat menghargai makanan, karena mereka beranggapan bahwa
makanan itulah yang membuat mereka tumbuh. Makanan akan menjadi darah dan
daging mereka, sehingga mereka akan sangat berhati-hati dalam mencari dan
memperlakukan makanan. Nasi tidak boleh diduduki atau dilangkahi sehingga
penempatannya sangat diperhatikan.
Makanan yang baik dapat menjernihkan pikiran sedangkan makanan yang haram
dapat mendorong manusia pada kesesatan dan kekotoran pikiran. Karena itu mulai
dari pembibitannya sampai penyajiannya berupa makanan diusahakan sebaik
mungkin agar membawa berkah bagi kehidupan manusia.

Alat untuk memasak nasi disebut periuk. Setelah matang, nasi disendok dari periuk
dimasukkan ke dalam rombong atau ponjol atau gadang kemudian disimpan
dengan carta menaruh pada suatu gantungan yang disebut lanjaq. Perlakuan ini
bertujuan untuk menghindari nasi dari tikus serta menempatkan nasi lebih
atas/tinggi agar tidak dilangkahi.

Pada umumnya para wanita atau ibu Sasak mengatur kerja di dapur berakhir
bertepatan dengan waktu makan tiba. Pada waktu makan tiba mereka telah siap
menyajikan makan siang untuk keluarganya.

Orang Sasak yang pada umumnya petani mengenal 2 kali makan dalam sehari.
Makan pagi (ngelemaq) dan makan sore (ngebian). Meskipun demikian mereka
juga mengenal istilah makan pagi (Nyenyampah). Tetapi ini bukan kebiasaan
umum. Nyenyampah dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya kalau hendak
bepergian jauh, sedangkan waktu makan pagi (ngelemaq) belum tiba.

Pada akhir-akhir ini nyenyampah (sarapan pagi) menjadi populer di kalangan anak-
anak sekolah di kota dan orang-orang Sasak yang bekerja sebagai buruh pedagang
dan Pegawai negeri. Demikian pula di kalangan kusir cikar (cidomo) dan sopir. Di
kalangan petani saraapan juga sudah mulai populer. Hanya di antara mereka
terdapat 2 golongan besar dilihat dari bahan sarapan. Petani-petani di desa
kebanyakan sarapan dengan ubi, ketela, jagung kadang-kadang ketan sesuai
kemampuan masing-masing atu bahkan dengan secangkir kopi saja.

Bahan-bahan sarapan biasanya telah siap sebelum matahari terbit. Selesai sholat
subuh bapak-bapak dan anak laki-laki yang telah dewasa mulai sarapan dengan
minum kopi. Sarapan disuguhkan dalam piring ysnjg ditempatkan di talam. Ayah
dan anak lelakinya yang telah dewasa duduk menghadapi sarapan untuk makan
bersama-sama. Menyantap ubi dan lain-lain berbeda tata caranya dengan makan
nasi. Ketika makan sesuatu selain nasi, dapat lebih santai, tidak terikat tradisi.

Orang-orang Sasak yang mampu baik di kota maupun di desa pada umumnya
menyediakan nasi dengan lauknya sebagai bahan sarapan pagi. Pagi-pagi sesaat
sebelum berangkat ke tempat kerja masing-masing sarapan sudah terhidang di atas
meja makan.

Anak-anak yang akan berangkat ke sekolah dapat serapan lebih dahulu dari pada
ayahnya yang akan ke kantor. Ibu dan anak-anak yang tidak sekolah sarapan
paling kemudian. Pada hari Minggu atau pada hari libur juga sarapan menurut
keperluan yang penting sarapan telah tersedia di atas meja.

Makan siang biasanya dilakukan antara jam 11.00 sampai 14.00, tergantung
pekerjaan anggota keluarga. Yang diberi makan pertama adalah anak-anak kecil
yang belum bersekolah atau yang masuk siang atau sore. Namun makanan untuk
ayah sudah disiapkan dan disisihkan tersendiri. Bila anak-anak sudah selesai baru
ayah menyusul. Paling akhir yang makan adalah ibu.

Bagi anak-anak biasanya diberi makan di dapur dengan duduk bersila. Nasi dan
lauk pauk mereka masing-masing sebelum makan sudah ditaruh di piring. Waktu
makan mereka duduk bersaf berhadap-hadapan. Dapat juga duduk melingkar
mengelilingi makanan. Kecuali nasi, lauk pauk dan sayuran sama-sama mengambil
dari mangkok yang sama. Di dekat mereka ibu mereka duduk melayani. Ibu
menambah nasi atau sayuran mereka jika isi mankok sudah mulai berkurang.
Kalau ada ikan atau telur di samping sayuran maka ikan atau telur telah dibagi
sama atau tidak sama sekali.

Menyuap nasi juga tidak boleh terlalu banyak. Sedang-sedang saja, supaya nasi
dapat dikunyak dengan baik. Temponya juga harus sedang. Tidak boleh terlalu
cepat tetapi juga tidak boleh terlalu lambat sehingga menghambat yang lain. Anak
yang telah lebih dahulu selesai tidak boleh meninggalkan tempat makan
sebelumselesai seluruhnya. Waktu minum mereka juga minum dari kendi yang
sama. Ketika mengunya dan menelan tidak boleh sampai kedengaran suaranya.
Mengunyah harus dengan mulut tetap terkatup. Suara decapan yang keras dapat
menhilangkan berkat. Sari makanan akan lari karena mendengar suara decapan
yang keras.

Akibat badan akan menjadi kurus karena memakan nasi yand sudah kehilangan
sarimya. Demikian pula selama makan tidak boleh ribut bercakap-cakap, apalagi
bermain-main.

Semua anak harus duduk dengan tertib dan khidmat. Mata dan pikiran harus
dipusatkan kepada nasi. Nasi yang jatuh harus dipungut dan dimakan. Karena itu
dilarang sekali anak-anak membiarkan remah-remah nasi berhamburan di tanah
atau di kakinya. Remah-remah yang berceceran harus dipungut dibasuh dan
dimakan. Bila tidsak ibu bercerita kepada anak-anaknya bahwa remah-remah yang
tidak dipungut akan menangis berbaris pergi mengajak nasi yang masih di dalam
tempat nasi.

Orang-orang yang menyia-nyiakan nasipun akan jatuh miskin, jauh rezkinya.


Selamanya tidak pernah sejahtra dan berkecukupan makanannya. Ketika semua
sudah selesai makan maka meninggalkan tempat makan, alat-alat makan disusun
rapi. Tiap-tiap anak mencuci tangannya dalam mangkuk pembasuh tangan yang
sama secara bergilir.

Alat-alat makan yang kotor dicuci oleh anak-anak wanita yang sudah remaja atau
dewasa. Bila-anak-anak masih kecil semua atau laki-laki semua maka alat-alat
bekas makan dicuci oleh ibu. Tata kelakuan makan di atas terus dibina dan
ditingkatkan setiap waktu makan sehingga lama-lama menjadi kebiasaan.
Kebiasaan makan juga dipraktekan bila makan di tempat lain atau tempat –tempat
pesta.

Seseorang laki-laki Sasak yang dewasa bila makan selali manghadapi nasinya
dengan duduk bersila. Kecuali kalau di tempat darurat seperti di sawah atau ladang
yang becek boleh makan sambil jongkok. Kalau di rumah harus duduk dengan
tertib. Di samping karena kebiasaan juga untuk memberi contoh yang baik kepada
anak-anaknya yang masih kecil. Mula-mula tudung saji dibukanya dan diletakan
pada tempat yang baik.

Dengan mengucap “Bismillah” garam itu disentuhkan pada ujung lidah maka
mulailah dia makan dengan tertib. Setiap suapan nasi diikuti dengan lauk atau
sayur. Bergante-ganti dengans ambal atau cabai sabagai perangsang.

Bila menyendok nasi untuk mengimbuh dengan mempergunakan tangan kanan.


Sebelum memegang sendok tangan harus dicuci lebih dahulu. Menurut adat tabu
menyendok nasi dengan tangan kiri walaupun dengan alasan kepraktisan. Bagi
orang Sasak untuk beberapa kegiatan tidak boleh mempergunakan tangan kiri.

Sebabnya karena tangan kiri sering dipergunakan memegang yang kotor terutama
untuk bersuci setelah buang air. Demikian pula tangan kiri tidak boleh dipakai
untuk menunjuk. Menunjuk dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, merupakan
suatu penghinaan bagi yang ditunjuki.
Tata kelakuan makan yang diajarkan kepada anak-anak juga selalu dipraktekkan
dengan baik oleh seorang ayah. Maksudnya sebagai tauladan yang praktis. Jika
pada waktu memulai makan diawali dengan mencicipi garam, maka setelah selesai
makan ditutupi pula dengan mencicipi garam.

Ketika makan biasanya secara bersila di atas selembar tikar seperti cara orang
kampong. Secara kebetulan juga semua pegawai yang terdiri dari orang-orang
Sasak sekarang adalah orang-orang desa yang karena keberhasilannya dalam
pendidikannya mereka menjadi pegawai. Adapt kebiasaannya masih sesuai dengan
adapt kebiasaan orang tua di kampung.

3. Makanan dan Upacara-Upacara

Masyarakat sasak sebagaimana kebudayaan beberapa daerah di Nusantara, juga


mengenal berbagai acara selamatan, baik yang dihubungkan dengan agama islam
maupun dari sisi budaya semata, antara lain : Upacara kehamilan atau bisok tian
(cuci perut) pada 7 bulanan, ngurisan (akikah), sunatan, perkawinan, kematian 1
hari, 3 hari (nelung), 7 hari (mituk), 9 hari (nyangang), 40 hari, 100 hari, tahunan
(haul), maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, Idul Adha dan lebaran topat.

Pada setiap upacara-upacara tersebut tidak terlepas dari makanan sebagai


pelengkap atau bahkan bagian yang utama dari makanan tersebut. Variasinya mulai
dari yang paling sederhana berupa nasi dan telur saja sampai dengan variasi yang
lengkap, sangat tergantung dari kemapuan ekonomi dan status sosial budaya
masyarakat yang menyelenggarakan upacara tersebut.

Pada acara khitanan anak sasak, maka sebelum acara dilakukan maka keluarga
akan membawa anak-anak ke makam-makam nenek moyang untuk minta restu
agar berhasil. Pada acara ini mereka akan membawa makanan untuk di makan
bersama di sana, dan biasanya membawa ayam yang akan disembelih di sana
dengan warna dan jenis kelamin tertentu, biasanya jantan.

Hidangan pada upacara mangan merangkat, yaitu upacara makan pada malam
selarian di rumah tempat persembunyian cukup dengan hanya menyajikan. Nasi
dengan sebutir telur rebus, ayam panggang dan sayur sondaq. Pada upacara ini
kedua calon mempelai makan bersama dalam satu dulang atau talam dengan
didampingi oleh anggota kerabat calon mempelai laki-laki. Minumannya cukup
dengan air putih yang telah direbus.

Ada sajian yang lebih sederhana dari itu ialah sajian yang berhubungan dengan
upacara bait masa. Bait masa berasal dari bahasa Sasak, bait artinya ambil, masa
artinya waktu. Bait masa artinya ambil waktu. Maksudnya menetapkan waktu
untuk memulai panen. Sajian disebut tontong taus. Secara harfiah artinya sendok
langsung. Sajiannya berupa nasi dalam periuk dengan sebutir telur ayam yang
direbus di dalamnya.

Suguhan yang paling lengkap dan banyak volumenya pada umumnya ketika
upacara-upacara yang berhubungan dengan agama atau kematian. Seperti
namatang ketika Mauludan dan upacara peringatan hari ke 7 atau ke 9 dari suatu
kematian seseorang.

Walaupun dalam setiap acara akan menyajikan makanan yang berbeda dari segi
kualitas dan kuantitasnya tetapi tata cara penyajian dan makannya hampir
semuanya sama yaitu dengan cara makan bersama yang disebut sebagai begibung.
4. Begibung
Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah
satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang
menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat
makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga
saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok.

Begibung merupakan cara makan sebagian besar suku sasak terutama di bagian
Lombok Timur pedesaan, baik pada saat makan bersama keluarga maupun dalam
acara-acara tertentu. Hanya begibung dalam sehari-hari dan pada acara tertentu
memiliki aturan yang berbeda, dimana begibung pada makan sehari-hari nasi
ditaruh dalam dulang dan dibagikan sesuai porsi masing-masing, sedangkan pada
saat acara tertentu maka nasinya sudah di tempatkan pada piring masing-masing.

Gambar. Suasana orang begibung pada suatu acara


Pada jaman dulu, begibung dilakukan di atas nampan yang terbuat dari kayu atau
tanah liat, di mana semua bahan makanan di taruh di atasnya dan dimakan secara
bersama-sama. Tapi pada jaman sekarang acara begibung jarang menggunakan
dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain dan bahan makanannya di taruh
dalam piring masing-masing. Orang-orang yang makan duduk bersila secara
teratur dan membentuk lingkaran.
Pada acara-acara tertentu baik upacara adat maupun upacara keagamaan, penyajian
makanan memiliki tata cara tertentu. Pada acara tersebut yang boleh memulai
makan adalah para Tuan Guru atau Kyai, lalu tokoh masyarakat seperti kepala
desa, kepala dusun dan tokoh-tokoh yang lain baru diikuti oleh yang lain. Begitu
juga setelah selesai makan, yang boleh mencuci tangan duluan adalah tuan guru
baru diikuti yang lain.

Pembagian porsi juga mengikuti aturan di atas, di mana satu sele (satu porsi besar)
setiap kelompok dalam masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Porsi
terbesar pada tuan guru atau kyai dan paling kecil adalah
masyarakat biasanya.Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati
oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati
oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang,
seperti 2-4 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus
mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Muzaham,Fauzi.(1995) Memperkenalkan sosiologi kesehatan. Jakarta. Universitas
Indonesia Press
Foster, G M.& Anderson, BG.(1986) Antropologi Kesehatan. Jakarta. Universitas
Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono. (1991) Sosiologi suatu pengantar; Edisi ke IV; Jakarta;
Rajawali Press;
Umar, Rika; (1986) Makanan wujud, variasi dan fungsi serta cara penyajiannya
daerah Nusa Tenggara Barat, Mataram. Depdikbud.
Megibung, Tradisi Makan Bersama Penuh Aturan Ketat,[Internet]. Bali. Tersedia
dalam <www. Bale Bengong.Blog> [diakses tanggal 5 maret 2009].
Suku Sasak [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5
maret 2009].

Sejarah Nusa Tenggara Barat [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia>


[Diacces tanggal 5 maret 2009].

Wetu Telu [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5


maret 2009].

Sejarah Pulau Lombok [Internet]. Tersedia dalam :<www. AsiaBlog> [Diacces


tanggal 5 maret 2009].

Anda mungkin juga menyukai