Anda di halaman 1dari 16

PERAN MAKAN DALAM UPACARA ADAT

DAN PERAYAAN SUKU SASAK

Pertemuan 1: Peran Makan Dalam Upacara Adat dan Perayaan Suku Sasak
 Siswa diminta mengingat Kembali acara upacara adat dan perayaan yang masih di
lestrarikan oleh suku sasak
 Siswa diminta menyebutkan jajanan apa saja yang di hidangkan di upacara adat dan
perayaan suku sasak
 Siswa membentuk beberapa kelompok diskusi
 Masing-masing kelompok siswa diberikan LKPD yang berisi beberapa gambar makanan
tradisional lombok dan beberapa gambar makanan modern/snack
 Sebelum berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing siswa diberikan kesempatan
untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum dimengerti pada LKPD
 Setelah berdiskusi, beberapa kelompok siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
sedangkan kelompok siswa yang lain menanggapi presentasi temannya
 Siswa dengan bimbingan guru membuat kesimpulan

Pertemuan 2: Melestarikan Makanan Tradisional Lombok


 Siswa diminta menyebutkan beberapa makanan tradisional di lombok
 Siswa membentuk beberapa kelompok diskusi
 Masing-masing kelompok siswa diberikan LKPD
 Sebelum berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing siswa diberikan kesempatan
untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum dimengerti pada LKPD
 Setelah berdiskusi, beberapa kelompok siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
sedangkan kelompok siswa yang lain menanggapi presentasi temannya
 Siswa dengan bimbingan guru membuat kesimpulan

LKPD
PERTEMUAN KE-1

Tujuan Pembelajaran : Siswa dapat mengenali kearifan lokal berupa makanan tradisional Lombok
Alokasi Waktu : 20 Menit

Coba sebutkan dan jelaskan jenis-jenis makan dan biasanya di sajikan pada upacara apa!

NO GAMBAR

2
3

5
6

LKPD
PERTEMUAN KE-2

Tujuan Pembelajaran :- Siswa dapat mengetahui cara melestarikan makanan tradisional


- Siswa dapat mengetahui manfaat melestarikan makanan tradisional
Alokasi Waktu : 20 Menit

Lengkapi tabel berikut !


No Gambar Nama Makanan Biasa di sajikan di acara adat

2
3

5
 Pendahuluan

Suku sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau


Lombok dengan bahasa sehari-hari adalah bahasa sasak.
Sebagian besar suku sasak adalah beragama islam, dan
sebagian kecil masih menganut islam watu telu. Jumlah suku
sasak yang mendiami pulau Lombok sekitar 3 juta orang.

Pada awal abad ke-17, Kerajaan Karangasem dari Bali


berhasil menanamkan pengaruhnya di wilayah barat Pulau Lombok dan pada tahun 1750 seluruh
wilayah PulauLombok berhasil dikuasai kerajaan Hindu dari Bali itu. Dengan dikuasainya Pulau
Lombok oleh Bali, maka orang-orang Bali berdatangan ke Lombok sekaligus membawa serta
kebudayaan mereka ke Lombok termasuk dalam kebudayaan makan.

Dengan adanya perpindahan tersebut maka sampai saat ini sebagian kebudayaan Suku
sasak merupakan akibat pengaruh dari kebudayaan Bali dengan Islam, termasuk dalam
memahami dan melaksanakan kegiatan yang berhungan dengan makanan.

 . Konsep tentang Makanan

Menurut orang Sasak, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan yang dapat
mengenyangkan dan menyenangkan hati. Dilihat dari pengertian itu, makanan orang Sasak dapat
dibedakan menjadi makanan sehari-hari atau makanan pokok, makanan upacara, dan makanan panganan (
bahasa Sasak : kakenan).

Makanan pokok pada umumnya adalah nasi dan lauk pauk (” jangan dalam bahasa sasak”).
Perbandingan antara kedua jenis makanan itu selalu jumlah nasi lebih banyak dari lauk pauknya. Ragam
lauk pauk setiap kali makan pada umumnya hanya satu macam ditambah dengan sayur hijau (jangan kelak)
dengan sambal dan garam sebagai perangsang.

Dalam konsep makanan orang Sasak, bahwa yang dapat mengenyangkan dan menggemukkan
hanyalah nasi. Lauk pauk dan sayur mayur hanya berfungsi sebagai penyedap dan pelancar. Karena itu
susunan menu tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Bagi mereka nasi adalah makanan yang utama. Bila
sudah ada nasi, kesehatan dan pertumbuhan orang pasti terjamin. Makan selain nasi dianggap belum
makan, sekalipun sampai kenyang.

Orang sasak juga mempercayai kehidupan setelah mati, makhluk gaib dan arwah nenek moyang.
Untuk menghormati hal-hal tersebut agar dapat memberikan keselamatan baik bagi yang sudah mati
maupun yang masih hidup maka diadakan upacara-upacara tertentu. Dalam setiap upacara-upacara
tersebut maka mereka akan menyajikan makanan yang lebih dari pada kebiasaan sehari-hari, terutama
kualitas dan kuantitasnya.

Golongan makanan yang ketiga adalah yang disebut oleh orang Sasak dengan kakenan. Kakenan
artinya makanan selain nasi. Termasuk ke dalam golongan ini adalah segala jenis jajan, jagung, dan
berbagai jenis umbi-umbian yang enak dimakan sebagai nyamikan.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, maka suku sasak tidak mengkonsumsi
makanan makanan tertentu seperti babi, darah, bangkai kecuali ikan dan belalang. Begitu juga makanan
yang dianggap hidup di dua alam seperti katak serta makanan yang menjijikkan seperti kelelawar dan ular.

Masyarakat juga masih ada yang pantang terhadap makanan tertentu dengan alasan kesehatan
seperti ibu hamil tidak boleh makan nenas, durian karena panas dan berdampak pada bayi yang
dikandungnya. Orang patah tulang tidak boleh makan daun paku karena bisa membuat ngilu.

Masih ada juga kepercayaan terhadap makanan tertentu seperti belut dapat menambah darah,
daging dapat meningkatkan keperkasaan pada lelaki dan makan garam sebelum makan dapat menghindari
dari gangguan makhluk halus atau orang yang berniat jahat kepada kita.

Menyisakan makanan merupakan hal yang tabu, berarti tidak menghargai karunia Allah yang telah
memberikan makanan, oleh karena itu untuk menanamkan hal itu maka anak-anak diajarkan untuk makan
sesuai kebutuhannya dan tidak boleh ada sisa. Pada acara-acara keagamaan dan adat maka jika ada sisa
maka akan dibawa pulang sebagai berkat.

 . Prilaku Makan Suku Sasak

Suku sasak sangat menghargai makanan, karena mereka beranggapan bahwa makanan itulah yang
membuat mereka tumbuh. Makanan akan menjadi darah dan daging mereka, sehingga mereka akan sangat
berhati-hati dalam mencari dan memperlakukan makanan. Nasi tidak boleh diduduki atau dilangkahi sehingga
penempatannya sangat diperhatikan.

Makanan yang baik dapat menjernihkan pikiran sedangkan makanan yang haram dapat mendorong
manusia pada kesesatan dan kekotoran pikiran. Karena itu mulai dari pembibitannya sampai penyajiannya
berupa makanan diusahakan sebaik mungkin agar membawa berkah bagi kehidupan manusia.

Alat untuk memasak nasi disebut periuk. Setelah matang, nasi disendok dari periuk dimasukkan ke
dalam rombong atau ponjol atau gadang kemudian disimpan dengan carta menaruh pada suatu gantungan
yang disebut lanjaq. Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari nasi dari tikus serta menempatkan nasi lebih
atas/tinggi agar tidak dilangkahi.

Pada umumnya para wanita atau ibu Sasak mengatur kerja di dapur berakhir bertepatan dengan waktu
makan tiba. Pada waktu makan tiba mereka telah siap menyajikan makan siang untuk keluarganya.

Orang Sasak yang pada umumnya petani mengenal 2 kali makan dalam sehari. Makan pagi
(ngelemaq) dan makan sore (ngebian). Meskipun demikian mereka juga mengenal istilah makan pagi
(Nyenyampah). Tetapi ini bukan kebiasaan umum. Nyenyampah dilakukan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya kalau hendak bepergian jauh, sedangkan waktu makan pagi (ngelemaq) belum tiba.

Pada akhir-akhir ini nyenyampah (sarapan pagi) menjadi populer di kalangan anak-anak sekolah di
kota dan orang-orang Sasak yang bekerja sebagai buruh pedagang dan Pegawai negeri. Demikian pula di
kalangan kusir cikar (cidomo) dan sopir. Di kalangan petani saraapan juga sudah mulai populer. Hanya di
antara mereka terdapat 2 golongan besar dilihat dari bahan sarapan. Petani-petani di desa kebanyakan
sarapan dengan ubi, ketela, jagung kadang-kadang ketan sesuai kemampuan masing-masing atu bahkan
dengan secangkir kopi saja.

Bahan-bahan sarapan biasanya telah siap sebelum matahari terbit. Selesai sholat subuh bapak-bapak
dan anak laki-laki yang telah dewasa mulai sarapan dengan minum kopi. Sarapan disuguhkan dalam piring
ysnjg ditempatkan di talam. Ayah dan anak lelakinya yang telah dewasa duduk menghadapi sarapan untuk
makan bersama-sama. Menyantap ubi dan lain-lain berbeda tata caranya dengan makan nasi. Ketika makan
sesuatu selain nasi, dapat lebih santai, tidak terikat tradisi.

Orang-orang Sasak yang mampu baik di kota maupun di desa pada umumnya menyediakan nasi
dengan lauknya sebagai bahan sarapan pagi. Pagi-pagi sesaat sebelum berangkat ke tempat kerja masing-
masing sarapan sudah terhidang di atas meja makan.

Anak-anak yang akan berangkat ke sekolah dapat serapan lebih dahulu dari pada ayahnya yang akan
ke kantor. Ibu dan anak-anak yang tidak sekolah sarapan paling kemudian. Pada hari Minggu atau pada hari
libur juga sarapan menurut keperluan yang penting sarapan telah tersedia di atas meja.

Makan siang biasanya dilakukan antara jam 11.00 sampai 14.00, tergantung pekerjaan anggota
keluarga. Yang diberi makan pertama adalah anak-anak kecil yang belum bersekolah atau yang masuk siang
atau sore. Namun makanan untuk ayah sudah disiapkan dan disisihkan tersendiri. Bila anak-anak sudah
selesai baru ayah menyusul. Paling akhir yang makan adalah ibu.

Bagi anak-anak biasanya diberi makan di dapur dengan duduk bersila. Nasi dan lauk pauk mereka
masing-masing sebelum makan sudah ditaruh di piring. Waktu makan mereka duduk bersaf berhadap-
hadapan. Dapat juga duduk melingkar mengelilingi makanan. Kecuali nasi, lauk pauk dan sayuran sama-sama
mengambil dari mangkok yang sama. Di dekat mereka ibu mereka duduk melayani. Ibu menambah nasi atau
sayuran mereka jika isi mankok sudah mulai berkurang. Kalau ada ikan atau telur di samping sayuran maka
ikan atau telur telah dibagi sama atau tidak sama sekali.

Menyuap nasi juga tidak boleh terlalu banyak. Sedang-sedang saja, supaya nasi dapat dikunyak
dengan baik. Temponya juga harus sedang. Tidak boleh terlalu cepat tetapi juga tidak boleh terlalu lambat
sehingga menghambat yang lain. Anak yang telah lebih dahulu selesai tidak boleh meninggalkan tempat
makan sebelumselesai seluruhnya. Waktu minum mereka juga minum dari kendi yang sama. Ketika
mengunya dan menelan tidak boleh sampai kedengaran suaranya. Mengunyah harus dengan mulut tetap
terkatup. Suara decapan yang keras dapat menhilangkan berkat. Sari makanan akan lari karena mendengar
suara decapan yang keras.

Akibat badan akan menjadi kurus karena memakan nasi yand sudah kehilangan sarimya. Demikian
pula selama makan tidak boleh ribut bercakap-cakap, apalagi bermain-main.

Semua anak harus duduk dengan tertib dan khidmat. Mata dan pikiran harus dipusatkan kepada nasi.
Nasi yang jatuh harus dipungut dan dimakan. Karena itu dilarang sekali anak-anak membiarkan remah-remah
nasi berhamburan di tanah atau di kakinya. Remah-remah yang berceceran harus dipungut dibasuh dan
dimakan. Bila tidsak ibu bercerita kepada anak-anaknya bahwa remah-remah yang tidak dipungut akan
menangis berbaris pergi mengajak nasi yang masih di dalam tempat nasi.

Orang-orang yang menyia-nyiakan nasipun akan jatuh miskin, jauh rezkinya. Selamanya tidak pernah
sejahtra dan berkecukupan makanannya. Ketika semua sudah selesai makan maka meninggalkan tempat
makan, alat-alat makan disusun rapi. Tiap-tiap anak mencuci tangannya dalam mangkuk pembasuh tangan
yang sama secara bergilir.

Alat-alat makan yang kotor dicuci oleh anak-anak wanita yang sudah remaja atau dewasa. Bila-anak-
anak masih kecil semua atau laki-laki semua maka alat-alat bekas makan dicuci oleh ibu. Tata kelakuan
makan di atas terus dibina dan ditingkatkan setiap waktu makan sehingga lama-lama menjadi kebiasaan.
Kebiasaan makan juga dipraktekan bila makan di tempat lain atau tempat –tempat pesta.

Seseorang laki-laki Sasak yang dewasa bila makan selali manghadapi nasinya dengan duduk bersila.
Kecuali kalau di tempat darurat seperti di sawah atau ladang yang becek boleh makan sambil jongkok. Kalau
di rumah harus duduk dengan tertib. Di samping karena kebiasaan juga untuk memberi contoh yang baik
kepada anak-anaknya yang masih kecil. Mula-mula tudung saji dibukanya dan diletakan pada tempat yang
baik.
Dengan mengucap “Bismillah” garam itu disentuhkan pada ujung lidah maka mulailah dia makan
dengan tertib. Setiap suapan nasi diikuti dengan lauk atau sayur. Bergante-ganti dengans ambal atau cabai
sabagai perangsang.

Bila menyendok nasi untuk mengimbuh dengan mempergunakan tangan kanan. Sebelum memegang
sendok tangan harus dicuci lebih dahulu. Menurut adat tabu menyendok nasi dengan tangan kiri walaupun
dengan alasan kepraktisan. Bagi orang Sasak untuk beberapa kegiatan tidak boleh mempergunakan tangan
kiri.

Sebabnya karena tangan kiri sering dipergunakan memegang yang kotor terutama untuk bersuci
setelah buang air. Demikian pula tangan kiri tidak boleh dipakai untuk menunjuk. Menunjuk dengan tangan kiri
dianggap tidak sopan, merupakan suatu penghinaan bagi yang ditunjuki.

Tata kelakuan makan yang diajarkan kepada anak-anak juga selalu dipraktekkan dengan baik oleh
seorang ayah. Maksudnya sebagai tauladan yang praktis. Jika pada waktu memulai makan diawali dengan
mencicipi garam, maka setelah selesai makan ditutupi pula dengan mencicipi garam.

Ketika makan biasanya secara bersila di atas selembar tikar seperti cara orang kampong. Secara
kebetulan juga semua pegawai yang terdiri dari orang-orang Sasak sekarang adalah orang-orang desa yang
karena keberhasilannya dalam pendidikannya mereka menjadi pegawai. Adapt kebiasaannya masih sesuai
dengan adapt kebiasaan orang tua di kampung.

3. Makanan dan Upacara-Upacara

Masyarakat sasak sebagaimana kebudayaan beberapa daerah di Nusantara, juga mengenal


berbagai acara selamatan, baik yang dihubungkan dengan agama islam maupun dari sisi budaya
semata, antara lain : Upacara kehamilan atau bisok tian (cuci perut) pada 7 bulanan (Melaq
Tangkel), ngurisan (akikah), sunatan, perkawinan, kematian 1 hari, 3 hari (nelung), 7 hari (mituk), 9
hari (nyangang), 40 hari, 100 hari, tahunan (haul), maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, Idul Adha
dan lebaran topat.

Pada setiap upacara-upacara tersebut tidak terlepas dari makanan sebagai pelengkap atau
bahkan bagian yang utama dari makanan tersebut. Variasinya mulai dari yang paling sederhana
berupa nasi dan telur saja sampai dengan variasi yang lengkap, sangat tergantung dari kemapuan
ekonomi dan status sosial budaya masyarakat yang menyelenggarakan upacara tersebut.

Pada acara khitanan anak sasak, maka sebelum acara dilakukan maka keluarga akan
membawa anak-anak ke makam-makam nenek moyang untuk minta restu agar berhasil. Pada acara
ini mereka akan membawa makanan untuk di makan bersama di sana, dan biasanya membawa
ayam yang akan disembelih di sana dengan warna dan jenis kelamin tertentu, biasanya jantan.

Hidangan pada upacara mangan merangkat, yaitu upacara makan pada malam selarian di rumah
tempat persembunyian cukup dengan hanya menyajikan. Nasi dengan sebutir telur rebus, ayam panggang
dan sayur sondaq. Pada upacara ini kedua calon mempelai makan bersama dalam satu dulang atau talam
dengan didampingi oleh anggota kerabat calon mempelai laki-laki. Minumannya cukup dengan air putih yang
telah direbus.

Ada sajian yang lebih sederhana dari itu ialah sajian yang berhubungan dengan upacara bait masa.
Bait masa berasal dari bahasa Sasak, bait artinya ambil, masa artinya waktu. Bait masa artinya ambil waktu.
Maksudnya menetapkan waktu untuk memulai panen. Sajian disebut tontong taus. Secara harfiah artinya
sendok langsung. Sajiannya berupa nasi dalam periuk dengan sebutir telur ayam yang direbus di dalamnya.

Suguhan yang paling lengkap dan banyak volumenya pada umumnya ketika upacara-upacara yang
berhubungan dengan agama atau kematian. Seperti namatang ketika Mauludan dan upacara peringatan hari
ke 7 atau ke 9 dari suatu kematian seseorang.

Walaupun dalam setiap acara akan menyajikan makanan yang berbeda dari segi kualitas dan
kuantitasnya tetapi tata cara penyajian dan makannya hampir semuanya sama yaitu dengan cara
makan bersama yang disebut sebagai begibung.

4. Begibung

Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja
Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di
Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang
disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok.

Dulang dan begibung merupakan dua bagian tak terpisahkan dari tradisi Sasak di Lombok.
Dulang biasanya bertutup tembolak merah, berisi makanan dan buah-buahan, sementara air minum
sebagai teman bersantap dalam acara adat, diwadahi dengan kendi yang menjadi tempat air
minumnya yang terbuat dari tanah liat.

Begibung merupakan cara makan sebagian besar suku sasak terutama di bagian Lombok
Timur pedesaan, baik pada saat makan bersama keluarga maupun dalam acara-acara tertentu.
Hanya begibung dalam sehari-hari dan pada acara tertentu memiliki aturan yang berbeda, dimana
begibung pada makan sehari-hari nasi ditaruh dalam dulang dan dibagikan sesuai porsi masing-
masing, sedangkan pada saat acara tertentu maka nasinya sudah di tempatkan pada piring masing-
masing.

Pada jaman dulu, begibung dilakukan di atas nampan yang terbuat dari kayu atau tanah liat, di
mana semua bahan makanan di taruh di atasnya dan dimakan secara bersama-sama. Tapi pada
jaman sekarang acara begibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah
lain dan bahan makanannya di taruh dalam piring masing-masing. Orang-orang yang makan duduk
bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.

Pada acara-acara tertentu baik upacara adat maupun upacara keagamaan, penyajian
makanan memiliki tata cara tertentu. Pada acara tersebut yang boleh memulai makan adalah para
Tuan Guru atau Kyai, lalu tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala dusun dan tokoh-tokoh yang
lain baru diikuti oleh yang lain. Begitu juga setelah selesai makan, yang boleh mencuci tangan
duluan adalah tuan guru baru diikuti yang lain.

Pembagian porsi juga mengikuti aturan di atas, di mana satu sele (satu porsi besar) setiap
kelompok dalam masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Porsi terbesar pada tuan guru
atau kyai dan paling kecil adalah masyarakat biasanya.Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk)
yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh
delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 2-4 orang. Ketika
makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah
disepakati bersama.
 CONTOH FOTO

 Dulang dan begibung merupakan dua bagian tak terpisahkan dari tradisi Sasak di
Lombok. Dulang biasanya bertutup tembolak merah, berisi makanan dan buah-buahan,
sementara air minum sebagai teman bersantap dalam acara adat, diwadahi dengan
kendi yang menjadi tempat air minumnya yang terbuat dari tanah liat.
 Pesagik dan Penaek
Secara garis besar, jenis hidangan masyarakat tradisional Suku Sasak dalam peringatan
hari-hari besar Islam atau hajatan keagamaan, dibedakan menjadi dua macam,
yakni pesagik dan penaek.

Pesagik merupakan hidangan khas Suku Sasak berupa masakan atau nasi dan lauk-
pauknya. Biasanya, pesagik dimasak untuk orang banyak dalam acara hajatan perseorangan atau
untuk satu keluarga saja. Hidangan jenis ini adalah menu utama dalam hajatan khusus seperti:
pernikahan, khitanan, tahlilan kematian dan lain-lainnya.

Sedangkan penaek, merupakan jajanan atau camilan untuk jamaah setelah mengikuti acara-
acara peringatan hari-hari besar Islam. Seperti Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang
lebih populer dengan istilah “Maulid Nabi”, Peringatan Isra’ Miraj, Peringatan Nuzulul Qur’an, Halal
Bihalal dan acara-acara tasyakkuran lainnya.n Jenis-jenis jajanan tradisional yang sering saya
jumpai adalah: Ore, renggi, pangan, wajik, bidari, abuk, banget, poteng (fermentasi ketan), aling-
aling, opak-opak, nasi rasul dan lain-lain.

 Lebaran Topat
Kata 'topat' dalam bahasa Sasak artinya adalah ketupat. Jadi, lebaran topat dapat
diartikan sebagai lebaran ketupat. Lebaran topat merupakan tradisi makan ketupat yang ada di
Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tradisi yang satu ini sudah dilakukan secara turun temurun. Biasanya lebaran topat dilaksanakan
setelah hari raya Idul Fitri, tepatnya seminggu setelah Idul Fitri.

Lebaran topat juga bisa dilaksanakan setelah menunaikan puasa sunnah Syawal selama
6 hari berturut-turut. Masyarakat Lombok mengenal tradisi ini dengan sebutan lebaran kedua. Dalam
tradisi ini, masyarakat melakukan serangkaian agenda.
Salah satu agenda yang dilakukan dalam tradisi lebaran topat adalah mengunjungi makam untuk
berziarah. Di sana masyarakat Lombok mendoakan agoota keliarga ataupun leluhur penyebar agam
Islam di Lombok.

Berziarah dilakukan pada pagi hari, biasanya lokasi makam pada saat lebaran tobat dipadati oleh
masyarakat setempat. Biasanya makam yang sering dikunjungi adalah makan Bintaro dan makam
Loang Baloq.
Selain berdoa, masyarakat juga mencuci kepala mereka dengan air yang telah disediakan. Hal
tersebut dimaksudkan agar mereka mendapat keberkahan.
Kemudian, ada juga tradisi mencukur rambut anak bayi. Tradisi tersebut diyakini akan menjadikan
bayi tersebut menjadi anak yangsholeh dansholehah dan menjadi orang yang berhasil saat dewasa.
Selain wisata alam yang tersebar di berbagai penjuru, di Lombok juga terdapat banyak sekali wisata budaya, diantaranya
adalah “TRADISI PERANG TOPAT” yang merupakan tradisi turun temurun yang mulai dilakukan sepeninggal
penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Tradisi ini di lakukan dengan cara saling lempar dengan menggunakan
ketupat antara Ummat Islam dan Ummat Hindu Lombok. Dengan menggunakan pakaian adat khas Sasak dan Bali ribuan
warga Sasak dan umat Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap tahun di
Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
 Tradisi Peran Topat
Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini
merupakan pencerminan dari kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan
mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan prosesi
ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan
seperti kebon odek, sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.

Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa
Sasaknya “rorok kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat
merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur umat manusia yang
telah diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta.

Selain wisata alam yang tersebar di berbagai penjuru, di Lombok juga terdapat banyak sekali wisata budaya,
diantaranya adalah “TRADISI PERANG TOPAT” yang merupakan tradisi turun temurun yang mulai dilakukan
sepeninggal penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Tradisi ini di lakukan dengan cara saling lempar dengan
menggunakan ketupat antara Ummat Islam dan Ummat Hindu Lombok. Dengan menggunakan pakaian adat khas Sasak
dan Bali ribuan warga Sasak dan umat Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang
dirayakan tiap tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini merupakan
pencerminan dari kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan mengelilingkan sesaji
berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat
Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek, sesaji
ditempatkan didalam Pura Kemalik.

Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam
bahasa Sasaknya “rorok kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat
merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur umat manusia yang telah
diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta.

NILAI BUDAYA DARI TRADISI LEBARAN KETUPAT DI LOMBOK

Dalam perayaan Lebaran Topat di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kita dapat mengetahui bahwa perayaan tersebut
mengandung dua dimensi yaitu dimensi sakral dan sosial. Dimensi sakral berkaitan dengan persepsi dan pengharapan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan dimensi sosial berkaitan dengan upaya menjaga harmoni kehidupan antar sesama.

Penggunaan ungkapan Lebaran Nine atau lebaran wanita terhadap Lebaran Topat menunjukkan bahwa Lebaran
ini mempunyai posisi penting dalam ekspresi keislaman masyarakat Lombok. Lebaran Topat adalah pasangan Lebaran
Mame (Idul Fitri). Oleh karena itu, perayaan Lebaran Topat agaknya mempunyai tujuan yang sama dengan Lebaran puasa
Ramadhan. Yaitu untuk mencapai kehidupan yang fitri, suci.

Penggunaan ketupat yang berbentuk segi empat sebagai nama Lebaran dan menu makan utamanya merupakan
khasanah kearifan lokal masyarakat untuk mengingatkan manusia terhadap asal muasalnya. Ketupat berbentuk segi empat
menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dan angin.

Lebaran Topat juga bisa diartikan menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari sikap
dengki dan iri hati setelah nuraninya terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya materi yang semu. Ritual berseraup
atau membasuh muka dengan air memberi makna bahwa tindakan tersebut merupakan cara untuk membersihkan kotoran
yang melekat di wajah. Jika wajah dan hatinya bersih, maka orang itu tidak akan sakit baik secara fisik ataupun mental.

Mengambil air di Lingkok Mas mempunyai arti bahwa air laksana emas yang mahal harganya dan sangat penting
bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, air harus dijaga kebersihannya supaya tidak tercemar oleh bermacam limbah
yang dapat menyebabkan makhluk hidup menjadi sakit, dan tanaman tidak bisa tumbuh dan berkembang. Sedangkan
kegiatan besambek bertujuan agar manusia tenang menjalani kehidupan, alam pikiran tetap jernih, terbebas dari segala
macam gangguan (jin dan setan) termasuk untuk mendapatkan rezeki yang halal. Sebagaimana disebutkan dalam pepatah
Sasak :

Manis-manis buak ara


Pedis-pedis rasen nasi
Manis rasanya si buah ara
Kecut-kecut rasanya nasi

Pepatah di atas mengandung pesan bahwa menyantap makanan hasil keringat sendiri terasa lebih nikmat,
ketimbang disuguhkan makanan yang lezat namun didapat dengan cara yang tidak halal.

Selain itu, Lebaran Topat juga dapat menjadi otokritik dan introspeksi bagi manusia untuk mengenal kembali jati
dirinya setelah menempuh perjalanan hidup selama satu tahun, yang banyak diwarnai dengan dosa individual dan dosa
sosial. Pepatah Sasak mengatakan “dendek ipuh pantok gong” (tak usah segan memukul/membunyikan gong). Pepatah
tersebut mengingatkan manusia agar mengoreksi diri, di antaranya terbuka terhadap saran dan kritik orang lain. Selain itu,
acara makan ketupat bersama-sama menunjukkan masih terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan di antara mereka.

Namun demikian, banyaknya potensi yang terkandung dalam perayaan Lebaran Topat, khususnya aspek
ekonominya, harus disikapi secara bijaksana. Kesalahan dalam menyikapinya, tidak mustahil akan menghilangkan nilai-
nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kegiatan ritual ini hanya akan menjadi pesta rakyat yang kehilangan
ruhnya.

Anda mungkin juga menyukai