Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SOSIAL BUDAYA PANGAN & GIZI

“Nilai Sosial dan Tabu Makanan”

Disusun Oleh:

Kelompok I

Adinda Sari Pasinggi (1810007)

Alda Youlanda Patongloan (1810001)

Alda Melinda Padudung (1810049)

Alfiani Savitri (1810026)

Apriana (1810050)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN PENDIDIKAN TAMALATEA MAKASSAR

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “Nilai Sosial dan Tabu Makanan”. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Sosial Budaya
Pangan & Gizi.
            Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari
berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
terkait dan penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan untuk membuat
karya tulis yang sebaik-baiknya.
Sebagai pemula tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
makalah ini, oleh karenanya kami mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini
bisa menjadi lebih baik.
            Demikianlah kata pengantar karya tulis ini dan penulis berharap semoga
karya ilmiah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, 8 Juni 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Bugis 3
B. Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Betawi 5
C. Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Toraja 10
BAB III PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
B. Kritik dan Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nilai Sosial Makanan adalah penilaian makanan berdasarkan kondisi
sosial seseorang atau kelompok tertentu. Biasanya nilai sosial makanan tidak
sesuai dengan nilai gizi makanan. Pantangan atau tabu makanan adalah suatu
larangan untuk mengonsumsi suatu jenis makanan tertentu karena terdapat
ancaman bahaya atau hukuman terhadap yang melanggarnya. Dalam ancaman
bahaya ini terdapat kesan magis yaitu adanya kekuatan supernatural yang berbau
mistik yang akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu
tersebut (Suhardjo, 1989).
Faktor budaya sangat berperan penting dalam status gizi seseorang.
Budaya memberi peranan dan nilai yang berbeda terhadap pangan dan makanan.
Misalnya tabu makanan yang masih dijumpai di beberapa daerah. Makanan Tabu
yang merupakan bagian dari budaya menganggap makanan makanan tertentu
berbahaya karena alasan-alasan yang tidak logis. Hal ini mengindikasikan masih
rendahnya pemahaman gizi masyarakat dan oleh sebab itu perlu berbagai upaya
untuk memperbaikinya.
Dasar dari kebiasaan pangan dicirikan dalam suatu sistem nilai seseorang
dalam memilih makanan yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi.
Sistem nilai tersebut pada dasarnya berasal dari tiga sumber kebenaran yang
dipercayai yaitu:
1. Agama dan kepercayaan kepada Tuhan,
2. Adat-adat yang berasal dari pendahulu / nenek moyang
3. Pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan formal.
Selain itu, sistem nilai tersebut disosialisasikan dalam keluarga dan dalam
pendidikan informal melalui media masa (nikmawati, 1999).
Makanan Tabu di Indonesia masih menjadi masalah karena masih banyak
makanan yang seharusnya dikonsumsi tapi masih ditabukan. Akibat tabu makanan
tersebut ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak tidak berani mengkonsumsi
makanan tertentu sehingga dapat menurangi asupan makanan yang pada akhirnya
akan menurunkan status gizi mereka.
Pada kehidupan modern, ada hal-hal yang secara tradisi belum tentu usang
atau kuno. Bahkan hal yang tradisi mengalami perubahan makna menjadi makna
eksotis, yaitu ciri khas yang bernilai ekonomi, sosial, dan budaya. Banyak
kalangan merindukan masa lalu untuk hadir kembali ke masa ini dalam balutan
modern. Hal ini disebut transformasi budaya. Secara global pun terdapat
pergeseran nilai untuk kembali kepada alam, seperti pada upaya mempopulerkan
kembali pada minuman air putih, pemanfaatan tanam-tanaman obat secara
alamiah untuk penyembuhan penyakit, osmetika dan stamina kesehatan. Hal ini
sangat relevan karena dalam perspetif posmodern, konsep-konsep “the past in the
present” merupakan fenomena budaya yang berimplikasi pada peningkatan
kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Hal ini pada akhirnya bermuara pada
konsep penguatan identitas budaya sebagai bagian dari sistem ketahanan sosial
budaya masyarakat yang dalam aplikasinya memberi signifikansi positif terhadap
ekonomi, seperti tumbuhnya rumah makan yang menyajikan menu tradisional dan
kuliner maupun obat-obatan yang mampu memperkuat identitas budaya yang
dapat dijadikan kekuatan ekonomi dan ketahanan nasional (Effendi, 1993).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kita bisa menentukan rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu apa saja tabu makanan dan nilai sosial makanan
yang berasal dari suku Bugis, suku Betawi, dan suku Toraja?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui apa saja
tabu makanan dan nilai sosial makanan dari Suku Bugis, suku Betawi, dan suku
Toraja.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Bugis


Nilai Sosial Makanan Suku Bugis
1. Dalam Budaya Bugis telah tertanam secara tidak tertulis aturan bahwa dalam
satu keluarga makan bersama merupakan suatu keharusan dan hal ini sudah
menjadi tradisi turun temurun. Hampir semua sesi makan (pagi, siang dan
malam) khususnya makan malam wajib diikuti oleh semua anggota keluarga.
Tradisi makan bersama sambil duduk bersila, membentuk sebuah lingkaran
kecil, serta semua menu makanan diletakkan dalam sebuah tempayang besar
yang diletakkan ditengah-tengah lingkaran adalah hal yang sering dijumpai
pada keluarga suku bugis makassar.
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari makan bersama, salah satunya
ialah orang tua dapat mengontrol makanan yang di konsumsi oleh anak-anak
mereka.
2. Selain kebiasaan makan dalam keluarga, ada hal lain yang dapat dijumpai
pada masyarakat suku Bugis. Diantaranya adalah makanan tradisional manis
atau yang tinggi gula yang sering disajikan pada saat acara pindah rumah atau
pesta dan perayaan-perayaan tertentu seperti kue cucur bayao, barongko,
onde-onde, sanggara balanda dan kue manis lainnya. Kue cucur, barongko,
serta sanggara belanda dibuat dengan menggunakan telur dan gula yang
banyak sehingga menjadikan rasa kue ini sangat manis.
3. Pada saat Hari Raya Keagamaan atau lebaran, burasa’ menjadi pilihan yang
sudah menjadi tradisi kental hampir wajib dalam kehidupan sosial masyarakat
bugis, karena dalam pembuatan dan bentuk burasa’ terdapat nilai yang
menyiratkan penyatuan hubungan antara satu sama lain yang biasa di
istilahkan dengan silahturrahim dan burasa’ sebagai simbol representatif dari
hubungan itu.
4. Tradisi massuro baca

3
Dalam tradisi ini, cara pelaksanaanya tidak begitu rumit. Hanya
membuat beberapa jenis makanan yang memang menjadi syarat dalam tradisi
massuro baca. Makanan yang biasa disiapkan adalah makanan-makanan
tradisional seperti onde-onde atau jenis kue yang identik dengan tepung, gula
merah, dan kelapa yang dianggap sebagai filosofi kehidupan yang sejahtera.
Juga sering dihidangkan makanan seperti nasi putih, beras ketan, lengkap
dengan lauk seperti ayam, ikan, telur, air putih, dll. Makanan ini melekat pada
filosofi kehidupan yang berkecukupan dan mapan
Makanan yang telah disiapkan tersebut kemudian dihidangkan dalam
satu nampan, kemudian sang pembaca akan datang dan duduk di depan
hidangan tersebut sembari melakukan baca-baca (doa) yang ditujukan kepada
pihak yang didoakan. Setelah makanan tersebut dibacakan, sanak keluarga
biasanya dipanggil untuk makan bersama.

Tabu Makanan Suku Bugis


Makanan yang dianggap tabu oleh suku Bugis diantaranya yaitu :
1. Di suku Bugis, beberapa orang meyakini bahwa balita tidak boleh diberikan
ikan asin. Alasannya karena dapat menyebabkan kulit balita menjadi
korengan dan cacingan serta pantangan makan jantung pisang bagi anak-anak
yang masih kecil sebab dipercaya anak itu akan menjadi bodoh dan nakal
2. Pada wanita dewasa tidak diperbolehkan makan timun dikarenakan akan
menyebabkan keputihan. Namun tidak ada studi yang menghubungkan antara
makan mentimun dengan penyebab keputihan pada wanita karena keputihan
dapat terjadi akibat adanya infeksi jamur, bakteri, ataupun saat masa subur.
3. Pada wanita hamil tidak dianjurkan untuk makan durian, nanas, nangka.
Karena makanan ini dianggap bersifat panas yang mengandung asam
arachidonat dan alkohol yang mampu merangsang kontraksi yang
mengakibatkan keguguran kandungan pada umur kehamilan muda.
4. Pada wanita hamil juga tidak dianjurkan makan tape karena tape merupakan
makanan hasil fermentasi yang menggunakan ragi dan dibantu beberapa
mikroba. Selain itu diperlukan alkohol, jika pembuatan tape memerlukan

4
waktu yang cukup lama, maka alkohol yang diperlukan juga semakin tinggi.
Dampak negatif alkohol terlalu tinggi resikonya untuk tetap mempertahankan
kondisi kehamilan.
5. Bagi ibu menyusui dilarang memakan cabai rawit karena anaknya akan
mencret, pedasnya menular ke anak dan pantat anak akan menjadi merah.
Padahal cabai mengandung vitamin c dan betakaroten (pro vit. A). Bahkan
kadar mineral, terutama kalsium dan fosfor mengalahkan kandungan mineral
yang ada pada ikan. Salah satu bagian yang membuat cabai pedas adalah
“kapsaisin” yang tersimpan pada urat putih cabai atau tempat melekatnya
cabai. Dan tentu saja khasiat terbesar pada cabai terletak pada kapsaisin ini.
Sehingga jika ingin mendapatkan khasiatnya, tidak usah dihilangkan kalau
takut pedas, cukup ambil sedikit saja sambalnya dan menurut kesehatan,
kapsaisin bersifat antikoagulan, yaitu menjaga darah tetap encer dan
mencegah terbentuknya kerak lemak pada pembuluh darah. Sehingga orang
yang suka makan sambal dapat memperkecil kemungkinan menderita
penyumbatan darah (aterosklerosis), sehingga mencegah munculnya serangan
stroke dan jantung koroner, serta impotensi. Tetapi jika dikonsumsi secara
berlebihan akan menyebabkan naiknya asam lambung dan sakit perut serta
dapat menyebabkan seseorang menjadi pelupa

B. Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Betawi


Nilai Sosial Makanan Suku Betawi
Klasifikasi secara umum membagi jenis kuliner kedalam empat bagian
yaitu hidangan pokok, makanan ringan, sambal dan minuman. Hidangan
pokok merupakan seperangkat hidangan yang terdiri dari makanan pokok,
sayur dan lauk pauk. Hasil penelitian tahap satu berhasil mengidentifikasikan
bahwa dari ke-150 jenis Kuliner Tradisional Betawi yang teridentifikasi
terdapat 59 jenis makanan yang termasuk dalam hidangan pokok. Makanan
ringan atau makanan selingan merupakan jenis makanan yang dikonsumsi
diantara waktu makan (hidangan pokok) dan dalam penelitian teridentifikasi
terdapat 79 jenis makanan ringan. Subklasifikasi berikutnya adalah sambal.

5
Sambal merupakan hidangan pelengkap yang umumnya memiliki rasa pedas
karena menggunakan cabai sebagai bahan utamanya. Teridentifikasi terdapat 3
jenis sambal yang merupakan sambal tradisional Betawi dan 9 jenis minuman.
Pada fungsi sosial, peneliti membagi menjadi tiga sub-klasifikasi yaitu
acara khusus pada fase kehidupan, lebaran dan makanan sehari-hari.
Masyarakat Betawi secara umum mengenal enam fase dalam kehidupan dan
kesemuanya tidak lepas dari keberadaan kuliner baik sebagai pelengkap maupun
simbol dalam acara tersebut. Dalam penelitian, teridentifikasi terdapat 67 jenis
kuliner yang selalu digunakan dalam acara dalam fase kehidupan masyarakat
betawi. Selain fase kehidupan, kuliner juga selalu hadir pada kegiatan religi
seperti pada saat “lebaran”. Terdapat 23 jenis kuliner yang selalu hadir pada
saat “lebaran” seperti, Sayur Godok, Semur Daging, Rendang Betawi,
Serondeng, Ayam Sempyok, Ayam Goreng, Ayam Bakar, Gulai dan Dendeng
Betawi sebagai hidangan pokok, serta makanan ringan seperti, biji ketapang,
kue jahe, dodol betawi, kue satu, sagon, kembang goyang, kuping gajah,
semprit, tape uli, rengginang, Wajik, Kue Akar Kelape, Manisan pepaya dan
kolang kaling.
Selain kedua sub-klasifikasi, banyak terdapat jenis Kuliner Tradisional
Betawi yang merupakan makanan sehari-hari (terdapat 60 jenis kuliner).
Bahkan fenomena saat ini banyak jenis kuliner yang dulu merupakan kuliner
yang khusus disajikan pada acara tertentu, kini menjadi kuliner yang disajikan
sehari-hari. Kuliner mencerminkan sejarah panjang perjalanan terbentuknya
sebuah masyarakat pada suatu wilayah. Betawi merupakan akulturasi dari
beberapa budaya di dunia termasuknya adalah budaya Timur Tengah, Eropa dan
Cina, selain itu terdapat beberapa Kuliner Tradisional Betawi yang memiliki
nilai sejarah secara ekologis.
Terdapat empat jenis Kuliner Tradisional Betawi yang mengadaptasi
budaya Eropa yaitu, Bir Pletok, Kue Cubit, Kue Leker, Semur Jengkol, Semur
Daging dan Semur Terung Betawi. Kue Cubit memiliki kemiripan dengan
poffertjes, panekuk mini yang diperkenalkan Belanda ketika menjajah bumi
nusantara. Kue Leker, secara bahan dan pengolahannya merupakan makanan

6
asli nusantara, hanya saja pada penamaan Leker (Belanda: Lekker, yang berarti
enak). Sedangkan Semur berasal dari bahasa Belanda 'smoor' yang berarti
rebusan. Di Indonesia, semur berkembang dari sekadar rebusan daging sapi
dengan tomat dan bawang menjadi masakan kaya bumbu dengan berbagai
bahan dasar alternatif. Berdasarkan hasil penelitian terdapat enam kuliner
yang mengadaptasi kuliner Timur Tengah, mereka adalah; Nasi Kebuli,
Kue Kamir, Gulai Kambing, Nasi Bukhari, Alie Bagente dan Kue Abug.
Selain itu terdapat empat jenis kuliner hasil adaptasi dari budaya Cina yaitu
Laksa, Hungkue, Mie Juhi dan Sayur Godok. Laksa dan Mie Juhi merupakan
kuliner dengan bahan dasar mie, dimana sesuai catatan sejarah, mie pertama kali
dibuat di daratan Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan
Dinasti Han, dalam perkembangannya dengan masuknya budaya Cina ke
Indonesia khususnya Jakarta, bahan dasar mie mulai mewarnai Kuliner
Tradisional Betawi.
Selain itu terdapat juga Sayur Godok, sayur yang menjadi hidangan
wajib pada acara ke-masyarakatan pada komunitas Suku Betawi, memiliki
kemiripan dengan sayur godok yang selalu dihidangkan dalam Cap Go Meh
yang melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun
Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia.
Mayoritas makanan asli Betawi khususnya makanan ringan terbuat dari
tepung beras maupun tepung ketan, tetapi saat ini mulai diganti dengan terigu.
Selain klasifikasi umum, fungsi sosial, sejarah, pembaharuan dan modifikasi,
penelitian juga mengklasifikasikan Kuliner Tradisional Betawi berdasarkan
kandungan gizinya. Karbohidrat yang terkandung dalam makanan bukan hanya
bersumber dari makanan pokok yang menjadi bahan utamanya, tetapi jenis
tepung juga menjadi sumber karbohidrat. Jenis vitamin berasal dari sayuran
dan buah-buahan yang di- gunakan dalam masakan, dan protein baik hewani
maupun nabati bersumber dari lauk pauk yang menjadi bagian dari hidangan
pokok dan beberapa digunakan sebagai bahan pelengkap dalam makanan
selingan. Selain itu hasil studi juga menemukan beberapa jenis kuliner yang
telah dimodifikasi, baik mengalami modifikasi pada bentuk, bahan baku,

7
bumbu maupun alat pelengkapnya, ternyata Kuliner Tradisional Betawi juga
mengalami banyak perubahan, diantaranya pembaharuan pada alat masak, proses
memasak, alat penyajian dan prosesi penyajiannya.

Tabu Makanan Suku Betawi


1. Masyarakat Betawi juga mengenal tiga acara sosial dan religi, yaitu :
bikin/pinde rume, Nazar dan Lebaran. Bikin dan Pinde Rume dilakukan
saat orang Betawi akan melakukan pembangunan rumah dan pindah ke
rumah yang baru. Sebagai masyarakat yang memiliki nilai kekerabatan
yang cukup erat, maka prosesi ini biasanya akan dibuatkan sebuah perayaan
tersendiri yaitu diadakannya pengajian dan membagikan nasi berkat yang
isinya nasi kebuli, nasi uduk dan kue tradisional Betawi. Prosesi
berikutnya adalah nazar. Masyarakat Betawi pinggir me- nyebutnya
“ngucap” dan “kaulan” merupakan janji yang diniatkan dalam hati dan
diucapkan dengan tegas serta dapat di dengar oleh orang disekitamya.
Nazar itu harus dilaksanakan sesuai janji manakala tidak dilaksanakan
akan berakibat buruk bagi si nazar, tidak ada informasi yang jelas terkait
kuliner yang digunakan pada acara ini karena setiap nazar orang berbeda-
beda. Yang terakhir adalah acara lebaran. Bagi orang Betawi, lebaran
adalah salah satu puncak kegembiraan setelah menjalankan masa bakti
dan ketakwaan. Untuk sampai pada tahap lebaran beberapa tahap lagi yang
harus dilalui dengan baik dan benar. Orang Betawi mengenal paling sedikit
tiga macam lebaran, yaitu lebaran Idul Fitri, Lebaran Haji, dan Lebaran
Anak Yatim. Masyarakat Betawi mayoritas beragama islam, sehingga pada
perayaan Lebaran masyarakat Betawi akan menyediakan makan besar
bagi keluarga dan sanak saudara bahkan para tetangga. Makanan yang
biasa disajikan pada saat lebaran adalah: Pesor, Ketupat, Sayur Goduk,
Tape Uli, Kembang Goyang, Kue Jahe, Biji ketapang, Kue Kuping Gajah,
Rendang Betawi, Serondeng, Ayam Sem- pyok, Kue Semprit, Kue, Satu,
Sagon, Nasi Briani, Nasi Kebuli, Dodol, Kolang kaling.

8
2. Pada Budaya Betawi terdapat beberapa perayaan atau upacara sesuai
dengan daur hidup manusia, dari dalam kandungan, lahir, bayi, masa
kanak-kanak, remaja, menikah dan meninggal dunia.
- Fase Kandungan. Pada fase ini Masyarakat Betawi mengenal sebuah
acara yang dinamakan “nujuh bulanan”, upacara yang berkaitan
dengan masa kehamilan 7 bulan. Nujuh diambil dari jumlah hari
yang berjumlah 7 hari. Bilangan tujuh dipakai sebagai patokan pada
upacara nujuh bulan. Maksud upacara untuk mendapatkan rasa aman
dengan membaca Al-Quran surah Yunus dan Maryam. Agar anaknya
jika perempuan akan secantik Maryam dan Nabi Yunus as serta
memohon keberkahan dan perlindung- an pada-Nya agar anak yang akan
dilahirkan kelak bisa lahir dengan selamat, menjadi anak yang sholeh,
berbudi luhur dan patuh kepada kedua orang tuanya. Kuliner yang
wajib pada acara ini adalah rujak yang terdiri dari 7 macam buah-
buahan, yaitu: buah delima, mangga muda, jeruk merah (jeruk Bali),
pepaya mengkal, bengkuang, kedon- dong, ubi jalar, serta bumbu
rujak yang terdiri dari gula merah (gula jawa), asam jawa, cabe
rawit, garam, terasi, dan lain-lain. Buah delima merupakan salah satu
buah yang wajib ada pada rujak nujuh bulanan, begitu juga jeruk bali
merah. Menurut mereka, buah delima yang masak dan berwarna
merah akan membuat bayi yang akan dilahirkan kelak sangat
menarik dan disenangi orang. Jeruk Bali merah mem- punyai
maksud tersendiri. Jeruk merah biasanya rasanya manis dan enak
dibuat rujak, dan bila dikupas kulitnya mudah terkelupas. Hal ini
diumpamakan agar bayi yang akan dilahirkan kelak akan mudah dan
lancar serta tidak mengalami kesulitan, semudah mengupas jeruk
merah tersebut.
- Fase Lahiran. Pada fase ini bayi baru di- lahirkan, dan masyarakat
Betawi mengenal prosesi “mapas”. Upacara yang dilakukan apabila
ada seorang ibu yang baru me- lahirkan. Pada upacara ini, si ibu yang
baru melahirkan diharuskan memakan “sayur papasan” yang isinya

9
terdiri dari berbagai macam sayur mayur agar si ibu tetap sehat,
demikianjuga bayi yang baru dilahirkannya.
- Puput Puser. Prosesi puput puser atau “puputan” adalah suatu
upacara yang dilakukan apabila tali pusat bayi sudah lepas (puput).
Orang Betawi mengadakan selamatan ala kadarnya. Biasanya
masyarakat Betawi akan menyediakan Nasi kuning dengan lauk-
pauknya dan bagi yang memiliki kemampuan lebih akan memasak
ayam sempyok sebagai tambahan.
- Fase Kematian. Upacara Kematian atau Haul atau tahlilan,
diselenggarakan oleh para anggota keluarga apabila ada kematian.
Mengadakan selamatan atau sedekahan, selamatan semacam ini juga
diadakan pada waktu yang meninggal telah mencapai 7 hari, 40 hari,
100 hari, dan 1000 hari dari saat meninggalnya. Jenis kuliner yang
biasa di sajikan pada fase ini adalah: (1) Nasi begané. Disebut nasi
begané karena nasi putih dengan lauk-pauk utamanya adalah begané.
Masakan begané adalah tumis kering ayam cacag; (2) Tige ari
disediakan dadar gulung, Tuju ari disediakan nasi biasa lengkap.
Malam lima belas disediakan ketupat sayur. Malam empat puluh
disajikan ketupat sayur laksa dan sate pentul; (3) Pada acara haul
(peringatan 1000 hari) umumnya orang kaya menyediakan nasi kebuli
dan pacri. Untuk keluarga, kerabat ataupun tetangga yang mendapat
kabar duka maka akan mengunjungi keluaga yang berduka. Pada
Masyarakat betawi dikenal dengan istilah “nyelawat”.
- Selanjutnya di daerah Betawi ada tabu  makan ikan asin, ikan laut, udang
dan kepiting bagi ibu menyusui, karena dikhawatirkan nantinya air susu
akan menjadi asin.

C. Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Toraja


Nilai sosial makanan dari Suku Toraja
Contoh nilai sosial yang ada pada Suku Toraja misalnya adalah Kerbau
yang memiliki nilai jual sangat tinggi, untuk satu ekor kerbau bisa dihargai mulai

10
dari ratusan juta rupiah sampai milyaran rupiah. Banyak faktor yang
memengaruhi nilai jual dari kerbau yang ada di Toraja ini. Salah satu faktor yang
paling berpengaruh dalam tingginya nilai jual kerbau di Toraja adalah faktor
sosial dan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tana Toraja. Kerbau
juga dipercaya oleh masyarakat Toraja sebagai suatu hewan yang melambangkan
kemakmuran, sehingga permintaan masyarakat Toraja terhadap kerbau sangat
tinggi dan harganya pun sangat mahal.
a) Kerbau melambangkan kekayaan dan kemakmuran
Hampir semua keluarga yang tinggal di Toraja pasti pernah membeli dan
memiliki kerbau. Hal ini dikarenakan masyarakat Toraja memandang kerbau
sebagai lambang kekayaan dan kemakmuran mereka. Kerbau juga dipandang
sebagai sebuah tabungan atau investasi bagi masyarakat Toraja. Bahkan beberapa
diantara mereka menganggap kerbau seperti emas.
b) Kerbau sebagai kendaraan suci
Salah satu alasan mengapa ternak kerbau dijadikan sebagai salah satu
persembahan dalam upacara kematian adalah karena masyarakat Toraja percaya
Faktor Sosial dan Budaya Kaitannya.
c) Kerbau sebagai tolak ukur dari kehidupan sosial
Toraja Kedudukan sosial dapat diartikan sebagai tempat seseorang secara
umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti
lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta
kewajibankewajibannya.

Nilai kebudayaan kerbau pada masyarakat Suku Toraja ;


Kerbau merupakan hewan yang tidak bisa dilepaskan dari adat-istiadat dan
kebudayaan Toraja.
1. Kerbau syarat dalam kegiatan adat masyarakat Toraja
Secara garis besar upacara adat di Tana Toraja terbagi menjadi Rambu
Solo dan Rambu Tuka’. Prosesi kedua upacara ini berbeda namun ada
kesamaannya yakni kedua upacara ini menggunkan kerbau sebagai salah satu

11
syarat diadakannya upacara. Kerbau yang digunakan pun berbeda dari mulai
jumlah, jenis, dan harganya, disesuaikan dengan keperluan pada upacara
2. Tradisi menggunakan ternak kerbau
Masyarakat Toraja yang menggunkan kerbau sebagai alat utamanya yaitu
menggunakan kerbau sebagai alat tukar dan juga tradisi adu kerbau di Toraja.
Tradisi ini sudah berlangsung selama ratusan tahun dan tetap tidak hilang karena
perkembangan zaman.
3. Persepsi dan kepercayaan masyarakat terhadap kerbau
Begitupun dalam memandang kerbau, masyarakat Toraja memiliki
persepsinya masing-masing. Selain memiliki strata dalam status sosial,
masyarakat Toraja pun memiliki strata tersendiri

Tabu atau pantangan makanan dari suku Toraja


Makanan yang menjadi pantangan suku toraja antara lain, yaitu :
1. Jantung pisang
Informan EV mempercayai mitos mengenai mengkonsumsi jantung
pisang dapat mengakibatkan kulit bayi menjadi hitam saat lahir dan adanya
lendir selama proses kehamilan, pengetahuan tersebut mereka daptkan dari
orang tua.
2. Nanas
Informan mempercayai Nenas menjadi buah yang amat dilarang
dikonsumsi oleh ibu hamil. Kondisi itu secara turun temurun ada, namun pro
dan kontrapun terjadi. Ada yang mengatakan bahwa nanas memiliki
kandungan vitamin C yang sangat tinggi, hal ini berarti seharusnya menjadi
buah yang direkomendasikan untuk ibu hamil. Nenas yang dapat
menyebabkan keguguran yaitu berkulit hijau yang belum masak.
3. Ikan asin
Informan (ibu hamil) mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi ikan
asin akan meningkatkan tekanan darah. Ibu yang sedang hamil tentu saja
boleh makan ikan asin, asalkan dalam batas tertentu. Karena kandungan gizi
dalam ikan asin tidak kalah dengan ikan segar

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Banyaknya makanan yang ditabukan oleh masyarakat di daerah-daerah
atau Suku di Indonesia, dengan klasifikasi masing-masing usia dan jenis kelamin.
Namun sampai saat ini masih belum adanya laporan yang menyatakan adanya
tabu makanan bagi anak-anak dan bayi. Adanya kekuatan keyakinan masyarakat
terhadap dampak makan makanan yang dianggap akan memberikan dampak yang
negatif bagi kehidupan mereka dan nilai-nilai magis yang kental di budaya
Indonesia

B. Kritik dan Saran


Upaya penurunan kepercayaan akan tabu makanan masih sangat perlu
dilakukan khususnya makanan tabu bagi wanita hamil dan ibu menyusui. Upaya
ini dapat dilakukan oleh para petugas Dinas Kesehatan dan kader-kader posyandu
secara terus-menerus.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arundhana, Andi Imam. 2012. Budaya Makan Lokal dan Perbaikan Gizi. di
https://www.kompasiana.com/arundhana_s.gz/5519c3718133110a7b9de0c1
/budaya-makan-lokal-dan-perbaikangizi#:~:text=Dalam%20Budaya%
20Bugis% (Diakses pada 9 Juni)
Dewi, Sinta Puspita. 2018. Budaya Makan Suku Bugis. di
https://id.scribd.com/document/434254290/Budaya-Makan-Suku-Bugis
(Diakses pada 9 Juni)
Dyahumi. 2011. Artikel Gizi dan Kesehatan Tabu Pada Makanan. di
https://artikelgizikesehatan.blogspot.com/2011/12/tabu-pada-makanan.html
(Diakses pada 9 Juni)
Rahim, Muarifah. 2013. Gambaran Perilaku Pantangan Makan Ibu Hamil Suku
Toraja. di http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digita
lCollection/NDc4ZWZmOTViOWE1NTM5NTE2YTE2OWYxOTBjOWJh
MGY5MzAxNGExZQ==.pdf (Diakses pada 9 Juni)
Untari, Dhian Tyas. 2019. Strategi Pengembangan Kuliner Tradisional Betawi di
DKI Jakarta. di https://www.researchgate.net/publication/335003234
_STRATEGI_PENGEMBANGAN_KULINER_TRADISIONAL_BETAW
I_DI_DKI_JAKARTA (Diakses pada 9 Juni)

14
DESKRIPSI TUGAS

- Apriana (Mengumpulkan Materi Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku Bugis
serta Membuat Makalah dan PPT)
- Alfiani Safitri (Mengumpulkan Materi Nilai Sosial dan Tabu Makanan Suku
Betawi)
- Alda Melinda Padudung (Mengumpulkan Materi Nilai Sosial dan Tabu
Makanan Suku Toraja)

15

Anda mungkin juga menyukai