Anda di halaman 1dari 9

MENGENAL BUDAYA SUKU BUGIS (Pendekatan Misi Terhadap Suku Bugis)

Abstrak

Sulawesi Selatan adalah salah satu dari 34 propinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di provinsi ini terdapat empat suku
2
bangsa utama yaitu, Toraja, Makassar, Bugis dan Mandar. Suku Bugis adalah salah satu suku yang terbesar yang mendiami daerah
Sulawesi Selatan. “Suku bangsa Bugis terutama mendiami kabupaten- kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Barru,
Pare- Pare, Sidrap, Pinrang dan Luwu. Sebahagian penduduk Pangkajene dan Maros, sebagai daerah perbatasan antara negeri-
3
negeri orang Bugis – Makassar, adalah orang Bugis atau orang Makassar.” ”Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-
4
suku Melayu Deutero. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis”.
Menarik untuk dipelajari etnografi kebudayaan suku bugis karena memiliki ciri yang khas. “Mereka adalah contoh yang jarang terdapat
di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan- kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan
5
tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Perpindahan besar-besaran orang “Bugis” ke luar kampungnya di Sulawesi
6
Selatan di mulai pada paruh baya ke-17 dan ke-18. Hari ini orang Bugis telah tersebar di segala kawasan. Di seluruh wilayah Nusantara
dari Semenanjung Melayu dan Singapura hingga pesisir barat Papua, dari Filipina Selatan daan Kalimantan Utara hingga Nusa Tenggara
dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau
7
pekerjaan apa saja yang sesuai. Meskipun telah tersebar di mana saja, identitas suku ini tetap terlihat di mana pun mereka tinggal.
8
Orang Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas “kebugisan” mereka.

PEMBAHASAN
Sumber Identitas Suku Bugis
“Orang Bugis sendiri mengenal masa lampau mereka melalui
dua macam manuskrip anonim yakni mitos/epos dan teks sejarah/kronik. Jenis pertama berwujud sebuah karya sastra besar berisi
cerita bersyair, yang dinamakan Sure’ Galigo oleh orang Bugis. Jenis kedua, adalah sejumlah besar kronik orang Bugis, Makassar dan
9
Mandar.” Sure’ Galigo merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kebudayaan Bugis. Naskah La Galigo bercerita tentang
10
ratusan keturunan dewa yang hidup pada masa selama enam generasi turun-temurun pada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. A.
Rahman Rahim menuliskan,
“Sure’ Galigo menceritakan tentang awal mula dihuninya negeri Bugis, ketika Batara Guru dari Botinglangi’ (dunia atas) bertemu di
Tana Luwu dengan We’Nyelli timo dari Buri’liung (dunia bawah). Simpuru’siang di Luwu, Sengingridi di Bone, Petta Sekkanyili di
11
Soppeng, puteri Temmalate di Gowa, semuanya adalah Tomanurung yang membentuk masyarakat Bugis-Makassar.”

Naskah yang bersyair tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan bahasa sastra tinggi dan oleh masyarakat Bugis dipercayai sebagai
12
kitab sakral.” Selain epos/mitos, kronik/teks sejarah kebudayaan bugis dapat ditemukan dalam sejumlah lontara.
“Lontara adalah sesuai dengan kata lontar (Jawa/Melayu), yang merupakan transposisi kata rontal, yang merupakan kombinasi kata
ron, daun, dan tal. Tal adalah pohon Borassus flabelliformis yang daunnya dapat dipakai untuk menulis. Lontara pertama-tama berarti
13
daun lontar, dan dalam arti luas berarti setiap karya tulis.” Dalam lontara memuat begitu macam informasi yang penting.”
Lontara berisi catatan rinci mengenai silsilah keluarga bangsawan, wilayah kerajaan, catatan harian, serta berbagai macam informasi lain
seperti, daftar kerajaan-kerajaan, naskah perjanjian dengan kerajaan lain atau persetujuan yang telah diadakan intra-kerajaan sendiri antara
penguasa dan rakyat

Sistem Kekerabatan
“Dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana atau
paling tidak kelompok yang memiliki jumlah anggota terbatas, biasanya hubungan antara masing anggotanya saling mengenal secara
15
mendalam. Yang menjadi dasar kekuatan ikatan kelompok semacam ini adalah sistem kekerabatan.” Lestari (2009) dalam Ardhani
menjelaskan sistem kekerabatan masyarakat Bugis disebut dengan assiajingeng yang tergolong parental, yaitu sistem kekerabatan yang
16
mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu atau garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Sistem kekerabatan
merupakan aspek yang sangat penting dalam masyarakat.
Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek
17
kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka.

Pada dasarnya, sistem kekerabatan itu, berkembang dari suatu kelompok keluarga batih (Bugis: sianangmaranak). Sebagai keluarga
18
batih, mereka terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak dari ayah ibu tersebut yang hidup dalam sebuah rumah tangga. “Sebagaimana
umumnya masyarakat Austronesia, khususnya orang-orang Nusantara seperti Melayu, Jawa, Kalimantan, Filipina, dan orang Bugis pun
menganut sistem kekerabatan bilateral. Kelompok kekerabatan bilateral seseorang ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak
19
ayah maupun ibu.” Namun demikian dalam keluarga Bugis, dalam sebuah rumah tangga tidak hanya terdiri dari anak dari ayah
dan ibu, tetapi juga terdapat anggota keluarga yang lainnya, seperti sepupu, keponakan dari suami atau istri, nenek dan kakek.
“Terminologi kekerabatan masyarakat Bugis cukup sederhana dan tergolong sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang
berasal dari garis generasi yang sama, baik laki-laki maupun perempuan, saudara laki-laki maupun perempuan, atau sepupu, dimasukkan
ke dalam kategori “saudara” (sumpung lolo, disebut juga
20
seajing ‘satu asal’).” “Sumpung berarti sambung (an), sedang lolo berarti usus atau hati. Kelompok kerabat dekat disebut seajing
21
mareppe atau macawe’ dan kelompok kerabat jauh disebut seajing mabela.”
Christian Pelras menuliskan sapaan yang berlaku dalam masyarakat Bugis sebagai berikut. “Yang paling penting adalah apakah ia
lebih tua (kaka’) atau lebih muda (anri’). Begitu pula generasi di bawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’ (anak), termasuk
untuk anak kandung, kemenakan laki-laki dan perempuan, anak dari sepupu kaki dan perempuan. Selanjutnya, baik keturunan ana’
maupun keturunan anaure’ akan disapa sebagai eppo (cucu). Sementara itu, semua kerabat yang seangkatan dengan ayah dan ibunya,
akan disapa paman (ama-ure’ atau amure’) atau bibi (ina ure’). Sedangkan orang tua dari bapak, ibu, paman dan bibi akan disapa
nene’ (yang berarti kakek atau pun nenek).
Sementara itu, biasanya akan sulit menentukan apakah orang yang disapa dengan sapaan-sapaan tersebut di atas benar-benar memiliki
hubungan kekerabatan dengan mereka. Hal itu disebabkan adanya kecenderungan untuk secara otomatis menyapa orang-orang dekat,
meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan sapaan sesuai dengan generasi mereka masing-masing. Misalnya seorang bapak
akan otomatis menyapa putra sahabatnya dengan sapaan ana’ bukan karena adanya hubungan darah dengannya, akan tetapi karena dia
berasal dari generasi satu tingkat dibawahnya (satu generasi dengan ana’-nya). Tentu saja ada sapaan untuk menentukan secara pasti
hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan menambah istilah khusus. Misalnya: silessureng ri aleku ‘saudaranya sendiri’
atau anri’ ipa’ku ‘adik ipar saya’, atau, dalam sastra kuno ina teng- ncajiangnga-a’, ‘ibu yang tidak melahirkan saya’ sebagai pengganti
22
inaure’ yaitu ‘bibi’.”
Dalam masyarakat Bugis marga bukanlah yang terpenting seperti yang berlaku bagi orang Batak dan Manado. Akan tetapi yang dikenal
adalah “percabangan” dari kedua sisi ayah dan ibu. Hal tersebut dijelaskan dalam buku yang berjudul Manusia Bugis.
“Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek moyang, yakni garis nenek moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua garis
keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah
pihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek, yakni orang tua bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut nene’ wakkang ‘kakek
nenek pangkuan’. Kemudian dua pasang kakek-nenek itu memiliki pula orang tua yang berjumlah empat pasang. Seterusnya delapan
pasang orang tua dari orang tua kakek-nenek itu juga memiliki orang tua yang jumlahnya enam belas pasang. Dua pasang kakek-nenek
menurunkan sepupu pertama. Empat pasang orang tua dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua. Delapan pasang orang tua dari
orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga. Dan, akhirnya enam belas pasang orang tua dari orang tuanya orang tua
kakek nenek menurunkan sepupu empat kali.
Secara berturut-turut, sepupu pertama, kedua, ketiga, dan keempat, dalam bahasa Bugis sappo siseng, sappo wekka dua, sappo wekka
tellu, dan sapo wekka eppa’. Setiap orang dikelilingi oleh kerabat yang berasal dari dua cabang, garis bapak, dan ibu, mulai dari yang
paling dekat, misalnya dari cabang kedua orang tua (saudara, kemenakan, cucu kemenakan), hingga kerabat jauh yang berasal dari lima
lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupu mereka. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh lapisan
leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan berdasarkan nenek moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun
ibu, menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan dan memisahkan mereka dengan “orang lain”. Masyarakat Bugis tidak
memiliki suatu kelompok kekerabatan bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan nenek moyang saja, sebagaimana dengan orang
Toraja tetangga mereka yang hanya memusatkan inti kelompok keluarga masing-masing pada sebuah rumah tongkonan. Yang terpenting
23
bagi masyarakat Bugis adalah dicapainya derajat yang tinggi dalam sistem stratifikasi sosial.”
Hubungan kekerabatan dalam suku Bugis semakin terpelihara dengan erat ketika mereka bersama-sama hadir dalam upacara-upacara
seperti sunatan, aqikah, dan pernikahan. Meskipun kekerabatan masyarakat bugis adalah bilateral, namun dalam hak dan kewajiban
mereka lebih mengikuti prinsip bilineal, yang mana memperhitungkan kekerabatan melalui pihak pria. Namun, kekerabatan suku bugis
tidak lagi dibatasi hanya dengan suku bugis saja namun terjadi integrasi budaya dengan suku lainnya terutama suku Makassar. Dalam
tulisan “Integrasi Orang Bugis di Kabupaten Gowa (Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi),” diungkapkan bahwa
“hubungan kekerabatan yang terjadi akibat adanya perkawinan diantara masyarakat asli dan pendatang yang berbeda
suku bangsa,

24
menyebabkan terjadinya proses interaksi yang semakin meluas di antara kedua pasangan dan pihak-pihak keluarganya.” Selain itu
dalam bingkai keberagaman suku maka masalah budaya terkait perasaan sebangsa dan setanah air yang sangat kental dalam
kehidupan bermasyarakat, masalah kekerabatan terkait hubungan kekerabatan yang ada diantara mereka, kepatuhan masyarakat pada
25
pejabat pemerintahan menjadi pengikat kesatuan dalam kekerabatan.

Perkawinan
Tujuan perkawinan pada masyarakat Bugis sama dengan
masyarakat Makassar. Kalau orang Makassar mengatakan terhadap orang yang mau dikawinkan lanipattukmi ulanna salangganna, maka
26
orang Bugis mengatakan elokni ri pakkalepu maksudnya akan diutuhkan, jadi orang yang belum kawin dianggap belum utuh.
“Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala ‘saling mengambil satu sama lain’. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-
27
balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami istri mereka merupakan mitra.” Dalam perkawinan
masyarakat Bugis, laki-laki dan perempuan bukan hanya merupakan suatu kesatuan, namun mereka juga terikat menjadi satu kesatuan
dengan keluarga masing-masing, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.
Pernikahan menjadi sarana menyatukan antara dua keluarga bagi masyarakat Bugis. “Upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga
dalam pernikahan biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya. Di kalangan masyarakat biasa,
28
perkawinan umumnya berlangsung antarakeluarga dekat atau antarakelompok patronasi yang sama.” Perkawinan ideal pada
masyarakat Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Bahwa seorang laki-laki maupun wanita diharapkan untuk mendapatkan jodohnya
29
dengan lingkungan keluarganya baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Berikut ini pernikahan yang ideal menurut
masyarakat Bugis:
“Pertama, siala massapposiseng ialah kawin antara sepupu sekali, hubungan perkawinan semacam ini yang paling ideal dahulu di
kalangan bangsawan tinggi (raja-raja) untuk menjaga derajat kemurnian darah. Perjodohan tersebut disebut juga Assialang Marola
(perjodohan yang sesuai). Kedua, siang massappokadua ialah kawin antara sepupu dua kali biasa pula disebut asialanna memeng
maksudnya perjodohan yang baik sangat serasi. Ketiga, siala massappo katellu ialah kawin antara sepupu tiga kali, disebut
ripasilorongngengi maksudnya mendekatkan kembali kekerabatan yang agak jauh. Biasa juga dalam bahasa Bugis disebut ripadeppe
mabelae. Hubungan perkawinan yang ideal selain dalam lingkungan kerabat ialah hubungan yang berdasarkan karena kedudukan
assikapukeng maksudnya mempunyai hubungan sejajar karena kedudukan sosial yang setaraf yang tujuannya antara lain untuk
30
memperkokohkan kedudukan dengan mempererat hubungan kekerabatan.”
31
Namun ada silang pendapat di kalangan masyarakat Bugis tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh, dan yang tidak boleh dikawini.
Christian Pelras menjelaskan tentang pernikahan yang biasa dilakukan, dan yang tidak dilakukan dalam masyarakat Bugis sebagai
berikut:
“Banyak yang menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan semacam ini disebut siala marola) “terlalu
panas”, sehingga hubungan seperti ini jarang terjadi, kecuali di kalangan bangsawan tertinggi. “Darah putih” yang mengalir dalam tubuh
mereka dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya tokoh-tokoh dalam cerita LaGaligo. Sementara
32
masyarakat biasa lebih menyukai perkawinan dengan sepupu kedua (siala memeng), lalu sepupu ketiga, dan keempat. “
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, jika seorang Bugis akan melaksanakan pernikahan, baik dari kalangan rakyat biasa maupun
keturunan bangsawan seperti, hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi atau

angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak menikah berasal dari generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan
kemenakan perempuan, atau bibi dan kemanakan laki-laki dilarang dan hubungan badan di antara mereka dianggap sebagai hubungan
sumbang. Sementara itu, pernikahan dengan anak dari sepupu keberapa pun sebaiknya dihindari.
Mengingat seringnya para bangsawan, begitu pula anak-anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda dari
mereka, menyebabkan bangsa putra bangsawan yang sebaya usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang
kawin dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya. Bagi kaum bangsawan, faktor lain yang harus diperhatikan yang paling
penting adalah kesesuaian derajat antara pihak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan bangsawan laki-laki yang diperbolehkan
kawin dengan pasangan berstatus lebih rendah, bangsawan perempuan sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang lebih
rendah derajatnya. Semakin tinggi status kebangsawan seseorang, semakin ketat pula aturan yang diberlakukan. Hal ini masih tetap
berlaku hingga kini. Namun, di kalangan bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung terjadi. Istri utama pria bangsawan
tinggi biasanya memiliki derajat kebangsawan yang sama dengan suaminya. Sementara istri-istri lainnya bisa berasal dari kalangan lebih
rendah, atau bahkan orang biasa.
Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama,
sompa (secara harafiah berarti “persembahan” dan sebetulnya berbeda dengan mahar dalam Islam) yang sekarang disimbolkan
dengan sejumlah uang rella’ (yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku antara lain di Malaka). Rella’ ditetapkan sesuai
status perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta perkawinan. Besarnya dui’ menre’ ditentukan oleh keluarga perempuan. Kedua,
ditambahkan pula lise’ kawing (hadiah perkawinan), dalam Islam disebut mahr atau hadiah kepada mempelai perempuan: biasanya
dalam bentuk uang. Akhir-akhir ini mahar kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran. Sebelum masa penjajahan Belanda, laki-laki
dari luar wilayah tempat tinggal perempuan harus membayar pajak pa’lawa tana (secara harafiah
‘penghalang tanah’) kepada penguasa setempat yang besarnya sesuai
33
sompa.”
Dalam konteks kekinian dan milenial proses perjodohan dan pernikanan telah mengalami transformasi, namun tidak menghapuskan

budaya pernikahan dalam suku Bugis itu sendiri. H. M. Dahlan menyimpulkan bahwa “pandangan pernikahan yang ideal ini, pada saatnya
nanti, akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan, baik oleh keluarga dan masyarakat maupun oleh ajaran agama dan hukum
negara, sehingga niat tulus menjalin ikatan hati dan membangun kedirian masing-masing dalam ruang bersama menjadi sesuatu yang
34
tidak bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.”

Dunia Lelaki dan Perempuan Bugis


“Dalam masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat
lain di dunia, lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas masing-masing. Namun, pada hakekatnya orang Bugis tidak
menganggap laki-laki maupun perempuan lebih dominan satu sama lain. Kriteria pembedaan peran gender lebih berdasarkan
35
kecenderungan sosial dalam perilaku individu.” Laki-laki dan perempuan dalam pandangan masyarakat Bugis memiliki kedudukan
yang setara dalam keluarga. Orang Bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka, di mana
pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menentukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki dan perempuan
36
mempunyai peran sejajar (walaupun berbeda) dalam kehidupan sosial.
Masuknya agama di dalam sebuah masyarakat seringkali membawa suatu pengaruh yang signifikan. Namun tidak demikian dengan
masyarakat Bugis. Meskipun masuknya Islam telah memperkenalkan dan mendorong perilaku yang seolah-olah menempatkan laki-laki
lebih menonjol daripada perempuan, tetapi tingkah laku tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria atau marjinalisasi kaum
37
perempuan. Baik orang Bugis maupun orang Makassar setelah menikah cenderung menganut pola bilokal, dimana individu
mempunyai kebebasan memilih tempat tinggal. Namun ada kecenderungan yang nampak, jika perkawinan telah dilangsungkan, maka
38
suami akan menetap sementara waktu di rumah mertua atau ayah ibu sang isteri. Hal ini cenderung membatasi suami untuk
mendominasi istrinya lebih banyak. Selanjutnya, dalam ruang gerak dalam rumah, masyarakat Bugis membaginya wilayah rumah
berdasarkan gender. Penjelasan ini dituliskan dalam buku yang berjudul “Orang Bugis” sebagai berikut:
“Bagian depan menjadi wilayah kaum pria, sedang ruang belakang milik kaum perempuan. Setiap bagian ada pintu depan, maka
laki-laki sangat jarang masuk rumah lewat pintu belakang, apalagi pria asing. Perempuan pun sering menghabiskan waktu di bagian
depan rumah, kecuali jika ada tamu laki-laki bukan kerabat. Sebaliknya, meskipun dapur di bagian belakang adalah wilayah perempuan,
tetapi lelaki pun kadang kala masuk, khususnya waktu makan bila tidak ada tamu lelaki selain keluarga atau teman dekat.
Daerah kekuasaan kaum perempuan yang lain adalah loteng, tempat penyimpanan padi, yang pada zaman dahulu digunakan
sebagai ruang tidur anak gadis yang belum menikah, terutama jika ada tamu pria yang bermalam. Pembagian ruang berdasarkan gender
paling tampak jika ada jamuan makan resmi atau saat laki-laki yang bukan kerabat datang berkunjung. Biasanya jamuan
yang hanya diikuti laki-laki dilangsungkan di bagian depan, dan perempuan hanya muncul membawa makanan atau panganan.
Pemisahan ini tidak bersifat ketat dan permanen, tetapi pengaturannya agak fleksibel. Tujuannya menjaga perempuan dari gangguan
pria asing. Secara umum boleh dikatakan bahwa rumah sebenarnya adalah bagian perempuan, bukan bagian laki-laki, dan biasanya
diwariskan kepada anak perempuan bungsu. Menurut pepatah Bugis, wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang
39
gerak kaum pria “menjulang hingga ke langit”.
Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri memegang peranannya masing-masing agar kehidupan keluarga dapat berjalan dengan
baik. Seperti dalam kehidupan keluarga pada umumnya, seorang suami dari suku Bugis merupakan tulang punggung keluarga untuk
menafkahi seluruh anggota keluargamya. Sedangkan wanita sebagai seorang istri dan sekaligus sebagai ibu berperan sebagai seorang ibu
rumah tangga. “Kewajibannya menjaga anak, menumbuk padi, memasak, mencuci, menyediahkan lauk pauk dan berbelanja keperluan
keluarga. Pekerjaan utamanya dalam rumah dan sekitarnya serta mengatur dan membelanjakan pendapatan suami selaku

40
“pengurus yang bijaksana”.” Namun seringkali tak bisa dipungkiri ada juga wanita-wanita yang harus ikut mencari nafkah
41
bagi kehidupan keluarganya. Hal ini terjadi karena seringkali sang suami harus melaut berbulan-bulan dan meninggalkan keluarganya.
Oleh karena itu, selama suami tidak ada berada bersama-sama, maka istri mengambil tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh
suami terhadap keluarganya. Nanti barulah setelah pulang dari melaut, mereka membawa hasil untuk keluarganya. Biasanya tidak
42
dalam bentuk uang tunai, lebih sering dalam bentuk pakaian, perhiasan, perabot rumah tangga, atau barang-barang mewah.
Keadaan wilayah yang subur membawa masyarakat Bugis kepada kehidupan pertanian. Bukan hanya laki-laki yang saja yang berperan
dalam bidang kehidupan ini. Perempuan juga ikut terlibat di dalamnya. Mereka ikut berperan ketika pekerjaan di ladang membutuhkan
pekerja yang lebih banyak. Jika perempuan menyiangi, para lelaki harus mengolah lahan untuk menabur benih. Laki-laki dan perempuan
saling membantu agar pekerjaan yang mereka laksanakan dapat berhasil. Namun tak bisa dipungkiri ada pekerjaan yang hanya bisa
dilakukan laki atau sebaliknya, seperti membangun rumah, mengolah besi, emas dan perak, membuat perahu, berburu, dan mengolah
43
lahan. Tugas yang dibebankan kepada perempuan antara lain menumbuk padi, menenun dan sejenisnya serta membuat tembikar.
Perbedaan tugas laki-laki dan perempuan pada akhirnya saling melengkapi satu dengan lainnya.
Perbedaan gender memang berlaku pula dalam hal cara berpakaian, sikap dan gerak-gerik fisik, serta tingkah laku, walau batasannya
kerap tumpah tindih dan sangat fleksibel. Jika di wilayah bagian lain dari kawasan Nusantara ini, penggunaan sarung lebih cenderung
identik untuk digunakan bagi para pria, ternyata tidak demikian dengan orang Bugis. Pakaian sehari-harinya orang Bugis, laki-laki
44
maupun perempuan, adalah sarung; yang berbeda hanya cara ikatnya. Cara penggunaan sarung dalam masyarakat Bugis diuraikan
sebagai berikut ini:
”Dalam acara resmi, perempuan Bugis berpakaian adat tidak mengikat sarung mereka, tetapi menyelempangkannya sebagian di atas
lengan mereka, sehingga tampak elegan tetapi tidak begitu praktis untuk bergerak. Umumnya, kaum lelaki mengikatkan sarungnya di
pinggang meski tidak memakai

baju. Sedangkan, sejak masuknya Islam, perempuan biasanya mengikat sarung mereka di ketiak atau kadang-kadang pada salah satu
bahu (meskipun hingga tahun 1960-an beberapa perempuan di kampong, tua maupun muda, masih bertelanjang dada jika berada di
rumah) apabila mereka tidak berbaju. Mereka juga kadang-kadang memakai sarung kedua sebagai penutup kepala jika keluar rumah.
Kebiasaan ini terlihat di daerah-daerah pengaruh Islam cukup kuat, tetapi tampaknya hal itu bukan hanya karena pengaruh Islam
45
cukup kuat, karena kebiasaan seperti itu sudah disebut-sebut dalam La Galigo.”

Dalam posisi duduk antara perempuan dan laki-laki juga memiliki perbedaan. Hal ini terlihat dari gerak-gerik mereka ketika duduk dan
mengangkat beban. “Di atas lantai atau tikar, laki-laki duduk bersila sementara perempuan biasanya duduk dengan kedua kaki
ditekuk ke dalam dan satunya dengan lutut berdiri. Laki-laki umumnya mengangkat beban dengan cara memikul di bahu,
46
sementara perempuan menjunjungnya di atas kepalanya.” Laki-laki Bugis terkenal sebagai seorang yang berperilaku agresif ketika
mereka merasa tidak senang dengan sikap seseorang terhadap dirinya, tak jarang mereka menyelesaikan dengan cara yang kasar.
Sebagian besar laki-laki menyelipkan badik, yang disebut kawali, di balik pakaian, sehingga pertengkaran mulut kerap berakhir dengan
47
pertumpahan darah. Perempuan juga sering membawa kawali dalam perjalanan tetapi hanya untuk menjaga diri.
Peranan perempuan bukan hanya ditemukan dalam ruang lingkup di dalam rumah saja. Dalam sejarah Indonesia, banyak perempuan
telah menjadi tokoh penjuang bagi bangsa ini. Perempuan Bugis adalah satu dari sekian banyak perempuan yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa untuk melawan penjajahan. Mereka juga menjadi penguasa kerajaan seperti yang dikutip Christian dalam bukunya
Crawfurd yang berjudul History, sebagai berikut:
“Perempuan… dimintai pendapat oleh kaum lelaki dalam semua urusan pemerintahan, dan kerap kali diangkat menjadi raja, padahal
pengangkatan raja dilakukan lewat proses pemilihan… Pada acara-acara kerajaan, perempuan juga hadir di tengah kaum pria; duduk
dalam siding yang membahas masalah-masalah kenegaraan, bahkan berhak memberi pertimbangan. Saat ini, Kerajaan Luwu’ di Sulawesi
Selatan dipimpin istri raja Soppeng, tetapi raja Soppeng tidak berhak

48
mencampuri dalam negeri kerajaan Luwu’, yang diperintah oleh istrinya, ratu Soppeng.”

Stratifikasi Sosial
Dalam masyarakat Bugis, stratifikasi sosial ditentukan oleh
garis keturunan. Adapun prinsip-prinsip hirarki berdasarkan keturunan yang digunakan dijelaskan oleh Christian Pelras dalam bukunya
Manusia Bugis, berikut:
“Prinsip hirarkis tradisional Bugis cukup sederhana. Berdasarkan La Galigo dan mitos tentang nenek moyang mereka, awalnya hanya
dua jenis manusia: mereka yang “berdarah putih” yang keturunan dewata, serta mereka yang “berdarah merah’ yang tergolong orang
biasa, rakyat jelata, atau budak. Dalam naskah tersebut, pembagian kedua kategori bersifat mutlak dan tidak boleh saling dicampurkan.
Dalam praktiknya sepanjang sejarah, perkawinan di antara kedua lapisan ini tidak hanya diperbolehkan akan tetapi juga sering terjadi,
sehingga mengangkat status kalangan lapisan menengah yang berada di antara bangsawan tertinggi dengan budak terendah. Menurut
naskah La Galigo, dewata leluhur kaum bangsawan turun ke bumi menjelma menjadi manusia semata karena “tidak ada Tuhan jika tidak
ada manusia untuk menyembahnya.” Batara Guru harus menjalani sejumlah ritual desakralisasi, termasuk upacara mandi guna mengubah
aroma dewata menjadi tubuh manusia. Namun dalam tubuhnya dan tubuh to-manurung berikutnya, begitu pula turunan mereka
berdarah murni tetap saja mengalir “darah putih”. Sebelum perkawinan antarkeluarga bangsawan La Galigo dilangsungkan, salah satu
jari mempelai ditusuk untuk membuktikan bahwa darah yang menetes benar-benar putih. Dewasa ini, bahkan bangsawan yang masih
mempercayai dirinya sebagai keturunan dewa akan mengakui bahwa perkawinan antaragolongan telah menyebabkan darah putih dalam
49
tubuh bangsawan tertinggi sekalipun tidak murni lagi.”
Mempertahankan darah kebangsawan tertinggi dalam suku Bugis merupakan sesuatu yang penting, karena hal tersebut menentukan
status mereka dalam masyarakat luas. Namun lama kelamaan semakin banyak orang berkebangsawan tertingi yang kawin-mawin
dengan rakyat jelata.

50
Status dalam Masyarakat Bugis
Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan mana pun yang
memiliki status setara ataupun lebih rendah dari dirinya, namun tidak boleh menikah dengan perempuan berstatus tinggi. Dalam
sistem kekerabatan bilateral, pertanyaan kemudian timbul: jika lelaki “berdarah putih” kawin dengan perempuan “berdarah merah”,
lalu bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat istiadat Bugis menjawabnya dengan membangun sistem status berdasarkan
pencampuran darah, yang dianalogikan seperti pencampuran logam mulia dengan konsep logam biasa. Apa yang akan dipaparkan berikut
ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh para ahli silsilah. Status tertinggi disebut ana’ ma’tola, yakni anak (ana’)
yang berhak mewarisi (ma’tola) tahta orang tua sebagai penguasa tertinggi kerajaan. Tingkatan itu terbagi lagi menjadi dua sub-
bagian, yakni ana’ sengngeng dan ana’ rajeng.
Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat seseorang anak, hasil perkawinan lelaki berderajat tinggi seperti di
atas dengan perempuan biasa, anaknya akan menjadi ana’cera siseng (anak berdarah lapisan pertama). Pernikahan cera’siseng dengan
perempuan biasa melahirkan cera’ dua (berdarah lapisan kedua); percampuran keturunan mereka dengan perempuan biasa menjadi
menjadi cera’ tellu (cera’ lapisan ketiga). Ketiga lapisan ana’ cera mengisi bangsawan menengah. Selanjutnya perkawinan dari
keturunan bangsawan lapisan ketiga ini dengan perempuan biasa akan membuahkan bangsawan terendah: ampo cinaga, anakarung
ma’dara, dan anang. Di bawah mereka terdapat orang biasa (tau sama’) atau orang bebas (tau maradeka)-bahkan di kalangan mereka
sekalipun pun masih dibedakan antara leluhurnya masih terhitung bangsawan, betapa rendahpun lapisan dan betapa jauh pun pertautan
dan yang benar-benar turunan orang biasa.
Pola piramid dalam sistem seperti itu mengingatkan kepada pola piramid dalam sistem kekerabatan; tingkatan sepupu diperhitungkan
berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka dengan seorang nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi antara kerajaan atasan
dan bawahan. Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi tersebut ikut menentukan status hirarki kebangsawanan seseorang.
Bangsawan yang beristri beberapa perempuan berstatus yang berbeda- beda akan memperoleh anak-anak yang berbeda-beda pula
statusnya. Sementara itu, selain memiliki istri dari bangsawan sederajat, yang keturunan kelak dapat menggantikan posisinya para
penguasa Bugis pun sering mengawini lebih rendah. Keturunan yang lebih rendah kelak menduduki jabatan senior kerajaan meskipun
tidak akan sampai menjadi ahli waris tahta. Bangsawan kelas atas, yang paling mengagungkan status, hanya mementingkan cera’ tellu
ke atas.
Di sisi lain, bangsawan rendah dan anggota masyarakat kebanyakan menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan gelar yang jauh lebih
sederhana. Di tingkat kampung, semua orang berpengaruh, baik bangsawan rendah, orang biasa punya sedikit pertalian darah
bangsawan, maupun orang biasa yang memiliki kekayaan, pengaruh, atau pengetahuan, disebut tau deceng (orang baik-baik). Sejak
1920 digunakan gelar baru di kalangan bangsawan Bugis atau Makassar untuk lapisan di atas cera’ tellu, yakni gelar Andi’ dan Andi’
Bau’ (hanya bangsawan berderajat tinggi yang digelari Andi’ Bau’ bahkan sebagian dari mereka “harus puas” dengan gelar Andi’ saja).
Adapun lapisan di bawahnya menggunakan “nama bangsawan” mereka dengan di dahului sebutan Daeng (apa yang disebut
sebagai “nama bangsawan” mereka adalah sebuah nama tambahan yang diberikan kepada seorang bangsawan waktu dia kawin pertama
kali atau waku ia memperoleh anak yang pertama. Biasanya arti nama tersebut berkaitan dengan arti nama pertama).
Singkatnya, stratifikasi masyarakat Bugis tidak menganut sistem yang kaku. Emigrasi juga bisa menjadi jalan meningkatkan status.
Bangsawan rendah, yang memimpin sekelompok kecil pengikutnya pindah ke wilayah lain-di mana tidak akan terjadi pemeriksaan silang
leluhur, kadang-kadang cenderung mengaku memiliki silsilah lebih tinggi dari sebenarnya. Keberhasilan di bidang ekonomi, juga bisa
mendongkrak derajat seseorang. Pentingnya hirarki dalam masyarakat tradisional Bugis terlihat jelas dengan adanya sejumlah tanda-
tanda dan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan status mereka. Tanda ini mencakup pernak-pernik pakaian dan arsitektur rumah
mereka.

Sistem Religi
Agama adalah bagian yang penting dalam sebuah masyarakat.
Agama memainkan peranan dalam membentuk kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Di masyarakat Bugis mayoritas memeluk
agama Islam. Hal ini terlihat dari begitu banyak mesjid-mesjid yang di bangun di wilayah orang Bugis. Orang Bugis-bersama orang
Aceh, Melayu, Banjar, Sunda, Madura, dan tentu saja orang Makassar- dianggap termasuk di antara orang Indonesia yang paling kuat
51
dan teguh memeluk ajaran Islam. Namun ketika dilihat secara dekat

masih banyak orang Bugis baik di kota maupun di desa masih saja mempertahankan kehidupan sebelum islam masuk sebagai agama
kepercayaan mereka. “Misalnya, ritual-ritual masyarakat, kepercayaan mereka terhadap mitos pra-islam, persembahan kepada benda-
benda pusaka dan tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah pendeta bissu yang masih tetap berperan aktif. Padahal, semua unsur
52
tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka anut.”
Sinkretisme dalam masyarakat Bugis tradisonal masih tetap melekat, meskipun ajaran agama Islam telah begitu lama masuk dalam
masyarakat Bugis. Sebagian muslim Bugis yang rajin datang ke mesjid sekalipun, ada yang tanpa ragu-ragu dan terang-terangan
53
melakukan praktik sinkretisme. Mereka seringkali mengabungkan unsur-unsur yang ada di dalam kepercayaan tradisional dengan
unsur yang ada dalam Islam. Tindakan ini seringkali ditentang oleh kaum muslim ortodoks, yang menekankan ajaran-ajaran islam yang
murni. Namun meskipun demikian ritual kepercayaan tradisional seringkali tumpang tindih dengan ajaran Islam. Sebagai contoh,
meskipun digunakan untuk ritus non-Islam, pengorbanan hewan selalu dilakukan sesuai ajaran Islam dengan menyembelih lewat leher
54
didahului ucapan bismillah.

Mental dan Watak Suku Bugis


55
Watak orang Bugis dan sifat kebudayaannya dapat ditelusuri dalam sejumlah lontara mereka. Lontara tersebut diwariskan dari
generasi ke generasi. Dalam lontara watak dan falsafah hidup orang Bugis-Makassar itu tergambar sebagai berikut: 1) Jangan permalukan
dia. Sebab dia akan pilih lebih baik mati daripada dipermalukan (aja
56
mupakasiriwi matei tu); 2) Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda. Watak dan mental orang
Bugis bukan hanya dikenal di kawasan Nusantara saja, bangsa asing pun mengenal mereka seperti yang diungkapkan oleh Raffles,
seorang tokoh Inggris. Di dalam benak Raffles, orang Bugis memang pemberani, paling petualang, punya semangat usaha yang tinggi di
antara bangsa di timur, dan terutama sekali amat gemar akan

57
kehidupan militer. “Pada hakikatnya, sikap mental atau pandangan hidup orang-orang Bugis pada umumnya, sama dan serasih
atau sejalan dengan tali-temali dengan sikap mental orang-orang Makassar, karena berdasarkan kisah awal mula kedua suku ini yang
58
berasal dari satu sumber rumpun yang sama.” Selanjutnya, A. Moeing menjelaskan bahwa mental suku Bugis-Makassar, tabah
menghadapi tantangan-tantangan hidup, mengutamakan harga diri sebagai sesuatu yang sangat bernilai baginya, setia kawan yang sukar
59
dikhianati, berwatak keras dan manakalah pernah ditolong oleh seseorang, maka menjadi kewajibannya untuk membalasnya.
Pandangan orang luar terhadap mentalitas orang Bugis pastinya berbeda-beda dengan orang Bugis sendiri memandang dirinya. Dalam
membangun mentalitas kebungisan, orang Bugis mendasarkan kepada dua aspek. Kedua aspek ini dijelaskan dalam buku “Orang
Bugis” sebagai berikut:
“Pertama, petuah-petuah leluhur. Karya-karya sastra dalam berbagai macam bentuk banyak mengandung petuah-petuah tentang perilaku
yang baik. Beberapa dari karya-karya tulis Bugis dapat digolongkan sebagai karya didaktis. Misalnya La Toa (“Nenek Moyang”),
berisi petunjuk bagi raja-raja mengenai tata cara berperilaku baik, yang banyaknya salinannya menunjukkan pengaruh besar
karya tersebut bagi kehidupan Bugis hingga abad ke-19, dan sampai sekarang masih dihargai oleh para cendekiawan. Kedua, nilai siri’
dan pesse’. Siri’ yaitu rasa bangga dan malu seharusnya-dan biasanya, memang-seiring sejalan dengan pesse. Pesse atau lengkapnya
pesse babua yang berarti ‘ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri’, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang
mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Rasa saling pesse antara anggota sebuah kelompok adalah
kekuatan pemersatu yang penting. Konsep siri dan pesse dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek
perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku

Pendekatan Terhadap Suku Bugis


61
Menurut Niebuhr nisbah antara (Injil) Kristus dan kebudayaan merupakan masalah yang tidak habis-habisnya. Namun demikian
Injil adalah kekuatan Allah yang harus disampaikan kepada mereka yang belum percaya di setiap budaya termasuk di dalamnya kepada
suku Bugis. Semua perilaku manusia terjadi dalam kebudayaan-
62
kebudayaan tertentu, dalam konteks-konteks yang ditentukan secara sosial. Oleh karena itu, pastinya kebudayaan di setiap suku
memiliki perbedaan dengan suku lainnya. Oleh karena itu, adalah penting untuk memiliki pandangan alkitabiah bukan hanya tentang
63
Kristus tetapi juga tentang kultur. Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan terhadap kutur suku Bugis sebagai berikut.
Pertama, menjadi contoh dalam bertingkah laku yang baik. Dari sejumlah lontara dan semua petuah-petuah sebenarnya menuntun
orang Bugis untuk bertingkah laku yang baik kepada sesamanya. Beberapa hal yang baik yang diajarkan dalam petuah-petuah seperti,
“Empat kebaikan yang paling baik: mengasihi orang yang tidak pernah mengasihinya, tidak diminta dia memberi tanpa menanti
64
balasan, menolong kesulitan orang dengan pertolongan sebesar- besarnya (serta menasehati sampai di lubuk hatinya)”. Dari petuah-
petuah ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai kebaikan merupakan hal yang penting dalam kebudayaan suku bugis. Oleh karena
itu, ketika mendekati orang Bugis seharusnya menunjukkan kepribadian (tingkah laku) yang sesuai dengan nilai yang mereka miliki,
dalam hal ini mengenai nilai kebaikan. Tingkah laku pekabar injil harus menunjukkan nilai-nilai kebaikan sehingga menjadi cerminan
bagi orang yang akan diinjili.

60
yang tampak saling berlawanan: persaingan dan kesetiakawanan.”
Kedua, menghargai siri’ orang Bugis. Bagi orang Bugis siri’ sangat penting dalam kehidupan mereka. “Melalui pola tingkah laku siri’
65
mereka menjelmakan dirinya sebagai seorang manusia. Tanpa manusia.” Dengan kata lain, seorang Bugis akan merasa dirinya
sebagai manusia, apabila nilai siri’ (martabat/harga diri) itu dihargai. Ada begitu banyak yang dilakukan orang Bugis untuk tetap
menegakkan siri’, baik dengan cara yang positif bahkan dengan negatif. Penegakkan siri’ secara positif dapat dilihat dengan upaya orang
Bugis untuk mendapatkan keberhasilan hidup dengan usaha merantau di negeri orang sedangkan secara negatif nampak dari tindakan
kekerasan terhadap orang yang telah mempermalukan dirinya.
Ketiga, menunjukkan rasa saling pesse. Rasa saling pesse merupakan pengikat bagi kehidupan orang Bugis. Hal ini melambangkan
solidaritas, tak hanya kepada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang
66
dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Perassan pesse yang ditunjukkan
dalam keadaan yang sulit akan menjadi kekuatan yang mempersatukan.

PENUTUP
Kebudayaan Bugis terbentuk dari berbagai unsur yang pada
hakikat unsur-unsur tersebut menjadikan patokan masyarakat untuk bertindak. Unsur-unsur kebudayaan Bugis banyak bersumber dari
lontara. Tingkah laku pun dijelaskan di dalam lontara. Oleh karena itu, memang perlu untuk memahami lontara-lontara yang kini telah
diterjemahkan oleh beberapa ahli.
Salah satu hal yang banyak dijelaskan di dalam lontara adalah mengenai siri’ dan pesse yang merupakan hal yang penting bagi
masyarakat Bugis sendiri. Kedua hal tersebut tidak dapat terpisahkan dari tingkah laku orang Bugis. Menjunjung nilai siri’ dan pesse
merupakan pendekatan yang efektif bagi orang Bugis, karena melalui kedua hal tersebut niai mereka sebagai manusia benar-benar
dihargai.

15 Pengaruh Komunikasi Dalam Budaya yang Wajib Dipahami


Komunikasi berasal dari kata Latin, communicare, yang berarti “berbagi dengan” atau “untuk menjadi sama”. Komunikasi diartikan sebagai
proses pengiriman ide, informasi atau sikap dari pengirim pesan dengan menggunakan simbol, kata-kata, atau gambar kepada penerima
pesan dengan tujuan tertentu. Komunikasi kerap melibatkan proses encoding dan decoding pesan-pesan verbal maupun nonverbal secara
simultan antara pengirim dan penerima pesan di dalam konteks yang sama. Salah satu konteks yang dimaksud adalah konteks budaya.

Budaya atau kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Sutardi (2009) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar. Sementara itu, Edward T. Hall mendefinisikan budaya
sebagai komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Definisi tersebut menunjukkan adanya kaitan antara komunikasi dan budaya yang
sangat erat.

Menurut Jandt (2009) terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh para ahli untuk merujuk pada hubungan antara komunikasi dan
budaya, seperti komunikasi internasional atau komunikasi global, komunikasi lintas budaya, dan komunikasi antarbudaya. Hubungan
antara komunikasi dan budaya sifatnya timbal balik. Dalam artian, komunikasi mempengaruhi budaya dan begitu pula sebaliknya budaya
mempengaruhi komunikasi.

Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi, budaya mengajarkan seseorang bagaimana caranya untuk berpikir, merasakan
sesuatu, dan bertindak khususnya berinteraksi dengan orang lain atau berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan orang-orang
dengan latar belakang budaya yang berbeda akan berkomunikasi dengan cara yang berbeda pula. Dalam artian, setiap individu memiliki
pandangan tersendiri mengenai komunikasi, bagaimana berkomunikasi, dan alasan untuk berkomunikasi berdasarkan latar belakang
budaya masing-masing. Peluang terjadinya kesalahpahaman antar individu yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda akan
meningkat ketika melupakan hubungan yang penting.

Adapun pengaruh komunikasi dalam budaya yang wajib diketahui diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Menciptakan Budaya
Pengaruh komunikasi dalam budaya yang pertama adalah bahwa komunikasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam proses
penciptaan budaya. Singkatnya, budaya diciptakan melalui komunikasi. Karena itu, komunikasi diartikan sebagai sarana interaksi manusia
dimana beberapa karakteristik budaya seperti kebiasaan, peran, aturan, hukum, atau pola lainnya dibuat dan dibagikan.

2. Membantu Pewarisan Budaya pada Masyarakat Modern


DeVito (2013) mendefinisikan budaya atau kebudayaan sebagai gaya hidup suatu kelompok yang relatif khusus dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya melalui komunikasi. Proses pewarisan budaya ini dilakukan melalui berbagai sarana pewarisan budaya
seperti keluarga (dilakukan secara langsung), masyarakat (melalui proses sosialisasi), perkumpulan (menekankan pada emosi
kedaerahan), lembaga pemerintahan, sekolah (melalui pendidikan), lingkungan kerja (aturan-aturan yang diciptakan dalam lingkungan
kerja), institusi resmi lainnya, dan media massa (proses penyampaian informasi).

3. Membantu Pewarisan Budaya pada Masyarakat Tradisional


Berbeda dengan pola pewarisan budaya pada masyarakat modern, pola pewarisan budaya pada masyarakat tradisional dilakukan
berdasarkan tradisi yang telah ada secara turun menurun. Menurut Sutardi (2009), proses pewarisan budaya pada masyarakat tradisional
terjadi di lingkungan masyarakat adat itu sendiri. Orang-orang yang termasuk ke dalam masyarakat adat biasanya terikat oleh nilai-nilai,
kedudukan, aturan-aturan, dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Proses pewarisan budaya juga terjadi karena kedudukan yang
dimiliki oleh seseorang dalam masyarakat.

4. Mewariskan Budaya melalui Simbol-Simbol


Budaya diwariskan dari generasi ke generasi dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol dalam komunikasi antarbudaya meliputi
simbol nonverbal dan simbol verbal. Simbol nonverbal setiap budaya berbeda. Adapun yang termasuk dalam simbol nonverbal
atau komunikasi nonverbal adalah berbagai bahasa tubuh dalam komunikasi, ruang gerografis, waktu, dan artefak. Sementara itu, simbol
verbal mengacu pada bahasa.

Bahasa menurut Sutardi (2009) adalah sistem lambang terorganisasi yang disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang
digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas. Sebagai salah satu unsur kebudayaan universal dan alat
komunikasi, peran bahasa dalam komunikasi antarbudaya maupun komunikasi lintas budaya sangat penting yakni sebagai simbol atau
lambang dari suatu hasil budaya di suatu daerah; alat komunikasi dan interaksi; alat untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma; alat
untuk berpikir; dan pedoman untuk melihat kenyataan di masyarakat.

5. Membantu Proses Pembelajaran Budaya oleh Masyarakat


Salah satu karakteristik budaya atau kebudayaan adalah bahwa budaya itu dipelajari. Sebagaimana halnya proses pewarisan budaya dari
generasi ke generasi, proses pembelajaran budaya oleh masyarakat juga dilakukan melalui komunikasi. Adapun yang dipelajari dari
budaya mencakup persepsi budaya, aturan, dan perilaku yang biasanya dianut oleh budaya tertentu tanpa disadari oleh masyarakat, dan
berbagai pesan budaya. Pembelajaran budaya dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti keluarga, lembaga, dan negara. Mempelajari
budaya dapat dilakukan melalui peribahasa, cerita rakyat, legenda, mitos, seni, dan media massa. Sedangkan, proses pembelajaran
budaya sendiri dilakukan melalui internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.

6. Membantu Penyampaian Nilai-Nilai, Ide, dan Persepsi Budaya


Pengaruh komunikasi dalam budaya selanjutnya adalah membantu penyampaian nilai-nilai, ide, dan persepsi budaya kepada seluruh
anggota budaya. Sebagai anggota budaya, setiap individu dapat saling berbagi kepercayaan, ritual, upacara, tradisi, dan asumsi dengan
individu-individu yang dibesarkan atau hidup dalam latar belakang budaya yang sama.

7. Memperkuat Nilai-Nilai Budaya


Pengaruh komunikasi dalam budaya selanjutnya adalah memperkuat nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Penguatan nilai-nilai
budaya ini juga dilakukan melalui komunikasi secara interpersonal, sosial, maupun melalui media massa. Tujuan penguatan nilai-nilai
budaya ini adalah untuk merekatkan dan menyatukan anggota masyarakat ke dalam negara.

8. Membentuk Identitas Budaya


Menurut Lustig dan Koester, identitas budaya adalah rasa memiliki budaya tertentu atau kelompok etnis tertentu yang dimiliki oleh
seseorang. Sementara itu, menurut Jane Collier dan Milt Thomas, etnografi komunikasi dan konstruksi sosial menentukan sifat identitas
budaya dan bagaimana anggota kelompok budaya mengekspresikan identitas mereka. Identitas budaya dibentuk, dinegosiasikan, dan
dikuatkan melalui komunikasi dengan orang lain. Proses pembentukan identitas budaya sendiri melibatkan beberapa kegiatan seperti
membuat pilihan-pilihan tentang budaya yang diidentifikasi oleh seseorang dan keputusan untuk bergabung dengan komunitas budaya di
mana ia berada.

9. Melawan Sistem Budaya Dominan


Resistensi adalah metafora yang digunakan dalam kajian budaya untuk mengkonseptulisasikan hubungan antara budaya dan komunikasi.
Melalui metafora ini, kita dapat mengetahui bagaimana setiap individu menggunakan ruang mereka sendiri untuk melawan sistem budaya
dominan. Misalnya seorang karyawan yang kerap menemukan cara-cara untuk melawan kompetisi dan individualism ekstrem yang terjadi
di dunia kerja.

10. Memahami Perbedaan Budaya


Ketika berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya sejatinya kita tengah mencoba untuk belajar lebih
banyak tentang budaya orang lain terkait dengan gaya hidup, nilai-nilai, sejarah, kebiasaan, dan kepribadian orang lain yang menjadi mitra
bicara. Hubungan baik yang dibangun melalui komunikasi merupakan langkah awal untuk memahami perbedaan budaya dan
mengembangkan sikap toleransi.

11. Mendorong Perubahan Budaya


Budaya bersifat dinamis dan berubah setiap saat. Perubahan budaya yang terjadi umumnya disebabkan adanya interaksi dan kontak antar
budaya melalui pertukaran ide dan simbol-simbol yang tidak dapat dihindari. Menurut Sutardi (2009), perubahan budaya ditandai dengan
adanya perubahan unsur-unsur budaya masyarakat yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman kemudian dibentuk
suatu kesatuan budaya baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Budaya adalah sistem yang terintegrasi dan karenyanya perubahan
yang terjadi pada salah satu unsur kebudayaan dapat berpengaruh pada unsur-unsur kebudayaan lainnya. Untuk itu, budaya juga harus
dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Proses perubahan budaya dapat mengarah pada proses difusi
kebudayaan, akulturasi, dan asimilasi.

12. Membantu Pelestarian Jati Diri Bangsa


Salah satu fungsi media massa dalam pewarisan budaya adalah melestarikan jati diri bangsa. Pelestarian jati diri bangsa melalui media
massa merupakan salah satu upaya atau sarana untuk menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa agar tidak mudah tergerus oleh arus
globalisasi. Pelestarian jati diri bangsa juga dapat dilakukan dengan menampilkan budaya-budaya lokal atau tradisi di lingkungan sekitar
dalam kehidupan sehari-hari misalnya upacara pernikahan adat dan lain-lain.

13. Membentuk Komunitas Sosial Budaya


Ketika berinteraksi dengan orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda maka kita akan berhadapan dengan banyak sekali
ketidakpastian. Kita tidak mengetahui tentang budaya, nilai-nilai, kebiasaan, perilaku, dan lain-lain dari mitra bicara. Karena itu, kita juga
tidak mengetahui apa yang akan dilakukan dalam situasi tersebut. Ketidakpastian tentang siapa yang menjadi mitra bicara dapat membuat
kita menjadi gugup dan mengalami kecemasan komunikasi. Menurut teori pengurangan ketidakpastian, untuk dapat berinteraksi dengan
orang yang berbeda budaya maka kita harus dapat memprediksi bagaimana interaksi yang akan dilakukan oleh mitra bicara. Berdasarkan
prediksi inilah, kita memilih pesan-pesan verbal dan nonverbal yang sesuai.

14. Menjaga Stabilitas


Pengaruh komunikasi dalam budaya berikutnya adalah menjaga stabilitas. Hal ini berkaitan dengan proses pewarisan budaya dari generasi
ke generasi. Nilai-nilai budaya yang diwariskan kepada generasi selanjutnya dapat membentuk semacam ikatan di antara anggota
masyarakat. Ikatan yang kuat di antara anggota masyarakat dapat menjaga stabilitas dalam masyarakat itu sendiri.

15. Mengatasi dan Mengurangi Konflik


Saat berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain terkadang menemui konflik. Konflik memang tidak pernah bisa dihindari atau
bahkan dihapus. Penyebab terjadinya konflik dalam komunikasi adalah akibat ketidakmampuan peserta komunikasi melihat sudut pandang
orang lain terutama jika orang yang bersangkutan memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Generalisasi yang dibangun oleh
seseorang tentang orang lain yang menjadi mitra bicara kerapkali tidak tepat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dan
kesalahpahaman. Perasan-perasaan inilah yang dapat mengarah pada perilaku defensif dan memicu terjadinya konflik. Namun, dengan
mencoba untuk belajar berpikir dan bertindak secara kooperatif dengan menggunakan gaya komunikasi asertif dan memberikan tanggapan
yang tepat, maka konflik yang terjadi dapat diatasi atau dikurangi.

Manfaat Mempelajari Pengaruh Komunikasi dalam Budaya


Mempelajari pengaruh komunikasi dalam budaya dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah :

 Kita dapat mengetahui dan memahami arti komunikasi.


 Kita dapat mengetahui dan memahami arti budaya.
 Kita dapat mengetahui dan memahami pengaruh komunikasi dalam budaya.

Demikianlah ulasan singkat tentang pengaruh komunikasi dalam budaya. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita
tentang komunikasi dan budaya serta pengaruh komunikasi dalam budaya.

Anda mungkin juga menyukai