Anda di halaman 1dari 10

Wawasan Sosial Budaya Maritim

(WSBM)

“Teknologi Kebaharian”

Dosen: Dr.Ir. A.Adri Arief, M.Si

Disusun oleh:

ST Hartinah Yaumil (H41114503)

Sri Wahyuni (H41114504)

Siti Nadya Wulandari (H41114505)

Nurfadillah (H41114506)

Andi Syarifah Ulil Azmi (H41114507)

Winda Lestari Taufan (H41114508)

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Hasanuddin

2014
Pengembangan Penelitian dan Teknologi Berbasis Kebaharian

Pemberdayaan potensi kebaharian Indonesia untuk membangun peradaban bangsa perlu


dipacu melalui berbagai pengembangan penelitian dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Peran pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi sangat diperlukan karena
wilayah laut Indonesia serta kekayaan laut didalamnya sangat besar, sehingga teknologi
tradisional tidaklah cukup untuk mendukung pemberdayaannya.

Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan Indonesia di setiap jenjang sekolah
dan pengkajian dalam litbang kelautan di perguruan tinggi akan mampu mendorong pengusahaan
sumber daya alam laut Indonesia ditangan putra-putri bangsa. Dengan peralatan yang lebih
modern, baik dalam hal armada penangkapan ikan, teknologi pemantauan, teknologi eksplorasi,
teknologi pengolahan, teknologi pemetaan laut, serta teknologi pasca panen, kekayaan alam laut
Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran bangsa Indonesia dan tidak dicuri bangsa lain.
Pengembangan ini dapat dilakukan secara bersama-sama antara instansi pemerintah, perguruan
tinggi maupun pihak swasta yang bergerak dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kelautan secara menyeluruh. Kerjasama semua pihak ini akan mampu mendorong
pemberdayaan potensi bahari Indonesia sebagai landasan peradaban bangsa dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan.

Sistem Teknologi Kebaharian


Salah satu pembeda utama antara kebudayaan masyarakat maritim dan darat yang
sekaligus menjadi keunikan yang mencolok ialah komleksitas tipe/bentuk dan variasi teknologi
yang digunakan. Kompleksitas tipe dan variasi teknologi kebaharian tersebut menunjukkan
perbedaan dari daerah suku bangsa ke dareah suku bangsa lainnya di dunia. Bebagai faktor yang
menyumbang kepada diversitas dan variasi tipe teknologi kebaharian ialah faktor kreativitas dan
inovatif lokal, sifat proses difusi unsur-unsur teknologi kebaharian yang cepat, dan sikap
keterbukaan masyarakat maritim merespons perubahan dari luar.

Asumsi, bahwa kreasi difersitas dan variasi tipe teknologi kebahariaan, tuerutama
kapal/perahu dan alat produksi. Merupakan hasil dari kemampuan masyarakat maritim
menggagas pemanfaatan lingkungan dan sumbar daya laut bagi keberlangsungan hidupnya.
Gagasan cerdik berupa kemampuan rekaya tipe perahu menurut pertimbangan volume/daya
muat, kecepatan, ketahanan/usia teknis, adaptasi kondisi arus dan ombak, kemudahan parker di
tengah laut, kemudahan memasuki daerah karang, kemudahan berlabu dan sebagainya. Gagasan
cerdik juga berupa kemampuan rekayasa variasi teknik menurut jenis dan pola perilaku spesies-
spesies tangkapan, pertimbangan volum tangkapan, kondisi habitat/ekosistem, dan kondisi laut
(kedalaman dan dasar, ombak dan arus, pasang surut).

Bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Nusantara ini, sektor-sektor ekonomi


perikanan dan usaha transportasi/pelayaran masih selalu merupakan sektor-sektor andalan yang
bertahan dan berkembang dengan teknologi pelayaran dan penangkapan ikan tradisional dalam
berbagai bentuk dan arsiteknya.

Berbagai tipe perahu tradisional milik kelompok-kelompok suku bgangsa pelaut di Indonesia
(lihat Horridge, 1985, 1986), antara lain sebagai berikut :

a. P. Patorani (Makassar)

Kapal Patorani, yang berasal dari Sulawesi Selatan, tak kalah menarik. Pada abad ke 17,
kapal ini digunakan oleh armada Kerajaan Goa dan berfungsi sebagai kapal nelayan,
khususnya untuk menangkap ikan terbang.

Kapal yang memiliki layar yang berbentuk segi empat dan dilengkapi sebuah tiang layar
besar ini banyak dijumpai di perairan Galesong Kabupaten Takalar.
b. Pinisi (Bugis)

Kapal pinisi yang merupakan salah satu kapal tradisional kebanggaan Indonesia memiliki
keunikan dalam pembuatannya. Umumnya, seperti kapal-kapal di negara barat, rangka
kapal dibuat lebih dahulu baru dindingnya. Sedangkan pada kapal pinisi, pembuatannya
dimulai dengan dinding dulu baru setelah itu rangkanya.

Kapal Pinisi adalah kapal tradisional Bugis yang terbuat dari kayu ulin, bitti, na’massa,
mangga, dan cembaga. Panjang kapal bisa mencapai 37 meter dengan lebar 8 meter,
tinggi layar kira-kira 12 meter, dan memiliki berat sekitar 120 ton.

Aturan peletakan papan-papan teras dan aturan dasar lainnya disusun oleh Ruling, sampai
sekarang dalam pembuatan perahu pinisi aturan Ruling inilah yang menjadi pedoman.
Disamping itu orang Bugis memiliki undang-undang pelayaran dan perdagangan yang
disusun oleh "Ammana Gappa" (namanya diabadikan pada pelayaran ekspedisi Pinisi ke
Madagaskar).

Kapal Pinisi Nama Lambung Raja Laut


Jenis kapal kayu pinisi telah mengambil peran penting dalam sejarah pelayaran Indonesia
selama berabad-abad. Menurut berbagai sumber, jenis kapal yang sama telah ada sebelum
tahun 1500-an, sama seperti kapal Arab.

Meskipun para pembuat kapal ini sering disebut sebagai orang Bugis, namun mereka
dibagi menjadi empat sub suku. Keempatnya adalah Konjo di bagian selatan Sulawesi
Selatan (Ara, Bira dan Tanah Biru), Mandar di Sulawesi Barat sampai bagian utara
Makasar, Bugis di wilayah sekitar Wajo bagian timur Teluk Bone, dan Makassar di
wilayah sekitar Kota Makasar. Diantara semua itu, Konjo adalah yang paling
berpengaruh dalam pembuatan kapal pinisi.

Kapal Pinisi memiliki ciri yang khas, dua buah tiang utama, tiga buah layar di depan dan
masing-masing dua layar disetiap tiang utama

Dalam sejarah, para pelaut Sulawesi dengan kapal pinisi-nya tercatat telah mencapai P.
Madagaskar di Afrika. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-2 dan 4, gelombang
kedua datang pada abad ke-10 dan gelombang terakhir pada abad ke-17 (masa
pemerintahan Sriwijaya). Pendatang dari Indonesia tersebut menetap dan mendirikan
sebuah kerajaan bernama Merina.

Kapal Pinisi Dengan tujuh layarnya yang terkembang

Pada masa sekarang, ekspedisi kapal pinisi yang terkenal adalah Pinisi Nusantara yang
berlayar ke Vancouver, Kanada yang memakan waktu 62 hari, pada tahun 1986 yang
lalu. Tahun 1987, ada lagi ekspedisi perahu Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin,
Australia, mengikuti rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir
pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang.

c. Bagang (Bugis)
d. Padewakang (Makassar)
Kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura) , mempunyai
akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut
diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil” (Adrian Horridge, The Prahu:
Traditional Sailing Boat of Indonesia, 1985).

Adapun pendapat lain menuliskan bahwa perahu padewakang adalah “perahu Bugis
berukuran kecil yang menggunakan layar persegi, yang melintang” (Acciaioli, Searching
for Good Fortune, dalam Manusia Bugis, Christian Pelras, 2006); dan “perahu dagang
Bugis berukuran besar yang digunakan pada abad ke-19, dengan dua atau tiga tiang layar,
berlayar persegi, dan berhaluan tinggi” (Adrian Horridge, Sailing Craft of Indonesia,
1986).

Adapun referensi utama yang memperlihatkan model/replika perahu padewakang


terdapat dalam atlas etnografi Boegineesch-Hollandsch Woordenboek yang ditulis oleh
ahli filologi Belanda bernama B. F. Matthes dan terbit pada tahun 1874 sebagaimana
yang terdapat dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume 2: Jaringan Asia, Denys
Lombard (2005).

Perahu padewakang sudah ada, paling lambat, pada abad ke-18 merupakan tipe utama
dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Padewakang-
padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera
In*donesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak
abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu
buku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap
‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia’.

Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak
kedatangan kekuatan kolonial, yaitu sebuah lambung yang –menurut standar Eropa–
berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping dan
layar jenis tanjaq yang dipasang pada sebatang tiang tripod tanpa laberang.

e. Jolloro, tipe perahu terbaru akhir 1980-an ( Bugis, Makassar, Bajo, Sulsel)

Tipe-tipe perahu atau kapal bukan hanya dicirikan dengan konstruksi/desain semata,
tetapi juga unsur-unsur seni yang melekat disitu. Seperti, ukiran dan gambar dengan kombinasi
warna cat. Di Nusantara ini, perahu-perahu Jawa dan Bali yang mencolok dari unsur seni
tersebut. Salah satu ciri khas perahu Jawa dan Bali ialah penuh dengan ukiran dan gambar-
gambar binatang menggunakan kombinasi warna mengandung berbagai makna simbolik. Pinisi
adalah salah satu tipe perahu Sulawesi Selatan yang konstruksinya memang bagus, namun
kurang dari segi ukiran, warna dan motif-motif gambar bermakna. Konstruksi ini lebih
mengutamakan fungsi daya muat, keseimbangan dan kecepatan, daripada seni dan nilai religius.
Di Sulawesi Selatan, perahu-perahu tradisional mulai dilengkapi dengan motor (motor tempel
dan motor dalam) di awal tahun 1970-an.

Teknologi penangkapan ikan di Indonesia (lihat P.N.van Kampen, 1909) secara garis
besar dikategori kedalam:

1) Net (di Sulawesi Selatan: panjak, gae, lanra, panambe)


2) Pancing (di Sulawesi Selatan: p.labuh, p.rintak, p.tonda, p.kedo-kedo)
3) Perangkap (di Sulawesi Selatan: Bubu, sero/belle’)
4) alat tusuk (di Sulawesi Selatan: tombak, pattek, ladung)
5) teknik lainnya (di berbagai tempat: bahan peledak, bius)
6) Alat selam: tabung, kompresor (tidak tercantum dalam P.N.van Kampen)
7) Linggis, parang, menangkap/memungut dengan tangan (tidak tercantum
Dalam karangan P.N.van Kampen)

Setiap kategori, terutama net dan pancing, memppunyai cukup banyak variasi. Nelayan
Jawa dan Madura, Bugis, dan Makassar cukup kaya dengan alat tangkap net, baik tipe pukat
(menggunakan kantong) maupun jaring (menangkap dengan lubang net). Pukat panjang milik
nelayan jawa, misalnya Pajang saja mempunyai tujuh variasi bentuk (p.besar, p.peperek,
p.krakat, p.arad, p.kopek, p.dedang, p.bhanton) yang dirancang menurut jenis tangkapan dan
kondisi dasar laut. Sebagian besar dari jenis-jenis pukat tersebut masih digunakan sebagian
besar nelayan Jawa dan Madura hingga sekarang ini.

Di Desa Titawai (Saparua) dikenal jenis-jenis alat tangkap tradisional seperti rumpon,
jaring bobo/lingkar, j.lalosi/ingsang, j.tuing-tuing/insang hanyut, jala, bubu, panah ikan,
kalawai/tombak, yang masih tetap digunakan nelayan setempat. Melihat dari segi bentuk dan
nama kedua jenis teknikrumpon dan j.tuing-tuing menunjukkan pernah terjadi proses persebaran
kedua teknik tangkap tersebut dari nelayan Mandar dan Makassar ke nelayan Titawai di masa
lalu.

Dalam hal tipe perahu dan alat tangkap, menjadi kenyataan masih bertahannya teknologi
local yang dicirikan dengan kebudayaan suku bangsa pelaut tertentu, demikian halnya tipe
perahu nelayan local masih ada kecenderungan seperti itu. Sebaliknya, dalam tipe kapal dan
mesin serta berbagai unsur perlengkapan modern (kompas, radar, sonar, pemancar radio, JPS,
sarana pengolahandan pengawetan hasil tangkapan) justru mulai menunjukkan homogenitas
sebagai konsekuensi dari hegemoni ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal tersebut
mengenai pula sector-sektor kebaharian lainnya.

Teknologi Perangkap Rajungan Ramah Lingkungan


Indonesia memiliki Teknologi Penangkap Rajungan Ramah Lingkungan Dari Cirebon
untuk Indonesia memperkenalkan teknologi penangkapan Rajungan ramah lingkungan, disebut
bubu, wadong, bintur kepada nelayan dari sabang sampai merauke untuk mengatasi ancaman
ekspoitasi perikanan di laut Indonesia

Teknologi bubu ini telah diterapkan di pantai utara jawa yang hasilnya sangat
memuaskan, adanya jaring bubu banyak sektor-sektor lain sebagai pendukung dari mulai ikan
untuk umpan, iindustri es batu dan lain sebainya selain juga ramah lingkungan jaring bubu
produksi eka plastik telah berhasil meningkatkan penghasilan nelayan baik yang besar, sedang
dan kecil imbas nya pada kesejahteraan para nelayan dan pendapatan negara melalui peningkatan
ekspor hasil laut sebesar 2,47 Triliun dari sektor ini ditahun 2012 terus meningkat dari tahun ke
tahun sebelumnya bubu wadong merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya mirip dengan
perangkap. Bubu yang terbuat dari besi kawat galvanis untuk rangkanya, dilapisi jaring pe,
disulam dengan benang d6 biasanya digunakan nelayan tradisional.

Bubu wadong dapat dipasang sampai kedalaman lebih dari 40 meter sedangkan
perangkap tradisional hanya mencapai kedalaman tiga meter. Selain ramah lingkungan karena
perairan pantai tetap terjaga, jarring bubu juga menciptakan kerjasama antar nelayan sehingga
mengurangi konflik yang timbul akibat perebutan wilayah penangkapan. Perekonomian nelayan
juga meningkat karena hasil tangkapan yang diperoleh dalam kondisi segar dan dapat dijual
dengan harga tinggi, Cara kerja jaring bubu, menurutnya sangat mudah karena nelayan hanya
menaruh umpan ditempat pengait lalu dikancing, jaring bubu dimasukan ke laut dan rajungan
pun masuk ke perangkap, sehingga Rajungan dalam kondisi segar dapat dipanen setiap hari.

penangkapan Rajungan yang dilakukan nelayan tradisional dengan menggunakan


berbagai alat tangkap dapat mengakibatkan penurunan stok Rajungan Jumbo dan degradasi
lingkungan.

Di Wilayah Jawa saat ini telah terpasang 30 ribu/bulan Jaring Bubu di sepanjang pantai
Utara Jawa dan produksi Rajunganya memberi kontribusi terbesar.

Jaring bubu wadong sendiri diproduksi oleh Eka plastik bubu sebuah kelompok usaha
nelayan yang bisa memproduksi jaring bubu hingga 100 ribu /bulan karena mutu dan kualitas
sudah teruji di laut serta ukuran yang flexsibel tergantung dari situasi laut itu sendiri dan EKA
plastik bercita-cita jaring bubu produksi bisa diekspor ke berbagai Negara didunia sehingga bisa
dinikmati oleh nelayan di seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai