Anda di halaman 1dari 5

1.

Sampan

Sampan adalah salah satu alat transportasi tradisional air yang banyak digunakan di beberapa
wilayah di Asia Tenggara hingga saat ini. Kata Sampan berasal dari bahasa Tionghoa yaitu “sam”
yang berarti tiga dan “pan” yang berarti papan. Kata ini digunakan untuk merujuk pada rancangan
perahu ini, yang terdiri dari sebuah dasar yang datar (dibuat dari selembar papan) dua lembar papan
lainnya dipasang di kedua belah sisinya.

Sampan sendiri sebenarnya adalah sebuah perahu kayu Tiongkok yang memiliki dasar yang relatif
datar, dengan ukuran sekitar 3,5 hingga 4,5 meter yang digunakan sebagai alat transportasi sungai
dan danau atau menangkap ikan. Sampan dapat mengangkut penumpang 2 – 8 orang, tergantung
ukuran sampan. Sampan digerakkan dengan sepotong galah, dayung atau dapat pula dipasangi
motor di bagian belakangnya. Ada juga sampan yang memiliki layar sebagai penggeraknya.

2. Rakit/Getek

Rakit adalah susunan benda yang mengapung dan berbentuk datar untuk perjalanan di atas air dan
merupakan rancangan perahu paling dasar yang cirinya tak memiliki lambung. Sebagai gantinya, rakit
dijaga mengapung menggunakan gabungan bahan ringan seperti kayu, tong tertutup, maupun ruang
air dipompa.

Rakit tradisional ataupun primitif dibuat dari kayu atau bambu. Rakit modern juga menggunakan
ponton, drum, atau balok polistirena. Rakit pompaan menggunakan susunan berlapis-lapis yang lebih
elastis dan tahan lama. Bergantung pada penggunaan dan ukurannya, rakit bisa memiliki atap, tiang,
maupun kemudi.
3. Patorani

Sejak abad ke-17 masehi perahu ini digunakan oleh orang-orang Makassar untuk memancing guna
mencari makanan laut, sebagai transportasi antar jemput manusia, dan untuk perdagangan. Bahkan
pada masa kesultanan Gowa perahu ini digunakan sebagai perahu perang.

Nama Patorani memiliki arti penangkap ikan terbang. Perahu nelayan Patorani memiliki lambung jenis
pajala dengan pemasangan kemudi ala Makassar dan tiang tripod. Tiang tripod kedua didukung oleh
atap geladaknya. Perahu ini membawa galah kayu sebagai bahan untuk memancing dan juga
membawa perangkap ikan berbentuk keranjang. Layarrnya biasanya menggunakan layar persegi
miring (layar tanja) atau layar lateen.

4. Jukung

Jukung atau juga dikenal sebagai cadik adalah perahu kecil bercadik kayu dari Indonesia. Pada
awalnya jukung digunakan sebagai perahu tradisional nelayan untuk menangkap ikan. Di daerah
kalimantan, Orang-orang menggunakan Jukung sebagai alat transportasi dalam kegiatan sehari-hari
seperti pergi ke kantor, ke sekolah, atau berbelanja di pasar terapung.

Saat ini ada versi modern Jukung yang terbuat dari pipa High Density Polyethylene (HDPE) di
Indonesia. Diiklankan sebagai perahu yang tidak dapat tenggelam, badan utama terbuat dari pipa
HDPE tertutup yang mengandung udara tertutup sebagai sumber daya apungnya. 
5. Kora – Kora

Kora-kora adalah perahu tradisional Kepulauan Maluku, Indonesia. Perahu ini digunakan untuk
perdagangan dan peperangan. Kora-kora yang lebih besar digunakan sebagai kapal perang selama
perang dengan Belanda di Kepulauan Banda selama abad ke-17. Sejak zaman dahulu para
pengemudi dan pendayung perahu dayung tradisional Maluku ini berteriak ‘Mena Muria’, untuk
menyesuaikan tolakan dayung mereka saat ekspedisi di pantai. Ini berarti ‘maju – mundur’, tetapi juga
dapat diterjemahkan menjadi ‘Aku pergi – kami mengikuti’ atau ‘satu untuk semua – semua untuk
satu’.

Kora-kora memiliki panjang kira-kira 10 meter dan sangat sempit, biasanya terbuka, sangat rendah,
dengan berat kira-kira 4 ton. Kendaraan tersebut memiliki cadik bambu sekitar lima kaki (1,5 m) dari
setiap sisi, yang mendukung sebuah panggung bambu yang memanjang sepanjang kapal. Di bagian
luar duduk dua puluh pendayung (secara keseluruhan dibutuhkan 40 pendayung). Sementara di
bagian dalam bisa dilewati dari depan sampai belakang. Bagian tengah perahu ditutupi dengan atap
ilalang, di mana ada barang dan penumpang. Deknya tidak lebih dari satu kaki (30 cm) di atas air,
karena berat bagian atas dan berat bagian samping yang besar.

6. Golekan Lete

Perahu Golekan adalah jenis perahu tradisional dari Madura, Indonesia. Golekan adalah jenis perahu
pribumi, tanpa jejak pengaruh modern dalam bentuk lambung, konstruksi, atau sistem
layarnya.Golekan dalam budaya Madura dianggap sebagai “laki-laki”, bahkan disebut sebagai parao
laki (perahu laki-laki), sehingga memiliki motif ornamen yang berbeda dari lis-alis dan janggolan
(parao bini – perahu perempuan). Simbol utamanya adalah ayam jantan, yang dalam budaya
Indonesia dikaitkan dengan pertarungan dan keberanian. Orang-orang madura dahulu berlayar
sampai sejauh Singapura, di mana mereka disebut sebagai perahu dagang Madura.

Golekan memiliki linggi tunggal yang besar dan gemuk seperti leti leti, dengan motif gulungan yang
dicat hitam. Ia memiliki rumah geladak tanpa kabin kedua di bagian akhir buritan perahu. Biasanya
memiliki 2 layar (umumnya layar lete), dengan sokong (tiang penyangga bagian atas) yang didukung
oleh galah sementara pada sisi searah dengan angin, atau di kedua sisinya, dengan tali pendukung
pada kedua sokong atas. Lambung kapal selalu dicat putih, dengan garis tipis berbagai warna,
sedangkan bagian atas tiang akhir serta dekorasi dicat hitam.
7. Sandeq

Sandeq adalah jenis perahu layar bercadik yang telah lama digunakan melaut oleh nelayan Mandar
atau sebagai alat transportasi antar pulau. Nama Sandeq berasal dari bahasa Mandar yang berarti
runcing. Perahu ini sangat masyhur sebagai warisan kebudayaan bahari Masyarakat Mandar,
Provinsi Sulawesi Barat, Indonesia. Sebelum penggunaan motor (mesin), Sandeq menjadi salah satu
alat transportasi antar pulau paling dominan sebab selain licah dan cepat, sandeq juga dapat berlayar
melawan arah angin, yaitu dengan teknik berlayar zigzag.

Ukuran Sandeq bervariasi, dengan lebar lambung berkisar antara 0,5 – 1 meter dan panjang 5 – 15
meter, dengan daya angkut mulai dari beberapa ratus kilogram hingga 2 ton lebih, dikiri-kanannya
dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang,mengandalkan dorongan angin yang ditangkap
layar berbentuk segitiga, mampu dipacu hingga kecepatan 15 – 20 Knot atau 30 – 40 Km perjam .
Bentuknya yang ramping menjadikannya lebih lincah dan lebih cepat dibandingkan dengan perahu
layar lainnya sebab itulah sandeq dikenal sebagai perahu layar yang cantik dan tercepat juga mampu
menerjang ombak yang besar sekalipun.

8. Padewakang

Padewakang adalah perahu tradisional yang digunakan oleh suku Bugis, Mandar, dan orang-orang
Makassar dari Sulawesi Selatan. Padewakang digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-
kerajaan di Sulawesi selatan. Padewakang adalah kapal Sulawesi Selatan yang terbesar yang
berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di
lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan semenanjung Malaya. Bahkan ada publikasi
Belanda tentang padewakang dengan layar terkembang di teluk Persia.

H. Warington Smyth mendeskripsikan sebuah padewakang besar yang terbuat dari kayu giam
dengan 2 tiang layar. Dimensinya adalah sebagai berikut: 99 kaki (30,2 m) panjang, 15 kaki (4,6 m)
lebar, 12 kaki (3,7 m) kedalaman, dengan lambung bebas air setinggi 6 kaki 3 inci (1,91 m).
Kapasitasnya 60 koyan (145 metrik ton), dengan tiang utama setinggi 60 kaki (18,3 m), diawaki oleh
16 orang. Biasanya berbobot antara 20 sampai 50 ton, memiliki satu atau dua tiang dengan layar
tanja. Seperti perahu tradisional Nusantara lainnya, ia dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.
9. Pakur

Pakur аdаlаh perahu tradisional khas mandar yang memiliki bentuk perahu gempal уаng bodinya
tinggi, tарі panjangnya rata-rata delapan meter. Rata-rata tinggi lambung pakur lebih dari satu meter.
Jika melihat ukuran lambung, pakur аdаlаh jenis perahu bercadik yang berukuran besar. Peneliti
perahu dari Jepang Prof. Osozawa Katsuya mengaku jenis perahu pakur adalah salah satu bentuk
evolusi perahu bercadik yang dibuat orang-orang Austronesia, yaitu penggunaan papan dek sebagai
penutup lambung.

10. Pledang

Perahu layar ini digunakan oleh kaum pemburu paus di Nusa Tenggara Timur. Di bagian depan
perahu terpasang papan atau bambu sebagai pijakan bagi lemafa (juru tikam) saat meloncat dan
menghunjamkan tempuling ke tubuh paus. Di Lamalera, pledang dirakit memakai pasak kayu dan
digerakkan dengan dayung. Sementara di Lamakera, pledang lebih modern dengan memakai paku
dan mesin tempel.

Dalam satu pledang masing-masing kru mendapat tugas dan sebutan khusus. Pelempar tombak
disebut lamafa, tugasnya menghujamkan tempuling (tombak khusus) tepat pada titik lemah ikan paus.
Lamafa berdiri dianjungan perahu, dan dibantu oleh seorang asisten yang mengatur pergerakan tali di
belakangnya. Pendayung pledang disebut matros atau abk. Sedangkan nahkoda atau yang disebut
lama uri duduk di buritan kapal, tugasnya memegang kemudi dan mengendalikan arah pledang.

Anda mungkin juga menyukai