Anda di halaman 1dari 19

“Tugas Kemaritiman

OLEH

NURUL AINUN TANGGE

G2S1 18 006

PROGRAM PASCA SARJANA


JURUSAN GEOGRAFI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
A. Sejarah Maritim Indonesia
Narasi mengenai kemaritiman adalah sebuah perjalanan panjang bagi bangsa Indonesia, bahkan
beberapa ahli mengatakan kemaritiman di Indonesia bukan sebatas “sejarah” tetapi merupakan sebuah
peradaban. Kemaritiman sebagai aktifitas telah berlangsung sejak jaman prasejarah di wilayah
kepulauan ini, yang terekam dalam tapak arkeologi berupa gambar perahu dan fauna air di beberapa
gua prasejarah di Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Pada fase berikutnya, aktifitas kemaritiman pun
terus berlanjut dan menjadi identitas bagi Indonesia sebagai bangsa Maritim.
Secara terminologi kemaritiman memiliki kata dasar maritim, yang dalam KBBI (2011:879), maritim
adalah (1) segala sesuatu yang berkenaan dengan laut dan (2) berhubungan dengan pelayaran dan
perdagangan di laut. Selanjutnya, kemaritiman bermakna hal-hal yang menyangkut masalah maritim
atau sifat kepulauan Indonesia.
Istilah lain yang biasa diindentikan dengan maritim adalah bahari, kata bahari dan maritim. Hal ini
memunculkan pertanyaan kapan “lahir” bahari dan maritim dari rahim bahasa, sejak kapan kedua kata
ini dikenal dalam kosakata bahasa Indonesia? lahirnya sebuah kata tentu tidak lepas dari sejarah yang
menjadi latarnya dan budaya yang menjadi ruhnya. Kedua kata tersebut, memiliki kesamaan asal
usulnya yaitu sama-sama merupakan serapan dari bahasa asing. Bahari berasal dari bahasa Arab bahrun
(‫ ( ب حر‬yang artinya laut1 , ini yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI online kata
bahari memiliki tiga arti yang berbeda yaitu:
1) bahari/ba·ha·ri/ kl 1 a dahulu kala; kuno: adat yang --; zaman --; 2 v bertuah: keris
2) bahari/ba·ha·ri/ kl a indah; elok sekali: duduk menyembah Sitti –
3) bahari/ba·ha·ri/ ark a mengenai laut; bahari; kebaharian/ke·ba·ha·ri·an/ n segala sesuatu yang
berhubungan dengan laut; kelautan.
Sedangkan maritim berasal dari bahasa Latin, mare yaitu laut. Ketika diserap ke dalam bahasa Inggris
menjadi mere yang pengertiannya sudah lain. Makna ensiklopedis dari maritim hanya ada dua, berlayar
sambil berdagang2 . Pengertian ini sejalan dengan arti kata maritime dalam kamus Merriam Webster
yaitu, of or relating to navigation of the sea3 . Kata inilah yang kemudian diserap dalam bahasa
Indonesia menjadi maritim, yang pengertiannya mengacu pada KBBI Online yaitu, maritim/ma·ri·tim/ a
berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut;
kemaritiman/ke·ma·ri·tim·an/n hal-hal yang menyangkut masalah maritim: sifat - kepulauan Indonesia.
Jika mengacu pada terminologi tersebut, jelas perbedaan makna dan pengertian bahari dan maritim.
Bahari, selain pengertiannya mengenai laut, juga memiliki arti dahulu kala dan sesuatu yang berkaitan
dengan adat-istiadat, maknanya lebih berdekatan dengan aspek kebudayaan. Sedangkan kata maritim,
mengacu pada pengertiannya maka lebih terkait dengan salah satu fungsi dari pemanfaatan laut yaitu
berlayar dan berdagang. Maritim lebih mencerminkan pada aktifitas pelayaran dan perdagangan,
sedangkan bahari merupakan eksistensi dari laut itu sendiri, yaitu suatu konsep budaya4 . Dengan
demikian, budaya bahari melahirkan aktifitas kemaritiman yang merupakan refleksi dari interaksi
manusia dengan laut atau perairan. Dalam ilmu arkeologi, dikenal kajian arkeologi maritim yang
memfokuskan kajian pada segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, baik itu yang
ditemukan di lautan maupun di daratan. Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal
yang tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan arkeologi maritim.
Di Indonesia arkeologi maritim mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno dan arkeologi bawah
air. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin, seorang pakar sejarah maritim dari Perancis
yang telah meneliti perahu kuno di Indonesia sejak 1977 (Mulyadi, 2014, p. 5). Latar sejarah munculnya
kajian arkeologi maritim inilah yang menjadi dasar mengapa dalam ilmu arkeologi kita tidak mengenal
arkeologi bahari, tetapi arkeologi maritim karena fokus kajiannya yang lebih mengkhusus pada objek
material yang terkait dengan pelayaran dan perdagangan, seperti kapal karam beserta muatannya. Bagi
para arkeolog, kapal karam ibarat kapsul waktu yang menyimpan beragam kisah tentang sejarah masa
lalu. Di Indonesia, keberadaan situs kapal karam tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia
mulai dari barat sampai timur.
Maritim dalam perspektif kajian arkeologi semakin mempertegas perbedaan konsep dengan bahari
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Irawan Djoko Nugroho5 , menyebutkan bahwa bahari dan
maritim walaupun dari satu sisi bersinonim, tapi tidak bisa disejajarkan begitu saja ke dalam satu
pengertian yang sama, karena akan menjerumuskan ke dalam distorsi makna yang akan menjebak kita
kepada disorientasi pemahaman (Nugroho, 2015). Karena itu kemaritiman adalah bagian sejarah bangsa
Indonesia, sedangkan kebaharian adalah eksistensi laut itu sendiri. Sejarawan AB Lapian pun mengamini
hal ini, dalam bukunya Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX,
beliau mempergunakan istilah maritim untuk menggantikan istilah bahari guna menunjukkan masa kini
Kemaritiman sebagai bagian sejarah bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari jejak budaya
kebaharian yang telah berlangsung sejak sebelum lahirnya Indonesia sebagai negara, sejak wilayah ini
dikenal dengan istilah Nusantara, bahkan sejak masa prasejarah. Tinggalan arkeologi dari fase
prasejarah di Nusantara memperlihatkan corak budaya bahari yang juga merefleksikan aktifitas
kemaritiman. Tinggalan arkeologi menjadi menjadi fakta sejarah budaya bahari di Nusantara telah
berlangsung lama, mulai dari periode prasejarah dan berlanjut pada masa sejarah.
Kemaritiman: Pelayaran dan Perdagangan
Kemaritiman sebagai salah satu aktifitas budaya secara lebih luas dapat dimaknai sebagai
perwujudan dari wujud gagasan interaksi manusia dengan perairan dalam beragam bentuk mulai dari
kaitannya dengan memenuhi kebutuhan hidup, misalnya mencari ikan, sampai kaitannya dengan mata
pencaharian seperti pelayaran dan perdagangan. Keberadaan wilayah perairan inilah yang direspon oleh
manusia dengan melakukan aktivitas kemaritiman yang kemudian melahirkan budaya kebaharian.
Adanya gagasan bahwa di perairan baik itu sungai, danau, rawa dan lautan mengandung sumberdaya
alam yang dapat mereka manfaatkan untuk menunjang kehidupan, manusia pun menciptakan ragam
bentuk artefak budaya yang menjadi refleksi gagasan kemaritiman tersebut. Untuk memudahkan upaya
menangkap ikan, dibuatlah alat pancing serta alat tangkap ikan lainnya seperti tombak, jaring, bubu,
bagang, dan pukat. Untuk memudahkan mereka mengarungi lautan, dibuatlah sarana transportasi air
mulai dari sampan, rakit, perahu, dan kapal.
Aktifitas kemaritiman melahirkan beragam artefak budaya yang dibaliknya itu terdapat warisan
budaya berupa; tradisi dan ekspresi lisan; seni pertunjukan; adat istiadat, ritus dan perayaan;
pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta; serta kemahiran kerajinan tradisional.
Terkait dengan itu, kita sebagai bangsa Indonesia patut bangga karena begitu kaya dengan keragaman
warisan budaya, termasuk kebudayaan bahari.
Komoditi perdagangan yang diperdagangkan pada waktu itu adalah lada, cengkeh, pala, cendana,
beras, kain dan sebagainya. Indonesia yang merupakan salah satu negeri di Asia Tenggara merupakan
penghasil terbesar pada waktu itu (Najemain, 2001, 7). Kapur barus di Sumatera serta kemenyan yang
banyak ditemukan di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi sangat disukai oleh orang-orang India dan Cina
untuk kepentingan upacara keagamaan. Sedangkan komiditi dagang dari Cina yang sangat popular untuk
masyakarat Indonesia terutama kalangan menengah keatas adalah barang-barang porcelain seperti
piring, mangkok, cangkir, jambangan dan sebagainya. Selain itu, ada juga produk Cina yang terbaik
adalah kain sutra Cina yang kualitasnya sangat halus namun juga sangat mahal sehingga hanya
bangsawan dan orang kaya saja yang dapat membelinya. Sedangkan dari India memperdagangkan kain
mori yang juga berkualitas bagus. Hal ini telah mendorong proses perdagangan yang cukup ramai dijalur
maritim antara India dan Cina
Hal yang paling penting pula untuk diketahui mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah muncul di
wilayah Nusantara pada waktu itu. Karena, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa yang menjalankan roda
pemerintahan di beberapa wilayah di Nusantara tersebut pada waktu itu adalah sebuah kerajaan.
Tentunya, kehidupan sosial dan politik sangat tergantung kepada pertimbangan dan keputusan raja
sebagai kepala pemerintahannya. Dalam tulisan Dick-Read, ia mengemukakan bahwa dari teks-teks Cina
menyebutkan ada beberapa kerajaan yang telah berdiri dan ikut terlibat dalam zona perdagangan di laut
Jawa yaitu Ko-Ying dan P’o-Li. Hasil hipotesis Wolters bahwa kerajaan Ko-Ying mungkin berada di
wilayah Palembang di sebelah Tenggara Sumatera yang merupakan tempat yang baik untuk mengontrol
lalu lintas antara India dan Cina melalui selat Malaka dan Selat Sunda. Kerajaan-kerajaan lainya yang
diduga berlokasi Di Sumatera dan Jawa yaitu P’u-Lei, P’o ta, P’o-Huang, P’en-P’ en Tan-tan dan Ho-Ling.
Namun, bukti berdirinya kerajaan ini hanya diperoleh dari sumber Cina saja sehingga sangat sulit untuk
dibuktikan keberadaannya secara mendalam (Dick, 2008, pp. 76-78). Kerajaan yang sukses setelah
kerajaan Ko-Ying yaitu Ho-lo-tan yang merupakan kerajaan berada di Jawa Barat. Namun, setelah itu
muncullah kerajaan Kan-To-Li yang dianggap penting sebagai pusat perdagangan. Menurut O. W.
Wolters bahwa kerajaan inilah yang merupakan kerajaan terpenting sebelum munculnya Sriwijaya
dalam sejarah Indonesia
Sriwijaya menjalin perdagangan dengan negeri Timur Tengah terutama Arab dan Persia pada abad
ke-11 dengan saling menukar komoditi. Azyumardi Azra dalam bukunya mengutip tulisan Ibn Abd Al
Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid, yang menyebutkan adanya korespondensi antara Raja Sriwijaya
(Sri Indravarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis pada sekitar tahun 100 Hijriah atau 719 Masehi
Arab dan Persia memperoleh kemenyan sebagai bahan wangi-wangian dari Sriwijaya. Kerajaan Jawa7
memiliki armada angkatan laut terbesar di dunia pada masa kejayaannya, yaitu sebanyak 2800 kapal
sebagai bukti bahwa Jawa merupakan kerajaan bercorak maritim (Nugroho, 2011, 16). Kejayaan
Majapahit di laut bukan hanya dalam persoalan ekonomi melainkan dibidang pertahanan laut melalui
kekuatan pasukan laut selain pasukan darat. Menurut Nugroho, "Pasukan laut mendapatkan perlakuan
istimewa dari negara, dalam jumlah pasukan dan fasilitas. Prapanca menyebut Jalandhi berjumlah
sangat banyak dibandingkan pasukan lain dan lebih istimewa"
Pendapat berbeda tentang Majapahit dikemukakan oleh Agus Aris Munandar, Guru Besar Arkeologi
Universitas Indonesia. Menurut Agus Aris Munandar, Kerajaan Majapahit awalnya bertumpu kepada
aktivitas pertanian. Hal itu dapat dilihat pada banyaknya prasasti yang membicarakan tentang
penetapan sima atau daerah perdikan serta nama-nama jabatan para pegawai kerajaan dapat diketahui
bahwa kerajaankerajaan Jawa Kuno sejak zaman Mataram di Jawa bagian tengah hingga era Majapahit
di Jawa bagian timur adalah kerajaan agraris. Seiring dengan perkembangan, perhatian Majapahit pada
daerah luar Jawa meningkat karena berbagai argumen internal atau pun eksternal. Perhatian ke luar
Jawa itu tentunya merupakan aktivitas maritim dengan berbagai sistemnya. Lebih lanjut Agus Aris
Munandar menyatakan bahwa Majapahit walaupun bertumpu kepada aktivitas agraris, tetapi juga
mengembangkan perhatiannya kepada dunia maritim seiring dengan aktivitas kemaritiman yang
meluas. Namun bukti arkeologi yang terkait langsung dengan kemaritiman Kerajaan Maritim sampai
saat ini masih sangat minim. Salah satunya berupa relief dari kapal layar Majapahit di kompleks Candi
Panataran, jadi dapat dipastikan otentik dari masanya. Dalam relief tersebut dipahatkan kapal layar
besar, mempunyai rumah kapal di tengah, namun bertiang kaki dua yang menyatu di bagian tengah
hingga puncaknya. Kedua kaki tiang itu ditancapkan di bagian tepian dek tengah kapal lalu menyatu
menjadi tiang tunggal di bagian atas rumah kapal.
B. Konsep Dasar Maritim
Banyak sektor kemaritiman yang bis adi optimalkan diantaranya pertambangan lepas pantai,
perikanan, produk selain perikanan, wisata, dan lainnya
Pengertian Negara maritime
 Negara maritim adalah negara yang terdiri dari masyarakat yang bekerja di laut dan pesisir.
 Negara maritim adalah negara yang dikelilingi oleh laut dan perairan
Di lihat dari arti tentang negara maritim maka indonesia sudah termasuk dalam kesemua arti negara
maritim. Dan untuk membuat sebagai negara maritim di perlukan beberapa persyaratan, Baca
Juga Syarat Menjadi Negara Maritim. Untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang benar benar
maritim maka di perlukan suatu konsep dan rencana besar. Perlu ada perbaikan yang terkonsep untuk
menjadikan indonesia sebagai poros maritim.
Tujuan yang Besar di perlukan pemahaman yang sama diantara masyarakat tidak hanya pemahaman
tentang definisi Maritim tetapi makna sesungguhnya dari konsep negara Maritim. Bagi Indonesia saat
ini, Maritimn adalah jargon yang belum selesai. Belum lagi yang paling parah adalah sektor industri
garam. Bagaimana mungkin sebuah negara dengan garis pantai terpanjang no 4 di dunia harus
kekurangan garam dan menjadikan impor sebagai solusinya. Garis pangkal Pantai yang sangat luas dan
jumlah nelayan yang sangat banyak seharusnya potensi tersebut mampu menjadikan Indonesia
sebagai Negara Maritim.Perlu adanya ketegasan sikap dari pemerintah mengenai arah kebijakan
menjadi negara maritim. Serta untuk mendukung hal itu maka pemerintah harus mengatur dan menata
ruang untuk konsep tersebut. Adapun prinsip-prinsip penataan ruang untuk konsep negara
maritim diantaranya :
 Penataan ruang wilayah pesisir perlu menetapkan batas-batas daerah pengembangan di lautan
dengan prinsip menjamin pemanfaataan yang berkelanjutan. Masyarakat pesisir khususnya nelayan
di orientasikan untuk menjadi nelayan yang modern.
 Penetapan batas-batas daerah lautan seyogyanya tidak menutup kemungkinan pemanfaatan sumber
daya yang berada dalam batas-batas daerah laut oleh masyarakat yang berasal dari wilayah lain
diluar batas daerah laut tersebut. Masalah perbatasan dengan negara lain pun harus segera di
putuskan. Kita harus berani mengusir setiap apapun yang masuk ke indonesia dengan illegal. Sudah
banyak aktifitas aktifitas yang merugikan indonesia melalui kurang pengawasan di perairan dan laut
indonesia. Dari mulai Masuknya narkoba, perdaganagan manusia dan praktek Illlegal Fishing.
 Perlindungan terhadap habitat yang sensitif dari berbagai aktivitas yang merusak, baik sebagai akibat
dari interaksi manusia dengan alam maupun interaksi dalam alam itu sendiri. Salah satunya dengan
melarang alat tangkap ikan yang merusak, membuang limbah di laut dan hal lain yang bisa
menjadikan laut kita rusak dan tercemar. Tanpa adan ya laut dan perairan maka cita cita negara
maritim hanya angan angan.
 Mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam satu daerah pantai dan pesisir secara
bersinergi satu dengan lainnya, tanpa ada satu pihak yang dirugikan.Pemerintah harus hadir sebagai
pemberi solusi dan selalu mementingkan masyarakat banyak.
 Memungkinkan dibuatnya zona ‘ sanctuary, khususnya untuk daerah laut yag harus dilindungi,
terutama bagi ekosistem yang memiliki dampak luas dan penting bagi ekosistem laut lainnya.
Pengawasan pelu di tingkatkan
 Memberi kesempatan pemulihan area yang telah rusak.zona konservasi kembali di kembangkan.
Zona ekonomi pun di buat tanpa harus merusak ekosistem dan area perairan.
Maritim Adalah
Maritim asal menurut bahasa inggris yaitu maritime, yg berarti navigasi, menurut kata ini lalu lahirlah
istilah maritime power yaitu negara dengan kekuatan maritim atau negara menggunakan kekuatan yg
bebasis pada bahari. Masih pada bahasa Inggris, istilah yang dipakai buat menerangkan sifat atau
kualitas yg menyatakan penguasaan terhadap laut merupakan seapower.
Sementara, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maritim diartikan menjadi hal yang berkenaan
menggunakan bahari, terutama hal yg berkaitan pelayaran dan perdagangan pada bahari. Pengertian
tersebut menegaskan bahwa negara maritim adalah negara yang terkait dengan kebaharian
atau kelautan. Dan perlu di tegaskan juga bahwa negara maritim adalah bukan jargon semata melainkan
sebuah tindakannya nyata.
Dari istilah seapower atau kekuatan laut tadi maka Istilah maritim sering mengandung unsur
bermakna ganda. Untuk terus menjadi sebuah negara maritim mak di perlukan sebuah
persyaratan. Pengertian negara maritim apabila terpenuhi semua persyaratan maka di pastikan negara
indonesia akan semakin kuat. Terdapat 2 versi buat pengertian maritim ini : maritim dalam pengertian
sempit yg hanya berhubungan dengan efek & bahari (angkatan bahari) Dan arti kedua yaitu
negara maritim pada arti yg seluas-luasnya yg meliputi seluruh aktivitas yang berafiliasi dan berkenaan
menggunakan bahari atau lebih acapkali disinggung dengan istilah kelautan.
Jika ditinjau dari sisi rapikan bahasa, kelautan merupakan istilah benda, sedangkan maritim adalah
adjektiva. Maka Negara Maritim adalah penggabungan antara benda sebagai negara dan objektiva
sebagai maritim.
Dengan demikian, bila kita ingin menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara bahari
maka negara indonesia wajib memanfaatkan potensi lautnya dan pada akhirnya cita rasanya akan
penggunaan kata negara maritim akan lebih sempurna. Indonesia terus mengembangkan diri untuk
menjadi negara maritim, bukan hanya negara agraria ataupun kelautan. Argumentasi alasannya adalah,
indonesia negara maritim merupakan negara yg memiliki sifat memanfaatkan potensi laut buat
kemakmuran negaranya, sedangkan negara kelautan lebih menunjukkan syarat fisiknya saja, yaitu
negara yg berhubungan, dekat menggunakan atau terdiri dari bahari.sudah saat nya kita berorientasi
menuju konsep negara maritim. Membentuk Negara Maritim tidak hanya menentukan Hari Maritim
Indonesia untuk Internasional. Atau hanya seremonial tentang potensi negara maritimTapi Konsep
Negara maritim akan terbentuk apabila masyarakat masyarakat di lebih palingbawah agar bisa
menentukan perapa persen dari nilai upaya memudahkan dan menyelesaikan permasalah tentang
konsep negara maritim dan perlu adanya parameter untuk melihat dan batuan dari hotel nyang paling
tinggi.
Konsep Poros Maritim Dan Konsep Negara Maritim Mempunyai Perbedaan walaupun sama sama
mengusung tema kemaritiman. Tetapi pada kenyataannya maritim adalah tetap mengacu pada dimana
negara bisa mengoptimalkan sumber daya maritim. Menurus Poros Maritim dimana maritim adalah
acuan buat semua negara negara yang mempunyai laut agar ikut bergabung dengan gagasan Poros
Maritim.
C. Batas-Batas Dan Kewenangan
UNCLOS 1982 membagi laut dalam tiga bagian, yaitu: Pertama, laut yang merupakan bagian dari
wilayah kedaulatannya (yaitu laut teritorial, laut pedalaman); Kedua, laut yang bukan merupakan
wilayah kedaulatannya namun negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas
tertentu (yaitu zona tambahan, zona ekonomi eksklusif; Ketiga, laut yang bukan merupakan wilayah
kedaulatannya dan bukan merupakan hak/yurisdiksi, namun negara tersebut memiliki kepentingan,
yaitu laut bebas.
 Perairan Pedalaman

Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis
tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tetentu dapat digunakan
garis pangkal yang lain, yang akan menimbulkan perairan pedalaman. Keadaan-keadaan tersebut
adalah:
1. Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di
sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai
atau pulau-pulau tersebut. (Pasal 7 UNCLOS)
2. Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang
dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah
lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut), laut
teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan
bahwa garis penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut. (Pasal 10 UNCLOS)
3. Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi
mulutnya dengan menghubungkan titik-titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut.
(Pasal 9 UNCLOS)
Di dalam Perairan Kepulauan, untuk menetapkan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia
dapat menarik garis-garis penutup pada mulut sungai, kula, teluk, anak laut dan pelabuhan. Parthiana
menyatakan bahwa perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan pada sisi dalam garis pangkal
normal. Apabila pada pantai yang garis pangkalnya hanya diterapkan garis pangkal normal, maka tidak
akan terdapat laut pedalaman yang hanyalah perairan darat, yaitu bagian perairan yang terletak di
sebelah dalam garis pangkal normal.
Jadi secara garis besar, Perairan Pedalaman terdiri atas:
 Laut pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus dan sisi

luar dari bekas garis pangkal normal.


 Perairan darat yaitu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal

maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat ini bisa terdiri atas perairan sungai, danau,
terusan, waduk, dan perairan pada pelabuhan.
 Perairan Kepulauan (archipelagic water) yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis

pangkal kepulauan. Perairan kepulauan ini khusus bagi negara kepulauan (archipelagic state)
sebagaimana diatur dalam pasal 46 sampai dengan Pasal 54 Konvensi Hukum Laut 1982.
Perairan Pedalaman (internal water) berlaku adanya Hak Lintas Damai (right of the innocent passage)
bagi kapal-kapal niaga asing jika perairan pedalaman ini terbentuk karena adanya penarikan garis
pangkal lurus.
 Perairan Kepulauan (Archipelagic Water)

Perairan Kepulauan merupakan zona maritim yang tidak dimiliki oleh semua negara pantai, namun
hanya dimiliki oleh negara-negara pantai yang dikategorikan sebagai negara kepulauan. Menurut Pasal
49 UNCLOS 1982 yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan adalah perairan yang dilingkupi oleh Garis
Pangkal Kepulauan (archipelagic base line) tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis
pantai. Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan penuh di
dalam wilayah perairan kepulauannya, ruang udara diatasnya, dalam dasar laut di bawahnya, di bawah
tanah dan juga atas kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Di perairan kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the innocent passage) bagi kapal
asing yang dinyatakan dalam Pasal 52 ayat (2) UNCLOS 1982. Namun demikian, apabila berkaitan
dengan keamanan dan pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan pemberlakuan Hak
Lintas Damai di Perairan Kepulauannya tanpa ada pengecualian.
Dalam kaitannya dengan aktivitas negara lain di dalam perairan kepulauan, sebuah negara
kepulauan juga memiliki tangung jawab unutk menghormati dan menjamin hak yang dimiliki oleh
negara lain tersebut yang ditetapkan atas dasar perjanjian resmi. Seperti dikemukan dalam Pasal 51 ayat
(1) UNCLOS 1982, ini meliputi hak negara-negara tetangga yang berdampingan langsung dengan negara
kepulauan untuk melakukan penangkapan ikan secara tradisional dan kegiatan legal lainnya pada
kawasan tertentu di dalam perairan kepulauan.
 Laut Teritorial

Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak melebihi 12 mil laut
diukur dari garis pangkal seperti yang tercantum dalam Pasal 4 UNCLOS 1982. Untuk negara-negara
kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari
sisi karang ke arah laut.
Lebar laut teritorial 12 mil mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum laut klasik
termasuk ke dalam pengaturan laut lepas, kini tunduk pada pengaturan laut teritorial, sehingga
kebebasan berlayar yang dahulu dinikmati di laut lepas kini tidak diperoleh lagi di selat-selat tersebut.
Sebuah negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar
laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Penentuan batas
wilayah laut teritorial yang meliputi kelautan di dalam perbuatannya perlu memperhatikan bentuk
konsekuensi dan pertimbangan lain sehingga kepentingan kepentingan publik internasional sama-sama
berjalan.
Pasal 15 UNCLOS mengatur penetapan garis batas laut teritorial di antara negara-negara yang
pantainya saling berhadapan atau berdampingan, tidak satupun dari kedua negara berhak, kecuali ada
persetujuan sebaliknya di antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis
tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut
teritorial masing-masing negara itu diukur.
Didalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi kapal asing sepanjang tidak melanggar dan
mengganggu perdamaian, aturan hukum dan keamanan negara yang dilewati sesuai dengan apa yang
tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) UNCLOS 1982. Pasal ini juga menyatakan bahwa sebuah pelayaran
dikatakan melanggar/ mengganggu kedamaian, aturan hukum dan keamanan suatu negara jika kapal
tersebut menyelenggarakan aktivitas tertentu yang meliputi:
1. Segala ancaman atau penggunaan kekuatan yang melanggar kedaulatan, integritas wilayah
atau kebebasan politik negara pantai, atau melanggar prinsip hukum internasional yang
termaktub dalam Piagam PBB;
2. Segala latihan atau percobaan menggunakan salah satu jenis senjata;
3. Seagala kegiatan untuk mengumpulan informasi yang dapat merugikan pertahanan dan
keamanan negara pantai;
4. Seagala tindakan propaganda yang terdampak yang berdampak pada pertahanan dan
keamanan negara pantai;
5. Peluncuran, pendaratan, dan pemuatan pesawat udara;
6. Peluncuran, pendaratan dan pemuatan paeralatan militer;
7. Bongkar muat komositas, mata uang atau orang yang bertentangan dengan hukum
keimigrasian, fiskal, dan sanitasi negara pantai;
8. Segala pencemaran dan polusi yang bertentangan dengan UNCLOS;
9. Segala aktifitas penangkapan ikan;
10.Pelaksanaan penelitian atau aktivitas survey;
11.Segala tindakan yang dapat menginterfensi (menggangu) sistem komunikasi atau fasilitas atau
instalasi negara pantai;
12.Aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan dilakukannya pelayaran.
 Zona Tambahan

Landasan yuridis pengaturan Zona Tambhan mengacu pada Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UNCLOS 1982
yang menyatakan bahwa zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari lebar
laut teritorial diukur. Untuk memperjelas letak zona tambahan dalam Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982
dapat disimpulakan sebagai berikut:
 Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu diukur. Tempat atau garis itu adalah

garis pangkal.
 Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.

 Oleh karena itu, zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan Laut

Teritorial, maka secara praktis lebar zona tambahan itu adalah 12 (24-12) mil laut, diukur dari
garis atau batas luar (outer limit) laut teritorial. Dengan kata lain, zona tambahan selalu
terletak di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial.
Mengenai wewenang-wewenang negara pantai terhadap zona tambahan, Pasal 3 UNCLOS 1982
menjelaskan bahwa negara-negara pantai dapat melaksanakan pengawasan-pengawasan yang perlu
untuk mencegah pelanggaran Peraturan Perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi, atau saniter di
dalam wilayah laut teritorialnya. Pengawasan ini dapat dilengkapi dengan tindakan-tindakan
pemberantasan dan negara pantai dapat menghukum para pelanggar Peraturan Perundang-undnagan
tersebut.
Menurut UNCLOS 1958 maupun 1982, sebuah negara pantai harus memutuskan apakah akan
mengklaim zona tambahan atau tidak, karena zona ini tidak diberikan secara otomatis kepada negara
pantai, tidak seperti landas kontinen. Sampai Januari 1998, seperti dikompilasi oleh Churchill dan Lowe
dari limits in the seas no. 36 ed. 7 dan law of the sea bulletin, lebih dari sepertiga negara pantai memilih
mengklaim zona tambahan.[21]
 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah satu rezim atau pranata hukum laut internasional yang boleh
dikatakan masih baru. Pranata hukum laut ini baru muncul sekitar tahun 1970-an dan selanjutnya
dituangkan di dalam Bab V Pasal 55-77 UNCLOS 1982. United Kingdom Hdrographic Office (UKHO)
mengungkapkan bahwa sebanyak 113 negara pantai telah mengklaim ZEE dengan luas total 48,1 juta mil
persegi atau seatra dengan 3,4 persen dari luas total permukaan laut dunia.
Lebar ZEE diatur dalam Pasal 57 UNCLOS 1982, bahwa ZEE tidak boleh melebihi dari 200 mil laut,
diukur dari garis pangkal. Jadi, untuk menentukan lebar 200 mil laut, garis atau tempat pengukuranya
adalah garis pangkal. Oleh karena jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal merupakan laut
teritorial, maka praktus lebar ZEE adalah 188 (200-12) mil laut.
Berdasarkan Pasal 55 UNCLOS 1982, ZEE merupakan suatu daerah atau area yang terletak di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial. Ini menunjukkan bahwa ZEE berada di luar wilayah negara atau
bukan merupakan wilayah negara, tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak dan
yurisdiksi-yurisdiksi tertentu. Hak-hak berdaulat negara pantai di ZEE ini bersifat residu[23], karena
hanya berlaku terhadap sumber daya hayati yang terkandung di dalam zona tersebut dan tidak meliputi
perairan dan ruang udara diatasnya. Menurut pengertian Pasal 56, negara pantai dalam ZEE
mempunyai:
 Hak-hak berdaulat (souvereign rights) untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan

pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta perairan
diatasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis
dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus, angin ataupun gelombang).
 Yurisdiksi sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan

pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan lingkungan laut.


 Hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana ditentukan di dalam Konvensi Hukum

Laut 1982.
Lain dari pada itu, negara-negara lain juga memiliki hak-hak dan kebebasan-kebebasan serta
kewajiban-kewajiban di dalam ZEE. Misalnya, kebebasan pelayaran atau pengoperasian kapal-
kapalnya, memasang kabel-kabel dan pipa-pipa saluran di wilayah bawah laut atau di dasar laut,
atau penerbangan diatasnya. Dalam melaksanakan hak-hak kebebasan maupun yurisdiksinya
tersebut di dalam ZEE, negara pantai berkewajiban untuk menghormatinya. Sebaliknya, negara-
negara lain juga berkewajiban untuk menghormati hak-hak, kekuasaan dan yurisdiksi serta
peraturan perundang-undangan dari negara pantai yang bersangkutan.[24]
 Landas Kontinen (Continental Shelf)

Landas kontinen dalam pengertian yuridis mulai diatur melalui UNCLOS 1958 yang kemudian melalui
Konferensi Hukum Laut di Jenewa Swiss pada tahun 1958 tersebut juga menghasilkan Konvensi tentang
Landas Kontinen.[25] Melalui Pasal 1 Konvensi tentang Landas Kontinen tersebut, landas kontinen
diartikan sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya yan bersambungan dengan pantai tepi di luar
wilayah laut teritorila, sampai pada kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang kedalaman air laut
dinatasnya masih memungkinkan unutk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya
alamnya.
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan lebar landas
kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka UNCLOS
dalam Pasal 76 mendasarkan pada berbagai kriteria berikut:
 Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;

 Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya

tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil
laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah
daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi;
atau
 Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter, dalam hal

pinggiran terluar tepi kontinen (continental margin) berjarak lebih dari 200 mil laut dari garis
pangkal laut teritorial.
Apabila tidak mencapai jarak tersebut, maka batas terluar landas kontinen hanya sampai jarak 200
mil dari garis pangkal laut teritorial atau berimpit (tumpang tindih) dengan batas terluar zona ekonomi
eksklusif.[26]
Ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS menetapkan batas terluar dari tepian kontinen yang terletak
diluar jarak 200 mil, negara pantai dapat memilih salah satu di antara dua cara penetapan batas sebagai
berikut:
 Dengan menarik garis di antara titik-titik di mana ketebalan sedimen karang paling sedikit 1

persen dari jarak terpendek pada titik-titik tersebut ke kaki lereng kontinen.
 Dengan menarik garis di antara titik-titik yang ditetapkan yang panjangnya tidak melebihi 60

mil laut dari kaki lereng kontinen. (Pasal 76 ayat (4))


Pasal 83 UNCLOS mengatur penetapan garis batas landas kontinen antara dua negara yang
berdekatan, baik negara-negara yang letaknya berhadapan (opposite), maupun berdampingan
(adjacent).[27] Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang
adil.
“The delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts shall be
effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the
International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.”
Pasal ini pada dasarnya hanya bersifat proses dural yaitu mewajibkan setiap negara yang berhadapan
dan berdampingan untuk membuat perjanjian batas maritim. Jika persetujuan demikian tidak tercapai,
negara-negara tersebut harus menggunakan prosedur yang ditetapkan dalam Bab XV UNCLOS 1982.
Pada landas kontinen negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi sumberdaya alam
yang terkandung di dalamnya, sehingga negara-negara lain tidak boleh melakukan hal yang sama tanpa
seizin dan persetujuan dari negara pantai yang bersangkutan. Dilihat dari aspek kedaulatan, negara
pantai hanya memiliki hak eksklusif atas sumber daya alamnya, sedangkan terhadap landas kontinen
negara pantai sama sekali tidak memiliki kedaulatan, menginat statusnya bukan merupakan wilayah
negara.
 Laut Lepas

UNCLOS 1982 tidak memberikan definisi tentang laut lepas/laut bebas, hanya dikatakan bahwa
ketentuan-ketentuan mengenai laut lepas/ laut bebas diterapkan terhadap semua bagian laut yang tidak
termasuk dalam ZEE, laut teritorial, atau perairan pedalaman dari suatu negara, atau perairan kepulauan
dari suatu negara kepulauan. Ketentuan ini tidak mengurangi kebebasan yang dimiliki oleh semua
negara di dalam ZEE. Laut lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu negara
pun yang dapat melakukan klaim kedaulatanya atas bagian laut lepas.
Kebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan dalam UNCLOS ini dan
aturan-aturan hukum internasional lainnya, berlaku baik untuk negara pantai dan bukan dengan negara
pantai, kebebasan tersebut adalah:
 Kebebasan berlayar;

 Kebasan menangkap ikan;


 Kebebasan menempatkan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa;

 Kebebasan untuk terbang di atas laut bebas;

 Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diizinkan hukum

internasional;
 Kebebasan riset ilmiah.

 Kawasan Dasar Laut Intenasional (International Seabed Area)

Persoalan penentuan kawasan dasar laut internasional ini mulai timbul pada tanggal 1 November
1967 di Majelis umum PBB, Arvid Pardo, duta besar Malta memberikan gagasan agar daerah dasar laut
di luar yurisdiksi nasional dinyatakan sebagai common heritage of mankind (warisan bersama umat
manusia). Ini berarti bahwa daerah dasar laut itu hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan damai,
dan kekayaan-kekayaan yang terdapat di dasar laut tersebut harus digunakan untuk kepentingan
seluruh umat manusia.[31]
UNCLOS 1982 menetapkan dasar laut dalam dengan istilah “kawasan”, yang diartikan sebagai dasar
laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar batas-batas yurisdiksi nasional (Pasal 1). Ini berarti
bahwa “kawasan” adalah dasar laut di luar zona ekonomi eksklusif, kecuali daerah dasar laut di luar
batas tersebut termasuk bagian dari landas kontinen suatu negara pantai.
Dikatakan juga “kawasan” dan sumber kekayaan alam di dalamnya dinyatakan sebagai warisan
bersama seluruh umat manusia (Pasal 36). Tidak satu negara pun yang menyatakan kedaulatannya
ataupun hak berdaulatnya terhadap sumber kekayaan alamnya. Semua hak-hak atas sumber kekayaan
alam ini diserahkan kepada umat manusia secara keseluruhan (Pasal 137).
D. Dasar Hukum Maritim
Dasar hukum laut Indonesia menggunakan ’Asas Archipelago’, yang berarti Indonesia menjadi negara
kepulauan atau ’Archipelagic State’. Dalam sidangnya tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah
mengumumkan Perairan Negara Republik Indonesia’ yang menyatakan bahwa semua perairan di sekitar,
di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya merupakan bagian dari
perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas di perairan
pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan dan/atau
mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang
sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung
terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka diadakan pembahasan tentang bagaimana
pengimplementasian konvesi hukum laut internasional ke dalam sistem hukum nasional yang
diselenggarakan oleh Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia pada Senin, 12 Oktober 2011 bertempat di
Ruang Rapat Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) Gd. Mina bahari II Lt. 7 dan dihadiri oleh perwakilan
dari Direktur Polair Mabes Polri, Kepala Dinas Hidro Oseanografi Mabes TNI AL, Kepala Dinas Hukum
Markas Besar TNI AL, Kepala Dinas Hukum Markas Besar TNI AU dan para undangan terkait kebijakan
kelautan lainnya.
1. Rizald Max Rompas, Sekretaris DEKIN menjelaskan statements bidang kelautan yaitu:
Deklarasi Djuanda 3 desember 1957
2. Deklarasi Bunaken 26 September 1998, yang bertolak ukur pada visi pembangunan dan persatuan
nasional diarahkan berorientasi ke laut; TBI (Tahun Bahari Internasional) 1998 merupakan program
UNESCO sebagai Tahun Bahari Internasional; pencanagan upaya PBB dan bangsa Indonesia
menyadarkan umat manusia akan arti penting dari laut dan lingkungan kelautan sebgai warisan umat
manusia; membangun kesadaran Indonesia akan geografi wilayahnya, dan kemanuan Indonesia
dalam membangun kelautan.
3. Seruan Sunda Kelapa 27 Desember 2001, berisi 5 pilar program pembangunan menuju negara
maritim, yaitu: membangun kembali wawasan bahari; kedaulatan dilaut; industri dan jasa maritim;
mengelola kawasan pesisir, laut, pulau-pulau kecil; dan mengembangkan hukum nasional di bidang
kelautan.
4. Gerbang Mina bahari 2003, yang bertujuan agar seluruh kegiatan pembangunan kelautan dan
perikanan yang telah dilaksanakan secara sektoral dapat dilaksanakan dengan terintegrasi dan
terkoordinasi; terfokusnya 3 bidang, yaitu di industri perikanan, industri pelayaran, dan wisata
bahari.
5. dicangkannya pembangunan kelautan Indonesia Tahun 2006 (Sumatera Barat), yaitu : pembangunan
kelautan menyeimbangkan antar land base development dengan ocean base development; perlunya
pengaturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan bidang kelautan.
6. Kesepahaman dan dukungan bersama antar menteri Tahun 2007 dengan 3 pilar fokus percepatan
pembangunan kelautan, yaitu pada sektor pelayaran, sektor perikanan, dan sektor pariwisata bahari.
7. Terselenggaranya World Ocean Conference (WOC) Tahun 2009 di Manado, yang menghasilkan
kesepakatan untuk mengkombinasikan antara substansi kelautan dengan perubahan iklim, karena
secara timbal balik keduanya saling mempengaruhi dampak perubahan iklim terhadap laut dan
dampak laut terhadap perubahan iklim.
8. Pasal 25 A UUD 1945, yang menyebutkan Indonesia sebagai negara kepulauan bercirikan nusantara.
Dikatakan olehnya bahwa pada saat perumusan pengimpelemtasian ke dalam perundang-undangan
nasional terdapat permasalahan di bidang wilayah laut/kawasan berdasarkan UNCLOS 1982, wilayan
negara, penegakan hukum laut, kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut, dan perizinan
penelitian di perairan Indonesia.
“Pembangunan nasional kelautan harus mencerminkan kebutuhan dan didasari prakarsa dan kondisi
masyarakat yang memang memerlukan ketentuan hukum dapat terlaksana, sesuai dengan kebutuhan,
kondisi masyarakat, rasa keadilan dan kepatutan”, ujar Rizald Max Rompas.
Pengembangan hukum harus mampu menghidupkan kegiatan ekonomi secara produktif dan
mendorong akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan dan mampu
mendayagunakan potensi ekonomi dan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dengan
memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.
Pembangunan hukum kelautan harus mengacu pula pada ketentuan-ketentuan hukum internasional
di bidang kelautan. Hal ini juga berlaku dalam mengatur kewenangan antar pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Oleh karena itu dalam melakukan pengimplementasian konvensi hukum laut internasional ke dalam
sistem hukum nasional maka lndonesia perlu menyusun Ocean Policy, yaitu suatu rumusan latar
belakang, permasalahan dan pokok-pokok kebijaksanaan pembangunan kelautan yang menyeluruh dan
komprehensif sebagai dasar bagi perumusan kebijakan-kebijakan operasional kelautan dalam wujud
peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin terlaksananya berbagai kebijaksanaan pembangunan
kelautan secara integral yang menyangkut bidang bidang lintas sektoral, dibutuhkan titik
pengendalian/koordinasi setingkat menteri koordinator.
DAFTAR PUSTAKA
Dick, R. R. (2008). “Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika” Pejelajah Bahari. Bandung: Mizan
Mulyadi, Yadi. 2016. Kemaritiman, Jalur Rempah dan Warisan Budaya Bahari Nusantara.
https://www.researchgate.net/publication/309673900_Kemaritiman_Jalur_Rempah_dan_Warisan_Bud
aya_Bahari_Nusantara tanggal akses 1 Juli 2019
Zahvira. 2017. Konsep Negara Maritim. http :// perikanan 38 . blogspot . com / 2017 / 08 / konsep -
negara – maritim . html tanggal akses 1 Juli 2019
itsmefia. 2015. Pembagian Zona Maritim. https : / / kuncirambutkuda . wordpress . com / 2015 / 12 / 19
/ pembagian-zona-maritim/ tanggal akses 1 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai