Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL

ZONA TAMBAHAN

Disusun Oleh

Andre Masayuro (180574201065)


Rifki Juliansyah (180574201064)
Naomi Roma Ulita Pasaribu (180574201075)
Ika Anjasmara (170574201045)
Mega Riama Simanjuntak (170574201049)

Dosen pengampu
Bapak Eno Prasetyawan S.H.M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirrabbil’aalamiin, puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT


atas limpahan rahmat, nikmat dan karunianya. Solawat beserta salam kepada Nabi
Muhammad SAW kepada para umatnya dan para sahabatnya, sehingga kami dapat
menyelesaikan salah satu Tugas Hukum Laut Internasional mengenai Zona Tambahan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh

Tanjungpinang, 15 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

COVER ...............................................................................................................1
KATA PENGANTAR ........................................................................................2
DAFTAR ISI .......................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................4
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................5
1.3 Tujuan .........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................6
2.1 Pengertian Zona Tambahan ........................................................................6
2.2 Konsepsi perkembangan Zona Tambahan ..................................................7
2.3 Status Hukum Negara Kepulauan ...............................................................8
2.4 Hak-hak Negara pantai di Zona Tambahan……………………………….........9
2.5 Hak kapal asing di Zona
Tambahan……………………………………...............10
2.6 Konflik yang pernah terjadi di Zona Tambahan………………………….......11
BAB III PENUTUP ............................................................................................12
3.1 Kesimpulan .................................................................................................12
3.2 Saran ..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Zona tambahan (contigous zone), merupakan suatu jalur dari laut lepas yang berbatasan
dengan laut teritorial suatu negara. Kebereadaan zona ini di dasarkan pada kebutuhan khusus
negara-negara untuk meluaskan kekuasaanya melawati batas teritorialnya, disebabkan tidak
cukup luasnya laut teritorial untuk melakukan pencegahan penyeludupan dari laut di suatu
sisi.
Klaim atas zona tambahan pertama kali di kemukakan oleh india. Delegasi india
mengajukan proposal mengklaim zona tambahan sebesar 18 mil laut setelah laut teritorial
atau 30 mil laut dari garis pangkal. Zona tambahan ini didefinisikan sebagai zona perairan
setelah laut teritorial, di mana negara pantai hanya mempunyai kewenangan yang terbatas
yaitu dalam hal penegakan hukun terhadap bea-cukai, fiskal, sanitari dan imigrasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu zona tambahan?
2. Bagaimana konsepsi perkembangan zona tambahan?
3. Apa saja status hukum negara kepulauan?
4. Apa saja hak-hak negara pantai di zona tambahan?
5. Apa saja hak kapal asing di zona tambahan?
6. Konflik apa yang pernah terjadi di zona tambahan?

1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH


1. Untuk mengetahui apa itu zona tambahan
2. Untuk memahami perkembangan konsep dari zona tambahan
3. Untuk mengetahui status hukum zona tambahan
4. Untuk mengetahui hak hak negara pantai di zona tambahan
5. Untuk mengetahui hak kapal asing di zona tambahan
6. Untuk mengetahui konflik yang pernah terjadi di zona tambahan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ZONA TAMBAHAN


Zona Tambahan adalah letak laut dari sisi terluar dari garis pangkal laut yang sudah
ditetapkan dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur. Manfaat dari Zona Tambahan bagi suatu negara adalah untuk mencegah beberapa
pelanggaran seperti pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi dan perikanan.
Pengertian Zona Tambahan menurut J.G Starke adalah suatu jalur perairan yang
berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial, namun tidak termasuk kedaulatan
negara pantai, tetapi dalam zona ini negara pantai memiliki kewewenangan melaksanakan
hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah terjadinya pelaggaran peraturan perundang-
undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan juga imigrasi di wilayah laut teritorialnya.
Batas zona tambahan sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Berikut
adalah isi dari pasal 24 angka 1 UNCLOS III yang berkaitan dengan ZonaTambahan:
1. Mencegah pelanggaran perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah bea
cukai, perpajakan , keimigrasian, dan kesehatan..
2. Kewenangan untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan
perundang-undangannya tersebut diatas.
Di dalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh
melampaui dari 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal.
Hal ini berarti bahwa zona tambahan tersebut hanya mempunyai arti bagi negara-
negara yang mempunyai lebar laut teritorial yang kurang dari 12 mil laut berdasarkan
konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya
ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 angka 2 Konvensi
Hukum Laut tahun 1982, zona tambahan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial itu diukur.
2.2 PERKEMBANGAN KONSEP ZONA TAMBAHAN
Zona tambahan sebenarnya berasal dari perundang-undangan negara inggris yang
dikenal dengan Hovering Acts. Peraturan ini diformulasikan berdasarkan ditangkapnya kapal
asing penyeludupan pada jarak 24 mil laut dari pantai. Hovering zcts ini diberlakukan dari
tahun 1736 hingga 1876 ketika customs consolidation act 1876 mulai diberlakukan.
Kententuan-ketentuan tersebut dirumuskan sebelum dikenalnya batasan 3 mil laut untuk laut
tertorial dengan cannon ball theory. Kerika itu terjadi beberapa kali sengketa antara inggris
dan spanyol jugan antara inggris dan prancis. Sengketa-sengketa tersebut melibatkan suatu
penangkapan kapal dalam batas 6 mil laut. Setelah diterimanya batasan 3 mil laut untuk laut
tertorial oleh masyarakat internasional , inggeis menerapkan 3 mil laut perairan teritorial
tersebut dinegaranya dan disemua negara jajahan dengan 2 perkecualian, meliputi:
(i) doctine of constructuve presencer, menurut doktrin ini “jika suatu kapal diluar
zona maritimnya mengirimkan kapal kecil pada batas tersebut demgan tujuan
untuk melepaskan tawanan, tidak akan dibedakan keudua status kapal tersebut,
dan kapal tersebut dapat dikatakan melanggar hukum negara pantai setampat”.
(ii) (ii) doctrine of hot pursuit, yaitu jika suatu kapal asing terbukti melakukan
kegiatan yang tidak diboleh oleh hukum internasional dilaut teritorial dan terjadi
pengejaran oleh penegak hukum negara pantai, maka pengejaran tersebut boleh
dilakukan melapaui batas laut teritorial atau sampai laut bebas sakalipun. Dengan
demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa munculnya ide Zona Tambahan
dikarenakan kebutuhan negara pantai untuk menaggulangi kegiatan
penyelundupan serta masalah imigrasi.
Pada awal abad ke-20 terdapat 3 kelompok negara tentang permasalahan yurisdiksi
suatu negara pantai diluar jarak 3 mil laut. Yang pertama, kelompok negara yang menolak
yurisdiksi negara pantai diliuar batas 3 mil laut kecuali ada suatu treaty yang berkaitan
dengan doctrine constuctive presence dan hot persuit. Negara-negara seperti inggris dan
koloninya, jerman, denmark, swedia, jepang dan belanda merupakan negara negara yang
mengajukan klaim zona yurisdiksi khusus untuk bea-cukai dan keamanan yang sangat
berbeda dengan kewenangan negara pantai laut teritorial.
Pada akhirnya perdebatan demikian disepakati dala pasal 24 TSCZ 1982 yang kemudian
diadopsi kedalam pasal 33 UNCLOS 1982 yang berbunyi:
“1. In a zone contiguous to its territorial sea, described as contiguous zone, the
coastal state may exercise the control necesary to:
(a) Prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary laws and
regulations within its territory of territorial sea.
(b) Punish infringement of the above laws and regeulations committed eithin its
territory or territorial sea.
2. the contiguous zone may not extend beyond 24 nautical miles from baseline from
wich the breadth of territorial sea is measured.”

2.3 STATUS HUKUM


Adapun mengenai zona tambahan yang tertulis di dalam pasal 33 UNCLOS 1982
yang berbunyi sebagai:
1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, yang dinamakan
zona tambahan, Negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan
untuk :
(a) mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya;
(b) menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas
yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.
2. Zona tambahan tidak dapat melebihi lebih 24 mil laut dari garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial diukur.
Atau dapat disimpulkan dengan menentukan bahwa negara pantai dalam zona
tersebut dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran
peraturan perundang-undangannya menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan sanitasi di
dalam wilayahnya atau laut teritorialnya, dan menghukum setiap pelanggar demikian. Namun
demikian, zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari mana laut
teritorial diukur.
Pada hakekatnya status hukum dari zona tambahan tunduk pada prinsip-prinsip
kebebasan di laut lepas, akan tetapi dengan adanya perkembangan hukum laut dengan
diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka
prinsip kebebasan lautan tidak sepenuhnya berlaku di zona tambahan. Hal inidisebabkanzona
tambahan telah menjadi bagian di perairan ZEE.Namun demikian sepanjang yang
menyangkut kepentingan pelayaran, status perairan zona tambahan tetap tunduk pada rezim
hukum laut lepas, yang bebas dilalui oleh kapal-kapal semua negara.Dengan demikian di
perairan zona tambahan ini tidak dikenal adanya ketentuan lintas damai bagi kapal asing.

2.4. HAK-HAK DINEGARA PANTAI DI ZONA TAMBAHAN

1. Negara pantai berhak melakukan pengawasan di zona tambahan. Tetapi pelaksanaan


pengawasan tidak boleh menunggu atau mempersulit pelayaran internasional.
2. Dalam hal tidak ada kecurigaan yang kuat, pelaksanaan pengawasan hanya terbatas
pada tindakan-tindakan yang bersifat penyelidikan misalnya melalui komunikasi radio
untuk menanyakan: asal- usul kapal, muatan kapal, dan tujuan kapal.
3. Dalam hal terdapat kecurigaan yang kuat tindakan pengawasan dapat disertai
penyelidikan dan pemeriksaan kapal. Misalnya kapal berlayar mondar-mandir di zona
tambahn atau buang jangkar, atau menurunkan penumpang atau barang untuk
dipindahkan ke kapal lain.
4. Apabila terbukti kapal itu melanggar peraturan nasional maka dapat dilakukan
penyidikan dan proses hukum yang berlaku. Disamping hak-hak seperti tersebut di
atas konvensi juga menentukan hak-hak lain sepanjang di atur dalam konvensi seperti
disebut dalam pasal 56 ayat 1 sub c. Salah satu contoh dari hak lain itu adalah hak
untuk mendapat ganti rugi atas kerugian yang di derita akibat dilangsungkannya riset
ilmiah kelautan (pasal 263). Juga Negara pantai mempunyai hak eksekutif untuk
membangun menguasakan, mengatur pembngunan dan penggunaan: (1) Pulau buatan
(2) instalasi dan bangunan untuk keperluan bagai mana ditentukan dalam pasal 56 dan
tujuan ekonomi lainnya; (3) instalasi dan bangunan yang dapat menggangu
pelaksanaan hak-hak negara pantai dalam zona terssebut (pasal 60 ayat1).
2.5. HAK KAPAL ASING DI ZONA TAMBAHAN

Kapal dalam lintas transit harus :


(a) memenuhi peraturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur dan
praktek tentang keselamatan di laut termasuk Peraturan Internasional tentang Pencegahan
Tubrukan di Laut;
(b) memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek
tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal.
Di Zona Tambahan Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan, pemasangan
kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen diakui keberadaannya.
Di zona tambahan atau ZEE kapal asing boleh melintas dan tanpa harus meminta izin.
Meski begitu tentu kapal itu juga harus mengikuti aturan yang ada.Yang pasti, mereka tidak
boleh menangkap ikan atau mengambil sumberdaya lainnya.Ketentuan ini ada pada
UNCLOS pasal 58 yang mengatakan bahwa negara asing itu berhak melintas dengan kapal
(freedom of navigation), pesawat mereka boleh melintas di atas ZEE, boleh menanam kabel
bawah laut dan lain sebagainya.Intinya, negara asing boleh melintasi ZEE tanpa harus
meminta izin dengan ketentuan mereka mengikuti aturan yang ada di UNCLOS.

2.6. KONFLIK APA YANG PERNAH TERJADI DI ZONA TAMBAHAN

Sengketa Batas Maritimdan Zona Pembangunan Bersama


Beberapa tahun terakhir, tensi ketegangan di Laut Tiongkok Selatan sering meninggi.
Berawal dari klaim sepihak atau unilateral claim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan
sembilan garis putusnya (nine-dashed lineatau 9DL), reklamasi dan pembangunan pangkalan
militer serta infrastruktur fisik di sekitar gugusan Kepulauan Spratly dan Paracel, hingga
penentuan sepihak kawasan tradisional penangkapan ikan yang mulai mengganggu
kedaulatan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.
Sengketa Laut Tiongkok Selatan bisa dikatakan sengketa yang kompleks sejak
penerapan Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of
the Sea-UNCLOS) 1982. Sengketa ini melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia,
Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan tentu saja sang pengklaim yaitu RRT. Bahkan,
Amerika Serikat turut campur tangan dalam sengketa ini demi mengamankan prinsip
kebebasan navigasi di laut (freedom of navigation). Apakah Indonesia akan terseret dalam
pusaran sengketa ini? Kita lihat saja nanti.Dalam tataran ASEAN, setidaknya Indonesia ikut
sumbang suara terhadap keprihatinan atas penetrasi RRT di LTS.
Coretan ini tidaklah akan membahas lebih lanjut soal sengketa LTS yang selalu
hangat dibicarakan namun lebih kepada bagaimana umumnya sengketa perbatasan di laut itu
diselesaikan terutama sejak penerapan UNCLOS 1982. Coretan ini pun bukanlah artikel
akademik apalagi teoritik.Bukan juga sebagai panduan praktis. Tapi, tulisan ini lebih sebagai
pendorong agar terdapat banyak diskusi publik soal kelautan dan pendorong pemerintah
untuk kembali mempertimbangkan kebijakan alternatif kerjasama pembangunan zona
bersama dengan negara lain di area yang menjadi sengketa, khususnya dengan negara-negara
yang mempunyai itikad baik dalam bernegosiasi ketimbang dengan negara-negara yang
melakukan penetrasi sepihak tanpa dasar. Nine dashed-line LTS yang dibuat RRT hanyalah
salah satu potensi besar sengketa maritim, terutama di sekitar Kepulauan Natuna, antara
Indonesia dengan negara lain.
Indonesia mempunyai perbatasan laut langsung dengan 10 negara tetangga termasuk
India, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Palau, Timor Leste, Papua Nugini
dan Australia. Dari 10 negara tersebut, Indonesia baru mencapai kesepakatan soal perbatasan
laut secara penuh dengan Papua Nugini saja. Negosiasi dengan sembilan negara tetangga lain
masih terus dalam proses. Sebagian sudah disepakati dan ada perjanjian bilateralnya
diantaranya misalnya perjanjian batas laut teritorial Indonesia dan Malaysia tahun 1970 dan
perjanjian batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia dan Filipina tahun 2014. Namun
demikian, sebagian lagi masih terus dalam negosiasi. Laut teritorial (territorial sea), zona
tambahan (contigous zone), ZEE (exclusive economic zone) dan landas kontinen (continental
shelf) adalah zona-zona maritim yang mesti disepakati batas-batasnya antara Indonesia
dengan negara-negara lain.
Prinsip equidistance, berdasarkan Pasal 15 UNCLOS 1982, digunakan secara luas
oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk menentukan batas-batas wilayah lautnya.
Namun demikian, klaim sepihak (unilateral claim) terkadang digunakan juga oleh banyak
negara untuk mendeklarasikan batas-batas wilayah lautnya dan demi mempertahankan
kedaulatannya. Dalam hal ini, memang ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 masih
meninggalkan ruang interpretasi yang dapat mengarahkan negara-negara
kedalampersengketaanwilayah.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Zona Tambahan merupakan suatu zona spesial yang sangat penting bagi kehidupan
negara-negara terutama bagi negara pantai. Meskipun telah terjadi banyak pertentangan
maupun ketidaksepakatan sebelumnya, pertama kali zona tambahan diatur secara
internasional didalam Geneva Convention on Territorial sea and Contiguous Zone 1958.
Tetapi akhirnya zona tambahan pun disepakati oleh negara-negara melalui United Nations
Convention on law the Sea 1982. Dengan melaui pergantian pengertian didalamnya,
sebelumnya yang hanya seluas 12 mil maksimalnya, setelah UNCLOS 1982 menjadi 24 mil
lebar maksimalnya. Secara yuridis zona tambahan ini diatur di dalam Pasal 33 UNCLOS
1982. Meskipun bukan merupakan wilayah kedaulatan dari negara pantai yang mana bukan
kekuasaan tertinggi seperti ada laut teritorial (territorial sea) Namun negara pantai memiliki
hak-hak yuridksi serta kewenangan terhadap zona tambahan tersebut. Ini menjadi penting
dalam hal negara pantai mempertahankan kedaulatannya supaya dapat dicegah sebelum
permasalahan-permasalahan masuk kedalam wilayah kedaulatannya.
Negara-negara pantai memiliki kewenangan terhadap zona tambahan (contiguous
zone), antara lain: (1) Penegakan hukum dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan nasional (2) Negara pantai juga akan sangat berkepentingan untuk
melakukan upaya pencegahan terhadap penyebaran hama dan penyakit menular serta
organisme penganggu (3) Berkepentingan terhadap kegiatan pengangkatan benda-benda
berharga muatan kapal tenggelam (BMKT), (4) Hak negara pantai untuk melakukan hot
persuit (pengejaran seketika) terhadap pelanggaran yang terjadi di laut wilayahnya.
Indonesia secara spesifik belum mengatur mengenai zona tambahan. Namun,
pemberlakuan zona tambahan di Indonesia masih mengacu kepada UNCLOS 1982.
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention On Law of the sea. Pengaturan spesifik mengenai zona tambahan masih berwujud
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Zona Tambahan.
3.2 Saran

Mengingat bahwa pentingnya zona tambahan bagi kepentingan negara pantai. Indonesia
merupakan negara pantai maka sudah sepatutnya Pengaturan yang lebih spesifik mengenai
zona tambahan seharusnya diatur. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tidak akan
menjadi apa-apa apabila belum mendaptkan Pengesahan dari pemerintahan Indonesia sendiri.
Demi terwujudnya kesejahteraan di bidang maritim khususnya, saran kami pemerintahan
Indonesian secepatnya untuk melakukan Pengesahan terhadap Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Zona Tambahan Agar Indonesia memiliki kepastian hukum serta
landasan yuridis dalam zona tambahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai