Anda di halaman 1dari 11

Kemaritiman, Jalur Rempah dan Warisan Budaya Bahari Nusantara*)

Oleh. Yadi Mulyadi**)

Narasi mengenai kemaritiman adalah sebuah perjalanan panjang bagi bangsa


Indonesia, bahkan beberapa ahli mengatakan kemaritiman di Indonesia bukan sebatas
“sejarah” tetapi merupakan sebuah peradaban. Kemaritiman sebagai aktifitas telah
berlangsung sejak jaman prasejarah di wilayah kepulauan ini, yang terekam dalam
tapak arkeologi berupa gambar perahu dan fauna air di beberapa gua prasejarah di
Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Pada fase berikutnya, aktifitas kemaritiman pun terus
berlanjut dan menjadi identitas bagi Indonesia sebagai bangsa Maritim.
Secara terminologi kemaritiman memiliki kata dasar maritim, yang dalam KBBI
(2011:879), maritim adalah (1) segala sesuatu yang berkenaan dengan laut dan (2)
berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Selanjutnya, kemaritiman
bermakna hal-hal yang menyangkut masalah maritim atau sifat kepulauan Indonesia.
Istilah maritim sering disinonimkan dengan kata bahari yang bermakna (1) dahulu kala;
kuna, (2) indah; elok sekali, dan (3) mengenai laut; bahari (KBBI 2011:115). Dengan
demikian, sejarah maritim adalah studi tentang aktivitas manusia di masa lampau yang
berkaitan dengan aspek-aspek kemaritiman, khususnya pelayaran dan perdagangan
(Poelinggomang, 2001, p. 1).
Istilah lain yang biasa diindentikan dengan maritim adalah bahari, kata bahari dan
maritim. Hal ini memunculkan pertanyaan kapan “lahir” bahari dan maritim dari rahim
bahasa, sejak kapan kedua kata ini dikenal dalam kosakata bahasa Indonesia? lahirnya
sebuah kata tentu tidak lepas dari sejarah yang menjadi latarnya dan budaya yang
menjadi ruhnya. Kedua kata tersebut, memiliki kesamaan asal usulnya yaitu sama-sama
merupakan serapan dari bahasa asing. Bahari berasal dari bahasa Arab bahrun (‫)ب حر‬
yang artinya laut1, ini yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI
online kata bahari memiliki tiga arti yang berbeda yaitu:
1) bahari/ba·ha·ri/ kl 1 a dahulu kala; kuno: adat yang --; zaman --; 2 v bertuah:
keris
2) bahari/ba·ha·ri/ kl a indah; elok sekali: duduk menyembah Sitti –
3) bahari/ba·ha·ri/ ark a mengenai laut; bahari; kebaharian/ke·ba·ha·ri·an/ n
segala sesuatu yang berhubungan dengan laut; kelautan.
sedangkan maritim berasal dari bahasa Latin, mare yaitu laut. Ketika diserap ke dalam
bahasa Inggris menjadi mere yang pengertiannya sudah lain. Makna ensiklopedis dari
maritim hanya ada dua, berlayar sambil berdagang2. Pengertian ini sejalan dengan arti
kata maritime dalam kamus Merriam Webster yaitu, of or relating to navigation of the
sea3. Kata inilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi maritim, yang
1
Page

pengertiannya mengacu pada KBBI Online yaitu, maritim/ma·ri·tim/ a berkenaan

1
http://kamus.javakedaton.com/indonesia-arab.php?s=laut&submit=Terjemah
2
http://gaung.aman.or.id/2015/04/27/membangun-indonesia-dalam-kebudayaan-bahari-reposisi-
kebudayaan-dalam-negara-dan-tuhan/
3
http://www.merriam-webster.com/thesaurus/maritime
dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut;
kemaritiman/ke·ma·ri·tim·an/n hal-hal yang menyangkut masalah maritim: sifat -
kepulauan Indonesia.
Jika mengacu pada terminologi tersebut, jelas perbedaan makna dan pengertian
bahari dan maritim. Bahari, selain pengertiannya mengenai laut, juga memiliki arti
dahulu kala dan sesuatu yang berkaitan dengan adat-istiadat, maknanya lebih
berdekatan dengan aspek kebudayaan. Sedangkan kata maritim, mengacu pada
pengertiannya maka lebih terkait dengan salah satu fungsi dari pemanfaatan laut yaitu
berlayar dan berdagang. Maritim lebih mencerminkan pada aktifitas pelayaran dan
perdagangan, sedangkan bahari merupakan eksistensi dari laut itu sendiri, yaitu suatu
konsep budaya4. Dengan demikian, budaya bahari melahirkan aktifitas kemaritiman
yang merupakan refleksi dari interaksi manusia dengan laut atau perairan. Dalam ilmu
arkeologi, dikenal kajian arkeologi maritim yang memfokuskan kajian pada segala
sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, baik itu yang ditemukan di lautan
maupun di daratan. Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal yang
tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan arkeologi maritim.
Di Indonesia arkeologi maritim mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno
dan arkeologi bawah air. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin,
seorang pakar sejarah maritim dari Perancis yang telah meneliti perahu kuno di
Indonesia sejak 1977 (Mulyadi, 2014, p. 5). Latar sejarah munculnya kajian arkeologi
maritim inilah yang menjadi dasar mengapa dalam ilmu arkeologi kita tidak mengenal
arkeologi bahari, tetapi arkeologi maritim karena fokus kajiannya yang lebih
mengkhusus pada objek material yang terkait dengan pelayaran dan perdagangan,
seperti kapal karam beserta muatannya. Bagi para arkeolog, kapal karam ibarat kapsul
waktu yang menyimpan beragam kisah tentang sejarah masa lalu. Di Indonesia,
keberadaan situs kapal karam tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia
mulai dari barat sampai timur.
Maritim dalam perspektif kajian arkeologi semakin mempertegas perbedaan
konsep dengan bahari sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Irawan Djoko
Nugroho5, menyebutkan bahwa bahari dan maritim walaupun dari satu sisi bersinonim,
tapi tidak bisa disejajarkan begitu saja ke dalam satu pengertian yang sama, karena akan
menjerumuskan ke dalam distorsi makna yang akan menjebak kita kepada disorientasi
pemahaman (Nugroho, 2015). Karena itu kemaritiman adalah bagian sejarah bangsa
Indonesia, sedangkan kebaharian adalah eksistensi laut itu sendiri. Sejarawan AB
Lapian pun mengamini hal ini, dalam bukunya Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut:
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, beliau mempergunakan istilah maritim
untuk menggantikan istilah bahari guna menunjukkan masa kini6 (Lapian, 2009, p. 1).
2
Page

4
Dialektika mengenai bahari dan maritim ini pernah dipresentasikan pula oleh Dr. Bona Beding,
“Genealogi Laut: Dialektika Bahari vs Maritim Eksistensi Laut Dalam Sastra Laut Lamalera”, dalam
Diskusi Panel Serial Ketiga YSNB, Jakarta, 7 Desember 2013.
5
Penulis buku Majapahit Peradaban Maritim ketika Nusantara Menjadi Pengendali Dunia (2011), yang
dalam salah satu artikelnya di www.suluhnuswantarabakti.org membahas tentang maritim dan bahari.
6
Lihat halaman 1 pada buku ini yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu, 2009.
Kemaritiman sebagai bagian sejarah bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
jejak budaya kebaharian yang telah berlangsung sejak sebelum lahirnya Indonesia
sebagai negara, sejak wilayah ini dikenal dengan istilah Nusantara, bahkan sejak masa
prasejarah. Tinggalan arkeologi dari fase prasejarah di Nusantara memperlihatkan
corak budaya bahari yang juga merefleksikan aktifitas kemaritiman. Tinggalan
arkeologi menjadi menjadi fakta sejarah budaya bahari di Nusantara telah berlangsung
lama, mulai dari periode prasejarah dan berlanjut pada masa sejarah.

Kemaritiman: Pelayaran dan Perdagangan


Kemaritiman sebagai salah satu aktifitas budaya secara lebih luas dapat dimaknai
sebagai perwujudan dari wujud gagasan interaksi manusia dengan perairan dalam
beragam bentuk mulai dari kaitannya dengan memenuhi kebutuhan hidup, misalnya
mencari ikan, sampai kaitannya dengan mata pencaharian seperti pelayaran dan
perdagangan. Keberadaan wilayah perairan inilah yang direspon oleh manusia dengan
melakukan aktivitas kemaritiman yang kemudian melahirkan budaya kebaharian.
Adanya gagasan bahwa di perairan baik itu sungai, danau, rawa dan lautan mengandung
sumberdaya alam yang dapat mereka manfaatkan untuk menunjang kehidupan,
manusia pun menciptakan ragam bentuk artefak budaya yang menjadi refleksi gagasan
kemaritiman tersebut. Untuk memudahkan upaya menangkap ikan, dibuatlah alat
pancing serta alat tangkap ikan lainnya seperti tombak, jaring, bubu, bagang, dan pukat.
Untuk memudahkan mereka mengarungi lautan, dibuatlah sarana transportasi air mulai
dari sampan, rakit, perahu, dan kapal.
Aktifitas kemaritiman melahirkan beragam artefak budaya yang dibaliknya itu
terdapat warisan budaya berupa; tradisi dan ekspresi lisan; seni pertunjukan; adat
istiadat, ritus dan perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam
semesta; serta kemahiran kerajinan tradisional. Terkait dengan itu, kita sebagai bangsa
Indonesia patut bangga karena begitu kaya dengan keragaman warisan budaya,
termasuk kebudayaan bahari.
Aktifitas kemaritiman berupa pelayaran dan perdagangan, tidak hanya terkait
dengan komoditi saja namum dibalik itu terdapat warisan budaya berupa kemahiran
teknologi tradisional pembuatan perahu, adat istiadat dan ritus ritual dalam prosesi
pembuatan sampai peluncuran perahu ke lautan, dan pengetahuan navigasi dengan
membaca tanda-tanda di alam. Najemain dalam makalah yang dibawakan pada Diskusi
Ilmiah arkeologi XII menyatakan bahwa, tradisi bahari Indonesia bila dikaitkan dengan
kawasan Asia Tenggara dan kawasan lainnya, setidaknya dapat dilihat dalam dua
episode. Pertama dari penelitian Soejono (1984) menunjukkan bahwa gerak migrasi
manusia secara besar-besaran dari Asia Daratan dan kepulauan Nusantara yang
bertepatan dengan mulainya perkembangan tradisi neolitik di Indonesia menggunakan
perahu bercadik bahkan perlintasan mereka mencapai gugusan kepulauan Polinesia.
Kedua, dalam periode klasik pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh
“Ekspansionis” India dalam mencari garapan baru, setelah kehilangan sumber-sumber
emas di Asia tengah yang kemudian menggoda para ahli persoalan kelompok pembawa
3

kebudayaan India di Indonesia atau gerakan timbal-balik oleh pelaut-pelaut Nusantara


Page

dan Cina dengan tujuan dagang dan belajar agama (Najemain, 2001).
Adapun kegiatan perdagangan sudah mulai berkembang antara lintas benua Asia
dan Australia setelah beberapa abad menjelang kelahiran Isa Almasih. Perdagangan
tersebut telah menghubungkan pusat kebudayaan kuno di kedua benua, diantaranya
Cina, Tukistan, India, Babilonia, Persia, Yunani dan Romawi. Namun, rute
perdagangan waktu itu melewati jalan darat yang menghubungkan antara Cina dan
Eropa. Rute perdagangan tersebut yang melintasi Asia Tengah yang merupakan rute
kontunental antara Asia dan Eropa disebut sebagai jalan Kafilah. Setelah awal abad
masehi, maka terjadi perpindahan rute perdagangan trans Asia dari rute darat ke rute
laut. Hal ini disebabkan perkembangan keadaan yang tidak aman pada rute darat
dikarenakan gangguan dari suku-suku nomaden di Asia Tengah. Adapun beberapa hal
lainnya karena penemuan jenis kapal yang lebih besar yang dapat mengangkut
penumpang 600 orang, angin tropis yang bertiup secara teratur yang menghubungkan
antara Asia dan Eropa, spririt penyebaran agama Budha yang sangat tinggi dan berani
menghadapi segala resiko dalam mencari daerah baru, dan juga permintaan barang
mewah dari Romawi semakin meningkat sedangkan lewat rute darat terputus
(Sulistyono, 2004, pp. 127-128).
Indonesia yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis karena terletak
dalam jalur perdagangan internasional lewat laut antara dua negara adidaya pada waktu
itu yaitu India dan Cina. Maka dari itu, Indonesia juga memanfaatkan hal tersebut
dengan melibatkan diri secara aktif dalam perdagangan ini. Dalam catatan sejarah
hubungan dagang yang lebih dahulu berkembang adalah antara India dan Indonesia
kemudian itu menyusul Cina dan Indonesia. Salah satu penyebabnya mungkin karena
pelayaran dan perdagangan India lebih bebas dilakukan dibandingkan dengan Cina
yang cenderung lebih terbatas akibat ketatnya pengawasan pihak penguasa/rajanya
(Koestoro, 1996). Bukti-bukti sejarah pun menunjukkan bahwa hubungan dagang
antara India dan Indonesia sudah dimulai sejak abad 2 Masehi. Sumber tertulis ini
biasanya didasarkan atas kitab-kitab sastra dan keagamaan Hindu dan Budha.
Pada abad ke 2 masehi hubungan dagang antara Nusantara sudah relatif intensif
sehingga abad ke 5 Masehi pengaruh perdagangan itu telah menembus pada segi-segi
kehidupan kebudayaan dan agama dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang
menunjukkan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha (Sulistyono, 2004, pp. 133-135).
Inisiatif orang orang-orang di Nusantara pada waktu itu lebih besar dibanding Cina,
mengacu pada lebih banyaknya utusan orang Nusantara ke Cina, sedangkan Kaisar
Cina pada waktu itu sesekali saja mengirimkan utusan ke Negeri Nusantara dan itupun
hanya persoalan agama dan politik saja. Sebelum menjalin hubungan dengan orang
Cina, memang pada waktu itu orang Nusantara sudah memiliki pengalaman dalam hal
pelayaran dan perdagangan dengan negeri-negeri Asia Tenggara dan India. Tercatat di
berita Cina, tahun 131 Masehi, utusan Raja Bian dari Kerajaan Jawa (Yediao)
berkunjung ke Cina (Wuryandari, 2015). Hal ini berarti Kerajaan Jawa pada awal abad
2 Masehi telah melakukan pelayaran antar negara dan membangun jalur kemaritiman
ke Cina. Dalam berita Cina juga diperoleh informasi bahwa pada abad V masehi telah
orang-orang Nusantara masih berlayar langsung ke Cina. Berita tersebut menceritakan
4

bahwa pada awal bulan ke empat tahun 430 datanglah utusan dari Ho-lo-tan, sebuah
Page

negeri di She-p’o atau Jawa (menurut Dick-read Ho-Lo-tan salah satu kerajaan tertua
di Indonesia yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya; untuk lebih jelasnya
Lih. Dick-read, 2005 72-86 ). Jadi jelas bahwa utusan itu dari Nusantara yang
membawa kain dari India (Ibid; 136).
Sistem angin di kepulauan Nusantara yang dikenal sebagai angin musim
memberikan pengembangan jalur pelayaran barat dan timur pergi-pulang secara teratur
dan berpola tetap. Faktor tersebut menentukan munculnya kota-kota pelabuhan dan
kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Makassar, Buton, dan Ternate. Pada
abad ke 5 Masehi, kapal dagang dari Cina berlayar menuju Nusantara kemudian
melanjutkan perjalanan ke India melewati perairan Sumatera Timur sebelum membelok
ke barat (Chd Ponto, 1997, p. 134).
Komoditi perdagangan yang diperdagangkan pada waktu itu adalah lada,
cengkeh, pala, cendana, beras, kain dan sebagainya. Indonesia yang merupakan salah
satu negeri di Asia Tenggara merupakan penghasil terbesar pada waktu itu (Najemain,
2001, 7). Kapur barus di Sumatera serta kemenyan yang banyak ditemukan di
Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi sangat disukai oleh orang-orang India dan Cina
untuk kepentingan upacara keagamaan. Sedangkan komiditi dagang dari Cina yang
sangat popular untuk masyakarat Indonesia terutama kalangan menengah keatas adalah
barang-barang porcelain seperti piring, mangkok, cangkir, jambangan dan sebagainya.
Selain itu, ada juga produk Cina yang terbaik adalah kain sutra Cina yang kualitasnya
sangat halus namun juga sangat mahal sehingga hanya bangsawan dan orang kaya saja
yang dapat membelinya. Sedangkan dari India memperdagangkan kain mori yang juga
berkualitas bagus. Hal ini telah mendorong proses perdagangan yang cukup ramai
dijalur maritim antara India dan Cina (Sulistyono, 2004, p. 132).
Hal yang paling penting pula untuk diketahui mengenai kerajaan-kerajaan yang
pernah muncul di wilayah Nusantara pada waktu itu. Karena, tidak bisa dipungkiri lagi
bahwa yang menjalankan roda pemerintahan di beberapa wilayah di Nusantara tersebut
pada waktu itu adalah sebuah kerajaan. Tentunya, kehidupan sosial dan politik sangat
tergantung kepada pertimbangan dan keputusan raja sebagai kepala pemerintahannya.
Dalam tulisan Dick-Read, ia mengemukakan bahwa dari teks-teks Cina menyebutkan
ada beberapa kerajaan yang telah berdiri dan ikut terlibat dalam zona perdagangan di
laut Jawa yaitu Ko-Ying dan P’o-Li. Hasil hipotesis Wolters bahwa kerajaan Ko-Ying
mungkin berada di wilayah Palembang di sebelah Tenggara Sumatera yang merupakan
tempat yang baik untuk mengontrol lalu lintas antara India dan Cina melalui selat
Malaka dan Selat Sunda. Kerajaan-kerajaan lainya yang diduga berlokasi Di Sumatera
dan Jawa yaitu P’u-Lei, P’o ta, P’o-Huang, P’en-P’ en Tan-tan dan Ho-Ling. Namun,
bukti berdirinya kerajaan ini hanya diperoleh dari sumber Cina saja sehingga sangat
sulit untuk dibuktikan keberadaannya secara mendalam (Dick, 2008, pp. 76-78).
Kerajaan yang sukses setelah kerajaan Ko-Ying yaitu Ho-lo-tan yang merupakan
kerajaan berada di Jawa Barat. Namun, setelah itu muncullah kerajaan Kan-To-Li yang
dianggap penting sebagai pusat perdagangan. Menurut O. W. Wolters bahwa kerajaan
inilah yang merupakan kerajaan terpenting sebelum munculnya Sriwijaya dalam
sejarah Indonesia (Ibid; 78). Kerajaan ini memiliki catatan sejarah dari tahun 441 M
5

hingga 563, kemungkinan mencangkup wilayah Sumatera. Lebih lanjut Dick- Read
Page

menyimpulkan bahwa :
….Catatan sejarah Cina menyebutkan bahwa sebenarnya “Kan-To-Li adalah nama
untuk Sriwijaya pada masa awal, yang pada akhirnya menjadi masa kerajaan
terbesar diantara kerajaan-kerajaan itu. Ada juga kemungkinan bahwa Kan-To-Li
adalah penerus dari Ko-Ying. Jika memang demikian, berarti Kan-To-Li merupakan
bagian dari rantai pemerintahan yang terorganisasi yang memberi bangsa Indonesia
dominasi yang absolut atas wilayah selat Malaka dan selat Sunda selama lebih dari
ribuan tahun. Kekuasaan yang tidak pernah ada sebelumnya itu berkat kondisi
geografis ini, memungkinkan kerajaan-keajaan yang berbasis di Wilayah
Palembang di Sumatera Selatan untuk mengontrol semua pelayaran dan
perdagangan dari Cina dan kepulaun Indonesia menuju India, Srilangka dan Afrika
serta Madagaskar (Dick, 2008, p. 78).

Pernyataan Dick-Read di atas jelas berpendapat bahwa kerajaan Kan-to-li merupakan


kerajaan awal dari Sriwijaya yang terus berkembang dan terus mengontrol semua
pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India. Tatapi pernyataan diatas masih sulit
untuk dipercaya bagitu saja, karena landasan ilmiahnya dianggap masih sangat lemah.
Kerajaan Sriwajaya merupakan salah satu kerajaan yang memiliki perang penting
terhadap pelayaran dan perdagangan di Indonesia, baik itu berkaitan erat dengan
perdagangan inteernasional antara India dan Cina maupun perdagangan regional
diantara daerah di Nusantara, Nusantara dan kawasan AsiaTenggara, serta Nusantara
dan Cina. Kemampuannya untuk mengelola perdagangan yang lalu-lalang di Nusantara
Kawasan bagian Barat sehingga pastilah kerajaan tersebut mampu mengontrol kawasan
Selat malaka dan Selat Sunda. Kemungkinan bahwa letaknya tidak terlalu strategis
karena agak jauh dari selat Malaka, tetapi dengan kekuatan armadanya ia mampu
menguasai daerah-daerah yang berpotensial untuk menjadi pesaingnya dan juga dapat
mengontrol jalur perdagangan dari perampokan dan kemungkinan agresi dari negara
lain yang berada dibawah kekuasaannya (Sulistyono, 2004, p. 138).
Pada abad XIII, kerajaan ini kemudian mampu menguasai titik-titik simpul
perdagangan antara lain P’eng-F’eng (Pahang), Theng-ya-nung (Trengganu), Ling-ya-
ssu-chia (Langkasuka) Chi-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala berang), Tan-ma-ling
(tambralingga, Ligor, Chia-lo-si (Grahi, Teluk Brandon, dan Sin-t’o(Sunda). Dalam
mencari titik aman perdagangannya terhadap Cina, Sriwijaya rela mengakui Cina
sebagai Negara besar yang berhak untuk diberi upeti. Dengan demikian Sriwijaya akan
merasa aman akan bahaya ekspansi meliter Cina yang sudah merambah ke Vietnam dan
Funan. Dari itu pula, kapal-kapal Sriwijaya juga mendapat perlakuan yang baik di
pelabuhan-pelabuhan di Cina. Sriwijaya pada waktu itu telah mengembangkan
strategisnya untuk bertahan dan mengembangkan kekuasaannya.
Sriwijaya menjalin perdagangan dengan negeri Timur Tengah terutama Arab dan
Persia pada abad ke-11 dengan saling menukar komoditi. Azyumardi Azra dalam
bukunya mengutip tulisan Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid, yang
menyebutkan adanya korespondensi antara Raja Sriwijaya (Sri Indravarman) dengan
Khalifah Umar bin Abdul Azis pada sekitar tahun 100 Hijriah atau 719 Masehi (Azra,
2005). Arab dan Persia memperoleh kemenyan sebagai bahan wangi-wangian dari
6
Page

Sriwijaya. Kerajaan Jawa7 memiliki armada angkatan laut terbesar di dunia pada masa

7
Nugroho dalam hal ini menisbatkan Kerajaan Jawa era ini pada Majapahit berdasarkan hasil
pembacaannya terhadap Nagarakrtagama. 42.2.4
kejayaannya, yaitu sebanyak 2800 kapal sebagai bukti bahwa Jawa merupakan kerajaan
bercorak maritim (Nugroho, 2011, 16). Kejayaan Majapahit di laut bukan hanya dalam
persoalan ekonomi melainkan dibidang pertahanan laut melalui kekuatan pasukan laut
selain pasukan darat. Menurut Nugroho, "Pasukan laut mendapatkan perlakuan
istimewa dari negara, dalam jumlah pasukan dan fasilitas. Prapanca menyebut Jalandhi
berjumlah sangat banyak dibandingkan pasukan lain dan lebih istimewa" (ibid,179).
Pendapat berbeda tentang Majapahit dikemukakan oleh Agus Aris Munandar,
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia. Menurut Agus Aris Munandar, Kerajaan
Majapahit awalnya bertumpu kepada aktivitas pertanian. Hal itu dapat dilihat pada
banyaknya prasasti yang membicarakan tentang penetapan sima atau daerah perdikan
serta nama-nama jabatan para pegawai kerajaan dapat diketahui bahwa kerajaan-
kerajaan Jawa Kuno sejak zaman Mataram di Jawa bagian tengah hingga era Majapahit
di Jawa bagian timur adalah kerajaan agraris. (Munandar, 2015).
Seiring dengan perkembangan, perhatian Majapahit pada daerah luar Jawa
meningkat karena berbagai argumen internal atau pun eksternal. Perhatian ke luar Jawa
itu tentunya merupakan aktivitas maritim dengan berbagai sistemnya. Lebih lanjut
Agus Aris Munandar menyatakan bahwa Majapahit walaupun bertumpu kepada
aktivitas agraris, tetapi juga mengembangkan perhatiannya kepada dunia maritim
seiring dengan aktivitas kemaritiman yang meluas. Namun bukti arkeologi yang terkait
langsung dengan kemaritiman Kerajaan Maritim sampai saat ini masih sangat minim.
Salah satunya berupa relief dari kapal layar Majapahit di kompleks Candi Panataran,
jadi dapat dipastikan otentik dari masanya. Dalam relief tersebut dipahatkan kapal layar
besar, mempunyai rumah kapal di tengah, namun bertiang kaki dua yang menyatu di
bagian tengah hingga puncaknya. Kedua kaki tiang itu ditancapkan di bagian tepian dek
tengah kapal lalu menyatu menjadi tiang tunggal di bagian atas rumah kapal.
Tinggalan arkeologi lainnya, yaitu bangkai kapal karam Punjulharjo di Rembang
yang ditemukan tahun 2008. Berdasarkan penanggalan karbon, kapal ini berasal dari
abad ke 7-8 Masehi. Adapun bukti arkeologis yang lainnya berupa relief kapal bercadik
di Stupa Borobudur8. Namun, Hasan Djafar, seorang arkeolog dan ahli epigrafi
menolak bahwa kapal tersebut berasal dari Dinasti Syailendra dan Mataram kuno
karena menurutnya Mataram kuno berbasis ekonomi agraris. Hasan meyakini bahwa
kapal itu hanyalah kapal dagang bangsa asing (Candi Borobudur, Jejak Maritim Dinasti
Syailendra, Kompas 11 Januari 2014). Tinggalan lainnya, yaitu kapal karam di Perairan
Cirebon yang berasal dari abad 10 Masehi. Kapal ini berupa kapal dagang dengan
teknologi khas Nusantara, dengan muatan berbagai jenis barang yang berasal dari
Persia, Cina dan India (Utomo, 2008).
Apa yang telah dipaparkan, memperlihatkan adanya dialektika terkait
“kebenaran” sejarah kemaritiman di Nusantara, khususnya kemaritiman kerajaaan-
kerajaan di Jawa termasuk Majapahit. Walaupun demikian, kita tidak dapat menapikan
7

data kesejarahan lain terkait dengan kerajaan di luar Jawa yang juga bercorak maritim.
Page

8
Istilah stupa sebenarnya lebih tepat dilekatkan pada Borobudur sebagai bangunan ibadah Budha. Candi
adalah penaman untuk bangunan ibadah Hindu. Namun karena kata candi lebih dikenal sehingga istilah
Candi Borobudur menjadi lebih familiar dan dipergunakan di setiap tulisan tentang Borobudur.
Hal itu tetap dapat memperkuat argumetasi betapa Nusantara sejak lama lekat dengan
budaya bahari dan aktifitas kemaritiman. Pasang surutnya Nusantara pada masa lalu,
berarti juga pasang surutnya kejayaan maritim pada masa itu. Di era pasca
kemerdekaan, kejayaan maritim Nusantara selalu menjadi romantisme sejarah yang
senantiasa dicoba untuk dibangkitkan kembali dalam berbagai bentuk project being.

Warisan Budaya Bahari, Kejayaan Maritim Nusantara


Aktifitas kemaritiman memungkinkan adanya kontak budaya yang intensif dan
mencangkup ruang geografis yang luas. Kontak budaya yang terjadi melalui pelayaran
dan perdagangan antar pulau dan antar benua, memunculkan asimilasi dan akulturasi
budaya yang memberikan corak beragam budaya di wilayah Nusantara yang kini
menjadi warisan budaya bahari bangsa. Dalam pelayaran didukung oleh adanya
kemahiran teknologi dan tradisi pembuatan perahu serta pengetahuan navigasi. Tradisi
pembuatan perahu tradisional menjadi salah satu warisan budaya yang sampai sekarang
masih dapat kita saksikan, salah satunya tradisi pembuatan perahu Pinisi di Bulukumba.
Pinisi, phinisi, pinis, pinas adalah beragam nama untuk perahu kebanggaan
bangsa Indonesia ini. Kata Pinisi yang lebih dikenal dan melambangkan pelayaran
Nusantara, sebagai suatu tradisi yang telah berlangsung sejak jaman prasejarah. Hal ini
dapat kita lacak dari jejak lukisan gua prasejarah berupa gambar perahu dan juga
gambar ikan. Artinya, nenek moyang kita telah mengenal teknologi perahu dan
pengetahuan untuk menangkap ikan salah satu wujud nyata aktifitas kemaritiman yang
melahirkan budaya kebaharian.
Kontruksi Pinisi adalah gabungan pengetahuan dan pengalaman tradisional kuno
dan disertai ritual ketat yang harus diikuti untuk memastikan keamanan di laut. Para
pengrajin yang dipimpin Panritalopi harus mengitung hari baik untuk memulai
pencarian kayu, penebangan, awal pembuatan, sampai peluncuran kapal ke perairan tak
lepas dari upacara adat. Perahu tipe Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan
jenis layar sekunar, dengan dua tiang dan seluruhnya tujuh sampai delapan helai layar.
Tiang belakang lebih pendek daripada tiang depannya, dan andang-andang layarnya
terpasang tetap di tengah-tengah kedua tiang itu. Jenis layar itu dicap ‘Sekunar
Nusantara’ untuk menandai, bahwa namun agak serupa dengan jenis-jenis sekunar
lainnya, ia memiliki beberapa sifat khas (Liebner, 2012).
Panritalopi adalah istilah atau gelar yang sangat dihargai di masyarakat Bugis
Makassar yang artinya adalah orang-orang yang memiliki keahlian membuat kapal.
Proses pembuatan kapal yang dipimpin oleh Panritalopi ini masih sangat menjaga
tradisi. Dan untuk itu kita patut berterima kasih kepada para Panritalopi. "Panritalopi"
sebagai julukan untuk Bulukumba telah dikenal sampai ke luar negeri. Namun sangat
sedikit yang mengetahui siapakah sebenarnya sosok pencetus "Panritalopi". Merujuk
pada pemberitaan di di www.rca_fm.com dsebutkan bahwa, Jafar Palawang adalah
sosok di balik penamaan tersebut. Jafar adalah seorang seniman teater dan seni rupa di
Kecamatan Bontobahari. Pada tahun 1990-an, dialah yang pertama kali mencetuskan
istilah "Panritalopi". Jafar mulai menggunakan istilah tersebut dalam spanduk yang
8

berbunyi"Selamat Datang Di Bumi Panritalopi" dalam sebuah acara berskala kabupaten


Page

di Kecamatan Bontobahari. Oleh publik dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba dari


masa ke masa, istilah "Bumi Panritalopi" lama kelamaan berubah tulisannya menjadi
"Bumi Panrita Lopi" bahkan kemudian berganti menjadi "Butta Panrita Lopi". Hampir
semua media pun terjebak dalam kesalahan penulisan itu.
Menurut Jafar, penulisan 'Butta Panrita Lopi' itu tidak tepat, sebab
istilah butta bermakna lain, maknanya sangat sempit jika memakai nama butta.
Berbeda dengan Butta Kajang ataupun Butta Toa Bantaeng yang memang sudah sesuai
artinya menurut geografinya. Yang tepat adalah 'Bumi Panritalopi', tulisan panrita
dan lopi pun tidak boleh dipisahkan, harus bersambung menjadi 'Panritalopi'. Di
Bulukumba inilah para Panritalopi dengan tekun dan setia menjadi penjaga tradisi
Pinisi, tepatnya di Desa Ara, Tana Beru dan Lemo-lemo yang terkenal karena
kepandaiaan masyarakatnya dalam membuat Pinisi.
Para Panritalopi begitu tekun dalam membuat Pinisi, dikerjakan dengan hati-hati
ibarat sementara menanti kelahiran bayi. Dalam proses pembuatan Pinisi, mulai dari
penentuan hari baik sampai peluncuran Pinisi ke lauat, mengandung nilai-nilai kearifan
lokal atau nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain kerjasama atau gotong royong, kerja keras,
ketelitian, keindahan, dan religius. Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara
Panritalopi atau Punggawa dan para sawi (tukang-tukang lainnya) serta calon-calon
sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas
tersendiri.Tanpa kerjasama yang baik, Pinisi tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan,
bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.
Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu terbaik untuk
bahan Pinisi. Proses penebangannya pun diperlukan kerja keras karena masih
menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin
dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan
pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga
tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari
galangan bukan merupakan hal yang mudah. Nilai ketelitian tercermin dalam
pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah
urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
tampak kuat, gagah, dan indah. Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang
disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain,
sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin
dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut:“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-
bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang
Nabi Haidir”, yang artinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-
nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu”.
Pinisi pun sebagai warisan budaya pun merupakan perwujudan dari tradisi dan
ekspresi lisan sebagaimana diceritakan dalam salah satu fragmen kisah Epos La
9
Page
Galigo9, disebutkan tokoh yang bernama Sawerigading membuat kapal besar untuk
mengarungi dunia dan mencari jodohnya. Konon, ketika kapal Sawerigading dalam
pelayaran pulangnya ke kampung halamannya di Tana Luwu pecah terhempas ombak,
sisa-sisa pecahan kapal tersebut kemudian terdampar di Desa Ara dan Tana Beru,
sedangkan tali temalinya terdampar di Bira. Orang-orang Ara dan Tana Beru
lalu mempelajari serpihan papan dan lunas perahu tersebut sehingga menjadi orang-
orang yang mahir membuat perahu, sedangkan tali temali dan kemudi yang terdampar
di Bira menjadikan orang-orang Bira sebagai pelaut-pelaut ulung. Terlepas dari benar
tidaknya cerita tersebut, Tana Beru10 memang terkenal sebagai salah satu tempat
pembuatan perahu tradisional Pinisi yang sudah dikenal sampai ke mancanegara.
Belajar dari Pinisi sebagai warisan budaya bahari, memperlihatkan kepada kita
bahwa suatu warisan budaya meliputi beragam aspek kebudayaan mulai dari tradisi dan
ekspresi lisan, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan,
pengetahuan dan kebiasaan mengenai alam semesta serta kemahiran kerajinan
tradisional. Warisan budaya memiliki nilai penting yang bersifat intangible sekaligus
artefaktual yang bersifat tangible. Makna budaya dan kandungan nilai pentingnya serta
sifatnya yang unik, khas dan jumlahnya yang terbatas menjadi faktor utama bahwa kita
harus senantiasa bekerjasama dalam melestarikan warisan budaya bahari bukti
kejayaan maritim nusantara.
Dalam sejarah kemaritiman Nusantara yang telah dipaparkan di atas,
memperlihatkan kepada kita bukti sejarah bahwa salah satu yang memicu
berkembangnya pelayaran dan perdagangan adalah komoditi unggulan dari Nusantara
berupa rempah-rempah, terutama lada, cengkeh, pala, dan merica. Jejak kejayaan
perdagangan rempah tersebut, menyisakan sebuah jalur pelayaran yang kita kenal
sebagai “Jalur Rempah” meliputi jalur pelayaran yang begitu luas menghubungkan
Nusantara sebagai wilayah kepulauan dengan berbagai wilayah dan negara di benua
lain di seberang samudera. Jalur rempah inilah yang menjadi simpul peradaban bahari
Nusantara, warisan budaya kebanggaan bangsa Indonesia.

*) Disampaikan dalam Talkshow di Malang, 4 September 2016 yang merupakan rangkaian acara Pekan Budaya Indonesia 2016
yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
**) Staf pengajar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, menyelesaikan pendidikan Sarjana
Arkeologi di Universitas Hasanuddin pada 2004, dengan tugas akhir “Pendokumentasian Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep
Berbasis Komputer”. Kemudian melanjutkan studi Magister Arkeologi pada 2007 di Universitas Gadjah Mada dengan konsentrasi
Manajemen Sumberdaya Budaya Maritim, selesai pada 2009 dengan Tesis “Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Sulaaa di Kota
Baubau Sulawesi Tenggara. Saat ini sementara menempuh pendidikan Doktoral Arkeologi di Universitas Arkeologi, dengan fokus
10

kajian Arkeologi Islam, mengkhusus pada peradaban Islam di Sulawesi Abad 17-20 yang dikaitkan dengan perspektif kemaritiman.
Page

9
La Galigo adalah cerita lisan yang kemudian ditulis oleh Arung Pancana, Putri Bangsawan Bugis dari
Kerajaan Mallusetasi di Barru Sulawesi Selatan, menjadikannya sebagai salah sata karya sastra
terpanjang di dunia. Pada tahun 2012 UNESCO telah menetapkannya sebagai Memory of The World.
10
Tana Beru terletak di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan
DAFTAR RUJUKAN

Azra, A. (2005). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Chd Ponto. (1997). Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid I. Jakarta: Yayasan
Pusat Studi Pelayaran Indonesia.
Dick, R. R. (2008). “Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika” Pejelajah Bahari.
Bandung: Mizan.
Koestoro, L. R. (1996). Prasejarah Sarana Transportasi Air Nusantara. Kongres
Prasejarah Indonesia I. Yogyakarta: Assosiasi Prehistori Indonesia.
Lapian, A. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX. Yogyakarta: Penerbit Komunitas Bambu.
Mulyadi, Y. (2014, Januari 17). Bahan Ajar Arkeologi Maritim untuk Mahasiswa
Arkeologi Universitas Hasanuddin. Makassar: LKPP Universitas Hasanuddin.
Munandar, A. A. (2015, Juli 5). Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim Di Nusantara.
Retrieved Desember 9, 2015, from http://www.hurahura.wordpress.com
Najemain. (2001). Wawasan Arkeologi Maritim Indonesia. DIskusi Ilmiah Arkeologi
XII. Makassar: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Nugroho, I. D. (2015, Januari 7). Maritim Dan Bahari, Dua Kata Yang Sinonim?
Retrieved Desember 9, 2015, from www.suluhnuswantarabakti.org
Poelinggomang, E. L. (2001). Perdagangan Maritim Indonesia Jaringan dan
Komoditinya. Diskusi Ilmiah Arkeologi XII. Makassar: Ikatan Ahli Arkeologi
Indoenesia.
Sulistyono, T. S. (2004). Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Kemdikbud.
Utomo, B. B. (2008). Kapal Karam abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon. Jakarta:
Pannas BMKT.
11

Wuryandari, N. P. (2015, Desember 4). Laut Cina Selatan dalam Budaya Indonesia
Page

Kajian Filologis. Talkshow Laut Cina Selatan dalam Konsep Budaya. Depok.

Anda mungkin juga menyukai