Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

WAWASAN KEMARITIMAN

“SEJARAH KEMARITIMAN INDONESIA”

Oleh :

KELOMPOK 2

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita
ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Sejarah Kemaritiman Indonesia” dengan lancar.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Wassalam.

Makassar, 16 September 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

PENDAHULUAN.................................................................................................................1

Latar Belakang.................................................................................................................1

Rumusan Masalah............................................................................................................2

Tujuan Penulisan..............................................................................................................2

PEMBAHASAN....................................................................................................................4

Kebudayaan nenek moyang bangsa indonesia sebagai bukti awal

kemaritiman Indonesia...................................................................................................4

Munculnya kerajaan maritim Indonesia.........................................................................5

Catatan sejarah perikanan laut di nusantara...................................................................11

Catatan sejarah pengembangan pelayar dan nelayan.....................................................14

PENUTUP..............................................................................................................................15

Kesimpulan ..................................................................................................................15

Saran.............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG: Asti Biharni Latif

Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra....

Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang
kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa
bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"

Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal
bercadik. Mereka ke Utara mengarungi lautan, ke Barat memotong lautan Hindia
hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus
pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-
kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Aktivitas pelayaran bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak jaman nenek
moyang kita, berjalan bersamaan dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Wilayah kepulauan Nusantara yang terletak pada titik silang jaringan lalu lintas laut
dunia, secara tidak langsung merupakan penghubung dunia Timur dan Barat.
Berbagai hasil bumi dari Indonesia merupakan barang-barang yang dibutuhkan oleh
pasaran dunia. Hal itu telah mengakibatkan munculnya aktivitas perdagangan dan
pelayaran yang cukup ramai dari dan ke Indonesia.

Tidak banyak sumber yang dapat digali untuk menampilkan sejarah pelayaran
Indonesia dalam masa pra sejarah, kecuali dari penuturan lisan dan relief yang
tergambar pada candi-candi baik candi Hindu maupun Budha yang banyak dibangun
setelah tahun 500 Masehi, seperti candi Prambanan, candi Borobudur dan lain-lain.
Dari relief pada candi dapat dilihat bahwa sesungguhnya pada masa itu sudah
berlangsung pelayaran niaga yang dijalani oleh nenek moyang kita. Perlayaran ini
merupakan wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi
pada kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang
dagangan.

1
Dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya, pada masa pra sejarah itu
masyarakat Indonesia sudah memiliki pranata yang memungkinkan terjadinya
hubungan perdagangan itu, demikian juga bahwa orang Indonesia masa dulu sudah
mendapat manfaat dari aktivitas perdagangan yang memanfaatkan laut sebagai
medium pengangkutannya.

Bangsa Indonesia dengan karakteristik sosial budaya kemaritiman, bukanlah


merupakan fenomena baru. Fakta sejarah menunjukan bahwa fenomena kehidupan
kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta kelembagaan formal dan informal yang
menyertainya merupakan kontinuitas dari proses perkembangan kemaritiman
Indonesia masa lalu. Keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut haruslah
menjadi penyemangat generasi sekarang dan yang akan datang. Bentuk
implementasinya masa kini, bukan hanya sekedar berlayar, tetapi bagaimana bangsa
Indonesia wilayahnya adalah dua per tiga adalah lautan dapat dimanfaatkan demi
kesejahteraan pembangunan bangsa.

I. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
i. Apa saja bukti yang menggambarkan bahwa kebudayaan nenek moyang
menunjukkan awal kemaritiman di Indonesia?
ii. Bagaimana perkembangan kerajaan-kerajaan Maritim di Indonesia dan
hubungannya dengan dunia internasional?
iii. Bagaimana sejarah perikanan laut di nusantara oleh kaum nelayan di masa
lampau?
iv. Bagaimana pengembaraan pelayar dan nelayan di masa lampau?

II. TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari penyusunan makalah berjudul “Sejarah Kemaritiman Indonesia”
ini yakni :
i. Membuktikan bahwa nenek awal kemaritiman di Indonesia memang dibawa dan
terlihat dari kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia.
ii. Menjelaskan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia disertai
hubungannya dengan dunia internasional khususnya di sector perniagaan.

2
iii. Menjelaskan catatan-catatan sejarah tentang perikanan laut di Nusanta pada
zaman lampau.
iv. Menjelaskan catatan-catatan sejarah tentang pengembaraan pelayar dan nelayan
di masa lampau.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KEBUDAYAAN NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA SEBAGAI BUKTI


AWAL KEMARITIMAN INDONESIA : Nilam Azzahra Junita

Nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa Austronesia yang


kedatangannya ke kepulauan Nusantara ini mulai sejak kira-kira 2000 tahun sebelum
masehi. Masa kedatangan mereka itu termasuk dalam jaman neolitikum yang
memiliki dua sub kebudayaan dan dua jalur penyebaran. Pertama, cabang kapak
persegi yang penyebarannya bermula dari daratan Asia melalui jalur barat, dengan
bangsa Austronesia sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Kedua, kebudayaan
kapak lonjong, yang penyebarannya melalui jamur Timur, dengan bangsa Papua-
Melanesoide sebagai bangsa pendukung kebudayaan tersebut. Penyebaran kedua
kebudayaan ini merupakan gelombang pertama perpindahan bangsa Austronesia
(termasuk Papua Melanesia) yang akhirnya melebur menjadi Austronesia) ke berbagai
daerah atau pulau-pulau di Indonesia. Gelombang perpindahan bangsa Austronesia
terjadi pada jaman logam yang membawa jenis kebudayaan baru yang disebut dengan
istilah kebudayaan Dongson.
Hasil penelitian menginformasikan luasnya bahasa Austronesia, (dari
Madagaskar di barat dan Pulau Paska di timur, dan dari Formosa di utara sampai
Selandia Baru di Selatan), sehingga dapat disimpulkan, wilayah Indonesia merupakan
etape kedua dari perpindahan bangsa Austronesia selanjutnya. Lebih dari itu, jika
penyebaran nenek moyang bangsa Indonesia bias mencapai pulau-pulau yang
berjarak sangat jauh dari asal bangsa itu, dan juga terpisahkan oleh lautan yang luas,
dapat dipastikan mereka mempunyai peralatan yang dipergunakan menyebrangi laut,
yaitu perahu. Dengan kata lain, nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut,
yang tentu saja memiliki budaya maritime sebagai produk. Sebagai contoh, mereka
memiliki pengetahuan yang cukup tinggi tentang laut, angina, musim, bahkan ilmu
falak (perbintangan) sebagai pengetahuan untuk bernavigasi.1

1
I.C. Glover, Early Trade between India and Southeast Asia (Hull: Koningstone, 1989), 93-98

4
Salah satu benda prasejarah yang bisa diperkirakan sebagai petunjuk bahwa
bangsa Indonesia terbiasa melakukan aktivitas pelayaran antar pulau, bahkan juga
perdagangan, adalah nekara perunggu. Dari hasil penelitian Heger diketahui adanya
berbagai jenis nekara tipe local dan tipe yang terdapat di daerah daratan Asia
Tenggara.2 Dari hasil penelitian itu diperkirakan bahwa nekara tersebut berasal dari
Asia Tenggara yang dibawa oleh suku-suku pendatang yang memasuki berbagai
kepulauan di Indonesia. Namun juga bisa sebaliknya, bahwa sebagian dari nekara itu
memang dibuat di Indonesia kemudian dibawa atau diperdagangkan ke daratan Asia
Tenggara. Bukti mengenai itu adalah dengan diketemukannya berbagai cetakan yang
dipergunakan untuk pengecoran perunggu, termasuk untuk membuat nekara. Jika
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan bagian
dari jaringan lalu lintas pelayaran dan perdagangan Asia Tenggara. Sebagai daerah
produsen ataupun konsumen, demikian juga sebagai jaringan pelayaran dan
perdagangan Asia Tenggara, di Indonesia pada waktu itu, tentu sudah berkembang
kelompok masyarakat dengan pranata sosialnya yang berfungsi sebagai alat pengatur
pergaulan bermasyarakat.3

2.2 MUNCULNYA KERAJAAN MARITIM INDONESIA : Nur Rahman Banu

Negara dan bangsa Indonesia dengan karakter social budaya kebahariannya


sekarang bukanlah merupakan fenomena baru di nusantara ini. Fakta sejarah
menunjukkan kepada kita bahwa fenomena kehidupan kebaharian kekinian,
khususnya bidang birokrasi/pemerintahan, pelayaran, dan perikanan merupakan
kontinyuitas dari proses perkembangan fluktuatif kehidupan kebaharian masa lalu.
Proses perkembangan politik kenegaraan dengan infrastruktur yang fluktuatif tersebut
memberi gambaran akan muncul dan menghilangnya secara bergantian kerajaan-
kerajaan maritime besar dan kecil dari masa lalu hingga masa Indonesia merdeka.
Munculnya kerajaan-kerajaan maritime di Nusantara masa lalu yang berdaulat dengan
system pertahanan keamanan yang ampuh, tumbuhnya sector-sektor ekonomi
kebaharian terutama pelayaran dan perikanan, aplikasi pengetahuan dan teknologi
2
Kartodirdjo et.al, Sejarah Nasional I,2.
3
N.J. Krom, Hindoe-Javaansche Geschidenis (S’’Gravenhage: Martnus Nijhoff, 1931), 34-54

5
kelautan, dan diadakan serta diberlakukannya kebijakan dan hukum/perundang-
undangan laut banyak merupakan hasil kreativitas-inovatif internal. Semua ini
merupakan bukti prestasi masyarakat bahari masa lalu yang semestinya diberi
apresiasi setinggi-tingginya oleh anak bangsa Indonesia sekarang. Prestasi mana telah
menjadi kristalisasi nilai sejarah yang potensial dijadikan ajuan pembelajaran bagi
rekayasa perkembangan kebudayaan dan peradaban bahari Nusantara ini ke depan.
Pendayagunaan potensi local yang optimal dan eksternal secara selektif sebagaimana
diterapkan di masa lalu kiranya lebih meningkatkan keberdayaan dan wibawa bangsa
bahari ini daripada bergantung sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan eksternal semata
seperti cenderung diterapkan bangsa Indonesia, terutama sejak masa Orde Baru
hingga sekarang ini.
Munculnya secara silih berganti kerajaan-kerajaan-kerajaan maritime
nusantara di masa lalu merupakan fakta sejarah tak tersanggahkan kebenarannya.
Buku “Sejarah Maritim Indonesia” karya Hakim Benardie SP (2003) mengandung
catatan dan gambaran sejarah perkembangan infrastruktur kemaritiman berupa rute
pelayaran, perdagangan, serta kegiatan pembangunan galangan kapal dari kerajaan-
kerajaan besar Nusantara yang menitik-beratkan pada pembangungan kekuatan
maritime. Setiap kerajaan atau Negara maritime di Nusantara ini, tentu saja
mempunyai strategi pembangunan kekuatan social ekonomi, politik, pertahanan dan
keamanan, dan infrastruktur kebaharian (terutama industry kapalperahu, pelabuhan,
dan kota pantai) masing-masing.
Septi Cahyani Kerajaan maritim Indonesia :
A. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya pada dasarnya merupakan suatu kerajaan pantai, sebuah
Negara perniagaan dan Negara yang berkuasa di laut. Kekuasaannya lebih
disebabkan oleh perdagangan internasional melalui selat Malaka. Dengan
demikian berhubungan dengan jalur perdagangan internasional dari dari Asia
Timur ke Asia Barat dan Eropa yang sejak paling sedikit lima belas abad lamanya,
mempunyai arti penting dalam sejarah. Sriwijaya memang merupakan pusat
perdagangan penting yang pertama pada jalan ini, kemudian diganti oleh kota
Batavia dan Singapura. Menurut berita Cina, kita dapat menyimpulkan bahwa
Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina
yang terpenting.1 Sriwijaya adalah kerajaan maritime yang pernah tumbuh

6
menjadi suatu kerajaan maritime terbesar di Asia Tenggara.
Politik ekspansi untuk mengembangkan sayap dan menaklukkan kerajaan lain
di Sumatra dilakukan Sriwijaya secara intensif pada abad ke-7, yaitu pada
tahun690 M. kenyataan ini diperkuat dengan adanya prasasti dari kerajaan
Sriwijaya, yang semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dan dalam bahasa Melayu
kuno. Sebagai kerajaan maritime, Sriwijaya menggunakan politik laut yaitu
dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di pelabuhannya.
Ketergantungan kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola perdagangan
yang berkembang, sedangkan pola-pola tertentu tidak sepenuhnya dapat
dikuasainya. Meskipun demikian, pada abad XIII Sriwijaya masih dapat
berkembang sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang besar dan kuat, serta
menguasai bagian besar Sumatra, semenanjung tanah Melayu, dan sebagian Jawa
Barat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan maritime
yang besar telah mengembangkan ciri-ciri yang khas, yaitu mengembangkan suatu
tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan tersebut lebih metropolitan sifatnya.
Dalam upaya mempertahankan peranannya sebagai Negara berdagang, Sriwijaya
lebih memerlukan kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner
daripada Negara agraris.
B. Kerajaan Samudra
Sebagai akibat dari merosotnya kerajaan Sriwijaya, di Sumatra Utara muncul
beberapa kerajaan maritime kecil. Kerajaan-kerajaan yang terdapat kira-kira tahun
1300 adalah Samudra, Perlak, Paseh, dan Lamuri (yang kemudian menjadi Aceh).
Kerajan-kerajaan pelabuhan ini kesemuanya mengambil keuntungan dari
perdagangan di selat Malaka.
Sekitar tahun 1350 adalah masa memuncaknya kebesaran Majapahit. Bagi
Samudra, masa itupun merupakan masa kebesarnannya. Kerajaan Samudra di
Aceh yang beragama Islam menjadi bagian dari Majapahit, rupanya tidak menjadi
persoalan bagi Majapahit. Begitu pula Samudra, berhubungan langsung dengan
Tiongkok, sebagai siasat untuk mengamankan diri terhadap Siam yang daerahnya
meliputi jazirah Malaka, juga oleh Majapahit tidak dihiraukan.

C. Kerajaan Majapahit : SRI HARYATI


Menurut Krom, kerajaan Majapahit ini berdasar pada kekuasaan di laut. Laut-
7
laut dan pantai yang terpenting di Indonesia dikuasainya. Kerajaan ini memiliki
angkatan laut yang besar dan kuat. Pada tahun 1377, Majapahit mengirim suatu
ekspedisi untuk menghukum raja Palembang dan Sumatra. Majapahit juga
mempunyai hubungan dengan Campa, Kampuchea, Siam Birma bagian selatan,
dan Vietnam serta mengirim dutanya ke Cina. 4
Sebagai tambahan daerah yang mengakui kekuasaan Majapahit, Prapanca
memberikan nama-nama daerah yang tetap mempunyai hubungan persahabatan
dengan Majapahit. Daerah itu antara lain Siam, Burma, Champa, dan “Javana”
yaitu Vietnam – disamping negeri-negeri yang jauh lagi seperti Cina, Karnatik dan
Benggala, yang mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit.
Dengan uraian perluasan kekuasaan Majapahit, seperti dijelaskan oleh
Prapanca, kita telah menggunakan hipotesa bahwa pelayaran perdagangan pada
abad XIV berada di tangan pedagang Majapahit. Artinya pada waktu itu,
Majapahit memiliki kapal-kapal dagang dan menjalankan pelayaran sendiri,
disamping pelayaran yang dilakukan juga oleh pedagang asing.5
D. Kerajaan Malaka
Malaka merupakan suatu kota pelabuhan besar yang letaknya menghadap ke
laut. Posisi seperti ini juga dimiliki oleh kerajaan Maritim lain seperti Banten,
Batavia, Gresik, Makassar, Ternate, Manila atau sungai besar yang dapat dilayari.
Malaka muncul sebagai pusat perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal
abad ke-15. Pendiri kerajaan Malaka adalah seorang pangeran Majapahit dari
Blambangan yang bernama Paramisora. Parameswara berhasil meloloskan diri
ketika terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka
sekitar tahun 1400. Di tempat ini dia menemukan suatu pelabuhan yang baik yang
dapat dirapati kapal-kapal di segala musim dan terletak di bagian selat Malaka
yang paling sempit. Beserta para pengikutnya dalam waktu singkat, dusun nelayan
dengan bantuan bajak-bajak laut menjadi kota pelabuhan, yang karena letaknya
yang sangat baik di Selat Malaka, merupakan saingan berat bagi Samudra Pasai.6
Dengan demikian, Malaka diberi kesempatan berkembang menjadi pusat
perniagaan baru. Sebelum itu, Malaka hanyalah merupakan sebuah tempat
nelayan kecil yang tak berarti. Pada awal abad ke-14, tempat tersebut mulai berarti
4
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989), 27
5
Sjafei, ‘Catatan mengenai’, 61
6
A.W. Adam, ‘Pengantar’, dalam: A. Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Dari Ekspansi
hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, Jld. II (Jakarta : Yayasan Obor, 1999), 112.

8
buat perdagangan perdagangan, dan dalam waktu yang pendek saja menjadi
pelabuhan yang terpenting di pantai Selat Malaka.
Melalui persekutuan dengan orang laut, yaitu perompak pengembara Proto-
Melayu di selat Malaka, dia berhasil membuat Malaka menjadi suatu pelabuhan
internasional yang besar. Cara yang ditempuh Malaka adalah dengan memaksa
kapal-kapal yang lewat untuk singgah di pelabuhannya serta memberi fasilitas
yang cukup baik serta dapat dipercaya bagi pergudangan dan perdagangan.
E. Demak : Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa
Menurut Tome Pires, penguasa kedua di Demak, Pate Rodim Sr. mempunyai
armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung. Pada masa tersebut, beberapa daerah
dapat ditaklukkan. Berdasarkan babad, penguasa ketiga adalah Tranggana atau
Trenggana. Raja ini telah meresmikan Masjid Raya di Demak. Dalam berita
Portugis menyebutkan, pada tahun 1546 dia gugur dalam ekspedisi ke Panarukan
di ujung timur Jawa. Dalam kurun waktu itu wilayah kerajaan telah diperluas ke
barat dan ke timur, dan masjid Demak telah dibangun sebagai lambing kekuasaan
Islam. Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhan Jepara, yang
merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa.
Dari gambaran itu menunjukkan bahwa Demak benar-benar kekuatan
signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati Unuss atau Pangeran Sabrang
Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513 dia menyerang Malaka dengan menggunakan
gabungan seluruh angkatan laut bandarBandarr Jawa, namun berakhir dengan
hancurnya angkatan laut dari Jawa.

2.3 CATATAN SEJARAH PERIKANAN LAUT DI NUSANTARA: LARASWATI


Dari perspektif kekuatan social politik dan ekonomi, kaum nelayan di
manapun di dunia dari dahulu hingg sekarang memang selalu termasuk masyarakat
marginal. Sebaliknya dari perspektif social budaya, bagian terbesar dari mereka itulah
sesungguhnya dikategorikan sebagai masyarakat bahari sejati. Menggagas laut dan
isinya, rekayasa sarana perhubungan (perahu/kapal) untuk akses ke laut dan teknologi
pemanfaatan sumberdaya perikanan yang kaya dengan tipenya, dan dinamika
pengetahuan sebagai pedoman aktivitas pelayaran dan perilaku eksploitasi
sumberdaya laut, justru menjadikan kadar kebaharian kaum nelayan dalam berbagai
unsur melebihi kadar budaya kebaharian para pelayar dan saudagar yang
memanfaatkan lingkungan laut sebagai prasarana pelayaran ( pelabuhan/dermaga dan
9
rute-rute pelayaran) semata.
Sejarah aktivitas penangkapan ikan di perairan Nusantara ini juga dapat
dilacak jauh ke belakang. Meskipun tingkat-tingkat perkembangan budaya perikanan
kurang terkandung dalam catatan sejarah dibandingkan dengan aktivitas pelayaran
(usaha perhubungan laut), namun dapat diduga bahwa aktivitas kenelayanan berupa
menangkap ikan dan mengumpulkan biota laut tidak liar (kerang-kerangan, tumbuhan
laut) tidak jauh lebih mudah daripada aktivitas berburu dan meramu di darat, yang
mencirikan mode ekonomi subsistem masyarakat sederhana dimana-mana. Adapun
pola aktivitas kenelayanan dan mengumpulkan biota laut tidak liar diduga sama
dengan kalau bukan lebih tua daripada pola aktivitas ekonomi perhubungan
antarpulau, apalagi antarnegara dan benua.
Dari catatan colonial diperoleh keterangan tentang kegiatan-kegiatan nelayan
pesisir dan pulau-pulau di Nusantara awal abad ke-20, abad ke-19, dan sebelumnya.
Misalnya, komunitas-komunitas nelayan Jawa dan Madura cenderung memusatkan
aktivitasnya pada penangkapan ikan layang di perairan pantai utara Jawa dan Madura
dengan mengoperasikan perahu-perahu mayang dan menggunakan alat tangkap pukat
paying (dalam Lampe, 1989;Masyhuri,1996; Semedi,2000). Penangkapan layang,
yang dikategorikan sebagai perikanan laut dalam, menjadi tradisi masyarakat nelayan
Jawa dan Madura yang bertahan dan diandalkan hingga sekarang. Meskipun kondisi
tangkapan pada waktu itu cukup melimpah, namun hasil produksi ikan belum juga
mampu memenuhi kebutuhan konsumen penduduk pantai dan pedalaman Jawa yang
sangat besar jumlahnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20 – menurut penaksiran
John G. Butcher (2003), kira-kira seperempat dari penduduk Asia Tenggara yang
berjumlah 40 juta jiwa di abad ke-19 tinggal di pulau Jawa. Untuk memenuhi
permintaan ikan dari penduduk Jawa, karena itu, masih diperlukan impor ikan dari
bagian Siapi-api, Sulawesi Selatan, dan pulau-pulau sekitarnya.
Di Sumatra, Bagan Siapi-api (Riau) merupakan pusat penangkapan ikan-ikan
pantai terutama mairo atau lure. Alat tangkap utama ialah pukat halus berbentuk
empat persegi dengan ukuran lubang rapat yang dipasang pada pondok tancap (di
Sulawesi Selatan disebut bagang tancap). Pengelolaan modal perikanan dikuasai oleh
pengusaha-pengusaha keturunan Cina, sedangkan aktivitaspenangkapan dan
pengeringan ditangani penduduk nelayan local. Bagian besar dari hasil produksi ikan
diekspor ke Jawa dan Singapura, sisanya dipasarkan ke daerah-daerah pedalaman
pulau Sumatra sendiri.bentuk usaha perikanan tersebut masih bertahan sampai
10
sekarang dengan peningkatan kualitas bahan pukat dan komponen teknik lainnya.
SUSI SELVIA: Di bagian timur Nusantara, Sulawesi Selatan di masa lalu
dikenal juga sebagai pusat produksi ikan dan hasil laut lainnya. Dalam catatan
colonial disebutkan jenis-jenis komoditas hasil laut tua selain ikan yang diusahakan
oleh nelayan Sulawesi Selatan seperti teripang, kerang mutirara, penyu, sirip hiu, telur
ikan, agar-agar, akar bahar dan rotan laut, dan ikan bandeng (budidaya tambak). Di
daerah tersebut terdapat empat kelompok etnis yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan
Bajo, yang nelayannya cenderung mengkhususkan tangkapannya pada satu atau lebih
jenis sumberdaya perikanan. Misalnya, nelayan Bugis di Teluk Bone banyak
melakukan usaha bagang (menangkap ikan campuran berkelompok di perairan
pantai); nelayan Makassaar di Galesong mempertahankan usaha ikan terbang dan
telur ikan; nelayan Mandar dengan usaha panjak-rumpon (menangkap ikan layang
dengan pukat payang dan sarana bantu rumpon) dan usaha ikan terbang dan telur
ikan; dan Bajo dengan usaha selam (usaha teripang, kerang, dan biota tidak liar
lainnya) dan usaha pancing. Sebetulnya sebagian nelayan Bugis dan Makassar dan
kebanyakan nelayan Bajo di Sulawesi Selatan tetap mempertahankan usaha selam
(mencari teripang dan kerang mutiara) hingga sekarang, meskipun populasi dari
kedua jenis hasil laut tersebut dalam perairan territorial dan nusantara semakin
berkurang.
Menurut catatan colonial, usaha-usaha nelayan Bugis, Makassar, dan Bajo
pada komoditas hasil laut tua sudah mengalami perkembangan di abad ke-17 kalau
bukan sejak abad sebelumnya (Macknight, 1976; Sutherland, 1987; Reid, 1992).
Daerah penangkapan (fishing grounds) mereka bukan hanya mencakup selat
Makassar, Teluk Bone, dan Laut Flores, tetapi diperluas ke perairan Maluku dan Irian
Barat, kea rah selatan hingga NTT dan bahkan sampai ke perairan pantai utara
Australia, dan ke arah barat mulai dari perairan Kalimantan Selatan, perairan pantai
Sibolga, Nias, dan Mentawai bagian barat Sumatra Utara.
Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, usaha perikanan tongkol, tuna, dan
ekor kuning dimulai dalam masa pendudukan Jepang dan mengalami perkembangan
setelah kemerdekaan. Usaha ikan dasar (kerapu, kakap, baronang, tenggiri) dan
lobster segar mulai berkembang dalam periode 1980-an. Usaha lobster dan ikan hidup
(kerapu, kakap, napoleon) yang prospektif baru dimulai sejak akhir tahun 1980-an dan
Berjaya dalam periode 1990-an (Akimichi, 1996; Tim Social Assesment COREMAP
10 Propinsi di Indonesia, 1996/1997; 1997/1998). Sebetulnya, menurut cerita nelayan
11
generasi tua di Sulawesi Selatan, usaha ikan berukuran sedang (ikan terbang, layang,
jenis-jenis sardine dan makeril), dan ikan karang berkualitas (kakap dan kerapu atau
sunu dalam istilah local) sudah diusahakan sejak dahulu di Sulawesi Selatan.
Perkembangan sector perikanan yang cukup berarti di beberapa daerah di
Indonesia akhir-akhir ini ialah usaha budidaya rumput laut, ikan kerapu dan lobster,
dan kerang mutiara yang dipraktikkan nelayan yang cukup kreatif dan inovatif. Usaha
budidaya laut bukan hanya berperanan positif terhadap peningkatan pendapatan dan
penyerapan tenaga kerja, tetapi juga pada pembentukan kelembagaan penguasaan
lokasi laut yang menjamin terjaganya kelestarian lingkungan laut.
Perkembangan berbagai usaha perikanan rakyat tersebut tentu sangat
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal, terutama situasi dan kondisi pasar dan
konsumen dalam dan luar negeri. Penangkapan layang oleh nelayan Jawa dan Madura
dan usaha ikan kering di bagian Siapi-api merupakan respons masyarakat nelayan
terhadap permintaan ikan oleh penduduk nelayan Jawa dan Sumatra di daerah
perkotaan dan desa-desa pedalaman sejak dahulu. Aktivitas nelayan penyelam Bugis,
Bajo, dan Makassar merupakan respons terhadap pedagang-pedagang Cina dari
Peking dan Hongkong yang di masa itu dating langsung ke kota Somba Opu. Produksi
ikan tongkol, tuna dan ekor kuning diekspor ke Jepang dan Australia. Lobster segar,
ikan dan lobster hidup diekspor ke Hongkong dan Singapura, selain diperuntukkan
bagi kalangan elit dan wisatawan asing di Bali, Surabaya, dan Jakarta. Produksi ikan-
ikan segar (jenis-jenis tongkol, tuna, tenggiri, dan lain-lain) sebagian besar dipasarkan
ke Jepang, Kanada, dan Negara-negara tetangga maju lainnya.

2.4 CATATAN SEJARAH PENGEMBANGAN PELAYAR DAN NELAYAN: ARIF


BAYU UTOMO
Dalam melakukan aktivitasnya, penduduk bahari, terutama nelayan dan
pelayar, mempunyai mobilitas pengembaraan yang tinggi. Berbeda dengan pelayar
yang tujuannya ialah pelabuhan-pelabuhan di kota-kota pantai, nelayan yang
memanfaatkan sumberdaya hayati (ikan dan spesies-spesies biota lainnya) tujuannya
ialah daerah-daerah penangkapan (fishing grounds) di perairan pesisir dan laut dalam.
Kebanyakan kelompok nelayan dari Jawa, Madura, dan Bawean mencari ikan layang
sampai di kepulauan Natuna, Selat Makassar, Laut Arafuru, dan Laut Banda. Nelayan
pencari telur ikan terbang dari Mandar sejak dahulu menjajah laut laut dalam selama
berbulan-bulan hingga ke laut Flores dan Maluku. Nelayan pancing tongkol dan tuna
12
dari Sulawesi Selatan juga mendatangi Laut Flore, Maluku, bahkan sejak tahun 1998
sebagian nelayan Bugis dari Sinjai (Teluk Bone) smpai ke perairan Cilacap
menangkap tongkol. Kelompok-kelompok nelayan paling berani mengarungi dan
tinggal di lautan selama berbulan-bulan ialah nelayan Bugis dan Bajo (Pulau
Sembilan, Teluk Bone), nelayan Makassar (Barranglompo, Kodingang) mencari
teripang dan kerang-kerangan ke seluruh perairan Nusantara. Pengembaraan ke
kawasan Timur Indonesia, mereka mendatangi NTT, Maluku, Biak, hingga Merauke.
Ke arah selatan, mereka mendatangi NTB, kemudian menyebrang ke perairan pantai
utara Australia. Bahkan di abad ke-17, dalam pelayarannya kembali ke Makassar
nelayan penyelam tersebut melalui perairan pantai barat Papua New Guinea yang
kaya dengan mutiara dan teripang. Oleh karena populasi teripang dan spesies-spesies
kerang bernilai ekonomi tinggi telah merosot sejak tahun 1980-an, maka kelompok-
kelompok pengembara tersebut semakin berkurang jumlahnya. Hal menarik perhatian
ialah nelayan Madura (jumlahya tidak kurang dari 10 kapal) juga sampai di Teluk
Bone mencari jenis-jenis teripang yang tidak diambil nelayan Bugis dan Bajo.
Berbeda dengan nelayan yang tujuan pengembaraannya terpusat ke daerah-
daerah penangkapan (fishing grounds), kemudian ke pelabuhan tau pelelangan ikan
untuk tangkapan, dan membeli perbekalan, pelayar dengan armadanya justru
menjadikan pelabuhan kota-kota pantai dimana-mana sebagai pusat bongkar muat
barang dan penumpang. Bagi mereka, lautan hanyalah merupakan prasarana dan rute-
rute transportasi antarkota pantai, antarpulau, antarnegara, dan bahkan antarbenua.

13
BAB III

PENUTUP

I. KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab dua, tidak dapat dibantahkan lagi bahwa Indonesia memang
terlahir sebagai Negara maritime. Sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang telah
menunjukkan bahwa Indonesia pada zaman dahulu sudah berlayar jauh dengan perahu
sederhana dan ilmu yang mereka miliki melalui kebudayaannya. Hingga munculnya
kerajaan-kerajaan maritime yang semakin memperkuat konsep “kemaritiman” Indonesia.
Ditambah dengan puncak kejayaan Indonesia yang diraih oleh kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-11 semakin menambah keyakinan kita bahwa Indonesia memang Negara
maritime yang kuat dulunya. Selain itu, kegiatan pengembaraan dan perikanan nelayan
Indonesia pada masa lampau sangat menggambarkan jiwa kemaritiman yang tinggi.
Mereka berlayar sampai ke NTT, Maluku, bahkan ke pantai utara Australia.

II. SARAN

Jika kita perhatikan, keadaan maritim Indonesia saat ini justru mengalami
kemunduran yang signifikan, dikarenakan visi maritim tida lagi jelas dan tidak mampunya
masyarakat Indonesia melihat potensi dari posisi strategis nusantara.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya jita kembali kapada visi maritim yang dulu seperti
diterapkan nenek moyang kita, karena sejatinya Indonesia menyandang predikat “Negara
Maritim” atau negara kepulauan. Sehingga dengan mengoptimalkan letak strategis dari
Indonesia dan kekayaan sember daya bahari yang melimpah, maka bukan mustahil jika
Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dan diperhitunkan di dunia dalam bidang
maritim layaknya dimasa jayanya dulu.

14
Sebaiknya pemerintah bersama pemimpin – pemimpin lainnya menciptakan persepsi
kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni laut sebagai tali kehidupan dan masa depan
bangsa. Dengan persepsi demikian tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting
maritim dalam pembangunan nasional.

Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam


menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah; laut sebagai media pemersatu
bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai
negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia, yang tujuan
akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.

15
DAFTAR PUSTAKA

Lampe, Munsi (2009). Wawasan Sosial Budaya Bahari (WSBB). Makassar: MKU

Saru, Amran, et al. Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM). Makassar: MKU, 2011

Burhanuddin, Safri, et al. Sejarah Maritim Indonesia, Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa
Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa. Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan
Budaya Maritim Asia Tenggara Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro
Semarang, 2003

Sumardjono (2007). Kejayaan Maritim Indonesia. From


http://abgnet.blogspot.com/2007/12/negara-bahari.html

Kusumoprojo, Wahyono Suroto (2009). Indonesia Negara Maritim. Jakarta Selatan: Teraju.

16

Anda mungkin juga menyukai