Anda di halaman 1dari 18

Makalah Sejarah Kemaritiman Indonesia

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi
sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan
seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Sejarah Kemaritiman Indonesia” dengan lancar.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai


pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis
menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Wassalam.

Makassar, 16 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR............................................................................................
.............. i
DAFTAR
ISI.............................................................................................................
............ ii

PENDAHULUAN.......................................................................................
......................... 1

Latar
Belakang...................................................................................................
.............. 1

Rumusan
Masalah....................................................................................................
........ 2

Tujuan
Penulisan..................................................................................................
............ 2

PEMBAHASAN.........................................................................................
.......................... 4

Kebudayaan nenek moyang bangsa indonesia sebagai bukti awal

kemaritiman
Indonesia..................................................................................................
.4

Munculnya kerajaan maritim


Indonesia......................................................................... 5

Catatan sejarah perikanan laut di


nusantara................................................................... 11

Catatan sejarah pengembangan pelayar dan


nelayan..................................................... 14
PENUTUP.................................................................................................
............................ 15

Kesimpulan
.................................................................................................................
. 15

Saran........................................................................................................
..................... 15

DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................................
.......... 16

Makalah Sejarah Kemaritiman Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra....
Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu
yang kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah
kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan
maritim?"

Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan
kapal bercadik. Mereka ke Utara mengarungi lautan, ke Barat memotong
lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Dengan
kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut,
mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak
maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Aktivitas pelayaran bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak jaman


nenek moyang kita, berjalan bersamaan dengan perjalanan sejarah
bangsa Indonesia. Wilayah kepulauan Nusantara yang terletak pada titik
silang jaringan lalu lintas laut dunia, secara tidak langsung merupakan
penghubung dunia Timur dan Barat. Berbagai hasil bumi dari Indonesia
merupakan barang-barang yang dibutuhkan oleh pasaran dunia. Hal itu
telah mengakibatkan munculnya aktivitas perdagangan dan pelayaran
yang cukup ramai dari dan ke Indonesia.

Tidak banyak sumber yang dapat digali untuk menampilkan sejarah


pelayaran Indonesia dalam masa pra sejarah, kecuali dari penuturan lisan
dan relief yang tergambar pada candi-candi baik candi Hindu maupun
Budha yang banyak dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti candi
Prambanan, candi Borobudur dan lain-lain.

Dari relief pada candi dapat dilihat bahwa sesungguhnya pada masa itu
sudah berlangsung pelayaran niaga yang dijalani oleh nenek moyang kita.
Perlayaran ini merupakan wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak
pendek, di samping migrasi pada kawasan yang lebih jauh, sampai
perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.

Dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya, pada masa pra sejarah itu
masyarakat Indonesia sudah memiliki pranata yang memungkinkan
terjadinya hubungan perdagangan itu, demikian juga bahwa orang
Indonesia masa dulu sudah mendapat manfaat dari aktivitas perdagangan
yang memanfaatkan laut sebagai medium pengangkutannya.

Bangsa Indonesia dengan karakteristik sosial budaya kemaritiman,


bukanlah merupakan fenomena baru. Fakta sejarah menunjukan bahwa
fenomena kehidupan kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta
kelembagaan formal dan informal yang menyertainya merupakan
kontinuitas dari proses perkembangan kemaritiman Indonesia masa lalu.
Keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut haruslah menjadi
penyemangat generasi sekarang dan yang akan datang. Bentuk
implementasinya masa kini, bukan hanya sekedar berlayar, tetapi
bagaimana bangsa Indonesia wilayahnya adalah dua per tiga adalah
lautan dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan pembangunan bangsa.

II. RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :


i. Apa saja bukti yang menggambarkan bahwa kebudayaan nenek
moyang menunjukkan awal kemaritiman di Indonesia?
ii. Bagaimana perkembangan kerajaan-kerajaan Maritim di Indonesia dan
hubungannya dengan dunia internasional?
iii. Bagaimana sejarah perikanan laut di nusantara oleh kaum nelayan di
masa lampau?
iv. Bagaimana pengembaraan pelayar dan nelayan di masa lampau?

III. TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari penyusunan makalah berjudul “Sejarah Kemaritiman
Indonesia” ini yakni :

i. Membuktikan bahwa nenek awal kemaritiman di Indonesia memang


dibawa dan terlihat dari kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia.
ii. Menjelaskan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia
disertai hubungannya dengan dunia internasional khususnya di sector
perniagaan.
iii. Menjelaskan catatan-catatan sejarah tentang perikanan laut di
Nusanta pada zaman lampau.
iv. Menjelaskan catatan-catatan sejarah tentang pengembaraan pelayar
dan nelayan di masa lampau.

BAB II
PEMBAHASAN

I. KEBUDAYAAN NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA SEBAGAI


BUKTI AWAL KEMARITIMAN INDONESIA
Nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa Austronesia yang
kedatangannya ke kepulauan Nusantara ini mulai sejak kira-kira 2000
tahun sebelum masehi. Masa kedatangan mereka itu termasuk dalam
jaman neolitikum yang memiliki dua sub kebudayaan dan dua jalur
penyebaran. Pertama, cabang kapak persegi yang penyebarannya
bermula dari daratan Asia melalui jalur barat, dengan bangsa Austronesia
sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Kedua, kebudayaan kapak
lonjong, yang penyebarannya melalui jamur Timur, dengan bangsa
Papua-Melanesoide sebagai bangsa pendukung kebudayaan tersebut.
Penyebaran kedua kebudayaan ini merupakan gelombang pertama
perpindahan bangsa Austronesia (termasuk Papua Melanesia) yang
akhirnya melebur menjadi Austronesia) ke berbagai daerah atau pulau-
pulau di Indonesia. Gelombang perpindahan bangsa Austronesia terjadi
pada jaman logam yang membawa jenis kebudayaan baru yang disebut
dengan istilah kebudayaan Dongson.

Hasil penelitian menginformasikan luasnya bahasa Austronesia, (dari


Madagaskar di barat dan Pulau Paska di timur, dan dari Formosa di utara
sampai Selandia Baru di Selatan), sehingga dapat disimpulkan, wilayah
Indonesia merupakan etape kedua dari perpindahan bangsa Austronesia
selanjutnya. Lebih dari itu, jika penyebaran nenek moyang bangsa
Indonesia bias mencapai pulau-pulau yang berjarak sangat jauh dari asal
bangsa itu, dan juga terpisahkan oleh lautan yang luas, dapat dipastikan
mereka mempunyai peralatan yang dipergunakan menyebrangi laut,
yaitu perahu. Dengan kata lain, nenek moyang bangsa Indonesia adalah
bangsa pelaut, yang tentu saja memiliki budaya maritime sebagai produk.
Sebagai contoh, mereka memiliki pengetahuan yang cukup tinggi
tentang laut, angina, musim, bahkan ilmu falak (perbintangan) sebagai
pengetahuan untuk bernavigasi.
Salah satu benda prasejarah yang bisa diperkirakan sebagai petunjuk
bahwa bangsa Indonesia terbiasa melakukan aktivitas pelayaran antar
pulau, bahkan juga perdagangan, adalah nekara perunggu. Dari hasil
penelitian Heger diketahui adanya berbagai jenis nekara tipe local dan
tipe yang terdapat di daerah daratan Asia Tenggara. Dari hasil penelitian
itu diperkirakan bahwa nekara tersebut berasal dari Asia Tenggara yang
dibawa oleh suku-suku pendatang yang memasuki berbagai kepulauan di
Indonesia. Namun juga bisa sebaliknya, bahwa sebagian dari nekara itu
memang dibuat di Indonesia kemudian dibawa atau diperdagangkan ke
daratan Asia Tenggara. Bukti mengenai itu adalah dengan
diketemukannya berbagai cetakan yang dipergunakan untuk pengecoran
perunggu, termasuk untuk membuat nekara. Jika demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan bagian dari jaringan
lalu lintas pelayaran dan perdagangan Asia Tenggara. Sebagai daerah
produsen ataupun konsumen, demikian juga sebagai jaringan pelayaran
dan perdagangan Asia Tenggara, di Indonesia pada waktu itu, tentu sudah
berkembang kelompok masyarakat dengan pranata sosialnya yang
berfungsi sebagai alat pengatur pergaulan bermasyarakat.

II. MUNCULNYA KERAJAAN MARITIM INDONESIA


Negara dan bangsa Indonesia dengan karakter social budaya
kebahariannya sekarang bukanlah merupakan fenomena baru di
nusantara ini. Fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena
kehidupan kebaharian kekinian, khususnya bidang
birokrasi/pemerintahan, pelayaran, dan perikanan merupakan
kontinyuitas dari proses perkembangan fluktuatif kehidupan kebaharian
masa lalu. Proses perkembangan politik kenegaraan dengan infrastruktur
yang fluktuatif tersebut memberi gambaran akan muncul dan
menghilangnya secara bergantian kerajaan-kerajaan maritime besar dan
kecil dari masa lalu hingga masa Indonesia merdeka. Munculnya kerajaan-
kerajaan maritime di Nusantara masa lalu yang berdaulat dengan system
pertahanan keamanan yang ampuh, tumbuhnya sector-sektor ekonomi
kebaharian terutama pelayaran dan perikanan, aplikasi pengetahuan dan
teknologi kelautan, dan diadakan serta diberlakukannya kebijakan dan
hukum/perundang-undangan laut banyak merupakan hasil kreativitas-
inovatif internal. Semua ini merupakan bukti prestasi masyarakat bahari
masa lalu yang semestinya diberi apresiasi setinggi-tingginya oleh anak
bangsa Indonesia sekarang. Prestasi mana telah menjadi kristalisasi nilai
sejarah yang potensial dijadikan ajuan pembelajaran bagi rekayasa
perkembangan kebudayaan dan peradaban bahari Nusantara ini ke
depan. Pendayagunaan potensi local yang optimal dan eksternal secara
selektif sebagaimana diterapkan di masa lalu kiranya lebih meningkatkan
keberdayaan dan wibawa bangsa bahari ini daripada bergantung
sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan eksternal semata seperti
cenderung diterapkan bangsa Indonesia, terutama sejak masa Orde Baru
hingga sekarang ini.

Munculnya secara silih berganti kerajaan-kerajaan-kerajaan maritime


nusantara di masa lalu merupakan fakta sejarah tak tersanggahkan
kebenarannya. Buku “Sejarah Maritim Indonesia” karya Hakim Benardie
SP (2003) mengandung catatan dan gambaran sejarah perkembangan
infrastruktur kemaritiman berupa rute pelayaran, perdagangan, serta
kegiatan pembangunan galangan kapal dari kerajaan-kerajaan besar
Nusantara yang menitik-beratkan pada pembangungan kekuatan
maritime. Setiap kerajaan atau Negara maritime di Nusantara ini, tentu
saja mempunyai strategi pembangunan kekuatan social ekonomi, politik,
pertahanan dan keamanan, dan infrastruktur kebaharian (terutama
industry kapalperahu, pelabuhan, dan kota pantai) masing-masing.

Kerajaan maritim Indonesia :

A. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya pada dasarnya merupakan suatu kerajaan pantai,
sebuah Negara perniagaan dan Negara yang berkuasa di laut.
Kekuasaannya lebih disebabkan oleh perdagangan internasional melalui
selat Malaka. Dengan demikian berhubungan dengan jalur perdagangan
internasional dari dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa yang sejak
paling sedikit lima belas abad lamanya, mempunyai arti penting dalam
sejarah. Sriwijaya memang merupakan pusat perdagangan penting yang
pertama pada jalan ini, kemudian diganti oleh kota Batavia dan
Singapura. Menurut berita Cina, kita dapat menyimpulkan bahwa
Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan antara Asia Tenggara
dengan Cina yang terpenting.1 Sriwijaya adalah kerajaan maritime yang
pernah tumbuh menjadi suatu kerajaan maritime terbesar di Asia
Tenggara.

Politik ekspansi untuk mengembangkan sayap dan menaklukkan kerajaan


lain di Sumatra dilakukan Sriwijaya secara intensif pada abad ke-7, yaitu
pada tahun690 M. kenyataan ini diperkuat dengan adanya prasasti dari
kerajaan Sriwijaya, yang semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dan
dalam bahasa Melayu kuno. Sebagai kerajaan maritime, Sriwijaya
menggunakan politik laut yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk
singgah di pelabuhannya.

Ketergantungan kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola


perdagangan yang berkembang, sedangkan pola-pola tertentu tidak
sepenuhnya dapat dikuasainya. Meskipun demikian, pada abad XIII
Sriwijaya masih dapat berkembang sebagai pusat perdagangan dan
pelayaran yang besar dan kuat, serta menguasai bagian besar Sumatra,
semenanjung tanah Melayu, dan sebagian Jawa Barat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan


maritime yang besar telah mengembangkan ciri-ciri yang khas, yaitu
mengembangkan suatu tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan
tersebut lebih metropolitan sifatnya. Dalam upaya mempertahankan
peranannya sebagai Negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan
kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner daripada
Negara agraris.

B. Kerajaan Samudra
Sebagai akibat dari merosotnya kerajaan Sriwijaya, di Sumatra Utara
muncul beberapa kerajaan maritime kecil. Kerajaan-kerajaan yang
terdapat kira-kira tahun 1300 adalah Samudra, Perlak, Paseh, dan Lamuri
(yang kemudian menjadi Aceh). Kerajan-kerajaan pelabuhan ini
kesemuanya mengambil keuntungan dari perdagangan di selat Malaka.

Sekitar tahun 1350 adalah masa memuncaknya kebesaran Majapahit.


Bagi Samudra, masa itupun merupakan masa kebesarnannya. Kerajaan
Samudra di Aceh yang beragama Islam menjadi bagian dari Majapahit,
rupanya tidak menjadi persoalan bagi Majapahit. Begitu pula Samudra,
berhubungan langsung dengan Tiongkok, sebagai siasat untuk
mengamankan diri terhadap Siam yang daerahnya meliputi jazirah
Malaka, juga oleh Majapahit tidak dihiraukan.

C. Kerajaan Majapahit
Menurut Krom, kerajaan Majapahit ini berdasar pada kekuasaan di laut.
Laut-laut dan pantai yang terpenting di Indonesia dikuasainya. Kerajaan
ini memiliki angkatan laut yang besar dan kuat. Pada tahun 1377,
Majapahit mengirim suatu ekspedisi untuk menghukum raja Palembang
dan Sumatra. Majapahit juga mempunyai hubungan dengan Campa,
Kampuchea, Siam Birma bagian selatan, dan Vietnam serta mengirim
dutanya ke Cina.

Sebagai tambahan daerah yang mengakui kekuasaan Majapahit,


Prapanca memberikan nama-nama daerah yang tetap mempunyai
hubungan persahabatan dengan Majapahit. Daerah itu antara lain Siam,
Burma, Champa, dan “Javana” yaitu Vietnam – disamping negeri-negeri
yang jauh lagi seperti Cina, Karnatik dan Benggala, yang mengadakan
hubungan dagang dengan Majapahit.

Dengan uraian perluasan kekuasaan Majapahit, seperti dijelaskan oleh


Prapanca, kita telah menggunakan hipotesa bahwa pelayaran
perdagangan pada abad XIV berada di tangan pedagang Majapahit.
Artinya pada waktu itu, Majapahit memiliki kapal-kapal dagang dan
menjalankan pelayaran sendiri, disamping pelayaran yang dilakukan juga
oleh pedagang asing.

D. Kerajaan Malaka
Malaka merupakan suatu kota pelabuhan besar yang letaknya
menghadap ke laut. Posisi seperti ini juga dimiliki oleh kerajaan Maritim
lain seperti Banten, Batavia, Gresik, Makassar, Ternate, Manila atau
sungai besar yang dapat dilayari. Malaka muncul sebagai pusat
perdagangan dan kegiatan Islam baru pada awal abad ke-15. Pendiri
kerajaan Malaka adalah seorang pangeran Majapahit dari Blambangan
yang bernama Paramisora. Parameswara berhasil meloloskan diri ketika
terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka
sekitar tahun 1400. Di tempat ini dia menemukan suatu pelabuhan yang
baik yang dapat dirapati kapal-kapal di segala musim dan terletak di
bagian selat Malaka yang paling sempit. Beserta para pengikutnya dalam
waktu singkat, dusun nelayan dengan bantuan bajak-bajak laut menjadi
kota pelabuhan, yang karena letaknya yang sangat baik di Selat Malaka,
merupakan saingan berat bagi Samudra Pasai.

Dengan demikian, Malaka diberi kesempatan berkembang menjadi pusat


perniagaan baru. Sebelum itu, Malaka hanyalah merupakan sebuah
tempat nelayan kecil yang tak berarti. Pada awal abad ke-14, tempat
tersebut mulai berarti buat perdagangan perdagangan, dan dalam waktu
yang pendek saja menjadi pelabuhan yang terpenting di pantai Selat
Malaka.

Melalui persekutuan dengan orang laut, yaitu perompak pengembara


Proto-Melayu di selat Malaka, dia berhasil membuat Malaka menjadi
suatu pelabuhan internasional yang besar. Cara yang ditempuh Malaka
adalah dengan memaksa kapal-kapal yang lewat untuk singgah di
pelabuhannya serta memberi fasilitas yang cukup baik serta dapat
dipercaya bagi pergudangan dan perdagangan.

E. Demak : Kerajaan Maritim Islam Pertama di Jawa


Menurut Tome Pires, penguasa kedua di Demak, Pate Rodim Sr.
mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung. Pada masa
tersebut, beberapa daerah dapat ditaklukkan. Berdasarkan babad,
penguasa ketiga adalah Tranggana atau Trenggana. Raja ini telah
meresmikan Masjid Raya di Demak. Dalam berita Portugis menyebutkan,
pada tahun 1546 dia gugur dalam ekspedisi ke Panarukan di ujung timur
Jawa. Dalam kurun waktu itu wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan
ke timur, dan masjid Demak telah dibangun sebagai lambing kekuasaan
Islam. Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhan Jepara, yang
merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa.

Dari gambaran itu menunjukkan bahwa Demak benar-benar kekuatan


signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati Unuss atau Pangeran
Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513 dia menyerang Malaka
dengan menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandarBandarr
Jawa, namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa.
III. CATATAN SEJARAH PERIKANAN LAUT DI NUSANTARA
Dari perspektif kekuatan social politik dan ekonomi, kaum nelayan di
manapun di dunia dari dahulu hingg sekarang memang selalu termasuk
masyarakat marginal. Sebaliknya dari perspektif social budaya, bagian
terbesar dari mereka itulah sesungguhnya dikategorikan sebagai
masyarakat bahari sejati. Menggagas laut dan isinya, rekayasa sarana
perhubungan (perahu/kapal) untuk akses ke laut dan teknologi
pemanfaatan sumberdaya perikanan yang kaya dengan tipenya, dan
dinamika pengetahuan sebagai pedoman aktivitas pelayaran dan perilaku
eksploitasi sumberdaya laut, justru menjadikan kadar kebaharian kaum
nelayan dalam berbagai unsur melebihi kadar budaya kebaharian para
pelayar dan saudagar yang memanfaatkan lingkungan laut sebagai
prasarana pelayaran ( pelabuhan/dermaga dan rute-rute pelayaran)
semata.

Sejarah aktivitas penangkapan ikan di perairan Nusantara ini juga dapat


dilacak jauh ke belakang. Meskipun tingkat-tingkat perkembangan
budaya perikanan kurang terkandung dalam catatan sejarah
dibandingkan dengan aktivitas pelayaran (usaha perhubungan laut),
namun dapat diduga bahwa aktivitas kenelayanan berupa menangkap
ikan dan mengumpulkan biota laut tidak liar (kerang-kerangan, tumbuhan
laut) tidak jauh lebih mudah daripada aktivitas berburu dan meramu di
darat, yang mencirikan mode ekonomi subsistem masyarakat sederhana
dimana-mana. Adapun pola aktivitas kenelayanan dan mengumpulkan
biota laut tidak liar diduga sama dengan kalau bukan lebih tua daripada
pola aktivitas ekonomi perhubungan antarpulau, apalagi antarnegara dan
benua.

Dari catatan colonial diperoleh keterangan tentang kegiatan-kegiatan


nelayan pesisir dan pulau-pulau di Nusantara awal abad ke-20, abad ke-
19, dan sebelumnya. Misalnya, komunitas-komunitas nelayan Jawa dan
Madura cenderung memusatkan aktivitasnya pada penangkapan ikan
layang di perairan pantai utara Jawa dan Madura dengan mengoperasikan
perahu-perahu mayang dan menggunakan alat tangkap pukat paying
(dalam Lampe, 1989;Masyhuri,1996; Semedi,2000). Penangkapan
layang, yang dikategorikan sebagai perikanan laut dalam, menjadi tradisi
masyarakat nelayan Jawa dan Madura yang bertahan dan diandalkan
hingga sekarang. Meskipun kondisi tangkapan pada waktu itu cukup
melimpah, namun hasil produksi ikan belum juga mampu memenuhi
kebutuhan konsumen penduduk pantai dan pedalaman Jawa yang sangat
besar jumlahnya di abad ke-19 dan awal abad ke-20 – menurut penaksiran
John G. Butcher (2003), kira-kira seperempat dari penduduk Asia
Tenggara yang berjumlah 40 juta jiwa di abad ke-19 tinggal di pulau Jawa.
Untuk memenuhi permintaan ikan dari penduduk Jawa, karena itu, masih
diperlukan impor ikan dari bagian Siapi-api, Sulawesi Selatan, dan pulau-
pulau sekitarnya.

Di Sumatra, Bagan Siapi-api (Riau) merupakan pusat penangkapan ikan-


ikan pantai terutama mairo atau lure. Alat tangkap utama ialah pukat
halus berbentuk empat persegi dengan ukuran lubang rapat yang
dipasang pada pondok tancap (di Sulawesi Selatan disebut bagang
tancap). Pengelolaan modal perikanan dikuasai oleh pengusaha-
pengusaha keturunan Cina, sedangkan aktivitaspenangkapan dan
pengeringan ditangani penduduk nelayan local. Bagian besar dari hasil
produksi ikan diekspor ke Jawa dan Singapura, sisanya dipasarkan ke
daerah-daerah pedalaman pulau Sumatra sendiri.bentuk usaha perikanan
tersebut masih bertahan sampai sekarang dengan peningkatan kualitas
bahan pukat dan komponen teknik lainnya.

Di bagian timur Nusantara, Sulawesi Selatan di masa lalu dikenal juga


sebagai pusat produksi ikan dan hasil laut lainnya. Dalam catatan colonial
disebutkan jenis-jenis komoditas hasil laut tua selain ikan yang
diusahakan oleh nelayan Sulawesi Selatan seperti teripang, kerang
mutirara, penyu, sirip hiu, telur ikan, agar-agar, akar bahar dan rotan laut,
dan ikan bandeng (budidaya tambak). Di daerah tersebut terdapat empat
kelompok etnis yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Bajo, yang nelayannya
cenderung mengkhususkan tangkapannya pada satu atau lebih jenis
sumberdaya perikanan. Misalnya, nelayan Bugis di Teluk Bone banyak
melakukan usaha bagang (menangkap ikan campuran berkelompok di
perairan pantai); nelayan Makassaar di Galesong mempertahankan usaha
ikan terbang dan telur ikan; nelayan Mandar dengan usaha panjak-
rumpon (menangkap ikan layang dengan pukat payang dan sarana bantu
rumpon) dan usaha ikan terbang dan telur ikan; dan Bajo dengan usaha
selam (usaha teripang, kerang, dan biota tidak liar lainnya) dan usaha
pancing. Sebetulnya sebagian nelayan Bugis dan Makassar dan
kebanyakan nelayan Bajo di Sulawesi Selatan tetap mempertahankan
usaha selam (mencari teripang dan kerang mutiara) hingga sekarang,
meskipun populasi dari kedua jenis hasil laut tersebut dalam perairan
territorial dan nusantara semakin berkurang.

Menurut catatan colonial, usaha-usaha nelayan Bugis, Makassar, dan Bajo


pada komoditas hasil laut tua sudah mengalami perkembangan di abad
ke-17 kalau bukan sejak abad sebelumnya (Macknight, 1976; Sutherland,
1987; Reid, 1992). Daerah penangkapan (fishing grounds) mereka bukan
hanya mencakup selat Makassar, Teluk Bone, dan Laut Flores, tetapi
diperluas ke perairan Maluku dan Irian Barat, kea rah selatan hingga NTT
dan bahkan sampai ke perairan pantai utara Australia, dan ke arah barat
mulai dari perairan Kalimantan Selatan, perairan pantai Sibolga, Nias, dan
Mentawai bagian barat Sumatra Utara.

Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, usaha perikanan tongkol, tuna,


dan ekor kuning dimulai dalam masa pendudukan Jepang dan mengalami
perkembangan setelah kemerdekaan. Usaha ikan dasar (kerapu, kakap,
baronang, tenggiri) dan lobster segar mulai berkembang dalam periode
1980-an. Usaha lobster dan ikan hidup (kerapu, kakap, napoleon) yang
prospektif baru dimulai sejak akhir tahun 1980-an dan Berjaya dalam
periode 1990-an (Akimichi, 1996; Tim Social Assesment COREMAP 10
Propinsi di Indonesia, 1996/1997; 1997/1998). Sebetulnya, menurut cerita
nelayan generasi tua di Sulawesi Selatan, usaha ikan berukuran sedang
(ikan terbang, layang, jenis-jenis sardine dan makeril), dan ikan karang
berkualitas (kakap dan kerapu atau sunu dalam istilah local) sudah
diusahakan sejak dahulu di Sulawesi Selatan.

Perkembangan sector perikanan yang cukup berarti di beberapa daerah di


Indonesia akhir-akhir ini ialah usaha budidaya rumput laut, ikan kerapu
dan lobster, dan kerang mutiara yang dipraktikkan nelayan yang cukup
kreatif dan inovatif. Usaha budidaya laut bukan hanya berperanan positif
terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, tetapi
juga pada pembentukan kelembagaan penguasaan lokasi laut yang
menjamin terjaganya kelestarian lingkungan laut.

Perkembangan berbagai usaha perikanan rakyat tersebut tentu sangat


dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal, terutama situasi dan
kondisi pasar dan konsumen dalam dan luar negeri. Penangkapan layang
oleh nelayan Jawa dan Madura dan usaha ikan kering di bagian Siapi-api
merupakan respons masyarakat nelayan terhadap permintaan ikan oleh
penduduk nelayan Jawa dan Sumatra di daerah perkotaan dan desa-desa
pedalaman sejak dahulu. Aktivitas nelayan penyelam Bugis, Bajo, dan
Makassar merupakan respons terhadap pedagang-pedagang Cina dari
Peking dan Hongkong yang di masa itu dating langsung ke kota Somba
Opu. Produksi ikan tongkol, tuna dan ekor kuning diekspor ke Jepang dan
Australia. Lobster segar, ikan dan lobster hidup diekspor ke Hongkong
dan Singapura, selain diperuntukkan bagi kalangan elit dan wisatawan
asing di Bali, Surabaya, dan Jakarta. Produksi ikan-ikan segar (jenis-jenis
tongkol, tuna, tenggiri, dan lain-lain) sebagian besar dipasarkan ke
Jepang, Kanada, dan Negara-negara tetangga maju lainnya.

IV. CATATAN SEJARAH PENGEMBANGAN PELAYAR DAN


NELAYAN
Dalam melakukan aktivitasnya, penduduk bahari, terutama nelayan dan
pelayar, mempunyai mobilitas pengembaraan yang tinggi. Berbeda
dengan pelayar yang tujuannya ialah pelabuhan-pelabuhan di kota-kota
pantai, nelayan yang memanfaatkan sumberdaya hayati (ikan dan
spesies-spesies biota lainnya) tujuannya ialah daerah-daerah
penangkapan (fishing grounds) di perairan pesisir dan laut dalam.
Kebanyakan kelompok nelayan dari Jawa, Madura, dan Bawean mencari
ikan layang sampai di kepulauan Natuna, Selat Makassar, Laut Arafuru,
dan Laut Banda. Nelayan pencari telur ikan terbang dari Mandar sejak
dahulu menjajah laut laut dalam selama berbulan-bulan hingga ke laut
Flores dan Maluku. Nelayan pancing tongkol dan tuna dari Sulawesi
Selatan juga mendatangi Laut Flore, Maluku, bahkan sejak tahun 1998
sebagian nelayan Bugis dari Sinjai (Teluk Bone) smpai ke perairan Cilacap
menangkap tongkol. Kelompok-kelompok nelayan paling berani
mengarungi dan tinggal di lautan selama berbulan-bulan ialah nelayan
Bugis dan Bajo (Pulau Sembilan, Teluk Bone), nelayan Makassar
(Barranglompo, Kodingang) mencari teripang dan kerang-kerangan ke
seluruh perairan Nusantara. Pengembaraan ke kawasan Timur Indonesia,
mereka mendatangi NTT, Maluku, Biak, hingga Merauke. Ke arah selatan,
mereka mendatangi NTB, kemudian menyebrang ke perairan pantai utara
Australia. Bahkan di abad ke-17, dalam pelayarannya kembali ke Makassar
nelayan penyelam tersebut melalui perairan pantai barat Papua New
Guinea yang kaya dengan mutiara dan teripang. Oleh karena populasi
teripang dan spesies-spesies kerang bernilai ekonomi tinggi telah
merosot sejak tahun 1980-an, maka kelompok-kelompok pengembara
tersebut semakin berkurang jumlahnya. Hal menarik perhatian ialah
nelayan Madura (jumlahya tidak kurang dari 10 kapal) juga sampai di
Teluk Bone mencari jenis-jenis teripang yang tidak diambil nelayan Bugis
dan Bajo.

Berbeda dengan nelayan yang tujuan pengembaraannya terpusat ke


daerah-daerah penangkapan (fishing grounds), kemudian ke pelabuhan
tau pelelangan ikan untuk tangkapan, dan membeli perbekalan, pelayar
dengan armadanya justru menjadikan pelabuhan kota-kota pantai
dimana-mana sebagai pusat bongkar muat barang dan penumpang. Bagi
mereka, lautan hanyalah merupakan prasarana dan rute-rute transportasi
antarkota pantai, antarpulau, antarnegara, dan bahkan antarbenua.

BAB III
PENUTUP

I. KESIMPULAN
Dari penjelasan pada bab dua, tidak dapat dibantahkan lagi bahwa
Indonesia memang terlahir sebagai Negara maritime. Sebelum Indonesia
merdeka, nenek moyang telah menunjukkan bahwa Indonesia pada
zaman dahulu sudah berlayar jauh dengan perahu sederhana dan ilmu
yang mereka miliki melalui kebudayaannya. Hingga munculnya kerajaan-
kerajaan maritime yang semakin memperkuat konsep “kemaritiman”
Indonesia. Ditambah dengan puncak kejayaan Indonesia yang diraih oleh
kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 semakin menambah keyakinan kita
bahwa Indonesia memang Negara maritime yang kuat dulunya. Selain itu,
kegiatan pengembaraan dan perikanan nelayan Indonesia pada masa
lampau sangat menggambarkan jiwa kemaritiman yang tinggi. Mereka
berlayar sampai ke NTT, Maluku, bahkan ke pantai utara Australia.
II. SARAN
Jika kita perhatikan, keadaan maritim Indonesia saat ini justru mengalami
kemunduran yang signifikan, dikarenakan visi maritim tida lagi jelas dan
tidak mampunya masyarakat Indonesia melihat potensi dari posisi
strategis nusantara.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya jita kembali kapada visi maritim yang
dulu seperti diterapkan nenek moyang kita, karena sejatinya Indonesia
menyandang predikat “Negara Maritim” atau negara kepulauan.
Sehingga dengan mengoptimalkan letak strategis dari Indonesia dan
kekayaan sember daya bahari yang melimpah, maka bukan mustahil jika
Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dan diperhitunkan di dunia
dalam bidang maritim layaknya dimasa jayanya dulu.

Sebaiknya pemerintah bersama pemimpin – pemimpin lainnya


menciptakan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni
laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa. Dengan persepsi
demikian tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting maritim
dalam pembangunan nasional.

Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah


dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah; laut
sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media
sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan
serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia, yang tujuan
akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan
harga diri bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Lampe, Munsi (2009). Wawasan Sosial Budaya Bahari (WSBB). Makassar:
MKU
Saru, Amran, et al. Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM). Makassar:
MKU, 2011
Burhanuddin, Safri, et al. Sejarah Maritim Indonesia, Menelusuri Jiwa
Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa. Semarang: Pusat
Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara Lembaga Penelitian
Universitas Diponegoro Semarang, 2003
Sumardjono (2007). Kejayaan Maritim Indonesia. From
http://abgnet.blogspot.com/2007/12/negara-bahari.html
Kusumoprojo, Wahyono Suroto (2009). Indonesia Negara Maritim.
Jakarta Selatan: Teraju.

Anda mungkin juga menyukai