Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

ARSITEKTUR ASIA & NUSANTARA


“PENGANTAR PERKEMBANGAN ARSITEKTUR”

DISUSUN OLEH:

LA ODE ABDUL RAHMAN ( 21802007 )

PROGRAM STUDI S1 ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah…Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmat dan

hidayahnya segala pujian hanya layak kita aturkan kepada Allah SWT. Tuhan seru

sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta petunjuk-nya yang sungguh tiada

berkira besarnya, sehingga penulisan dapat diselesaikan.

Dalam penyusunan makalah ini,  Penulis tentu berharap isi makalah ini tidak

meninggalkan celah, berupa kekurangan dan kesalahan namun kemungkinan akan selalu

tersisa kekurangan yang tidak di sadari oleh penulis. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih

baik lagi. Akhir kata, penulis mangharapkan agar makalah ini bermanfaat bagi semua

pembaca.

Wassalamu’alaikuam Wr. Wb.

Muna Barat, 14 Oktober 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................... 

B. Rumusan Masalah.....................................................................................

C. Tujuan.......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................

A. Sejarah Perkembangan Arsitektur Asia dan Nusantara

B. Pengaruh Kepercayaan/Keyakinan Terhadap Arsitektur Nusantara


C. Pengarh Bidang Pertanian Terhadap Arsitektur Nusantara
D. Pengaruh Suku Primitif Terhadap Arsitektur Nusantara
BAB II PENUTUP......................................................................................................

A. Kesimpulan.................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan latar belakang historis bahwa tata ”Nusantara” adalah sebuah
kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa kuno. Kata ini terdiri dari kata-
kata nusa yang berarti ‘pulau’ dan antara berarti ‘lain’.Istilah ini digunakan
dalam konsep kenegaraan “Jawa” artinya daerah di luar pengaruh budaya
Jawa.
Wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan
Australia.Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat
persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau
sebaliknya.Persinggahan para pelayar dan pedagang dari berbagai
mancanegara telah menjadikan nusantara sebagai tempat kehadiran semua
kebudayaan besar didunia.Bukti-bukti penemuan artefak-artefak seperti
prasasti, uang logam dan gerabah bahkan bangunan yang dapat memberikan
informasi kehadiran bangsa-bangsa besar tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan
peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi tersebut
diatas, maka dapat dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur
selama peradaban Islam (bisa termasuk arsitektur lokal atau tradisional, dan
pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial dan pasca
kolonial). Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan
panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan
pembangunan candi-candi.Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada
relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang arsitektur lokal/domestik
atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia
dari bangunan vernakular yang ada di Indonesia, tidak ada yang lebih dari
150 tahun. Pembahasan ini dapat diurutkan sebagai berikut: Arsitektur
vernacular ,Arsitektur klasik atau candi, Arsitektur pada masa perabadan atau
kebudayaan Islam, Arsitektur Kolonial, Arsitektur Modern (pasca
kemerdekaan).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi perkembangan arsitektur di nusantara?
2. ?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aspek-aspek perkembngan arsitektur di nusantara!
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Arsitektur Nusantara!
BABII
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Arsitektur Asia dan Nusantara


1. Sejarah Nusantara

a) Sejarah Singkat Nusantara


Wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan
Australia.Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat
persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau
sebaliknya.Persinggahan para pelayar dan pedagang dari berbagai
mancanegara telah menjadikan Nusantara sebagai tempat kehadiran semua
kebudayaan besar didunia.Bukti-bukti penemuan artefak-artefak seperti
prasasti, uang logam dan gerabah memberikan informasi kehadiran bangsa-
bangsa besar tersebut. Seperti prasasti berbahasa Tamil ditemukan di desa
Lobu Tua pesisir Barat Sumatra (Barus), porselin dan gerabah Cina
ditemukan di Palembang, nisan dan uang logam Arab ditemukan di Aceh.
Dari penemuan-penemuan tersebut, para arkeolog dan sejarahwan menyusun
kronologis sejarah Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sekitar seribu tahun
lamanya, dari abad ke-5 sampai ke-15, kebudayaan-kebudayaan India
mempengaruhi Sumatra, Jawa dan Bali, dan Kalimantan bersamaan dengan
dataran-dataran rendah yang luas di Semenanjung Indocina. Kebudayaan
India ini awalnya pada penyebaran agama Hindu dan Buddha dan Islam di
Indonesia. Di Jawa Tengah, candi Borobudur dan Prambanan adalah
monumen yang sama nilainya dengan Angkor dan Pagan.
Pada abad ke-7 hingga ke-14, kerajaan Budha Sriwijaya berkembang pesat di
Sumatra.Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang
sekitar tahun 670.Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah
sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu.Pada abad ke-14 juga menjadi
saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit.Patih
Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh
kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta
hampir seluruh Semenanjung Melayu.Warisan dari masa Gajah Mada
termasuk kodifikasi hukum dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat
dalam wiracarita Ramayana.Islam tiba di Indonesia sekitar abad ke-12,
menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir dekad ke-16 di
Jawa dan Sumatra.
Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoriti Hindu. Agama Islam
ini dibawa oleh pedagang Arab dari Parsi dan Gujarat melalui
pembauran.Kesultanan kecil Samudra Pasai disebelah utara Sumatra menjadi
bandar yang ramai pada masa itu. Berdasarkan catatan Gastaldi (1548),
seorang ahli kosmografi dan enjineer dari Italia, pelabuhan atau bandar
kesultanan Samudra sebagai yang terbaik di pulau tersebut, dan melalui
proses evolusi nama, istilah Sumatra dikenalkan pertama kali oleh orang
Eropa Nicholò de’ Conti, sebelumnya Marcopolo menyebut dengan
“Samara”, kemudian Friar dan Odoric menyebut dengan “Sumoltra”, Ibnu
Battuta menyebut “Samudra”. Melalui evolusi yang sama, nama Borneo pada
mulanya adalah nama sebuah pelabuhan Brunei, yang pada masa itu
merupakan nama kerajaan terpenting di Kalimantan Barat. Di kepulauan-
kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui
sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar
dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.Penyebaran Islam
didorong hubungan perdagangan di luar Nusantara; umumnya pedagang dan
ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut.Kerajaan
penting termasuk Mataram di Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan
Kesultanan Tidore di Maluku di timur.
Peradaban Eropa, hadir sejak abad ke-16, mula-mula dalam bentuk
peradaban Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan
Belanda. Marcopolo menjadi orang Eropa pertama yang bercerita tentang
perjalanannya ke bandar-bandar pantai utara “Samara” pada tahun
1291.Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa
wilayah Nusantara dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-
kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit.Pada dekad ke-17 dan 18
Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda
namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda
(Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC).VOC telah diberikan hak
monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut
oleh parlemen Belanda pada tahun 1602.Markasnya berada di Batavia, yang
kini bernama Jakarta.VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada
masa itu dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan
pemimpin Mataram dan Banten.Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir
dekad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas
Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC
pada tahun 1816.Pada 1901 pihak Belanda melancarkan Politik Etis (Ethische
Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi
orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik.Di bawah gubernur-
jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang
kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan
itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.Pada saat ini,
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kota-kota dengan berbagai macam
fasilitas seperti bangunan perkantoran, rumah sakit, bangunan ibadah (masjid
dan gereja) dan lain sebagainya.
Penetrasi Jepang di Asia Tenggara pada tahun 1941 disambut pada
bulan yang sama dengan menerima bantuan Jepang untuk mengadakan
revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda terakhir
dikalahkan Jepang pada Maret 1942.

b) Geografi dan Lingkungan


Nusantara beriklim tropis sesuai dengan letaknya yang melintang di
sepanjang garis khatulistiwa. Dataran Indonesia kurang lebih 1.904.000
kilometer persegi terletak antara 60 garis lintang utara dan 110 garis lintang
selatan serta 950 dan 1400 garis bujur timur. Dataran ini dibagi menjadi
empat satuan geografis yaitu kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi), Kepulauan Sunda Kecil (Lombok, Sumba, Sumbawa,
Komodo, Flores, Alor, Savu, dan Lembata), Kepulauan Maluku (Halmahera,
Ternate, Tidore, Seram dan Ambon), dan Irian Jaya beserta kepulauan Aru.
Secara geologis, Nusantara terdiri dari bentukan vulkanik dan nonvulkanik
yang saling berjalin, sehingga Indonesia merupakan wilayah seismik paling
aktif di dunia, tercatat kira-kira 500 gempa bumi setahun. Sejak akhir tahun
2004 hingga 2006 tercatat lebih dari 1000 kali gempa bumi. Selain gempa
bumi, wilayah Nusantara juga merupakan wilayah yang rawan tsunami,
berdasarkan katalog gempa (1629 - 2002) di Indonesia pernah terjadi
Tsunami sebanyak 109 kali, terakhir kali bencana tsunami yang paling besar
terjadi akhir 2004 melanda wilayah Naggroe Aceh Darussalam.

c) Keragaman Budaya
Indonesia memiliki 18,018 buah pulau yang tersebar di sekitar khatulistiwa
mulai dari 60 garis lintang utara dan 110 garis lintang selatan serta 950 dan
1400 garis bujur timur. Diantara puluhan ribu pulau tersebut terdapat lima
pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya,
dengan pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari
setengah (65%) populasi Indonesia hidup dipulau ini. Flora dan fauna
Indonesia sangatlah beragam jenisnya.Setiap pulau memiliki kekhasan sendiri
dan sering menjadi ikon dalam perkembangan wilayah atau daerah
tersebut.Selain itu, Indonesia juga kaya dengan keberagaman etnis, terdapat
kurang lebih 300 suku yang berbicara dalam 500 bahasa dan dialek.
Berdasarkan sosial linguistik, kebanyakan orang Indonesia berbahasa
Austronesia yang kelompok wilayahnya persebarannya meliputi banyak pulau
di Asia Tenggara, sebagian dari Vietnam Selatan, Taiwan Mikronesia,
Polinesia dan Madagaskar sehingga memiliki banyak kesamaan warisan
budaya. Pengaruh budaya Austronesia pada budaya Indoenesia terlihat dalam
budaya materi, organisasi sosial, kepercayaan, mitos, serta bahasa.Indonesia,
selain kekayaan bahasa, masing-masing etnis memiliki keunikan adat istiadat
dan budaya yang sering direfleksikan dalam keunikan arsitektur lokal atau
vernakular. Apabila setiap etnik memiliki satu karakteristik arsitektur
vernakular, maka terdapat kurang lebih 500 arsitektur vernakular di Indonesia
yag merupakan kekayaan tiada tara bagi bangsa Indonesia.
2. Nusantara dan Jaringan Asia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Nusantara terletak pada
persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih
khusus, Benua Asia dan Australia. Persilangan ini telah menjadikan wilayah
Nusantara sebagai tempat persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama
dari China ke India atau sebaliknya. Selain kedua bangsa Asia ini, terdapat
juga pengaruh lain dari berbagai budaya hebat di dunia seperti peradaban
Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan Belanda.
Beberapa peninggalan budaya yang nampak atas pengaruh yang pernah
singgah masih ada seperti misalnya kebudayaan India pengaruhnya mencakup
terhadap penyebaran dan perkembangan Hindu Buddha dan Islam di
Indonesia yang bisa diketahui dari tinggalan budayanya yaitu arsitektur candi
dan arsitektur masjid bergaya Moghul di Indonesia yang dapat terlihat dalam
berbagai sapek kehidupan.
Sejarah Perkembangan Arsitektur Indonesia
Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara
umum periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi atas tiga bagian besar
yaitu Zaman Hindu-Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan
proses oksidentalisasi. Sebenarnya terdapat satu zaman lagi sebelum zaman
Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi pembahasan serta diskusi
tentang zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang arsitektur
terutama pada masa prasejarah awal.
Perkembangan arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang
ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan
Bondowoso.Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di
Leuwilang, Matesih, Pasirangin. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah
budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan
dengan periodisasi tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai
arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk
arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern
(termasuk arsitektur kolonial dan pasca kolonial). Keberadaan arsitektur lokal
yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah ada sebelum
atau bersamaan dengan pembangunan candi-candi.Hal ini ditunjukkan dari
berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi
tentang arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara.
Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang ada di
Indonesia, tidak ada yang lebih dari 150 tahun. Pembahasan pada buku ajar
ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan sebagai
berikut
o Arsitektur vernacular
o Arsitektur klasik atau candi
o Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam
o Arsitektur Kolonial
o Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)
B. Pengaruh Kepercayaan/Keyakinan Terhadap Arsitektur
Nusantara

a) Pengaruh Aritektur Islam Pada Arsitektur Indonesia


Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang
terlampir sebelumnya.Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami
proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena
percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan
kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia.Masuknya Islam tersebut
tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang.Ajaran Islam mulai masuk ke
Indonesia sekitar abad Penyebaran awal Islam di Nusantara dilakukan pedagang-
pedagang Arab, Cina, India dan Parsi. Setelah itu, proses penyebaran Islam
dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Islam Nusantara melalui perkawinan,
perdagangan dan peperangan. Banyak masjid yang diagungkan di Indonesia tetap
mempertahankan bentuk asalnya yang menyerupai (misalnya) candi
Hindu/Buddha bahkan pagoda Asia Timur, atau juga menggunakan konstruksi
dan ornamentasi bangunan khas daerah tempat masjid berada.Pada perkembangan
selanjutnya arsitektur mesjid lebih banyak mengadopsi bentuk dari Timur Tengah,
seperti atap kubah bawang dan ornamen, yang diperkenalkan Pemerintah Hindia
Belanda. Kalau dilihat dari masa pembangunannya, masjid sangat dipengaruhi
pada budaya yang masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau
Jawa, memiliki bentuk yang hampir sama dengan candi Hindu – Budha. Hal ini
karena terjadi akulturasi budaya antara budaya setempat dengan budaya luar.Antar
daerah satu dengan yang lain biasanya juga terdapat perbedaan bentuk. Hal ini
juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan budaya setempat. Bentuk budaya
sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat
kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid,
makam, istana. Untuk lebih jelasnya silakan Anda simak gambar berikut:
  ''Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia.''

Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar
memiliki ciri sebagai berikut: Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang
bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk
limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan
kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan
Mustaka.Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid
yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan
kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan
kentongan merupakan budaya asli Indonesia.Letak masjid biasanya dekat dengan
istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat
keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat
pada bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam Sendang
Duwur berikut ini: 

''Makam Sendang Duwur (Tuban)''


Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari: 
makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,
nisannya juga terbuat dari batu.di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri
yang disebut dengan cungkup atau kubba,dilengkapi dengan tembok atau gapura
yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok
makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan
berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak
berpintu).di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam
dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.Contohnya masjid
makam Sendang Duwur seperti yang tampak pada gambar tersebut.

1. Masjid Agung Demak 

''Tampak depan Masjid Agung Demak ''

Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid tertua di Indonesia.Masjid ini


terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah
menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut
juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa
khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah
Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak. Masjid ini mempunyai
bangunan-bangunan induk dan serambi.Bangunan induk memiliki empat tiang
utama yang disebut saka guru.Bangunan serambi merupakan bangunan
terbuka.Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka
Majapahit. Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa
makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana juga terdapat
sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid
Agung Demak.

2. Masjid Menara Kudus 

Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al
Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi
atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari
Palestina sebagai batu pertama dan terletak di desa Kauman, kecamatan Kota,
kabupaten Kudus, Jawa Tengah.Yang paling monumental dari bangunan masjid
ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada
ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah
terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai
menara masjid di seluruh dunia.Keberadaannya yang tanpa-padanan karena
bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang
menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid
ini mendekati kualitas genius locy.

''Menara Masjid Kudus merupakan


bangunan menara masjid paling unik di Kota Kudus karena bercorak Candi
Hindu Majapahit''
Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m
persegi pada bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan
elemen bangunan Jawa-Hindu.Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara
yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya.Ciri
lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa
perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta
secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara
yang sering ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa
juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan
berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap
tajuk.Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala)
seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di
Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu. 

1) Masjid Agung Banten 

Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah


utara kota Serang, ibu kota Provinsi Banten ini menjadi obyek wisata ziarah
arsitektur yang sangat menarik, karena gaya seni bangunan yang unik dan terdapat
elemen arsitektur menarik. Sisi menarik pertama dari bangunan utama masjid,
yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sutan
pertama Kasultanan Demak yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati itu adalah
atapnya yang tumpuk lima. Menurut tradisi, rancangan bangunan utama masjid
yang beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina bernama Cek Ban
Cut. Selain jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga menampilkan
keunikan yang tidak ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang
Pulau Jawa, bahkan di seluruh Indonesia. Yang paling menarik dari atap Masjid
Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang
samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di
atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang
bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan
atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik
tersendiri. Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai
mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak
heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua
penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan
ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik. Elemen menarik lainnya
adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik
karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di
seluruh Nusantara.Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid
di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid
yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa. Tradisi menyebutkan,
menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon
lebih berfungsi sebagai menara pandang/pengamat ke lepas pantai karena
bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan
azan.Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan
menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung
Kota Banten masa lampau.
2) Masjid Sultan Suriansyah 
Masjid Sultan Suriansyah adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan
masjid tertua di Kalimantan Selatan.Masjid ini dibangun di masa pemerintahan
Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama
Islam.Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara,
Kota Banjarmasin. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian mihrabnya
memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk.Masjid ini didirikan di tepi
sungai Kuin. Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang
dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya
agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan.Arsitektur mesjid Agung Demak
sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu.
Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari
arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut :
atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella.
Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali.Bentuk atap yang
bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi
kekuasaan ke atas.Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki
tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid
Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di
daerah tersebut.Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang
dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella.Tiang guru
adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang
dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara
kosmologi cella lebih penting dari mihrab. 
b) Pengaruh India di Bidang Arsitektur
Arsitektur atau seni bangunan ala masa India juga bertahan hingga kini.Meski
tampilannya tidak lagi serupa benar dengan bangunan Hindu-Buddha (candi),
tetapi pengaruh Hindu-Buddha membuat arsitektur bangunan yang ada di
Indonesia menjadi khas.
Salah satu cirri bangunan Hindu-Buddha adalah “berundak.”Sejumlah undakan
umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia.Undakan
tersebut paling jelas terlihat di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti
Syailendra yang beragama Buddha.
Hal yang khas dari arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu ‘kepala’,
‘badan’ dan ‘kaki.’ Ketiga bagian ini melambangkan ‘triloka’ atau tiga dunia,
yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan),
dan svarloka (dunia para dewa). Untuk lebih jelasnya, lihat Figure 1.

Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan


spiritual semisal masjid maupun profan (biasa) semisal Gedung Sate di Bandung.
Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan mempengaruhi
bangunan-bangunan lain yang lebih modern.Misalnya, Masjid Kudus
mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya
bernama Masjid Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M.
Yang unik adalah, sebuah menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan
arsitektur candi Hindu.
Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada gerbang
masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi
wudhu, yang pancurannya dihiasi ornament khas Hindu.
Banyak hipotesis yang diutarakan mengapa Jafar Shodiq menempatkan arsitektur
Hindu ke dalam sebuah masjid. Hipotesis pertama mengasumsikan pembangunan
tersebut merupakan proses akulturasi antara budaya Hindu yang banyak
dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya dengan budaya Arab-Persia yang
hendak dikembangkan. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi Cultural Shock yang
berakibat terasingnya orang-orang pemeluk Islam baru sebab tercerabut secara
tiba-tiba dari budaya mereka.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa penempatan arsitektur Hindu
diakibatkan para arsitek dan tukang yang membangun masjid menguasai gaya
bangunan Hindu. Ini berakibat hasil pembangunan mereka bercorak Hindu.
Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer
semisal Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung.Gedung Sate didirikan tahun
1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding
gedung secara kuat bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Jika lebih
didekati, maka bagian bawah dinding Gedung Sate memuat ornament-ornamen
khas Hindu.Tentu saja, arsitektur Gedung Sate tidak murni berisikan arsitektur
Hindu.Ia merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dengan Lokal Indonesia.
Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu juga
ditampakkan Masjid Demak. Nuansa arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan
tahun 1466 M misalnya tampak pada atap limas yang bersusun tiga, mirip dengan
candi dimana bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga
makna tersebut kemudian ditransfer kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan
ihsan.
Ciri lainnya adalah bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih
tegak ketimbang atap di bawahnya.Atap tertinggi yang berbentuk limasan
ditambah hiasan mahkota pada puncaknya.Komposisi ini mirip meru, bangunan
tersuci di pura Hindu.

C. Pengaruh Kebudayaan/Tradisi Terhadap Arsitektur


Nusantara

Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan.


Secara umum periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi atas tiga bagian
besar yaitu Zaman Hindu-Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern,
dengan proses oksidentalisasi. Sebenarnya terdapat satu zaman lagi sebelum
zaman Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi pembahasan serta
diskusi tentang zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang
arsitektur terutama pada masa prasejarah awal.
Perkembangan arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang ditandai
dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan
Bondowoso.Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di
Leuwilang, Matesih, Pasirangin. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah
budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan
dengan periodisasi tersebut diatas, termasuk arsitektur lokal atau tradisional,
dan pra modern dan arsitektur modern.

a. Arsitektur Dayak
1. Sekilas Tentang Dayak
Dayak merupakan nama kolektif untuk demikian banyak suku asli di
Kalimantan, yang sebagian besar menghuni daerah pedalaman. Daerah
hilir atau daerah pantai yang mengitari mereka dihuni oleh orang Melayu,
Banjar, Bugis, Jawa, Madura, dan lain-lain.
Suku Dayak, sebagaimana suku lainnya , memiliki kebudayaan dan
adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Kebudayaan Dayak terus
mengalami perubahan karena pengaruh dari luar dan dalam. Beberapa
program pembangunan dan pembaharuan, kurang menghargai nilai-nilai
budaya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Dayak. Pada
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kurang memahami pola
kehidupan dan cara berpikir masyarakat Dayak. Contohnya adalah
“rumah panjang” atau rumah betang orang Dayak, yang dipandang
sebagai salah satu faktor penghambat dalam pembinaan dan
pembangunan masyarakat yang modern.
2. Makna Rumah
Rumah betang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang
bersambung telah dikenal hampir oleh seluruh suku Dayak. Orang Iban
menyebutnya “betai panjae”, dan orang Banuaka menyebutnya “sao
langke”.
Rumah betang memberikan makna tersendiri bagi penghuninya.
Bagi masyarakat Dayak, rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka
karena hampir seluruh kegiatan hidup mereka berlangsung disana. Ralp
Linton ( dalam The Culture Background of Personality, New York:
Appleton-Century-Croft, 1945, yang dimuat oleh editor T.O Ilrohmi
dalam buku yang disuntingnya dan diberi judul Pokok-Pokok
Antropologi Budaya  ) mengatakan :
“ Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang
manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu
bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.
Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan dunia seperti mencuci
piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan,
hal ini sama derajatnya dengan hal-hal yang lebih halus dalam
kehidupan. Karena itu, bagi seorang ilmu ahli sosial tidak ada masyarakat
atau perorangan yang tidak memiliki kebudayaan. Tiap masyarakat
mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu
dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil
bagian dari suatu kebudayaan.”
3. Kehidupan Komunal Di Rumah Betang
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan
contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan
beradaptasi dengan lingkungan. Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh
faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak dapat
mempertahankan rumah betang mereka.
Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama
secaraberdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka
gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha
terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini
didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan
kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut
dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa
setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama
dalam lingkungan masyarakatnya.
Dengan mempertahankan rumah betang, masyarakat Dayak tidak
menolak perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama
perubahan yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah
dan jasmaniah mereka.
Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-
sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan
untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni
binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara
bertahap sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai
mengenal perkebunan dan peternakan.
Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga
dan pada masyarakat.
4. Bagian –Bagian Pada Rumah Betang Suku Dayak
a. Tangga
Tangga untuk naik ke rumah betang berjumlah tiga, yaitu di
ujung kiri kanan dan satu di bagian depan yang menandakan untuk
pengungkapan rasa komunitas dan solidaritas warga yang berada di
dalam rumah tersebut. Anak tangga biasanya mempunyai hitungan
mistik yaitu tonggak(ganjil), tunggak dan tidak boleh jatuh pada
hitungan tinggal (genap). Hitunggan anak tangga dimulai dari
hitunggan dari tonggak dan seterusnya sesuai tinggi rendahnya
rumah, kepala tangga dibuat patung kepala manusia yang dalam
mistiknya sebagai penunggu, penjaga rumah beserta isi keluarga
yang mendiami agar yidak diganggu oleh roh ataupun marabahaya.
b. Posisi tangga
 Ada rumah betang yang memiliki tangga di kedua sisi ujung
rumah panjang. Biasanya untuk rumah yang ukurannya sangat
panjang (300 – 400 m) biasanya dibuat dengan tujuan
memudahkan akses dari kedua sisi masing-masing rumah.
 Ada juga rumah betang yang memiliki hanya 1 tangga dan
terletak di depan dan tengah – tengah. Ukuran panjang rumah ini
pun hanya mencapai 200  m.
 Pada rumah betang yang baru (kepentingan pariwisata),
biasanya di bangun tiga tangga. Dua tangga di sisi kiri dan
kanan dan satu tangga di tengah bagian depan.
c. Pante
Merupakan lantai yang berada didepan bagian luar atap yeng
menjorok ke luar, berfunggsi sebagai tempat antara lain: menjemur
padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainya. Lantai pante
berasal dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan
sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
d. Serambi
Merupakan pintu masuk rumah setelah melewati pante yang
jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi
ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti
sebatang bambu yang kulitnya diarut halus menyerupai jumbai-
jumbai ruas  demi ruas ( semacam janur ).
e. Sami
Merupakan ruangan terbuka milik bersama, digunakan sebagai
tempat menerima tamu, menyelenggarakan kegiatan warga yang
memerlukan. Ditempat ini biasanya para tamu yang datang
dipersilahkan duduk dan disuguhi hidangan oleh tuan rumah di bilik
yang didatangi sedangkan keluarga yang lain biasanya juga ikut
memberikan suguhan sebagai tanda kebersamaan antar keluarga
dalam komunitas di rumah panjang ini.
f. Dapur
Disudut ruangan dalam bilik masing-masing keluarga ada
dapur dengan kelengkapannya  ( para api ).
g. Jungkar
Merupakan ruangan tambahan dibagian belakang bilik
keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah
panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih
merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar ini terkadang
ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar
tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang
atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn
( ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu )
yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.[4]  
5. Bangunan-Bangunan Tambahan Selain Rumah Betang
 Jurokng (lumbung padi) ; biasa berbentuk bujur sangkar dan
berukuran 4x4 atau 5x5 m. Di kalangan Dayak, lumbung merupakan
tempat menyimpan padi cadangan sekaligus tempa diadakan upacara
panen padi tempat bersyukur kepada Ponompa(Tuhan) atas hasil
panen yang ada.
 Pelaman ;gubuk tempa peristirahatan yang terdapat di ladang.
 Sandong ; beberapa sub suku Dayak mempunyai tradisi seperti suku
Indian yakni Totem. Dengan tiang penuh ukiran yang dipuncaknya
terdapat patung enggang mereka meyakini tempat itu adalah
penghubung antara dunia dan dunia di atas dunia. Biasanya juga ada
yang menyimpan tulang para leluhurnya di atas sandong.
6. Konstruksi Rumah Betang Secara Umum
Ada beberapa jenis rumah betang yang tersebar di kalimantan.
Sesuai dengan yang telah diungkap di atas, masing-masing sub suku yang
beragam (hingga 450 sub suku) membangun rumah panjang sesuai dengan
karakteristik budaya dan kondisi alam. Secara umum bentuk rumah betang
antar sub suku dibedakan dengan :
Tanpa hiasan
Rumah betang dengan atap tanpa hiasan merupakan rumah betang yang
terbanyak yang masih dapat ditemui sekarang.Biasanya masih dihuni
sampai sekarang.Seperti di daerah Kapuas Hulu, Sanggau dan Pontianak
Kalimantan Barat.

 
b. Perkembangan Rumah Adat Toraja atau Tongkonan
Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus menerus sampai
kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan
ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada
keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses
perkembangan. Walaupun mengalami perkembangan terus menerus, tetapi rumah
adat Toraja atau Tongkonan tetap mempunyai ciri yang khas.Ciri ini terjadi
karena pengaruh dari lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja
sendiri.Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya
dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk
atap yang khas.Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun
begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.

Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang
diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua
tiang + dinding tebing.

Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena.Bentuk ini biasa disebut pondok


pipit karena letak-nya yang diatas pohon.Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4
pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang.Hal pemindahan tempat ini
mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.
Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang
buatan.Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang
buatan.Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang
berdekatan.Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa.

Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang


buatan.Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk
pertama terjadinya lumbung.

Perkembangan ke-5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan


tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah
itu.Tiang-tiang dibuat sedemikian rupa, sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu
tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang
disusun secara horisontal .
Lama sesudah itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah
meliputi atap, fungsi ruang dan bahan.Dalam periode ini tiang-tiang kembali
dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu
dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari
atap masih datar.Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang
penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi.

Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong


Tedon.Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai
fungsinya.

Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang
berada di bagian depan.

 Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan
lantai
 Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan
kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai
(ruang).
 Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya
dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi
berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang
dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya
bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak
perkembangan dari rumah adat Toraja.

D. Arsitektur Lokal Nusantara


a. Arsitektur Rumah Adat Kajang

Gbr. Rumah Adat Suku Kajang


1. Proporsi dan Harmoni
Di Tana Toa, arah rumah semua menghadap Barat. Barat adalah
sebuah arah di mana simbol dari nenek moyang pertama Tana Toa
(Pakrasangan Iraya). 

2. Keseimbangan, Ritme
Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang
sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol
keseragaman.
3. Bagian Rumah Adat Kajan
Secara vertikal, rumah adat Kajang dapat dibagi 3 bagian, yaitu:

4. Bagian atas/atap
Bagian atas rumah kajang disebut Para yang merupakan tempat
menyimpan bahan makanan.Di bawah atap bagian kiri dan kanan terdapat
loteng yang berfungsi sebagai rak (para-para) tempat penyimpanan barang
dan alat.
5. Bagian tengah/badan
Bagian tengah atau Kale Balla berfungsi sebagai tempat hunian.
6. Bagian Bawah/kaki

Bagian bawah atau kaki rumah (kolong) berfungsi sebagai tempat


melakukan kegiatan menenun, menumbuk padi atau jagung dan tempat
ternak.
7. Bagian Atas/Atap
Atap terbuat dari daun rumbia dan lembaran–lembarannya kurang lebih
1,5 m. Pada bubungan atas depan dan belakang dipasang hiasan kayu
(anjong) berupa ekor ayam.
8. Bagian Tengah/Badan

Gbr. Denah rumah adat kajang

Secara horisontal, rumah adat Kajang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu:
 Ruang depan (latta riolo) yang digunakan sebagai dapur dan ruang
tamu.
 Ruang tengah (latta tangaga) digunakan untuk ruang makan, ruang
tamu adat, dan juga ruang tidur untuk anggota keluarga.
 Ruang belakang (Tala) menjadi bilik kepala keluarga dan dibatasi
oleh dinding papan atau bambu. Lantai bilik ini lebih tinggi sekitar 30
cm (3 latta =  genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan
dapur. 

Dinding terbuat dari papan yang di ketam dan di pasang


melintang.Jendela–jendela kecil yang berukuran 40 x 60 cm yang
diletakkan sedikit lebih tinggi dari lantai.Pintu keluar hanya ada satu buah,
yaitu yang diletakkan pada bagian tengah muka bangunan. Cat sama sekali
tidak mereka gunakan. Mereka banyak menggunakan pasak dan tali
sembilu bambu.
9. Bagian Bawah/Kaki
Tiang–tiangnya ditanam ke dalam tanah dan kayunya hanya dapat
bertahan kurang lebih 10 tahun.Kayu ini biasanya disebut Na’nasayya dan
istimewanya bila ada yang lapuk bisa langsung diganti tanpa perlu
membongkar rumah. Tinggi tiang ke lantai kurang lebih 2 meter, sehingga
di bagian bawah rumah dimungkinkan melakukan kegiatan, seperti :
menenun, menumbuk padi atau jagung, tempat ternak, dan sebagainya.
Jumlah tiang 16 buah (4 x 4) dengan jarak antar tiang 1–2 meter.Luas
rumah sekitar 6 x 9 meter. Pada tiang tengah, benteng tangngaya biasanya
digantungkan tanduk kerbau yang pernah dipotong untuk upacara,
misalnya : upacara perkawinan.
b. Rumah Tradisional Papua

Sebagai salah satu rumah khas tradisional asal Tanah Papua, Honai
memang tergolong unik.Selain menjadi istana pemberi kenyamanan bagi
penghuninya, di dalam Honai pun terkandung nilai-nilai filosofis budaya yang
tinggi.

o Perlengkapan Dan Bahan Pembuat Honai


Kebiasaaan dari suku atau orang dani dalam membangun honai yaitu
mereka mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan dalam waktu
yang lama atau bertahun-tahun. Bahan yang digunakan sebagai berikut:
 Kayu besi (oopir) digunakan sebagai tiang tengah
 Kayu buah besar
 Kayu batu yang paling besar
 Kayu buah sedang
 Jagat (mbore/pinde)
 Tali
  Alang-alang
 Papan yang dikupas
 Papan las,dll
Honai sejak lama dikenal sebagai rumah tradisional suku Dani di
Kabupaten Jayawijaya dan suku-suku asli yang mendiami wilayah
pegunungan tengah Papua.Hingga kini, masyarakat di wilayah ini masih
membangun honai secara turun temurun sesuai tradisi budaya dan kondisi
setempat.Istilah honai berasal dari dua kata, yakni “Hun” yang berarti pria
dewasa dan “Ai” yang berarti rumah.Dari klasifikasinya, terdapat dua jenis
honai, yakni honai bagi kaum laki-laki dan perempuan.
o Atap
Honai memiliki bentuk atap  bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi
untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak mengenai dinding
ketika hujan turun.
Atap honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar yang terbuat
dari  kayu buah sedang yang dibakar di tanah dan diikat menjadi satu di
bagian atas sehingga membentuk dome. Empat pohon muda juga diikat di
tingkat paling atas dan vertikal membentuk persegi kecil untuk perapian.
Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar dome.Lapisan
jerami yang tebal membentuk atap dome, bertujuan menghangatan
ruangan di malam hari.
Jerami cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin.Karena
jerami ringan dan lentur memudahkan suku Dani membuat atap serta
jerami mampu menyerap goncangan gempa.
Secara umum honai merupakan rumah adat tempat bermusyawarah
untuk kepentingan mengadakan pesta adat dan perang suku.Honai bagi
kaum perempuan disebut “Ebeai,” yang terdiri dari dua kata, yakni
“Ebe” atau tubuh dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti
rumah.Nama honai laki-laki dalam bahasa Lani disebut “ap inakunu” dan
honai perempuan disebut “kumi inawi.”Orang Lani mempunyai tiga
honai, yakni honai bagi kaum laki-laki, honai perempuan dan honai yang
dikhususkan untuk memberi makan atau memelihara ternak seperti babi.

Jadi tidak benar jika sejauh ini ada anggapan miring bahwa
masyarakat asli di Pegunungan Tengah Papua biasanya tidur bersama
ternak babi di dalam honai mereka.Sebab ada honai yang dibangun khusus
untuk memelihara babi. Dari modelnya, honai sering dibangun berbentuk
bulat dan pada atap bagian atasnya yang berbentuk kerucut atau kubah
(dome) di tutup dengan alang-alang.Garis tengah (diameter) mencapai 5
sampai 7 meter, tergantung tujuan pemanfaatannya.Honai bagi kaum
perempuan, bentuknya lebih pendek.
Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam kajian ini dapat ditarik dua simpulan sebagai
berikut.
1. Tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme
menjadikan fungsi dan makna esensial (moralitas) dari berarsitektur bukan
lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menjaga keselarasan alam dan
ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai
tukar yang akan diperoleh. Oleh karenanya, moralitas yang dikandung
arsitektur Nusantara hendaknya senantiasa dipertahankan dan dikembangkan
dalam konteks kekinian sehingga arsitektur Nusantara tidak lagi diposisikan
sebagai produk budaya kuno yang eksistensinya begitu terikat pada masa lalu,
namun dimaknai sebagai arsitektur masa depan yang mampu menjaga
keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat.
2. Arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual)
dalammembangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa
yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut
“bahasa ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas
masyarakat pendukungnya yang selanjutnya disebut dengan kearifan lokal.
Oleh karenanya, kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar pengembangan
arsitekturNusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan
dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat.
Daftar Pustaka

o http://queensha66.blogspot.com/2010/07/sejarah-perkembangan-

arsitektur.html

o http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292

o http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292

o http://adhycoken.blogspot.com/2012/10/arsitektur-rumah-adat-betang-

suku-dayak.html

o http://elliana063.blogspot.com/2013/02/arsitektur-islam-di-indonesia.html

o http://chandrati09.blogspot.com/2011/05/pengaruh-india-di-bidang-

arsitektur.html

o http://adhycoken.blogspot.com/2012/10/arsitektur-tradisional-tongkonan-

toraja.html

Anda mungkin juga menyukai