DISUSUN OLEH:
FAKULTAS TEKNIK
2020/2021
KATA PENGANTAR
hidayahnya segala pujian hanya layak kita aturkan kepada Allah SWT. Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta petunjuk-nya yang sungguh tiada
Dalam penyusunan makalah ini, Penulis tentu berharap isi makalah ini tidak
meninggalkan celah, berupa kekurangan dan kesalahan namun kemungkinan akan selalu
tersisa kekurangan yang tidak di sadari oleh penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih
baik lagi. Akhir kata, penulis mangharapkan agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pembaca.
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan latar belakang historis bahwa tata ”Nusantara” adalah sebuah
kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa kuno. Kata ini terdiri dari kata-
kata nusa yang berarti ‘pulau’ dan antara berarti ‘lain’.Istilah ini digunakan
dalam konsep kenegaraan “Jawa” artinya daerah di luar pengaruh budaya
Jawa.
Wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan
Australia.Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat
persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau
sebaliknya.Persinggahan para pelayar dan pedagang dari berbagai
mancanegara telah menjadikan nusantara sebagai tempat kehadiran semua
kebudayaan besar didunia.Bukti-bukti penemuan artefak-artefak seperti
prasasti, uang logam dan gerabah bahkan bangunan yang dapat memberikan
informasi kehadiran bangsa-bangsa besar tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan
peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi tersebut
diatas, maka dapat dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur
selama peradaban Islam (bisa termasuk arsitektur lokal atau tradisional, dan
pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial dan pasca
kolonial). Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan
panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan
pembangunan candi-candi.Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada
relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang arsitektur lokal/domestik
atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia
dari bangunan vernakular yang ada di Indonesia, tidak ada yang lebih dari
150 tahun. Pembahasan ini dapat diurutkan sebagai berikut: Arsitektur
vernacular ,Arsitektur klasik atau candi, Arsitektur pada masa perabadan atau
kebudayaan Islam, Arsitektur Kolonial, Arsitektur Modern (pasca
kemerdekaan).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi perkembangan arsitektur di nusantara?
2. ?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aspek-aspek perkembngan arsitektur di nusantara!
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Arsitektur Nusantara!
BABII
PEMBAHASAN
c) Keragaman Budaya
Indonesia memiliki 18,018 buah pulau yang tersebar di sekitar khatulistiwa
mulai dari 60 garis lintang utara dan 110 garis lintang selatan serta 950 dan
1400 garis bujur timur. Diantara puluhan ribu pulau tersebut terdapat lima
pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya,
dengan pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari
setengah (65%) populasi Indonesia hidup dipulau ini. Flora dan fauna
Indonesia sangatlah beragam jenisnya.Setiap pulau memiliki kekhasan sendiri
dan sering menjadi ikon dalam perkembangan wilayah atau daerah
tersebut.Selain itu, Indonesia juga kaya dengan keberagaman etnis, terdapat
kurang lebih 300 suku yang berbicara dalam 500 bahasa dan dialek.
Berdasarkan sosial linguistik, kebanyakan orang Indonesia berbahasa
Austronesia yang kelompok wilayahnya persebarannya meliputi banyak pulau
di Asia Tenggara, sebagian dari Vietnam Selatan, Taiwan Mikronesia,
Polinesia dan Madagaskar sehingga memiliki banyak kesamaan warisan
budaya. Pengaruh budaya Austronesia pada budaya Indoenesia terlihat dalam
budaya materi, organisasi sosial, kepercayaan, mitos, serta bahasa.Indonesia,
selain kekayaan bahasa, masing-masing etnis memiliki keunikan adat istiadat
dan budaya yang sering direfleksikan dalam keunikan arsitektur lokal atau
vernakular. Apabila setiap etnik memiliki satu karakteristik arsitektur
vernakular, maka terdapat kurang lebih 500 arsitektur vernakular di Indonesia
yag merupakan kekayaan tiada tara bagi bangsa Indonesia.
2. Nusantara dan Jaringan Asia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Nusantara terletak pada
persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih
khusus, Benua Asia dan Australia. Persilangan ini telah menjadikan wilayah
Nusantara sebagai tempat persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama
dari China ke India atau sebaliknya. Selain kedua bangsa Asia ini, terdapat
juga pengaruh lain dari berbagai budaya hebat di dunia seperti peradaban
Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan Belanda.
Beberapa peninggalan budaya yang nampak atas pengaruh yang pernah
singgah masih ada seperti misalnya kebudayaan India pengaruhnya mencakup
terhadap penyebaran dan perkembangan Hindu Buddha dan Islam di
Indonesia yang bisa diketahui dari tinggalan budayanya yaitu arsitektur candi
dan arsitektur masjid bergaya Moghul di Indonesia yang dapat terlihat dalam
berbagai sapek kehidupan.
Sejarah Perkembangan Arsitektur Indonesia
Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara
umum periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi atas tiga bagian besar
yaitu Zaman Hindu-Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan
proses oksidentalisasi. Sebenarnya terdapat satu zaman lagi sebelum zaman
Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi pembahasan serta diskusi
tentang zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang arsitektur
terutama pada masa prasejarah awal.
Perkembangan arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang
ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan
Bondowoso.Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di
Leuwilang, Matesih, Pasirangin. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah
budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan
dengan periodisasi tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai
arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk
arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern
(termasuk arsitektur kolonial dan pasca kolonial). Keberadaan arsitektur lokal
yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah ada sebelum
atau bersamaan dengan pembangunan candi-candi.Hal ini ditunjukkan dari
berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi
tentang arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara.
Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang ada di
Indonesia, tidak ada yang lebih dari 150 tahun. Pembahasan pada buku ajar
ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan sebagai
berikut
o Arsitektur vernacular
o Arsitektur klasik atau candi
o Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam
o Arsitektur Kolonial
o Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)
B. Pengaruh Kepercayaan/Keyakinan Terhadap Arsitektur
Nusantara
Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar
memiliki ciri sebagai berikut: Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang
bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk
limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan
kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan
Mustaka.Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid
yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan
kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan
kentongan merupakan budaya asli Indonesia.Letak masjid biasanya dekat dengan
istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat
keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat
pada bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam Sendang
Duwur berikut ini:
Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al
Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi
atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari
Palestina sebagai batu pertama dan terletak di desa Kauman, kecamatan Kota,
kabupaten Kudus, Jawa Tengah.Yang paling monumental dari bangunan masjid
ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada
ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah
terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai
menara masjid di seluruh dunia.Keberadaannya yang tanpa-padanan karena
bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang
menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid
ini mendekati kualitas genius locy.
a. Arsitektur Dayak
1. Sekilas Tentang Dayak
Dayak merupakan nama kolektif untuk demikian banyak suku asli di
Kalimantan, yang sebagian besar menghuni daerah pedalaman. Daerah
hilir atau daerah pantai yang mengitari mereka dihuni oleh orang Melayu,
Banjar, Bugis, Jawa, Madura, dan lain-lain.
Suku Dayak, sebagaimana suku lainnya , memiliki kebudayaan dan
adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Kebudayaan Dayak terus
mengalami perubahan karena pengaruh dari luar dan dalam. Beberapa
program pembangunan dan pembaharuan, kurang menghargai nilai-nilai
budaya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Dayak. Pada
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kurang memahami pola
kehidupan dan cara berpikir masyarakat Dayak. Contohnya adalah
“rumah panjang” atau rumah betang orang Dayak, yang dipandang
sebagai salah satu faktor penghambat dalam pembinaan dan
pembangunan masyarakat yang modern.
2. Makna Rumah
Rumah betang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang
bersambung telah dikenal hampir oleh seluruh suku Dayak. Orang Iban
menyebutnya “betai panjae”, dan orang Banuaka menyebutnya “sao
langke”.
Rumah betang memberikan makna tersendiri bagi penghuninya.
Bagi masyarakat Dayak, rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka
karena hampir seluruh kegiatan hidup mereka berlangsung disana. Ralp
Linton ( dalam The Culture Background of Personality, New York:
Appleton-Century-Croft, 1945, yang dimuat oleh editor T.O Ilrohmi
dalam buku yang disuntingnya dan diberi judul Pokok-Pokok
Antropologi Budaya ) mengatakan :
“ Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang
manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu
bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.
Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan dunia seperti mencuci
piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan,
hal ini sama derajatnya dengan hal-hal yang lebih halus dalam
kehidupan. Karena itu, bagi seorang ilmu ahli sosial tidak ada masyarakat
atau perorangan yang tidak memiliki kebudayaan. Tiap masyarakat
mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu
dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil
bagian dari suatu kebudayaan.”
3. Kehidupan Komunal Di Rumah Betang
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan
contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan
beradaptasi dengan lingkungan. Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh
faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak dapat
mempertahankan rumah betang mereka.
Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama
secaraberdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka
gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha
terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini
didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan
kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut
dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa
setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama
dalam lingkungan masyarakatnya.
Dengan mempertahankan rumah betang, masyarakat Dayak tidak
menolak perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama
perubahan yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah
dan jasmaniah mereka.
Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-
sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan
untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni
binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara
bertahap sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai
mengenal perkebunan dan peternakan.
Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga
dan pada masyarakat.
4. Bagian –Bagian Pada Rumah Betang Suku Dayak
a. Tangga
Tangga untuk naik ke rumah betang berjumlah tiga, yaitu di
ujung kiri kanan dan satu di bagian depan yang menandakan untuk
pengungkapan rasa komunitas dan solidaritas warga yang berada di
dalam rumah tersebut. Anak tangga biasanya mempunyai hitungan
mistik yaitu tonggak(ganjil), tunggak dan tidak boleh jatuh pada
hitungan tinggal (genap). Hitunggan anak tangga dimulai dari
hitunggan dari tonggak dan seterusnya sesuai tinggi rendahnya
rumah, kepala tangga dibuat patung kepala manusia yang dalam
mistiknya sebagai penunggu, penjaga rumah beserta isi keluarga
yang mendiami agar yidak diganggu oleh roh ataupun marabahaya.
b. Posisi tangga
Ada rumah betang yang memiliki tangga di kedua sisi ujung
rumah panjang. Biasanya untuk rumah yang ukurannya sangat
panjang (300 – 400 m) biasanya dibuat dengan tujuan
memudahkan akses dari kedua sisi masing-masing rumah.
Ada juga rumah betang yang memiliki hanya 1 tangga dan
terletak di depan dan tengah – tengah. Ukuran panjang rumah ini
pun hanya mencapai 200 m.
Pada rumah betang yang baru (kepentingan pariwisata),
biasanya di bangun tiga tangga. Dua tangga di sisi kiri dan
kanan dan satu tangga di tengah bagian depan.
c. Pante
Merupakan lantai yang berada didepan bagian luar atap yeng
menjorok ke luar, berfunggsi sebagai tempat antara lain: menjemur
padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainya. Lantai pante
berasal dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan
sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
d. Serambi
Merupakan pintu masuk rumah setelah melewati pante yang
jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi
ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti
sebatang bambu yang kulitnya diarut halus menyerupai jumbai-
jumbai ruas demi ruas ( semacam janur ).
e. Sami
Merupakan ruangan terbuka milik bersama, digunakan sebagai
tempat menerima tamu, menyelenggarakan kegiatan warga yang
memerlukan. Ditempat ini biasanya para tamu yang datang
dipersilahkan duduk dan disuguhi hidangan oleh tuan rumah di bilik
yang didatangi sedangkan keluarga yang lain biasanya juga ikut
memberikan suguhan sebagai tanda kebersamaan antar keluarga
dalam komunitas di rumah panjang ini.
f. Dapur
Disudut ruangan dalam bilik masing-masing keluarga ada
dapur dengan kelengkapannya ( para api ).
g. Jungkar
Merupakan ruangan tambahan dibagian belakang bilik
keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah
panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih
merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar ini terkadang
ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar
tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang
atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn
( ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu )
yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.[4]
5. Bangunan-Bangunan Tambahan Selain Rumah Betang
Jurokng (lumbung padi) ; biasa berbentuk bujur sangkar dan
berukuran 4x4 atau 5x5 m. Di kalangan Dayak, lumbung merupakan
tempat menyimpan padi cadangan sekaligus tempa diadakan upacara
panen padi tempat bersyukur kepada Ponompa(Tuhan) atas hasil
panen yang ada.
Pelaman ;gubuk tempa peristirahatan yang terdapat di ladang.
Sandong ; beberapa sub suku Dayak mempunyai tradisi seperti suku
Indian yakni Totem. Dengan tiang penuh ukiran yang dipuncaknya
terdapat patung enggang mereka meyakini tempat itu adalah
penghubung antara dunia dan dunia di atas dunia. Biasanya juga ada
yang menyimpan tulang para leluhurnya di atas sandong.
6. Konstruksi Rumah Betang Secara Umum
Ada beberapa jenis rumah betang yang tersebar di kalimantan.
Sesuai dengan yang telah diungkap di atas, masing-masing sub suku yang
beragam (hingga 450 sub suku) membangun rumah panjang sesuai dengan
karakteristik budaya dan kondisi alam. Secara umum bentuk rumah betang
antar sub suku dibedakan dengan :
Tanpa hiasan
Rumah betang dengan atap tanpa hiasan merupakan rumah betang yang
terbanyak yang masih dapat ditemui sekarang.Biasanya masih dihuni
sampai sekarang.Seperti di daerah Kapuas Hulu, Sanggau dan Pontianak
Kalimantan Barat.
b. Perkembangan Rumah Adat Toraja atau Tongkonan
Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus menerus sampai
kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan
ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada
keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses
perkembangan. Walaupun mengalami perkembangan terus menerus, tetapi rumah
adat Toraja atau Tongkonan tetap mempunyai ciri yang khas.Ciri ini terjadi
karena pengaruh dari lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja
sendiri.Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya
dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk
atap yang khas.Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun
begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang
diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua
tiang + dinding tebing.
Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang
berada di bagian depan.
Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan
lantai
Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan
kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai
(ruang).
Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya
dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi
berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang
dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya
bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak
perkembangan dari rumah adat Toraja.
2. Keseimbangan, Ritme
Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang
sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol
keseragaman.
3. Bagian Rumah Adat Kajan
Secara vertikal, rumah adat Kajang dapat dibagi 3 bagian, yaitu:
4. Bagian atas/atap
Bagian atas rumah kajang disebut Para yang merupakan tempat
menyimpan bahan makanan.Di bawah atap bagian kiri dan kanan terdapat
loteng yang berfungsi sebagai rak (para-para) tempat penyimpanan barang
dan alat.
5. Bagian tengah/badan
Bagian tengah atau Kale Balla berfungsi sebagai tempat hunian.
6. Bagian Bawah/kaki
Secara horisontal, rumah adat Kajang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu:
Ruang depan (latta riolo) yang digunakan sebagai dapur dan ruang
tamu.
Ruang tengah (latta tangaga) digunakan untuk ruang makan, ruang
tamu adat, dan juga ruang tidur untuk anggota keluarga.
Ruang belakang (Tala) menjadi bilik kepala keluarga dan dibatasi
oleh dinding papan atau bambu. Lantai bilik ini lebih tinggi sekitar 30
cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan
dapur.
Sebagai salah satu rumah khas tradisional asal Tanah Papua, Honai
memang tergolong unik.Selain menjadi istana pemberi kenyamanan bagi
penghuninya, di dalam Honai pun terkandung nilai-nilai filosofis budaya yang
tinggi.
Jadi tidak benar jika sejauh ini ada anggapan miring bahwa
masyarakat asli di Pegunungan Tengah Papua biasanya tidur bersama
ternak babi di dalam honai mereka.Sebab ada honai yang dibangun khusus
untuk memelihara babi. Dari modelnya, honai sering dibangun berbentuk
bulat dan pada atap bagian atasnya yang berbentuk kerucut atau kubah
(dome) di tutup dengan alang-alang.Garis tengah (diameter) mencapai 5
sampai 7 meter, tergantung tujuan pemanfaatannya.Honai bagi kaum
perempuan, bentuknya lebih pendek.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam kajian ini dapat ditarik dua simpulan sebagai
berikut.
1. Tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme
menjadikan fungsi dan makna esensial (moralitas) dari berarsitektur bukan
lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menjaga keselarasan alam dan
ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai
tukar yang akan diperoleh. Oleh karenanya, moralitas yang dikandung
arsitektur Nusantara hendaknya senantiasa dipertahankan dan dikembangkan
dalam konteks kekinian sehingga arsitektur Nusantara tidak lagi diposisikan
sebagai produk budaya kuno yang eksistensinya begitu terikat pada masa lalu,
namun dimaknai sebagai arsitektur masa depan yang mampu menjaga
keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat.
2. Arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual)
dalammembangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa
yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut
“bahasa ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas
masyarakat pendukungnya yang selanjutnya disebut dengan kearifan lokal.
Oleh karenanya, kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar pengembangan
arsitekturNusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan
dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat.
Daftar Pustaka
o http://queensha66.blogspot.com/2010/07/sejarah-perkembangan-
arsitektur.html
o http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292
o http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292
o http://adhycoken.blogspot.com/2012/10/arsitektur-rumah-adat-betang-
suku-dayak.html
o http://elliana063.blogspot.com/2013/02/arsitektur-islam-di-indonesia.html
o http://chandrati09.blogspot.com/2011/05/pengaruh-india-di-bidang-
arsitektur.html
o http://adhycoken.blogspot.com/2012/10/arsitektur-tradisional-tongkonan-
toraja.html