Anda di halaman 1dari 63

ABSTRAK.

Diskusi dan kajian tentang arsitektur Islam sudah sedemikian banyak, terutama di
kalangan akademisi dan praktisi. Sebagian diskusi tersebut memfokuskan pada aspek bentuk,
langgam, peninggalan historis dan hal-hal lain yang bersifat fisik yang dianggap merupakan
bagian dari kebudayaan umat muslim. Sementara itu sebagian kalangan merasa bahwa
sesungguhnya Islam tidak cukup hanya diwujudkan dengan aspek fisik semata. Saat ini
semakin berkembang wacana tentang arsitektur islam yang lebih mengedepankan nilai-nilai
keislaman daripada tipologi fisik produk arsitektur. Di dalam pengertian ini, penulis
menyebutnya sebagai arsitektur islami. Tulisan ini bertujuan untuk menggali sejauh mana
perbedaan antara kedua pemikiran tentang arsitektur Islam dan arsitektur Islami, dan
mengetahui apa sajakah aspek yang berpengaruh dalam perencanaan produk arsitektur yang
islami, melalui kajian terhadap berbagai sumber berupa Al Qur’an dan hadits, buku, jurnal,
dan beberapa artikel, di samping analisis pemikiran penulis sendiri. Dari kajian tersebut
ditemukan bahwa bahasan tentang arsitektur islam sangat berbeda dengan arsitektur islami.
Arsitektur islam menekankan tentang aspek fisik sebuah lingkungan binaan, sedangkan
arsitektur islami lebih mengedepankan pada nilai-nilai keislaman yang bersumberkan pada Al
Quran dan Hadits atau sunnah Rasulullah. Aspek dari arsitektur islami yang perlu untuk
dikembangkan adalah efisensi, egaliter, privasi, kearifan lokal. Kata kunci : arsitektur islam,
arsitektur islami, nilai Islam.
ABSTRACT.
It has been regarded, there are so many discussion and study of Islamic architecture,
particularly among academics and practitioners. Most of the discussion focuses on aspects of
form, style, historical relics and other things that are considered physical is part of the culture
of Muslims. Meanwhile, some people feel that the real Islam is not enough just realized with
the physical aspect only. Currently, growing discourse about Islamic architecture which tends
to emphasize Islamic values rather than physical typology of product architecture. In this
matter, the author referred to it as Islamic Architecture. This paper is aimed to discover how
extend to which the differences between two thinking about Islam Architecture and Islamic
Architecture, and to find out the aspects which influence in Islamic Architecture product
planning, through the study of various sources of the Qur'an and hadith, books, journals, and
several articles, in addition to analysis of the author's own thoughts. From those studies it was
found that a discussion of Islam architecture is very different from Islamic architecture. Islam
architecture emphasizes the physical aspects of the built environment, while Islamic.
Architecture is more advanced on Islamic values which root on Al Quran and hadith or
sunnah of the Prophet. Aspects of Islamic architecture that need to be developed is efficiency,
egalitarian, privacy and genius loci. Keywords : Islam Architecture, Islamic Architecture,
Islamic values Arsitektur Islam atau Arsitektur Islami? (Sativa) 31 copyright
PENDAHULUAN
Menelaah tentang arsitektur Islam, sebagian besar lebih memfokuskan pada aspek
bentuk, langgam, peninggalan historis dan hal-hal lain yang bersifat fisik yang dianggap
merupakan bagian dari kebudayaan ummat muslim. Hal demikian adalah sah-sah saja.
Bahkan Ismail Serageldin (1998) dalam seminar Historic Cities in Islamic Societis,
menyatakan bahwa memelihara peninggalan sejarah terutama lingkungan binaan sebagai
produk arsitektur adalah bagian yang esensial untuk menjaga identitas tertentu dan
merupakan penghubung antara masa lampau dengan saat ini. Hal yang menjadi masalah
adalah justru ketika arsitektur islam dipahami sebagai sesuatu yang homogen di manapun
kehadirannya, tanpa menghiraukan ruang dan waktu. Tak bisa dipungkiri, masih ada yang
beranggapan bahwa yang disebut sebagai arsitektur islam adalah artefak dengan simbol
bentuk-bentuk kubah atau lengkung, dan desain ornamen geometrikal. Sebaliknya sebuah
masjid bisa jadi tidak dianggap memiliki karakter arsitektur islam jika tidak memiliki minaret
dan kubah, meskipun ia dihadirkan di lokasi yang secara kultur historikal tak memiliki jejak
bentukan kubah. Sementara itu sementara kalangan merasa bahwa sesungguhnya Islam tidak
cukup hanya diwujudkan dengan simbol fisik semata. Saat ini semakin berkembang wacana
tentang arsitektur islami dengan sudut pandang yang berbeda. Pemikiran ini lebih
mengedepankan nilai-nilai Islam daripada bentukan fisik produk arsitektur. Dalam tulisan ini
akan dikaji bagaimanakah sebenarnya perbedaan di antara keduanya.
DEFINISI UMUM TENTANG ARSITEKTUR ISLAM
Ada berbagai referensi yang menyebutkan pengertian arsitektur islam sebagai
lingkungan binaan yang lebih mengacu pada tipologi, sejarah, tempat, atau langgam. Salah
satunya adalah ensiklopedi Wikipedia yang banyak menjadi rujukan di dunia maya. NALARs
1. Mengacu pada tipologi bentuk Menurut pemikiran ini, tipe produk utama arsitektur
islam adalah berupa masjid, makam, istana dan benteng. Dari keempat tipe bangunan
inilah bentuk-bentuk arsitektur islam diacu dan dipakai di bangunan lain yang
skalanya lebih kecil.
2. Mengacu pada sejarah dan tempat Di masa lalu ketika Islam mengalami masa
keemasan, banyak wilayah di berbagai belahan dunia yang masuk Islam, sehingga
otomatis juga berpengaruh pada kebudayaan dan produk arsitekturnya. Sebagai
contoh adalah lahirnya arsitektur Persia, arsitektur Turki, arsitektur Mamluk dan
sebagainya. Arsitektur Persia, pada perkembangannya sangat berpengaruh pada
rancangan arsitektur islam lainnya di berbagai belahan dunia.
3. Mengacu pada elemen dan langgam Arsitektur islam juga bisa diidentifikasi melalui
elemen-elemen desain seperti yang dimiliki artefak-artefak bangunan monumental
yang telah ada sebelumnya. Misalnya minaret, kubah, air mancur, mihrab, bentuk-
bentuk geometris, atau kaligrafi. Gaya arsitektur Islam yang mencolok baru
berkembang setelah kebudayaan muslim memadukannya dengan gaya arsitektur dari
Roma, Mesir, Persia dan Byzantium. Contoh awal yang paling populer misalnya
Dome of The Rock yang diselesaikan pada tahun 691 di Jerusalem. Gaya arsitek yang
mencolok dari bangunan ini misalnya ruang tengah yang luas dan terbuka, bangunan
yang melingkar, dan penggunaan pola kaligrafi yang berulang.
Arsitektur Islam atau Arsitektur Islami? (Sativa) 33 copyright Kebanyakan tinjauan di
atas masih sebatas tipologi atau elemen bentuk dan terutama dikaitkan dengan sejarah
kejayaan islam dan artefaknya di masa lampau. Sementara sebenarnya jika kita berbicara
tentang Islam yang kaffah / menyeluruh maka tidak ada sebuah dalil pun di dalam Al Quran
dan hadits yang membicarakan tentang bentuk. Bentuk sebenarnya sangat relatif, dan lebih
terkait dengan simbol dan karakter budaya tertentu. Sementara Islam sangat menghargai
kearifan budaya. Berbahasalah dengan bahasa kaummu, kata Nabi. Meskipun hadits ini lebih
banyak dikaitkan dengan bahasa dakwah, tetapi sebenarnya menunjukkan bahwa islam sangat
menghargai kearifan lokal. Kecuali untuk aktivitas peribadatan yang khassah (khusus) seperti
shalat, haji, puasa atau zakat, maka sesungguhnya peluang untuk melakukan ijtihad selalu
ada, terlebih lagi di dalam dunia arsitektur.

Wujud-Gagasan Arsitektur Islam Dalam Pendekatan Psiko-Kultural

A. Pengantar

Setelah dalam tulisan terdahulu yang berjudul “Upaya Meretas Jalan Tengah; Pendekatan
Psiko-Kultural Dalam Arsitektur Islam” saya memaparkan sekilas dua proposisi yang
menjadi sandaran bagi pendekatan Arsitektur Islam yang saya rumuskan, dalam beberapa
tulisan mendatang saya akan menjabarkan kedua proposisi tersebut agar pemikiran Arsitektur
Islam dengan pendekatan Psiko-Kultural dapat dipahami dengan benar dan jelas sebagaimana
saya kehendaki.
Proposisi pertama yakni, Arsitektur Islam sebagai hasil kerja-kreatif-budaya manusia
Muslim memiliki wujud gagasan-perilaku-artefak yang bersumberkan dari Islam dan
merupakan satu kesatuan struktural, didasari dua asumsi yang saling terkait. Asumsi pertama,
Arsitektur Islam merupakan hasil kerja-kreatif-budaya manusia Muslim, baik dalam lingkup
individu maupun komunal. Posisinya sebagai hasil kerja-kreatif-budaya manusia Muslim
perlu ditekankan agar dapat dipahami perbedaan kedudukan antara Arsitektur Islam dan
Islam serta kait hubungan antara keduanya. Yang pertama berkedudukan sebagai hasil cipta
budaya manusia Muslim, sedangkan yang kedua berkedudukan sebagai Diin yang
diwahyukan Allah kepada Rasul Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Islam sebagai Diin
merupakan sumber serta asas bagi penciptaan wujud Arsitektur Islam yang menjadikan Islam
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Arsitektur Islam. Hubungan demikian
menjadikan Arsitektur Islam mutlak membutuhkan Islam untuk dapat hadir karena yang
dicipta mutlak membutuhkan sumber penciptaannya.
Kedudukan Arsitektur Islam sebagai hasil kerja-kreatif-budaya selain mensyaratkan
kehadiran Islam sebagai sumber dan asas bagi penciptaan Arsitektur Islam juga mensyaratkan
kehadiran manusia Muslim sebagai pelaku kerja budaya yang menghadirkan Arsitektur Islam
dari sumber Islam. Inilah yang menjadi asumsi kedua dari proposisi pertama yang mendasari
pendekatan Psiko-Kultural dalam Arsitektur Islam. Dalam asumsi kedua, manusia Muslim
didudukkan sebagai subjek-aktif dengan kepemilikan Islam di dalam dirinya melakukan
kerja-kreatif-budaya untuk menghadirkan wujud Arsitektur Islam dari ranah gagasan,
perilaku dan artefak.
Islam yang terdapat di dalam diri manusia Muslim merupakan capaian dari upaya
memahami dan menghayati Islam yang diwahyukan Allah kepada Rasul Muhammad serta
dijelaskan dan diamalkan oleh beliau Shalallahu Alaihi Wasallam. Manusia Muslim sebagai
subjek-aktif senantiasa berupaya mencapai idealitas Islam yang telah ditetapkan oleh Allah
melalui pribadi Rasul Muhammad sebagai uswah hasanah. Berdasar cara pandang ini sejarah
umat Islam dapat dipandang sebagai sejarah perjuangan mencapai idealitas Islam, baik secara
individu maupun komunal. Dalam upaya tersebut tidak setiap individu manusia Muslim
mencapai titik idealitas Islam disebabkan perbedaan kadar pemahaman dan penghayatan
terhadap Islam, sehingga membentuk perbedaan kadar Islam di dalam diri setiap manusia
Muslim.
Dalam Islam, subjek-aktif yang erat dengan konsep gerak dan kerja terangkum dalam
istilah amal. Amal yang dilakukan manusia Muslim sangat tergantung pada kadar Islam di
dalam diri pelakunya karena amal merupakan wujud eksternalisasi iman sekaligus sebagai
wujud pembuktian iman yang bersemayam di dalam hati. Pernyataan tersebut memuat dua
prinsip yakni :
(1) kualitas amal yang dilakukan manusia Muslim berbanding lurus dengan kadar Islam di
dalam dirinya; dan
(2) kadar Islam di dalam diri manusia Muslim dapat diketahui dari wujud amal yang
ditampakkannya.
Prinsip pertama membawa pada konsekuensi bahwa setiap penciptaan wujud Arsitektur
Islam yang dilakukan oleh manusia Muslim memiliki kualitas yang beragam dan bertingkat-
tingkat sesuai dengan kadar Islam di dalam diri penciptanya. Sedangkan prinsip kedua
memposisikan wujud Arsitektur Islam sebagai cermin bagi kualitas manusia Muslim
penciptanya yang memungkinkan ditelusurinya kadar Islam di dalam diri melalui wujud
Arsitektur Islam yang merupakan hasil dari amal yang dilakukan.

Selain kadar Islam di dalam diri, terdapat faktor lain yang mempengaruhi kualitas wujud
Arsitektur Islam hasil kerja-kreatif-budaya manusia Muslim, yakni kepemilikan ilmu
pengetahuan arsitektur dan tradisi praktik arsitektur yang berasaskan, berpandukan dan
terinspirasi dari Wahyu Ilahi. Faktor ini merupakan jembatan yang menghubungkan antara
Islam yang terdapat di dalam diri manusia Muslim dengan wujud Arsitektur Islam. Ketidak-
hadiran atau penolakan terhadap kehadiran faktor tersebut menjadikan Islam yang terdapat di
dalam diri manusia Muslim tidak dapat dieksternalisasi melalui mekanisme amal dalam
bidang arsitektur. Dari sini dapat ditarik syarat-syarat bagi kehadiran wujud Arsitektur Islam
yakni :
(1) Islam di dalam diri manusia pencipta; dan
(2) kepemilikan ilmu pengetahuan arsitektur; serta
(3) tradisi praktik arsitektur yang berasaskan, berpandukan dan terinspirasi dari Wahyu
Ilahi. Kadar Islam yang tinggi di dalam diri manusia Muslim akan mengalami hambatan
untuk dieksternalisasi ke dalam wujud-arsitektur jika tidak didukung oleh kepemilikan dua
poin yang terakhir. Sedangkan dua poin yang terakhir membutuhkan poin yang pertama
sebagai syarat mutlak dalam penciptaan wujud Arsitektur Islam.

Dalam Islam, amal dapat bernilai baik maupun buruk. Amal yang bernilai baik disebut
dengan amal-shalih yang mensyaratkan hadirnya iman dan ilmu yang mendasari amal.
Dikaitkan dengan ketiga syarat kehadiran wujud Arsitektur Islam, sebagaimana dipaparkan di
atas, penciptaan wujud Arsitektur Islam yang dilakukan manusia Muslim tergolong sebagai
amal-shalih karena memenuhi persyaratan sebagai amal-shalih di mana syarat nomer 1
merupakan syarat iman dan syarat nomer 2 dan 3 merupakan syarat ilmu. Berkebalikan dari
amal-shalih, amal yang bernilai buruk merupakan amal yang tidak didasari oleh iman atau
ilmu atau keduanya. Konsekuensinya, penciptaan wujud arsitektur yang dilakukan oleh
manusia Muslim jika tidak memenuhi syarat iman dan ilmu menjadikannya tergolong sebagai
amal yang buruk, karenanya wujud arsitektur yang dicipta tidak dapat dinyatakan sebagai
Arsitektur Islam. Ketiadaan salah satu syarat menyebabkan dalam proses penciptaan wujud
arsitektur yang dilakukan manusia Muslim tidak melibatkan Islam yang berada di dalam diri
penciptanya, sehingga menyebabkan wujud arsitektur yang hadir tidak memuat Islam dan
tidak merepresentasikan Islam. Dengan demikian, penciptaan wujud Arsitektur Islam hanya
dapat dilakukan melalui mekanisme amal-shalih yang berdasar pada iman dan ilmu.
Gambar 1: Penghadiran Arsitektur Islam melalui mekanisme amal-shalih
Sumber: Analisa, 2016

Kedua asumsi yang mendasari proposisi pertama pendekatan Psiko-Kultural dalam


Arsitektur Islam menempatkan unsur manusia Manusia pada posisi yang sentral sebagai
subjek-aktif pelaku kerja budaya. Penekanan pada unsur manusia menjadikan pengkajian
Arsitektur Islam menurut pendekatan Psiko-Kultural tidak sebatas dan terbatas pada
persoalan wujud-artefak, karena kehadiran fisik arsitektur barulah bermakna jika dikaitkan
dengan sosok manusia Muslim penciptanya. Sekilas mengutip pembahasan pada tulisan
terdahulu, yakni wujud-gagasan mendahului wujud-artefak dan wujud-perilaku merupakan
penghubung antara wujud-gagasan dengan wujud-artefak, semakin menegaskan kedudukan
manusia Muslim sebagai unsur yang sentral karena merupakan lokus bagi penciptaan wujud
Arsitektur Islam dalam artian penciptaan wujud Arsitektur Islam terjadi di dalam diri manusia
Muslim serta wadah bagi wujud-gagasan dan wujud-perilaku Arsitektur Islam. Tanpa
didahului oleh wujud-gagasan dan wujud-perilaku, maka wujud-artefak tidak akan hadir.
Dengan kata lain, tanpa dilibatkannya unsur manusia Muslim maka Arsitektur Islam tidak
akan hadir.
Di mulai dari tulisan ini saya akan menjabarkan satu persatu dari tiga wujud Arsitektur
Islam dalam kerangka pendekatan Psiko-Kultural. Pembahasan dimulai dari wujud-gagasan
yang bersifat abstrak, dilanjutkan pada tulisan selanjutnya dengan wujud-perilaku yang
menengahi antara dua wujud lainnya dan diakhiri dengan tulisan seputar wujud-artefak yang
bersifat paling konkret di antara ketiga wujud lainnya. Urutan demikian membentuk alur
pembahasan dalam rangkaian tulisan ini yang berawal dari dalam diri manusia menuju
lingkungan di luar diri manusia. Pembahasan dalam tulisan ini akan diawali dengan menelisik
kait hubungan wujud-gagasan dengan dimensi keimanan manusia penciptanya, dilanjutkan
dengan faktor pembentuk wujud-gagasan Arsitektur Islam dan diakhiri dengan struktur
wujud-gagasan Arsitektur Islam menurut pendekatan Psiko-Kultural.

B. Keimanan dan Wujud-Gagasan


Wujud-gagasan terdiri dari gagasan-konseptual dan gagasan-praktis di mana yang
pertama adalah sumber bagi yang kedua dan yang kedua adalah turunan dari yang pertama.
Gagasan-konseptual merupakan gagasan-dalaman atau gagasan-inti atau gagasan-dasar yang
bersifat sangat abstrak sementara gagasan-praktis merupakan gagasan-luaran yang
menjembatani antara gagasan-konseptual yang abstrak dengan dunia realitas fisikal yang
bersifat konkret. Dalam konteks perancangan arsitektur, gagasan-konseptual disebut dengan
ide-awal atau konsep-dasar sementara gagasan-praktis disebut dengan persyaratan atau
kriteria perancangan.
Perumusan gagasan-konseptual dilanjutkan dengan menurunkannya ke ranah gagasan-
praktis. Semakin rinci gagasan-praktis dapat diturunkan dari gagasan-konseptual, maka
semakin mudah gagasan-konseptual direalisasikan ke dalam wujud-artefak arsitektur dan
sebaliknya pun semakin mudah ditelusuri akar gagasan yang melatar-belakangi terbentuknya
wujud-artefak. Agar bahasan ini lebih mudah dipahami saya akan langsung menjelaskannya
dalam contoh sederhana berikut. Semisal, konsep ‘Suci’ berposisi sebagai gagasan-
konseptual dalam perancangan Arsitektur Masjid yang diturunkan ke ranah gagasan-praktis
menjadi rangkaian kriteria perancangan (1) bentuk geometris murni; (2) bahan alami; (3)
warna alami; (4) tekstur halus; dan seterusnya. Tanpa gagasan-praktis, gagasan-konseptual
tidak dapat diterjemahkan ke dalam wujud-artefak arsitektur. Begitupula sebaliknya tanpa
gagasan-konseptual, gagasan-praktis tidak memiliki akar filosofis, sehingga wujud-artefak
yang hadir tidak memiliki daya penjelas dan sandaran.
Penciptaan wujud-gagasan bersandarkan pada suatu sistem nilai yang terbentuk dari
suatu sumber nilai. Setiap sumber nilai memiliki nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan
yang khas yang menjadi pembeda asasi antara setiap sumber nilai. Dalam perumusan wujud-
gagasan arsitektur, sistem nilai berfungsi sebagai batasan agar wujud-gagasan yang dicipta
memuat nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang diafirmasi oleh sumber nilai, sehingga
wujud-gagasan yang dicipta mencerminkan sumber nilai yang digunakan. Dengan demikian,
arsitektur menjadi tidak bebas-nilai atau bernilai universal karena dalam ranah wujud-
gagasannya memuat nilai-nilai tertentu yang berakar dari sumber nilai tertentu. Dalam
konteks Arsitektur Islam, sumber nilai bagi penciptaan wujud-gagasan ialah Wahyu Ilahi
yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasul Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.
Wujud-gagasan arsitektur yang dicipta manusia Muslim harus mendapatkan afirmasi dari
kedua sumber tersebut, sehingga mencerminkan Islam dan karenanya dapat dinyatakan
sebagai Arsitektur Islam.
Wahyu Ilahi merupakan sumber nilai bagi penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam
sekaligus merupakan sumber keimanan bagi manusia Muslim sebagai pihak pencipta wujud-
gagasan. Kesamaan sumber nilai keduanya membawa pada konsekuensi logis bahwasanya
penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam hanya dapat dilakukan oleh manusia Muslim
karena hanya manusia Muslim yang meyakini kebenaran sumber nilai Islam. Dari sini
didapatkan syarat bagi penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam, yakni keyakinan terhadap
kebenaran sumber nilai Islam yang ditindak-lanjuti dengan pengakuan terhadap
kebenarannya melalui penciptaan wujud-gagasan. Tidak dapat dijelaskan manusia non
Muslim yang secara teologis dan psikologis tidak memiliki kedekatan dengan sumber nilai
Islam sebab tidak meyakini kebenarannya, dapat mencipta wujud-gagasan Arsitektur Islam
dari sumber nilai Islam. 
Diposisikannya Al-Qur’an dan Hadits Rasul sebagai sumber nilai bagi penciptaan wujud-
gagasan Arsitektur Islam membawa pada tiga konsekuensi. Pertama, Arsitektur Islam hanya
dapat dirumuskan, dirancang dan direalisasikan oleh manusia Muslim dikarenakan
mensyaratkan pihak penciptanya meyakini kebenaran al-Qur’an dan Hadits Rasul. Tidak
diimaninya Wahyu Ilahi yang termuat dalam kedua sumber tersebut berarti tidak diyakini
kebenaran sistem nilai yang menjadi batasan bagi perumusan wujud-gagasan. Dampaknya
wujud-gagasan Arsitektur Islam tidak dapat dirumuskan karena ketiadaan sumber dan sistem
nilai Islam. Absennya wujud-gagasan yang bersumberkan dari Wahyu Ilahi menjadikan
wujud-artefak Arsitektur Islam tidak dapat hadir. 
Kedua, manusia Muslim sebagai pihak pencipta wujud Arsitektur Islam tidak dapat
meminjam wujud-gagasan-konseptual dari arsitektur selain Islam karena wujud-gagasan-
konseptual memiliki jarak paling dekat dengan sumber keimanan pihak penciptanya.
Meminjam wujud-gagasan-konseptual arsitektur yang tidak berasaskan pada Al-Qur’an dan
Hadits Rasul akan berdampak pada kualitas keimanan manusia Muslim disebabakan antara
wujud-gagasan yang dipinjam dan keimanan yang terdapat di dalam dirinya berasal dari
sumber yang berbeda, bahkan dampaknya akan semakin merusak jika wujud-gagasan-
konseptual arsitektur yang dipinjam berakar dari sumber nilai yang bertentangan dengan
Islam.
Dampak lainnya dari meminjam wujud-gagasan-konseptual yang tidak berasaskan pada
Wahyu Ilahi adalah munculnya keterbelahan diri (split-personality) pada manusia Muslim,
yakni tumbuhnya dua keimanan di dalam dirinya yang bersandarkan pada dua sumber nilai
yang berbeda. Di suatu tempat dan waktu tertentu seorang Muslim menggunakan sumber
keimanan Islam, sedangkan ketika mencipta wujud arsitektur ia menggunakan sumber
keimanan yang berbeda. Keterbelahan diri merupakan akibat dari keterbelahan iman yang
mengakibatkan seorang Muslim tidak dapat menggunakan sumber Islam untuk memandang
realitas arsitektur dan menggunakan Islam yang berada di dalam dirinya sebagai sumber nilai
bagi kebenaran, kebaikan dan keindahan dalam penciptaan wujud arsitektur. 
Ketiga, meminjam wujud-gagasan-praktis yang memiliki perbedaan sumber nilai dengan
Arsitektur Islam tidak dapat dilakukan begitu saja. Menyerap wujud-gagasan-praktis oleh
antar komunitas manusia dengan kepemilikan sumber nilainya masing-masing yang khas
lumrah dilakukan, termasuk oleh kalangan manusia Muslim. Proses pinjam meminjam
wujud-gagasan-praktis menjadi bermasalah jika didasari pandangan bahwa wujud-gagasan-
praktis adalah bebas-nilai, yakni tidak memuat suatu nilai tertentu dan tidak berkaitan dengan
suatu sumber nilai tertentu yang menjadikannya dapat diserap dan digunakan oleh seluruh
komunitas manusia tanpa memandang dan mengkaitkannya dengan dimensi keimanan yang
diyakini. Pandangan tersebut muncul karena sifat praktis atau siap-pakai dari wujud-gagasan-
praktis, sehingga seakan tidak memuat nilai-nilai tertentu yang khas. 
Bagi manusia Muslim, menyerap dan meminjam wujud-gagasan-praktis arsitektur yang
berasaskan sumber nilai selain Islam hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Islamisasi
agar wujud arsitektur yang dipinjam dapat dihubungkan dengan sumber nilai Islam dalam
suatu kesatuan struktur Arsitektur Islam. Mekanisme Islamisasi dilakukan dengan cara (1)
memisahkan wujud-gagasan-praktis arsitektur dari struktur asalnya; (2) membersihkan
wujud-gagasan-praktis dari unsur, konsep kunci dan penjelasan atau tafsiran yang merupakan
cerminan dari sumber nilainya; dan (3) memasukkan wujud-gagasan-praktis arsitektur yang
diserap ke dalam struktur wujud Arsitektur Islam agar terhubung dengan sumber nilai
Arsitektur Islam. Poin bahasan ini perlu untuk dijabarkan lebih lanjut dalam sebuah tulisan
tersendiri, oleh karenanya saya cukupkan sampai di sini tanpa memberikan penjelasan yang
memadai. 

C. Faktor Pembentuk Wujud-Gagasan

Ciri khas Arsitektur Islam yang tidak dimiliki arsitektur selainnya adalah diakuinya
Wahyu Ilahi sebagai sumber nilai yang berkedudukan sebagai asas, panduan, inspirasi dan
tauladan bagi penciptaan wujud Arsitektur Islam. Sebagai asas, Wahyu Ilahi menyediakan
asumsi-asumsi dasar dalam penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam berkaitan dengan
konsep Allah, manusia, dan alam atau lingkungan. Kait hubungan yang erat ketiga konsep
tersebut dengan menempatkan konsep Allah sebagai pusat akan membentuk cara pandang
manusia Muslim terhadap arsitektur, sehingga memampukan manusia Muslim untuk
menempatkan arsitektur pada kedudukannya yang benar, selain menjadikan manusia Muslim
dalam penciptaan wujud Arsitektur Islam akan senantiasa dalam kesadaran bahwa dirinya
terikat dan terhubung secara langsung dengan Allah.
Wahyu Ilahi sebagai asas dalam penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam juga
menyediakan konsep-konsep kunci khas Islam seperti misal konsep adil, adab, sa’adah,
khalifatullah dan sebagainya. Konsep kunci yang termuat di dalam Wahyu Ilahi menuntut
kemampuan manusia Muslim untuk mengeksplorasinya dan menjadikannya sebagai pijakan
dalam perumusan wujud-gagasan-konseptual yang kemudian diturunkan ke ranah wujud-
gagasan-praktis. Sebagai misal konsep khalifatullah, yakni manusia sebagai wakil Allah di
muka bumi yang bertugas untuk menjaga keseimbangan dunia sesuai dengan ukuran-ukuran
yang telah ditetapkan oleh Allah. Konsep kunci tersebut dapat digunakan oleh manusia
Muslim sebagai pijakan dasar untuk mencipta wujud arsitektur yang hemat energi dan ramah
lingkungan. Walaupun akan sampai pada wujud-artefak yang serupa dengan green-
architecture atau sustainability-architecture pada umumnya, tetapi memiliki pijakan yang
berbeda dengan sistem dan sumber nilai yang berbeda, sehingga memiliki penjelasan dan
penafsiran yang berbeda mengenai wujud-artefaknya. 
Sebagai panduan, Wahyu Ilahi menyediakan batas-batas yang diperbolehkan dalam
perumusan wujud-gagasan Arsitektur Islam. Di luar batas yang ditentukan oleh Islam maka
suatu wujud-gagasan tidak dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Islam. Sebagai contoh,
gagasan eksplorasi tubuh wanita untuk mencapai estetika formal arsitektur tidak diafirmasi
oleh Islam karena telah keluar dari batas kepatutan yang ditetapkan Islam. Tidak dibenarkan
pula gagasan mempertinggi bangunan semata untuk menampilkan citra identitas pemiliknya
sebagai penguasa ekonomi karena lekat dengan sifat kesombongan dan menghamburkan
harta.
Sebagai sumber inspirasi, Wahyu Ilahi menyediakan berbagai perumpamaan,
penggambaran dan pengajaran untuk direnungkan secara mendalam bagi penciptaan wujud-
gagasan Arsitektur Islam. Sebagai misal adalah penggambaran tentang surga yang
disampaikan Allah di dalam kalam-Nya yang telah berabad-abad menjadi inspirasi manusia
Muslim dalam berarsitektur untuk mewujudkan hamparan surga di alam dunia. Atau
perumpamaan sarang lebah dan sarang laba-laba di dalam Al-Qur’an yang telah jamak
menjadi inspirasi manusia Muslim dalam mencipta Arsitektur Islam. Dalam hal perenungan,
Allah menceritakan di dalam Al-Qur’an ketika Firaun memerintahkan Haman membakar
tanah liat untuk mendirikan bangunan setinggi mungkin agar dirinya dapat melihat Tuhannya
Musa untuk membuktikan bahwa Musa adalah seorang pendusta dan meneguhkan status
dirinya sebagai tuhan yang sah bagi kaumnya. Dari berita yang disampaikan Allah tersebut
sepatutnya manusia Muslim merenungkan keterkaitan antara arsitektur dan sikap sombong
yang mendasari penciptaan asrsitektur sebagaimana menjangkiti Firaun yang
menyebabkannya mengingkari Allah sebagai satu-satu Dzat yang haq untuk diibadahi dan
mengingkari status kerasulan Musa Alaihi Sallam.
Kedudukan Wahyu Ilahi sebagai tauladan bagi penciptaan wujud-gagasan Arsitektur
Islam termuat dalam Hadits Rasul Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam yang
berkedudukan sebagai uswah hasanah bagi seluruh manusia Muslim. Sebagai misal tauladan
manajerial yang dicontohkan Rasul Muhammad pada saat pembangunan Masjid Nabawi.
Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam sebelum melakukan pembangunan
masjid terlebih dahulu mengumpulkan para sahabat dan melakukan pembagian kerja sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki masing-masing sahabatnya, sehingga kerja goyong-royong
yang dilakukan tidaklah bersifat sporadis asal tanpa pamrih, tetapi terorganisir dengan rapi.
Inilah semangat kolektif dalam Islam yang dicontohkan Rasul dalam pembangunan
arsitektur, yakni kerja bersama yang di dasari prinsip profesionalisme dan otoritas.
Wahyu Ilahi adalah salah satu syarat mutlak bagi penciptaan wujud-gagasan Arsitektur
Islam selain syarat mutlak lainnya. Bagaikan dua sisi mata koin, Wahyu Ilahi harus
dilengkapi dengan ketajaman akal dan kelembutan rasa yang dimiliki manusia Muslim untuk
dapat memahami dan menghayati Wahyu Ilahi. Keduanya, yakni :
(1) Wahyu Ilahi; dan
(2) kualitas manusia Muslim yang memiliki ketajaman akal dan kelembutan rasa
merupakan syarat mutlak atau faktor-utama bagi penciptaan wujud-gagasan Arsitektur
Islam.
Selain untuk memahami dan menghayati Wahyu Ilahi, ketajaman akal dan kelembutan
rasa yang dimiliki manusia Muslim dibutuhkan pula untuk memahami faktor-ikutan yang
mempengaruhi penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam yang terdiri dari faktor
(1) warisan tradisi arsitektur yang diwarisi manusia Muslim dari generasi sebelumnya;
(2) tantangan zaman yang tengah dihadapi;
(3) kebutuhan hidup;
(4) kondisi lingkungan hidup; dan
(5) kontak budaya yang tengah terjalin antara masyarakat Muslim dengan masyarakat
lain yang memiliki perbedaan khazanah arsitektur secara asasi. 
Wujud-gagasan-konseptual yang bersasaskan, berpandukan, terinspirasi dan didasari
tauladan dari Wahyu Ilahi dalam proses penciptaannya dominan dipengaruhi oleh faktor-
utama, yakni hubungan antara manusia Muslim dengan teks yang memuat Wahyu Ilahi.
Faktor-ikutan berpengaruh minor sebatas latar bagi manusia Muslim yang mencipta wujud-
gagasan-konseptual. Dengan mekanisme penciptaan demikian, wujud-gagasan-konseptual
bersifat ideal-subjektif. Ideal dikarenakan melibatkan langsung Wahyu Ilahi yang memuat
ukuran ideal Islam sementara subjektif dikarenakan melibatkan kadar keimanan, pemahaman
dan penghayatan manusia Muslim terhadap Wahyu Ilahi. Sebab pengaruh minor faktor-
ikutan dalam proses penciptaannya, wujud-gagasan-konseptual tidak terikat kuat oleh batas
geografis dan waktu. 
Berbeda dengan sebelumnya, wujud-gagasan-praktis dalam proses penciptaannya
dominan dipengaruhi oleh faktor-ikutan, sedangkan faktor-utama yakni :
(1) Wahyu Ilahi berkedudukan sebagai pemandu untuk menyaring dan penyedia batas;
serta
(2) ketajaman akal dan kelembutan hati berkedudukan sebagai fakulti untuk memahami
dan mengambil keputusan. Dengan mekanisme demikian, wujud-gagasan-praktis
bersifat kontekstual-relatif. Kontekstual dikarenakan faktor-ikutan yang berpengaruh
dominan terikat pada batas geografis dan waktu sementara relatif merupakan
konsekuensi logis dari sifat faktor-ikutan yang meniscayakan munculnya keragaman
wujud-gagasan-praktis antar manusia Muslim di berbagai daerah dan waktu yang
berbeda.
Pengaruh faktor-utama dan faktor-ikutan dalam alur penciptaan wujud-gagasan
Arsitektur Islam dapat ditampilkan dalam diagram di bawah ini:
Gambar 2: Faktor dan alur penciptaan wujud-gagasan Arsitektur Islam
Sumber: Analisa, 2016

D. Struktur Wujud-Gagasan

Disusun dalam sebuah struktur berbentuk lingkaran, wujud-gagasan-konseptual


menempati area lingkaran-dalam, tepat di luar sumber nilai yang menempati lingkaran-inti.
Posisi wujud-gagasan-konseptual dalam struktur menunjukkan jaraknya yang dekat dan
senantiasa terhubung dengan sumber nilai karena dalam proses penciptaannya dominan dan
secara langsung melibatkan Wahyu Ilahi. Di area luar wujud-gagasan-konseptual terdapat
wujud-gagasan-praktis yang menempati lingkaran-luar dalam struktur lingkaran wujud-
gagasan Arsitektur Islam. Posisinya dalam struktur menunjukkan hubungannya yang erat
dengan wujud-gagasan-konseptual yang merupakan sumber sekaligus sandaran bagi wujud-
gagasan-praktis. Di luar lingkaran wujud-gagasan-praktis adalah realitas fisikal-konkret yang
dialami manusia dalam kehidupan kesehariannya.
Gambar 3: Struktur wujud-gagasan Arsitektur Islam
Sumber: Analisa, 2016

Lingkaran-inti bersifat stabil karena tidak terikat ruang dan waktu. Sementara wujud-
gagasan-konseptual yang menempati area lingkaran-dalam bersifat cenderung stabil,
sehingga tidak terikat kuat oleh ruang dan waktu karena terhubung langsung dengan
lingkaran-inti yang merupakan sumber nilai Islam. Sedangkan lingkaran-luar yang ditempat
oleh wujud-gagasan-praktis bersifat dinamis karena merupakan jembatan antara wujud-
gagasan-konseptual dengan realitas fisikal-konkret yang senantiasa mengalami perubahan,
sehingga menjadikannya terikat kuat oleh batas geografis dan waktu.Wujud-gagasan-praktis
menempati posisi antara, yakni antara ranah abstrak dan ranah konkret. Posisinya tersebut
menjadikan wujud-gagasan-praktis berfungsi pula sebagai pelindung bagi lingkaran-dalam
agar tetap cenderung stabil dengan cara menjarakkannya dari realitas fisikal-konkret yang
senantiasa berubah. Sebagai pelindung sekaligus jembatan bagi lingkaran-dalam, wujud-
gagasan-praktis dituntut untuk terus beradaptasi terhadap perubahan realitas fisikal-konkret
dengan tetap terhubung dengan wujud-gagasan-konseptual yang merupakan sumber dan
sandaran baginya. Adaptasi yang dilakukan bukan bertujuan untuk mengikuti arus pusaran
perubahan realitas fisikal-konkret hingga hanyut dan terlepas dari sumber dan sandarannya,
tetapi bertujuan untuk terus-menerus menerjemahkan wujud-gagasan-konseptual ke dalam
realitas fisikal-konkret yang terus berubah, sehingga wujud-gagasan-konseptual senantiasa
mendapatkan relevansinya untuk dipertahankan.
Berdasar struktur yang telah dipaparkan di atas, antar komunitas manusia Muslim yang
terpisah jarak geografis dan jarak waktu niscaya memiliki kesamaan wujud-gagasan-
konseptual karena memiliki kesamaan faktor-utama, tetapi diterjemahkan ke dalam wujud-
gagasan-praktis yang beragam dikarenakan perbedaan faktor-ikutan. Sebagi contoh gagasan
“Suci” untuk ruang masjid ditemui diberbagai komunitas manusia Muslim yang
diterjemahkan ke dalam wujud-gagasan-praktis yang saling berbeda, sehingga memunculkan
wujud-artefak masjid yang beragam. Dari sini dapat ditarik prinsip, semakin mendekati
lingkaran-inti akan semakin mencapai kesatuan, sedangkan semakin menjauhi lingkaran-inti
akan semakin mencapai keberagaman. Inilah prinsip ‘yang banyak muncul dari yang satu’
dalam konteks kerja-kreatif-budaya. Satu sumber, asas, panduan, inspirasi dan tauladan
menghasilkan wujud Arsitektur Islam yang beragam. 
Demikianlah penjelasan mengenai wujud-gagasan Arsitektur Islam menurut pendekatan
Psiko-Kultural yang saya rumuskan. Sebagai sebuah ikhtiar keilmuan saya berharap tulisan
singkat ini dapat menjelaskan keseluruhan gagasan yang tersimpan di dalam benak saya,
sehingga wujud-gagasan Arsitektur Islam dalam kerangka pendekatan Psiko-Kultural dapat
dipahami dengan benar dan jelas sebagaimana saya kehendaki. Statusnya sebagai sebuah
pemikiran belumlah mencapai titik final, sehingga selalu terbuka pintu bagi saya untuk
merevisi sebagian bahkan keseluruhan tulisan ini di kemudian hari. Begitupula sebab
statusnya tersebut, tulisan ini terbuka untuk ditanggapi, dikritisi, digugat bahkan diadopsi dan
dikembangkan oleh pihak lain.

Manusia, Arsitektur dan Relasi Keduanya

Manusia mendahului arsitektur, sebab arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan manusia
mensyaratkan kehadiran manusia mendahului hasil kreasinya. Dari pernyataan tersebut dapat
dipahami dua hal. Pertama, arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan manusia diartikan
arsitektur merupakan hasil kerja-kreatif-budaya manusia yang membedakannya dengan alam
sebagai entitas ciptaan Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta. Dari sini pembedaan
keduanya ditegaskan di mana arsitektur adalah ruang binaan, yakni ruang yang dihadirkan,
dibina dan dipergunakan oleh manusia, sedangkan alam adalah ruang alami, yakni ruang
yang penghadirannya tanpa melibatkan manusia dan mendahului kehadiran manusia di alam
dunia. Kedua, arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan merupakan ciri khas manusia yang
membedakannya dengan binatang. Sarang yang dibuat oleh binatang tidaklah dapat
dikategorikan sebagai arsitektur dan tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan
karena penghadirannya hanya didasari insting tanpa kesadaran diri. Sebab itu sarang binatang
selalu hadir dengan perwujudan yang sama tanpa variasi dan tanpa mengalami
perkembangan, tidak sebagaimana kehadiran arsitektur oleh manusia dengan perwujudannya
yang sangat beragam. 
Kebudayaan merupakan perwujudan pemenuhan kebutuhan manusia untuk dapat
mempertahankan diri dan menjalani kehidupannya di alam dunia. Dengan cara pandang ini
arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan manusia merupakan upaya pemenuhan kebutuhan
manusia. Untuk mengenali dan memenuhi kebutuhannya, manusia berpijak pada
pengenalannya terhadap diri dan hakikat kediriannya. Arsitektur sebagai kebutuhan manusia
berarti penghadirannya ditujukan untuk mewadahi diri manusia sebagaimana ia mengenali
dirinya. Manusia yang mengenali dirinya adalah tubuh yang bersifat materi fisikal, sehingga
tubuh pula yang menjadi hakikat kediriannya, akan membutuhkan arsitektur untuk mewadahi
tidak lebih dari tubuhnya. Sementara manusia yang mengenali dirinya adalah tubuh sekaligus
jiwa yang bersifat metafisik akan membutuhkan arsitektur yang berbeda karena dirinya
menuntut pemenuhan kebutuhan terhadap arsitektur yang mampu mewadahi jiwanya selain
tubuhnya.
Dengan cara berpikir di atas, penghadiran Arsitektur Islam seharusnyalah berpijak pada
pandangan-alam Islam mengenai manusia. Penghadiran Arsitektur Islam haruslah
berdasarkan pengenalan manusia Muslim terhadap diri dan hakikat kediriannya yang benar,
yakni yang bersumberkan dari Wahyu Allah sebagai Dzat yang menciptakannya dan Dzat
yang paling mengenali dirinya. Sehingga tidak dapat dihindari pembahasan mengenai
arsitektur harus diawali dengan pembahasan mengenai manusia sebagaimana kehadiran
manusia mendahului kehadiran arsitektur. Menelisik pandangan-alam Islam mengenai
manusia, sebagaimana disampaikan Prof. Syed Naquib Al-Attas, manusia memiliki hakikat
ganda atau dwi hakikat, yakni jiwa dan jasad. Menjelaskan pernyataan gurunya tersebut, Prof.
Wan Daud menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh yang
artinya adalah manusia merupakan makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. Manusia
bukanlah makhluk ruh murni dan bukan pula makhluk jasad murni, melainkan makhluk yang
terdiri dari kedua unsur tersebut. Kembali pada pandangan Prof. Al-Attas, manusia yang
terdiri dari jiwa dan jasad menjadikannya memiliki dua sifat karena setiap unsur memiliki
sifatnya yang khas di mana jasadnya bersifat hayawani dan jiwanya bersifat akali. Jasad
dengan sifat hayawani merupakan sumber sifat-sifat tercela pada diri manusia sementara jiwa
dengan sifat akali merupakan hakikat manusia yang dirujuk apabila manusia berkata ‘aku’.

Jiwa yang menubuh, inilah yang disebut manusia dalam pandangan-alam Islam karena
antara tubuh dan jiwa merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan sepanjang Allah memberi
waktu kepada manusia untuk menjalani kehidupannya di alam dunia. Sebagai hakikat, jiwa
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada tubuh. Namun demikian tidak menjadikan
tubuh dipandang buruk, tidak berguna dan tidak diindahkan di dalam Islam karena
bagaimanapun tubuh adalah nikmat dari Allah kepada manusia agar dirinya dapat hadir di
antara entitas-entitas fisik lainnya di alam dunia. Selain dimensi fungsional tersebut, tubuh
juga memiliki dimensi teologis bagi manusia yang merupakan amanah dari Allah untuk
dijaga dan dipergunakannya dengan baik karena apapun yang diperbuat manusia dengan
melibatkan tubuhnya akan diminta pertanggungjawabannya pada Hari Pembalasan di mana
tubuh dihadirkan sebagai saksi atas seluruh perbuatan yang dilakukan manusia di alam dunia.
Kedudukan tubuh yang lebih rendah daripada jiwa tidak lain dikarenakan tubuh memiliki
sifat hayawani yang berkuasa mencelakakan manusia dengan sifat-sifat tercela. Untuk
menghindarinya, Prof. Al-Attas menyatakan, Islam mengajarkan manusia untuk melawan
kuasa hayawani yang merupakan musuh dalaman bagi dirinya sampai jiwa akali manusia
mampu menguasai tubuh hayawani dan menjadikannya tunduk patuh untuk memenuhi
kehendak Allah atas dirinya. Sebaliknya jika jiwa akali mengalami kekalahan dan menjadi
tahanan kuasa tubuh hayawani, jiwa akan tunduk patuh kepada tubuh untuk memenuhi segala
keinginan tanpa batas yang bersifat kebinatangan. Dalam kondisi ini manusia tak ubahnya
binatang yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Berdasar pandangan Prof. Al-Attas
tersebut Prof. Wan Daud menyatakan, nasib manusia di dunia dan di akhirat tergantung pada
kuasa mana yang menguasai dirinya. Jika jiwa akali menguasai diri manusia maka nasibnya
akan baik di dunia dan di akhirat, tetapi jika tubuh hayawani yang menguasai diri manusia
maka nasibnya akan sebaliknya.
Manusia Muslim yang mengenali diri dan hakikat kediriannya berdasar pandangan-alam
Islam membutuhkan arsitektur untuk mewadahi tidak saja tubuhnya, tetapi lebih penting lagi
adalah jiwanya yang merupakan hakikat kediriannya sebagai manusia. Tepat di sinilah
permasalahan umat Islam pada hari ini yang tidak lagi mengenali dirinya sesuai dengan
pandangan-alam Islam yang menyebabkan arsitektur yang dihadirkannya tidak sesuai dengan
struktur dan fitrah dirinya yang benar. Permasalahan pelik ini disebabkan oleh dua hal, yakni
sebab-dalaman dan sebab-luaran. Sebab-dalaman permasalahan ini ialah keterputusan umat
Islam dari khazanah keilmuan dan tradisi Islam. Persoalan mengenai manusia, unsur dan
hakikat kediriannya telah selesai dibicarakan dan dirumuskan ulama terdahulu yang
dituangkan dalam bidang ilmu Filsafat Islam dan Tasawuf. Perendahan dan penyingkiran
keduanya melalui pengharaman untuk mempelajari, menyebarluaskan dan
mempraktikkannya menyebabkan umat Islam tidak dapat mengakses bidang ilmu tersebut
dan secara perlahan berjarak menjauh hingga mengalami keterputusan pewarisan. 
Sebab-luaran yang berkaitan erat dengan sebab-dalaman di atas ialah pembaratan yang
dialami umat Islam. Pembaratan dapat terjadi karena di satu sisi umat Islam mengalami
keterputusan pewarisan keilmuan dan tradisi yang menyebabkannya mengalami kekosongan
sementara di sisi lain Peradaban Barat Modern yang tengah mendominasi dunia dengan daya
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya mampu mengisi kekosongan yang
dialami umat Islam. Sebagaimana komunitas manusia yang tidak memiliki khazanah dan
tradisinya sendiri akan terpuruk, merasa rendah diri dan mengalami inferioritas ketika
berhadapan dengan khazanah dan tradisi milik komunitas manusia lainnya yang dianggap
baik dan maju, begitulah kondisi yang dialami umat Islam ketika berhadapan dengan
pencapaian Peradaban Barat Modern, sehingga pembaratan dapat terjadi.
Dalam konteks tulisan ini, pembaratan yang dialami umat Islam diawali dari penerimaan
tanpa kritis Arsitektur Barat Modern yang secara perlahan mempengaruhi dan merubah
pandangan-alamnya dalam mengenali diri dan hakikat kediriannya. Menggunakan cara
berpikir yang sama, Arsitektur Barat Modern berpijak pada pandangan-alam Barat Modern
mengenai manusia yang berasaskan pada filsafat Positivisme. Dalam pandangan-alam
Positivisme, manusia tidak lebih dari tubuh fisik yang diperlengkapi dengan serangkaian
organ, sistem saraf, hormon dan DNA di mana yang terakhir menduduki hakikat kedirian
manusia. Pembedaan antara manusia dengan binatang didasarkan pada pembedaan perangkat
fisik yang dimiliki keduanya, tanpa melibatkan pembedaan unsur-unsur dalaman karena
Positivisme menolak unsur metafisik dan sifat spiritual diri manusia, yakni unsur jiwa dan
ruh karena tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara materi dan tidak mampu dibuktikan
wujudnya secara kuantitatif.
Arsitektur Barat Modern yang berasaskan pandangan-alam Positivisme mengenai
manusia ditujukan hanya untuk mewadahi tubuh manusia, sehingga dalam penghadiran
arsitekturnya digunakan acuan standar kenyamanan tubuh dan kepuasan panca indera
manusia yang terukur secara kuantitatif. Keduanya dicapai dengan penentuan dimensi ruang
berdasarkan gerak tubuh, kekuatan struktur untuk melindungi tubuh, kehalusan bahan untuk
memberikan kenyamanan indera peraba, pencahayaan serta penghawaan untuk memberikan
kenyamanan termal tubuh dan estetika bentuk untuk memberikan kenikmatan indera
pengelihatan. Itulah serangkaian prinsip Arsitektur Barat Modern yang berkutat pada
pendekatan fungsional, ekonomis dan praktis untuk mencapai tujuannya memenuhi
kebutuhan tubuh manusia sebagai pengguna dan penikmat arsitektur.
Arsitektur Barat Modern yang merupakan pencapaian Peradaban Barat Modern yang
tengah mendominasi dunia, di tengah inferioritas yang menjangkiti umat Islam, seketika
menjadi acuan kemajuan dan standar pembangunan arsitektur di Dunia Islam hingga lingkup
komunitas umat Islam yang lebih kecil. Arsitektur yang serba tubuh, di tengah kekosongan
khazanah keilmuan dan tradisi yang dialami umat Islam, mempengaruhi kesadaran manusia
Muslim mengenai diri dan hakikat kediriannya yang adalah daging dan tulang yang
diperlengkapi dengan seperangkat organ fisik. Kepekaan terhadap unsur metafisik dirinya
dan sifat spiritualitas kemanusiaannya perlahan memudar karena arsitektur yang
dihadirkannya dan ruang-ruang yang dimilikinya tidak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
jiwanya.
Penghadiran arsitektur yang serba tubuh ialah pandangan yang lahir dari diri yang
dikuasai oleh tubuh hayawani, sehingga dirinya tidak mampu mengenali unsur hakikat
kemanusiaannya yang metafisik. Kuasa tubuh hayawani menuntut pemenuhan kebutuhan
yang berputar pada persoalan jasadiah sementara jiwa akali yang tertawan kuasa tubuh
hayawani menjadikannya tidak mampu mengontrol pelepasan hawa nafsu dan justru menjadi
budak bagi sifat hayawani untuk mencapai kepuasannya. Sehingga dapat dipahami berbagai
fenomena kerusakan jiwa akibat penghadiran arsitektur seperti rasa sombong, angkuh, riya
dan kewajaran sikap hidup mewah. Sekali lagi, permasalahan ini disebabkan karena arsitektur
dihadirkan tidak untuk mewadahi jiwa manusia, justru memenjarakannya sebagai budak
tawanan.
Kelupaan terhadap diri dan hakikat kediriannya sebagai manusia akibat keterputusan dari
khazanah keilmuan dan tradisi serta pembaratan yang dialami akibat pengaruh kuat
Peradaban Barat Modern menjadi sebab kesalahan manusia Muslim mengenali kebutuhan
dirinya, termasuk salah dalam mengenali kebutuhan arsitekturnya. Penghadiran arsitektur
yang salah karena tidak mewadahi jiwa yang merupakan hakikat manusia menurut
pandangan-alam Islam adalah merupakan kegilaan, sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali
seperti dikutip oleh Prof. Wan Daud yang menyatakan bahwa kegilaan (junuun) adalah
memperjuangkan sesuatu berdasarkan tujuan yang salah. Arsitektur yang gila kiranya tepat
dinisbatkan kepada arsitektur yang kehadirannya berdampak buruk terhadap jiwa manusia
karena didasarkan konsep manusia yang salah, sehingga tujuan penghadirannya pun salah. 

Kelupaan merupakan sifat dasar manusia. Prof. Syed Naquib Al-Attas yang bersandarkan
pada riwayat dari Ibnu Abbas menyatakan, penyebutan manusia dengan insan berasal dari
kata nisyaan yang berarti lupa. Kelupaannyalah, menurut Prof. Syed Al-Attas yang menjadi
sebab keingkaran manusia dan sifat tercela yang mengarahkannya kepada ketidakadilan
(zulm) dan kejahilan (jahl). Prof. Wan Daud menjelaskan, dalam pandangan Prof. Syed
Naquib Al-Attas yang dimaksud dengan ketidakadilan (zulm) adalah meletakkan sesuatu
tidak pada tempatnya. Lawannya adalah keadilan yakni, meletakkan sesuatu pada tempatnya
yang benar. Sementara kejahilan (jahl) menurut Prof. Al-Attas adalah kerusakan ilmu atau
meyakini benar ilmu yang salah yang akibatnya adalah kesalahan dalam menempatkan segala
sesuatu. Untuk mewujudkan keadilan dibutuhkan adab yang oleh Prof. Syed Al-Attas
diartikan dengan pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala
sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-
tingkatannya. Prof. Wan Daud melanjutkan, pengertian adab dalam pandangan Prof. Al-Attas
menunjukkan bahwa segala sesuatu telah berada pada tempatnya masing-masing dalam
hirarki wujud, tetapi disebabkan kebodohan dan kesombongannya, manusia mengubah
tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidakadilan.
Manusia Muslim yang mengenali diri dan hakikat kediriannya sebatas tubuh merupakan
kejahilan yang menyebabkan ketidakadilan terhadap dirinya sendiri. Begitupula dengan
penghadiran arsitektur sebatas mewadahi tubuh manusia juga merupakan kejahilan yang
menyebabkan ketidakadilan terhadap diri manusia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini
mutlak dibutuhkan adab agar manusia Muslim kembali mengenali diri dan hakikat
kediriannya sebagai manusia sesuai derajat dan tempatnya yang benar. Pengenalan diri yang
benar akan menghantarkan manusia Muslim pada pengenalan arsitektur yang benar. Prinsip
perbaikan tersebut berkesesuaian dengan prinsip relasi manusia dan arsitektur di awal tulisan
ini bahwa kehadiran manusia mendahului arsitektur, berarti untuk melakukan perbaikan
arsitektur harus diawali dengan melakukan perbaikan diri manusia sebagai entitas yang
menghadirkan dan menghidupi arsitektur. 
Manusia yang mengenali dirinya dengan benar akan mencapai pengenalan terhadap
Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipa dan membawanya pada pengenalan terhadap Allah
sebagai satu-satunya sesembahan yang benar untuk diibadahi. Kesadaran terhadap diri dan
kesadaran terhadap Allah menjadi dasar bagi manusia untuk mengenali tujuan hidupnya di
alam dunia, mengenali kebutuhannya selama hidup di alam dunia dan cara-cara yang patut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan hidup manusia adalah
arsitektur yang oleh manusia beradab akan dipenuhi melalui kerja-kreatif-budaya yang penuh
adab sebagai ikhtiar memenuhi kebutuhannya secara beradab melalui penghadiran arsitektur
yang beradab, yakni arsitektur yang ditujukan untuk mewadahi diri manusia seutuhnya.
Hanya arsitektur demikianlah yang dapat dikatakan sebagai bagian dari Kebudayaan Islam
yang ciri khasnya adalah kehalusan adab yang bersendikan pada pengesaan Tuhan. 
Setelah diketahui unsur penyusun diri manusia serta hakikat kediriannya dan
konsekuensinya terhadap arsitektur, persoalan yang kemudian muncul adalah seperti apakah
perwujudan arsitektur yang mewadahi tubuh dan terutama jiwa manusia dan bagaimana pula
cara menghadirkannya? Ke arah sinilah pengkajian Arsitektur Islam pendekatan Psiko-
Kultural yang hendak saya tuju dengan berpijak pada konsep manusia menurut pandangan-
alam Islam.
Kesadaran Berarsitektur; Landasan Bagi Manusia Menghadirkan Arsitektur\

A. Arsitektur dan Kesadaran Manusia

Menempatkan arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang pada hakikatnya
adalah perwujudan dari kebutuhan manusia untuk mempertahankan diri dan menjalani
kehidupannya di dunia memberikan konsekuensi logis bahwa arsitektur tidak dapat
dilepaskan dari aspek manusia sebagai subyek pelaku kerja-kreatif-budaya. Tersedia dua
argumentasi untuk mendukung kebenaran pandangan ini yang merupakan asumsi dasar
pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam. Pertama, kehadiran arsitektur mensyaratkan
kehadiran manusia yang membutuhkan. Tanpa kehadiran manusia dan tanpa adanya
kebutuhan manusia terhadap arsitektur, maka arsitektur tidak akan hadir. Kedua, kebutuhan
manusia terhadap arsitektur tidak secara otomatis menjadikan arsitektur hadir begitu saja
tanpa kerja yang dilakukan manusia untuk menghadirkan arsitektur yang menjadi
kebutuhannya.
Kelekatan yang sangat kuat antara manusia dan arsitektur menjadikan pemahaman
terhadap fenomena arsitektur haruslah didasari pemahaman terhadap fenomena manusia
sebagai agen-aktif kebudayaan yang memiliki kebutuhan terhadap arsitektur dan secara aktif
berupaya memenuhi kebutuhannya. Manusia yang berkebutuhan dan bekerja memenuhi
kebutuhannya ialah manusia yang mengenali kebutuhan dan mengenali kerja yang
dilakukannya. Singkatnya, manusia yang berkesadaran. Tanpa kesadaran, manusia tidak akan
dapat mempertahankan diri dan menjalani kehidupannya di dunia karena ia tidak mengenali
diri, hidup yang sedang dijalani, kebutuhan dan tidak mampu melakukan kerja untuk
memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan pandangan di atas, hadirnya arsitektur mensyaratkan manusia yang
berkesadaran karena dengan kesadarannya ia dapat mengenali kebutuhan dan melakukan
kerja untuk memenuhinya. Dari sinilah pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam
menentukan langkah awal untuk memahami fenomena arsitektur dan menghadirkan
arsitektur, yakni dimulai dari mengenali dan membentuk kesadaran manusia Muslim dalam
berarsitektur yang bersumberkan dari Islam. Ini berarti pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur
Islam memulai kerja-kreatif-budaya bukanlah dengan melakukan kerja keteknikan untuk
menghadirkan objek arsitektur, tetapi dengan melakukan kerja pendidikan manusia karena
kehadiran Arsitektur Islam mensyaratkan terlebih dahulu hadirnya manusia Muslim yang
berkesadaran Islam.

B. Struktur Kesadaran

Dengan penalaran yang saya gunakan dalam tulisan ini untuk memahami hubungan
antara manusia dan arsitektur haruslah dimulai dengan memahami kesadaran manusia yang
membuahkan kebutuhan terhadap arsitektur dan mendorong dirinya melakukan kerja
menghadirkan arsitektur. Kesadaran terbentuk melalui pengenalan dan pengenalan
mensyaratkan ilmu untuk dapat mengenali, sementara ilmu erat kaitannya dengan kebenaran
karena tujuan ilmu ialah mencapai kebenaran. Dengan demikian kesadaran memiliki kait
hubungan dengan ilmu dan kebenaran. Ilustrasinya begini, seseorang menyadari dirinya hadir
bukan karena pertama ia merasa dirinya hadir, tetapi karena ia yakin bahwa dirinya hadir.
Keyakinan bahwa dirinya hadir menandakan ia telah mencapai kebenaran sebagai buah dari
pengenalan terhadap kehadiran dirinya berdasarkan ilmu yang kemudian membentuk
kesadarannya sebagai manusia.
Kesadaran penuh dicapai manusia melalui pengenalan secara bertahap di mana
pengenalan pada tahap sebelumnya merupakan pijakan bagi manusia untuk mencapai
pengenalan tahap selanjutnya. Pengenalan pertama yang harus dicapai manusia adalah
pengenalan terhadap dirinya. “Apa diriku ini dan siapakah diriku?” “Apa hakikat diriku ini?”
“Darimana aku berasal?” “Bagaimana aku dapat hadir di sini?” “Apakah aku diciptakan?”
“Jika aku diciptakan, siapakah Penciptaku?” Deretan pertanyaan tersebut dilontarkan manusia
kepada dirinya sendiri yang bertujuan untuk mencapai kepastian mengenai dirinya. Tanpa
kepastian mengenai dirinya, manusia tidak dapat melangkah pada tahap pengenalan
selanjutnya karena seluruh pengenalan selanjutnya bersandarkan dan berasaskan pada
pengenalan mengenai hakikat kediriannya sebagai manusia.
Pengenalan manusia terhadap dirinya selalu beriringan dengan pengenalan manusia
terhadap entitas yang mengitari dirinya karena kepastian mengenai diri dicapai manusia
dengan mengenali perbedaan antara dirinya, binatang, tumbuhan dan ada-ada yang lain di
sekelilingnya, baik fisik maupun metafisik. Pada tahap ini pula manusia mencapai
pengenalan terhadap Pencipta yang menghadirkan dirinya di alam dunia. Secara metodologis
terdapat dua jalan untuk mencapai kepastian pada tahap pengenalan pertama, yakni :
(1) mengenali diri terlebih dahulu untuk mengenali entitas lain di luar dirinya; atau
(2) mengenali entitas di luar diri terlebih dahulu untuk mengenali dirinya. Akhir dari
pengenalan tahap ini adalah manusia mengenali seluruh ada-ada yang diyakininya
hadir, termasuk dirinya dan hubungan antara ada-ada tersebut dengan dirinya.
Setelah mencapai pengenalan terhadap dirinya, manusia beranjak pada pengenalan
berikutnya berkaitan dengan kehadiran dirinya di alam dunia. “Untuk apa aku hidup?”
“Untuk apa aku hadir di sini di dunia?” “Apa tujuan kehadiranku?” adalah sederetan
pertanyaan yang menuntut segera dicari jawabannya karena manusia membutuhkan kepastian
akan arah, tujuan dan alasan kehadirannya di dunia agar dapat menjalani kehidupannya
dengan jelas dan bermakna. Pengenalan tujuan hidup bersandarkan pada pengenalan terhadap
diri karena suatu tujuan agar dapat dan memungkinkan untuk dicapai oleh manusia haruslah
berkesesuaian dengan dirinya. Manusia yang mengenali dirinya sebatas tubuh yang bersifat
fisikal, maka tujuan hidup yang dikenalinya pun sebatas persoalan materi-fisik yang mampu
dicapai oleh dirinya yang hanya tubuh. Pengenalan terhadap dirinya yang hanya tubuh
menjadi penghalang bagi manusia untuk mengenali dan mencapai tujuan hidup yang bersifat
transenden dan melampaui fisik-materi.
Selanjutnya, setelah mencapai kesadaran terhadap tujuan hidupnya, manusia memasuki
pengenalan terhadap kehidupannya. “Apa saja kebutuhanku untuk dapat hidup dan
mempertahankan hidup?” “Mengapa aku membutuhkan hal tersebut?” “Jika kebutuhan itu
tidak terpenuhi, apa akibatnya bagiku?” ialah sederet pertanyaan untuk memberi manusia
kepastian mengenai apa yang harus dilakukannya untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya di dunia. Pengenalan manusia terhadap kebutuhan hidupnya didasarkan
pengenalan terhadap diri dan pengenalan terhadap tujuan hidup. Yang pertama, pengenalan
terhadap kebutuhan hidup terkait erat dengan pengenalan manusia terhadap dirinya karena
pada hakikatnya kebutuhan merupakan mekanisme diri manusia untuk mempertahankan
hidup. Manusia yang mengenali dirinya sebatas tubuh, maka kebutuhannya sepanjang hidup
di dunia hanya seputar persoalan tubuh untuk mempertahankan kehidupan bagi tubuhnya.
Sementara manusia yang mengenali dirinya ialah jiwa dan tubuh, maka kebutuhan hidupnya
terdiri dari kebutuhan bagi jiwa dan kebutuhan bagi tubuh di mana pemenuhan terhadap
kebutuhan jiwa merupakan prioritas karena merupakan hakikat dirinya sebagai manusia.
Kedua, pengenalan manusia terhadap kebutuhan hidup terkait erat dengan tujuan
hidupnya yang dapat dijelaskan dari dua sisi. Sisi pertama, kebutuhan yang didasari tujuan
hidup menjadikan kebutuhan tersebut bermakna sehingga mendorong manusia untuk
melakukan kerja memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang tidak sejalan dengan tujuan
hidup menjadikannya tidak bermakna bagi manusia, sehingga tidak dapat diterima olehnya
secara psikologis dan tidak dapat mendorong manusia untuk melakukan kerja. Sebagai misal
manusia yang memiliki tujuan hidup memiliki kekayaan materi terbanyak di antara manusia
lainnya, maka menjadi bermakna bagi dirinya segala kebutuhan hidup berkaitan dengan
penambahan angka nominal kepemilikan harta. Sebaliknya menjadi tidak bermakna bagi
dirinya kebutuhan bersedekah kepada faqir miskin yang secara zhahir merugikan dirinya
karena mengakibatkan berkurangnya angka nominal harta yang dimiliki.
Sisi kedua, tujuan hidup selalu berarti suatu tempat atau suatu kondisi yang berada ‘di
sana’ yang menjadikan tujuan hidup selalu menuntut gerak manusia untuk mendekat dan
mencapainya. Kebutuhan hidup tidak lain ialah jalan yang dimiliki manusia untuk mencapai
tujuan hidup yang terletak ‘di sana’. Dengan begitu pengenalan yang benar terhadap
kebutuhan hidup menjadi penting bagi manusia, bukan saja untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya di dunia, tetapi juga untuk mencapai tujuan hidupnya. Sebaliknya, salah
mengenali kebutuhan hidup mengakibatkan diri manusia tidak mampu mempertahankan
kehadirannya di dunia dan mengakibatkan dirinya tidak mampu mencapai tujuan hidup.
Pernyataan ini dapat dijelaskan secara psikologis bahwa seseorang yang berhasil memenuhi
kebutuhan hidup merasakan dirinya semakin dekat atau telah mencapai tujuan hidupnya.
Sebaliknya, kegagalan memenuhi kebutuhan hidup dirasakan oleh manusia sebagai kegagalan
mencapai tujuan hidup yang menyebabkan dirinya merasa kehidupan yang tengah dijalaninya
tidak lagi bermakna bahkan menuntut untuk diakhiri.
Kebutuhan hidup menuntut untuk dipenuhi karena berkaitan dengan kehadiran dan
pemertahanan diri manusia di dunia. Setelah mengenali kebutuhan hidupnya, manusia
memasuki tahap pengenalan terhadap cara yang harus dilakukan untuk memenuhi
kebutuhannya. “Bagaimana caraku memenuhi kebutuhanku?” “Apa yang aku miliki untuk
memenuhi kebutuhan hidupku?” “Apa yang patut aku lakukan dan tidak patut aku lakukan
untuk memenuhi kebutuhan itu?” merupakan rangkaian pertanyaan yang tidak sekebar
berdimensi teknis-praktis menyoal bagaimana caraku memenuhi kebutuhan, tetapi lebih
utamanya berdimensi filosofis-metodologis menyoal cara seperti apa yang seharusnya aku
lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada tahap pengenalan inilah manusia memasuki
medan etika karena cara-cara yang dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak saja
menyoal dirinya sendiri, tetapi selalu bersinggungan dengan ada-ada lain di sekitarnya,
termasuk keberadaan manusia lainnya.
Pemenuhan kebutuhan hidup berkaitan dengan dua hal, yakni (1) apa yang dapat
digunakan atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan; dan (2) bagaimana cara memenuhi
kebutuhan hidup. Dimulai dari yang pertama, persoalan ‘apa’ yang dapat digunakan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya meliputi potensi internal dan potensi eksternal
yang bersandarkan pada pengenalan manusia terhadap dirinya. Potensi internal merupakan
saluran epistemologis yang inheren terdapat di dalam diri manusia yang dikenali dan
diakuinya sebagai bagian dari dirinya. Sedangkan potensi eksternal merupakan seluruh
entitas di luar diri manusia yang dikenali dan diakui keberadaannya berdasarkan pengenalan
manusia terhadap potensi internal dirinya. Manusia yang hanya mengenali panca indera
sebagai saluran epistemologis merupakan dasar bagi dirinya untuk mengakui bahwa di luar
dirinya hanya terdapat entitas fisik yang mampu diserap panca indera. Entitas yang tidak
dapat diserap panca indera diyakininya tidak hadir atau tidak ada, sehingga tidak dapat
dimanfaatkan olehnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kedua, potensi yang dimiliki manusia berkaitan dengan persoalan ‘bagaimana’ yang
merupakan kerja konkret manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara-cara yang
memungkinkan dilakukan manusia berdasarkan pada saluran epistemologis yang diakuinya
sah karena cara ialah teknik yang merupakan turunan dari saluran epistemologis untuk
berhubungan dengan realitas fisik, dalam konteks bahasan ini ialah untuk memanfaatkan atau
mengolah potensi eksternal yang terdapat di sekeliling diri manusia sebagai upaya memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tidak sembarang cara dapat dilakukan oleh manusia untuk memenuhi
kebtuhannya karena upaya pemenuhan kebutuhan hidup selain bersandarkan pada pengenalan
terhadap diri juga bersandarkan pada pengenalan terhadap tujuan hidup dikarenakan upaya
pemenuhan kebutuhan hidup tidak saja untuk mempertahankan kehidupan, tetapi juga
merupakan gerak manusia mendekati dan mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup
menyediakan batas-batas bagi kerja yang dilakukan manusia berkaitan dengan cara apa yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya. Dengan begitu suatu cara dinyatakan benar
jika dapat memenuhi kebutuhan sekaligus berkesesuaian dengan tujuan hidup dan sebaliknya,
suatu cara dinyatakan salah karena tidak sesuai dengan tujuan hidup walaupun dapat
digunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Demikianlah tahapan-tahapan pengenalan yang membentuk kesadaran manusia. Manusia
yang telah mencapai seluruh tahapan pengenalan dikatakan telah memiliki kesadaran penuh
yang meliputi kesadaran terhadap diri, tujuan hidup, kebutuhan hidup dan cara-cara
memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kesadaran penuh, manusia dapat menjalani
kehidupannya dengan jelas, pasti dan bermakna, walaupun belum tentu benar dikarenakan
persoalan benar dan salah dalam pembentukan kesadaran manusia ditentukan oleh jawaban
atas setiap pertanyaan pengenalan yang disediakan oleh sistem keyakinan yang dianut. Setiap
pertanyaan pengenalan yang dilontarkan dan dihadapi manusia bersifat alamiah yang
ditanamkan Allah di dalam diri semua manusia tanpa terkecuali, sedangkan sistem keyakinan
yang dianut manusia meliputi agama, sistem filsafat, ideologi dan sejenisnya sebagai sumber
jawaban atas pernyataan pengenalan merupakan pilihan manusia sebagai makhluk yang
memilik kebebasan.

 
Gambar 1: Tahapan pengenalan manusia mencapai kesadaran penuh
Sumber: Analisa, 2017

Secara faktual dalam kehidupan kesehariannya manusia mendapati beragam sistem


keyakinan dengan jawaban yang saling berbeda untuk setiap pertanyaan sebagai ciri khas
yang dimiliki masing-masingnya. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah di antara
keberagaman sistem keyakinan yang didapati manusia dalam kehidupannya, apakah tidak
dimungkinkan seluruhnya benar atau beberapa di antaranya adalah benar? Kebenaran selalu
identik dengan ketunggalan karena ketunggalan identik dengan kepastian dan kejelasan yang
menjadi ciri khas kebenaran. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara subjektif dan objektif.
Secara subjektif manusia membutuhkan kebenaran karena manusia membutuhkan kepastian
dan kejelasan yang disediakan oleh kebenaran, termasuk sebagai penyedia jawaban yang
pasti dan jelas atas setiap pertanyaan pengenalan yang dihadapinya. Karenanya secara
psikologis manusia cenderung hanya meyakini benar dan menganut satu sistem keyakinan
sebagai sumber pembentuk kesadaran dirinya dan mendudukkan sistem keyakinan yang
diyakininya benar tersebut di atas sistem keyakinan lainnya. Manusia tidak dapat meyakini
benar lebih dari satu sistem keyakinan atau seluruh sistem keyakinan karena alih-alih
memberikan dirinya kepastian dan kejelasan, justru menyebabkan kebingungan,
ketidakjelasan dan ketidakpastian bagi dirinya.
Selain itu di antara keberagaman sistem keyakinan yang ditemui manusia dalam
kehidupan kesehariannya, justru tidak menjadikannya semakin merasa yakin bahwa
seluruhnya adalah benar, sehingga mendorong dirinya untuk memilih salah satu di antara
sekian banyak sistem keyakinan yang tersedia. Memilih merupakan upaya mengerahkan
seluruh daya potensi yang dimiliki manusia karenanya jika seluruh sistem keyakinan adalah
benar maka manusia tidaklah perlu memilih, dalam artian dirinya dapat dengan mudah
berganti dan berpindah sistem keyakinan kapanpun diinginkannya, tetapi secara faktual hal
tersebut bertentangan dengan kondisi eksistensial manusia yang menandakan secara subjektif
manusia hanya mampu menerima kebenaran tunggal dengan meyakini benar satu sistem
keyakinan dan menolak sistem keyakinan lain untuk dinyatakan sebagai benar.
Pertanyaan selanjutnya yang dapat diajukan adalah apa yang menjadi timbangan objektif
bahwa suatu sistem keyakinan adalah benar atau salah? Banyak manusia pada hari ini akan
setuju jika Komunisme adalah salah. Timbangan yang digunakan untuk memutuskan bahwa
Komunisme adalah sistem keyakinan yang salah dan begitu pula dengan banyak sistem
keyakinan lainya ialah sistem keyakinan yang didalamnya inheren terdapat kebenaran.
Dengan demikian timbangan kebenaran untuk menilai sistem keyakinan haruslah memenuhi
tiga syarat. Pertama, sistem keyakinan hanya dapat ditimbang dan dinilai oleh sesama sistem
keyakinan karena yang dinilai maupun yang menilai harus berada dalam kategori yang sama.
Kedua, kebenaran yang termuat di dalam timbangan bukanlah hasil konstruksi manusia atau
rekayasa subjektif manusia yang mengharuskannya memiliki kebenaran yang bersifat adi-
manusia dan mutlak-benar. Ketiga, agar dapat berkedudukan sebagai timbangan bagi sistem
keyakinan lainnya, maka sistem keyakinan harus selalu dalam bentuk otentiknya dalam artian
tidak mengalami perubahan maupun perkembangan serta berlaku di setiap ruang dan zaman.
Satu-satunya sistem keyakinan yang dapat memenuhi ketiga syarat di atas hanya sistem
keyakinan yang berasal dari Allah dalam wujud agama yang dinamakan sendiri oleh-Nya
dengan Islam. Hanya dengan mekanisme demikian sistem keyakinan memiliki kebenaran
yang objektif dan otentik karena kebenarannya berasal dari Allah yang melampaui diri
manusia dan penjagaannya pun telah ditetapkan oleh Allah. Sehingga dapat disimpulkan
sistem keyakinan yang benar ialah tunggal yang memiliki kebenaran mutlak dan
kebenarannya melampaui ruang dan waktu. Jika manusia memilih sistem keyakinan tersebut
sebagai sumber jawaban bagi setiap pertanyaan pengenalan yang dihadapinya, maka akan
terbentuk kesadaran yang benar di dalam dirinya. Sebaliknya jika manusia tidak mengakui
kebenarannya karena memilih sistem keyakinan lain disebabkan pewarisan dari kedua
orangtua, tuntutan lingkungan dan lain sebagainya, padahal di dalam diri setiap manusia telah
Allah berikan akal yang berguna baginya untuk mengenali dan memilih kebenaran, maka
akan terbentuk kesadaran yang salah dalam dirinya yang menjadikannya tidak mengenali diri,
tujuan hidup, kebutuhan dan cara-cara memenuhi kebutuhan dengan benar sebagaimana
Allah menetapkan dan menghendakinya bagi seluruh manusia.
C. Kesadaran Berarsitektur
Lalu apa dan seperti apa hubungan kesadaran manusia dengan arsitektur? Kesadaran
yang dimiliki manusia memuat kesadaran berarsitektur jika dirinya memiliki kebutuhan
terhadap arsitektur. Jika yang terjadi sebaliknya, maka dalam kesadaran dirinya sebagai
individu maupun komunal tidak memuat kesadaran berarsitektur yang menjadikannya tidak
memiliki khazanah arsitektur dalam wujud gagasan, perilaku maupun artefak. Namun kondisi
ini tidaklah mungkin karena arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan pada hakikatnya
merupakan kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidup dan menjalani kehidupannya di
dunia, sehingga setiap manusia secara individu maupun komunal pastilah memiliki kesadaran
berarsitektur. Hanya saja sejauh mana kesadaran berarsitektur yang dimilikinya tergantung
pada kemampuan sistem keyakinan yang dianut untuk menyediakan jawaban atas setiap
pertanyaan pengenalan arsitektur yang dihadapi manusia.
Pada tahap pertama pembentukan kesadaran berarsitektur berpijak pada pengenalan
manusia terhadap dirinya. Pada tahap ini secara simultan manusia menghadapi pertanyaan
“Apakah diriku membutuhkan arsitektur?” “Apa tujuan arsitektur bagiku?” “Arsitektur
seperti apa yang aku butuhkan?”. Dengan mengenali dirinya manusia akan mengenali
arsitektur sebagai kebutuhan baginya untuk menjalani kehidupannya di dunia. Setelah
mengetahui bahwa arsitektur merupakan kebutuhan, dengan berpijak pada pengenalan yang
sama manusia akan mengenali wujud arsitektur yang dibutuhkannya. Jawaban atas kedua
pertanyaan tersebut menjadi landasan bagi perumusan wujud-gagasan arsitektur yang hendak
dihadirkan manusia. Tanpa kesadaran tahap ini manusia tidak akan memiliki khazanah
arsitektur yang khas karena wujud-gagasan berakar paling dalam dan terikat paling kuat
dengan kesadaran manusia di antara wujud arsitektur lainnya.
Setelah mengenali arsitektur yang dibutuhkannya, manusia memasuki pembentukan
tahap kedua kesadaran berarsitektur yang berpijak pada tujuan hidupnya. Pada tahap kedua
ini manusia menghadapi pertanyaan “Apa tujuanku berarsitektur?”. Jawaban atas pertanyaan
tersebut merupakan motif dan dorongan bagi manusia untuk menghadirkan arsitekturnya
dalam wujud-artefak berlandaskan wujud-gagasan yang telah dirumuskannya. Tanpa
memiliki kesadaran tahap ini, arsitektur dan upaya menghadirkannya menjadi tidak bermakna
bagi manusia karena tidak berkaitan dengan tujuan hidup yang hendak dicapainya. Akibatnya
wujud-gagasan tidak akan terealisasi dalam wujud-artefak dan seiring waktu wujud-gagasan
akan hilang secara perlahan dari alam mental manusia perumusnya. Sampai pada tahap
kesadaran ini, arsitektur tidak saja bertujuan fungsional bagi manusia penghadirnya berkaitan
dengan pewadahan dirinya di dalam ruang binaan sebagaimana dipahami dalam kesadaran
tahap pertama, tetapi juga bertujuan eksistensial menghantarkan manusia semakin dekat
dengan tujuan hidupnya sebagaimana ditunjukkan dalam kesadaran tahap kedua.
Pada tahap ketiga yang merupakan tahap terakhir, manusia beranjak pada pembentukan
kesadaran berarsitektur mengenai cara-cara yang patut dilakukannya untuk menghadirkan
arsitektur berpijak pada pengenalannya terhadap diri dan tujuan hidupnya. Pengenalan
terhadap diri meliputi potensi internal yang inheren terdapat di dalam diri sebagai pemberian
Allah kepada manusia meliputi pancaindera, akal dan intuisi serta potensi eksternal yang
disediakan oleh Allah untuk manusia meliputi Wahyu sebagai sumber panduan untuk
mempergunakan potensi internal dan potensi eksternal, kepemilikan ekonomi, jaringan sosial,
pewarisan tradisi, kondisi iklim, ketersediaan sumber alam dan sebagainya. Keduanya
merupakan modal untuk digunakan manusia menghadirkan arsitektur yang dibutuhkannya
melalui kerja-kreatif-budaya. Pertanyaan yang dihadapi manusia pada tahap ini adalah
“Kemampuan apa yang dimiliki diriku untuk menghadirkan arsitektur yang aku butuhkan?”
“Apa saja yang tersedia di sekelilingku yang dapat aku gunakan untuk menghadirkan
arsitektur?” Sementara berpijak pada pengenalan tujuan hidup menegaskan batas-batas yang
harus dipatuhi manusia agar cara-cara menghadirkan arsitektur yang dilakukannya
merupakan gerak mendekati tujuan hidup. Di sinilah dimensi etik menjadi pertimbangan
dalam menentukan kerja-kreatif-budaya yang harus dilakukan manusia untuk menghadirkan
arsitekturnya. Kesadaran berarsitektur tahap ini merupakan landasan untuk merumuskan
wujud-perilaku arsitektur guna mengobjektifkan wujud-gagasan menjadi wujud-artefak
meliputi kerja-kerja keteknikan meliputi metode perancangan dan metode serta manajemen
pembangunan. Tanpa memiliki kesadaran tahap ini manusia tidak akan memiliki kemampuan
untuk menghadirkan arsitekturnya dalam wujud-artefak.

Gambar 2: Kesadaran berarsitektur sebagai dasar dalam menghadirkan arsitektur


Sumber: Analisa, 2017

Sebagaimana pembentukan kesadaran, manusia dikatakan memiliki kesadaran


berarsitektur secara penuh jika telah melalui seluruh tahapan pengenalan arsitektur, sehingga
terbentuk struktur kesadaran berarsitektur di dalam dirinya. Kesadaran berarsitektur yang
terbentuk berarti dua hal bagi manusia terkait upayanya menghadirkan arsitektur. Pertama,
sebelum mengenali arsitektur yang dibutuhkan dan menetapkan upaya-upaya untuk
melakukan kerja-kreatif-budaya menghadirkan arsitekturnya, terlebih dahulu manusia harus
mengenali dirinya, tujuan hidupnya dan kebutuhan hidupnya. Kedua, arsitektur dikatakan
benar jika memenuhi empat syarat yakni, (1) dibutuhkan oleh manusia penghadirnya; (2)
mampu mewadahi diri manusia penghadirnya sebagaimana kesadaran yang dimilikinya
berkaitan dengan diri dan hakikat kediriannya; (3) selaras dengan tujuan hidup sehingga
mampu membawa manusia penghadirnya semakin dekat dengan tujuan hidupnya; dan (4)
cara-cara menghadirkan arsitekturnya menggunakan seluruh potensi yang dimiliki dan
berkesesuaian dengan tujuan hidup.
Kepemilikan kesadaran berarsitektur secara penuh memampukan manusia untuk
menghadirkan arsitekturnya yang khas secara mandiri. Dikatakan khas karena arsitektur sejak
hadir dalam kesadaran di alam mental hingga hadir secara fisik mencerminkan sistem
keyakinan yang dianut oleh manusia penghadirnya yang menjadikan arsitektur sejak
berwujud gagasan hingga berwujud artefak tidak pernah kosong dari nilai-nilai. Oleh sebab
itu adalah sah penyebutan serta peristilahan Arsitektur Islam, Arsitektur Hindu, Arsitektur
Kristen, Arsitektur Materialisme dan sebagainya dan adalah sebuah keniscayakan penisbatan
arsitektur kepada suatu sistem keyakinan karena manusia membutuhkannya untuk
membentuk kesadaran dirinya, termasuk kesadarannya dalam berarsitektur dengan syarat
sistem keyakinan yang dimaksud menyediakan jawaban untuk setiap pertanyaan pengenalan
yang membentuk kesadaran manusianya dalam berarsitektur. Atas dasar pandangan ini
peristilahan yang menisbatkan arsitektur kepada suatu sistem keyakinan tertentu harus
dipahami sebagai arsitektur yang kehadirannya didasarkan dan berakar pada kesadaran
manusia penganut sistem keyakinan tersebut. Dengan penalaran yang sama Arsitektur Islam
dapat dipahami sebagai arsitektur yang kehadirannya didasari kesadaran manusia Muslim
yang dibentuk oleh sistem keyakinan Islam.
Manusia yang telah mencapai kesadaran berarsitektur secara penuh dapat menghadirkan
arsitekturnya secara mandiri dalam arti tidak membutuhkan jawaban dan arahan dari manusia
yang memiliki kesadaran berbeda dengannya mengenai kebutuhannya dalam arsitektur,
tujuannya menghadirkan arsitektur dan cara-cara yang patut dilakukannya untuk
menghadirkan arsitektur, walaupun perlu dicatat pelibatan manusia lain sebagai individu
personal maupun komunitas dalam kerja-kreatif-budaya menghadirkan arsitektur dalam
perwujudan artefaknya adalah sebuah keniscayaan yang pada kondisi tertentu tidak dapat
dihindari bahkan harus dilakukan karena komunitas manusia tidak dapat menutup apalagi
mengisolasi diri dari keberadaan komunitas lainnya sebab saling membutuhkan terkait
persoalan-persoalan yang disetujui oleh sistem keyakinan masing-masing dan telah disepakati
bersama. Semisal kondisi di mana komunitas umat Islam tidak seorang pun memiliki
keahlian di bidang rancang bangun yang mengharuskannya melibatkan komunitas lain untuk
menghadirkan artefak arsitektur miliknya.
Arsitektur yang dilandasi kesadaran berarsitektur manusia penghadirnya menjadikan
antar komunitas manusia dengan sistem keyakinan yang berbeda tidak dapat saling tukar
menukar arsitektur, terutama dalam wujud gagasan dan perilaku, tanpa mempengaruhi
kesadaran yang dimiliki dan keyakinan yang dianut. Tukar menukar unsur kebudayaan,
termasuk arsitektur adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari oleh komunitas
manusia manapun tanpa terkecuali. Tetapi tukar menukar arsitektur sebagai bagian dari
kebudayaan tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja tanpa suatu mekanisme yang
bersifat metodologis agar penyerapan arsitektur dari suatu komunitas diterima oleh kesadaran
manusia penyerapnya dan berkesesuaian dengan sistem keyakinan yang dianutnya. Persoalan
inipun tidak dapat saya jelaskan dan jabarkan dalam tulisan ini karena merupakan topik
tersendiri yang menuntut tulisan khusus mengenainya.
Sebagai penutup dari tulisan ini tersisa sebuah pertanyaan, apakah dimungkinkan
menghadirkan arsitektur tanpa didasari kesadaran berarsitektur? Jika dimungkinkan,
bagaimana bentukan arsitekturnya dan bagaimana pula kait hubungannya dengan diri
manusia penghadirnya? Kondisi sebagaimana dimaksud dalam kedua pertanyaan tersebut
dialami oleh manusia yang tidak memiliki kesadaran penuh, baik secara individual maupun
komunal. Ketiadaan kesadaran berarsitektur di satu sisi menyebabkannya tidak memiliki
kemampuan untuk menghadirkan arsitekturnya secara mandiri sementara di sisi yang lain
membentuk inferioritas diri di tengah capaian kemajuan arsitektur oleh komunitas manusia
lainnya. Hal tersebut menyebabkannya bergantung kepada komunitas manusia lain yang
bahkan berbeda sistem keyakinan dengannya dengan cara menyerap keseluruhan wujud
arsitektur yang dinilainya sebagai tolak ukur kemajuan zaman dengan anggapan mekanisme
tersebut dapat memperbaiki kondisi kehidupan dan kebudayaan arsitekturnya serta
menjadikan komunitasnya mencapai tingkat kemajuan yang sama dengan komunitas pemilik
arsitektur yang diserapnya.
Adalah naluri alamiah bagi manusia yang tidak mampu menghadirkan arsitekturnya
secara mandiri untuk menggantungkan pengenalannya terhadap kebutuhan arsitektur dan
pemenuhan kebutuhan arsitekturnya kepada manusia lain yang mampu melakukannya secara
mandiri. Begitupula adalah naluri alamiah bagi manusia yang tengah mencapai puncak
kebudayaan arsitektur pada zamannya untuk menyebarluaskan kemajuan arsitektur miliknya
agar diterima dan diserap oleh komunitas manusia selainnya untuk mendapatkan pengakuan
dan meraih dominasi kebudayaan. Pada titik tertentu, dorongan alamiah kedua belah pihak
merupakan sebab terjadinya hegemoni kebudayaan arsitektur yang dilakukan oleh sekalangan
manusia kepada mayoritas manusia lainnya, baik dengan cara-cara yang dapat diterima
dengan terbuka maupun dengan cara-cara pemaksaan.
Dalam kondisi inferioritas, ketidakmandirian, dan ketidakmampuan menghadirkan
arsitekturnya sendiri, manusia tanpa kepemilikan kesadaran berarsitektur secara penuh tidak
memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih arsitektur yang diserapnya dari komunitas
lain dan secara psikologis tidak mampu mendaku secara penuh arsitektur yang diserapnya
karena tidak berakar dalam kesadaran dan sistem keyakinan yang dianutnya. Persis
demikianlah kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia di antaranya Indonesia, Malaysia,
Dubai, Irak sebagaimana dipaparkan oleh Ali A. Alawi dan di berbagai daerah lainnya,
bahwa upaya menyerap Arsitektur Modern milik Peradaban Barat oleh umat Islam alih-alih
menghasilkan kemajuan, justru yang terjadi ialah pembaratan (westernization) yang
menyebabkan terkikisnya identitas, tradisi dan keyakinannya sebagai komunitas Muslim.
Penyebabnya tidak lain, sebagaimana dinyatakan Ali A. Alawi dalam bukunya yang berjudul
The Crisis of Islamic Civilization, penyerapan dan pembangunan Arsitektur Barat Modern di
Dunia Islam dilakukan oleh umat Islam dalam kondisi terputus dari spiritualitas Islam yang
merupakan sumber pembentuk kesadarannya sebagai manusia Muslim.
Kondisi yang sama sebagaimana dipaparkan Ali A. Alawi didapati John Freely pada
masa akhir kekuasaan Daulah Utsmani. Inferioritas sebab kekalahan demi kekalahan
mendorong pihak penguasa Utsmani menyerap begitu saja capaian arsitektur Barat sebagai
pihak pemenang peperangan. Freely menggambarkan tumbuhnya arsitektur bergaya Eropa di
Istanbul dalam wujud arsitektur masjid yang menerapkan unsur arsitektur gaya Barok dan
Rokoko, hadirnya monumen jam dan air mancur menggeser kedudukan masjid sebagai
landmark kota dan tumbuhnya rumah peristirahatan mewah seiring bermukimnya masyarakat
Barat di Istanbul yang tidak membutuhkan waktu lama untuk ditiru kalangan umat Islam dari
pihak penguasa maupun pemilik ekonomi atas. Dalam konteks Utsmani, inferioritas yang
mempengaruhi kesadaran berarsitektur umat Islam dapat dipahami melalui tesis yang
diajukan oleh Ibnu Khaldun bahwasanya pihak yang kalah akan cenderung mengikuti pihak
pemenang untuk menjadi semirip mungkin dengannya dengan cara pihak yang kalah mulai
merubah kesadaran dirinya sendiri untuk digantikan dengan kesadaran diri milik pihak
pemenang dan mulai menanggalkan kebudayaannya sendiri untuk digantikannya dengan
capaian kebudayaan pihak pemenang.
Dampak buruk yang dialami komunitas manusia Muslim akibat menyerap Arsitektur
Barat Modern dalam kondisi tidak memiliki kesadaran penuh yang bersumberkan dari Islam,
sehingga tidak mampu memilah dan memilih serta mendaku secara penuh arsitektur yang
diserapnya, tidak lain dikarenakan Arsitektur Barat Modern berakar dalam kesadaran
manusia Barat Modern yang dibentuk oleh paham Materialisme. Materialisme memandang
manusia ialah sebatas tubuhnya yang bersifat fisik; kedudukan manusia selain ditentukan
oleh ciri fisiknya juga berdasarkan kepemilikannya terhadap materi; hidup manusia hanya
berkaitan dengan kehidupan dunia untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi; kebutuhan
manusia sepanjang hidup di dunia hanya berkaitan dengan kebutuhan tubuhnya; dan cara-
cara untuk memenuhi kebutuhannya tidak terikat dengan batas-batas yang bersumberkan dari
nilai-nilai kesucian yang bersifat transenden, sehingga pada titik ekstrimnya memperbolehkan
apapun dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi yang bersifat materi. Berdasar struktur
kesadaran tersebut terbentuklah ciri khas Arsitektur Barat Modern yang secara diametral
bertentangan dengan Islam.
Tentu saja pertanyaan yang kemudian harus diajukan adalah seperti apa kesadaran
manusia Muslim yang dibentuk oleh Wahyu dan seperti apa ciri khas Arsitektur Islam
berdasarkan kesadaran Islam yang dimiliki manusia Muslim sebagai penghadirnya? Deretan
pertanyaan ini memiliki urgensi untuk dijawab, karena dengan terjawabnya pertanyaan
tersebut akan dengan jelas dapat diketahui dan dipahami perbedaan antara Arsitektur Islam
dengan arsitektur selainnya serta kedudukan Arsitektur Islam di antara keberagaman
arsitektur yang berasaskan kesadaran dan sistem keyakinan selain Islam. Setelahnya langkah
awal menghadirkan Arsitektur Islam dapat dilakukan dengan melakukan kerja-rekayasa-
manusia melalui pendidikan untuk menghasilkan manusia Muslim yang berkesadaran Islam
yang dilanjutkan dengan kerja-rekayasa-teknologi untuk menghadirkan objek Arsitektur
Islam secara fisik. Inilah langkah ikhtiar yang seharusnya dilakukan, karena tanpa kesadaran
berasitektur yang bersumberkan dari Islam, tidak akan terwujud Arsitektur Islam!

Kelayakan Menghadirkan Arsitektur Berdasar Pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur


Islam

Menghadirkan suatu objek arsitektur tidaklah dilakukan begitu saja tanpa alasan apalagi
tanpa dasar-dasar yang jelas, tetapi harus melalui serangkaian proses perancangan yang
didasari kelayakan terkait dua hal, yakni (1) apakah sebuah objek arsitektur memang layak
untuk dihadirkan; dan (2) jika layak, arsitektur seperti apa yang harus dihadirkan. Yang
pertama lazim disebut studi kelayakan yang merupakan dasar pembenar dilakukannya proses
perancangan untuk menghadirkan suatu obek arsitektur, sedangkan yang kedua merupakan
rumusan konsep dasar arsitektur sebagai pondasi bagi seluruh tahapan perancangan dan
merupakan jiwa bagi objek arsitektur yang dihadirkan. Dengan studi kelayakan, objek
arsitektur memiliki alasan yang shahih dan argumentatif untuk dihadirkan dan dengan konsep
dasar setiap bagian pembentuk objek arsitektur yang dihadirkan menjadi dapat dijelaskan
karena memiliki narasi yang bermakna bagi pihak pemilik dan pengguna arsitektur.
Dalam pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam, tahap kelayakan menghadirkan
arsitektur merupakan wujud-gagasan jika dilihat dari hasilnya, yakni dasar kelayakan dan
rumusan konsep dasar, dan merupakan wujud-perilaku jika dilihat dari pihak perancang yang
berupaya menghadirkan objek arsitektur melalui lengkah-langkah tertentu dan berdasarkan
pertimbangan tertentu pula. Konsep dasar sebagai hasil akhir dari tahapan kelayakan saya
istilahkan dengan gagasan-konseptual yang akan diterjemahkan secara derivatif menjadi
gagasan-praktis dalam tahapan tranformasi desain sebagai panduan menghadirkan wujud-
artefak arsitektur yang dijiwai wujud-gagasan. Inilah ciri khas pendekatan Psiko-Kultural
sebagai pemikiran arsitektur di antara pendekatan Arsitektur Islam lainnya yang dirumuskan
untuk dapat menghadirkan objek arsitektur yang berasaskan Islam sejak tahap perumusan
wujud-gagasan yang terjadi di dalam alam mental perancang hingga penghadiran wujud-
artefaknya di alam empirik. Dengan pendekatan Psiko-Kultural, pengkajian dan penghadiran
Arsitektur Islam tidak hanya sebatas berkaitan dan mempersoalkan wujud-artefak yang kini
merupakan arus utama dalam pewacanaan Arsitektur Islam, tetapi utamanya berkaitan dan
mempersoalkan wujud-gagasan yang merupakan landasan bagi wujud artefak.
Pendekatan Psiko-Kultural menekankan aspek wujud-gagasan arsitektur karena secara
asasi merupakan pembeda antara Arsitektur Islam dengan selainnya dikarenakan wujud-
gagasan berjarak paling dekat dan terikat paling kuat dengan sistem keyakinan Islam di
antara dua wujud lainnya yang menjadikan wujud-gagasan Arsitektur Islam yang dirumuskan
dengan pendekatan Psiko-Kultural memuat kebenaran, pandangan-alam dan nilai-nilai Islam.
Wujud-artefak yang kehadirannya dilandasi wujud-gagasan demikian akan menjadikannya
memuat ciri khas Islam, sehingga objek arsitektur yang hadir secara fisik-konkret memiliki
legitimasi untuk dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Islam. Di sinilah kedudukan wujud-
gagasan dan urgensinya dalam upaya menghadirkan Arsitektur Islam, karena tanpanya
wujud-artefak arsitektur tidak akan memiliki legitimasi sebagai objek arsitektur yang Islam
dan tidak memiliki asas untuk menjadikannya bermuatan Islam. Atas latar dan permasalahan
tersebut, saya berupaya menuliskan langkah-langkah perumusan wujud-gagasan Arsitektur
Islam sebagai upaya saya untuk merumuskan pendekatan Arsitektur Islam yang tidak sekedar
sebagai pemikiran arsitektur yang bersifat filosofis-abstrak, tetapi juga merupakan kerangka-
kerja-arsitektur yang bersifat metodologis-aplikatif untuk menghadirkan objek arsitektur.
Inilah ciri khas kedua pendekatan Psiko-Kultural di antara pendekatan Arsitektur Islam
lainnya dengan menyeret pewacanaan Arsitektur Islam untuk memasuki dimensi
epistemologi dan ontologi agar tidak melulu berkutat pada dimensi aksiologi yang merupakan
konsekuensi dari dominasi aspek teknik dalam pewacanaan Arsitektur Islam. 
Sebagaimana yang telah saya sampaikan pada bagian yang lalu, kelayakan
menghadirkan objek arsitektur ditentukan berdasarkan (1) layak tidaknya suatu objek
arsitektur dihadirkan; dan (2) konsep dasar yang melandasi dan menjiwai kehadiran objek
arsitektur. Untuk dapat memahami hubungan kedua poin tersebut dengan benar perlu
diketahui dua prinsip yang mendasarinya yakni, (1) keduanya merupakan kesatuan yang tidak
dapat ditanggalkan salah satunya. Menanggalkan poin pertama akan menyebabkan upaya
menghadirkan suatu objek arsitektur tidak memiliki alasan yang argumentatif dan shahih,
sedangkan menanggalkan poin kedua akan menjadikan proses perancangan yang dilakukan
tidak memiliki panduan dan objek arsitektur yang dihadirkan tidak dapat dijelaskan; dan (2)
keduanya sebagai bagian dari proses perancangan harus dilakukan secara bertahap dan
berurutan karena poin pertama merupakan syarat dilakukannya langkah pada poin kedua dan
poin kedua merupakan kelanjutan dari langkah pada poin pertama. Dalam tulisan berseri
yang dimulai dari poin pertama dalam tulisan ini saya akan menjelaskan secara berurutan
kedua poin tersebut yang menentukan kelayakan menghadirkan objek arsitektur berdasarkan
pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam.
Dalam pendekatan Psiko-Kultural, kelayakan menghadirkan objek arsitektur didasarkan
pada dua prinsip. Prinsip pertama, menghadirkan objek arsitektur harus didasarkan
kebutuhan yang berarti terdapat kegiatan dan pelaku kegiatan yang menuntut dihadirkannya
ruang binaan untuk mewadahi kegiatan yang dilakukannya. Langkah pertama ini dilandasi
asumsi dasar pendekatan Psiko-Kultural bahwa kehadiran manusia mendahului kehadiran
arsitektur dan kehadiran arsitektur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap
ruang binaan yang berupaya dipenuhi olehnya melalui kerja-kreatif-budaya. Tanpa kehadiran
manusia dan tanpa manusia yang berkebutuhan, maka arsitektur tidak akan hadir. Cara
pandang ini menegaskan dua hal, yakni (1) pendekatan Psiko-Kultural menempatkan manusia
pada kedudukan yang sentral dalam upaya menghadirkan objek arsitektur; dan (2) unsur
utama pembentuk arsitektur ialah ruang yang merupakan sebab utama dihadirkannya
arsitektur oleh manusia yang secara fungsional membutuhkan ruang binaan untuk mewadahi
kegiatannya.
Yang perlu digarisbawahi dalam prinsip pertama adalah penekanannya pada (1)
kebutuhan; dan (2) tuntutan. Kebutuhan berkaitan dengan kegiatan yang akan diwadahi,
sedangkan tuntutan berkaitan dengan hubungan antara pelaku, kegiatan dan ruang yang
mewadahinya. Saya akan menjelaskannya dimulai dari aspek yang kedua. Penekanannya
pada tuntutan berarti suatu kegiatan dapat menjadi dasar kelayakan untuk dihadirkannya
suatu objek arsitektur jika belum terdapat ruang binaan yang dapat mewadahinya atau ruang
binaan yang telah ada tidak dapat mewadahi kegiatan tersebut karena keterbatasan kapasitas
dan atau perbedaan spesifikasi ruang dikarenakan perbedaan persyaratan kegiatan yang
diwadahi. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa adanya suatu kegiatan tidak serta merta
dapat dijadikan pembenar untuk menghadirkan suatu objek arsitektur karena harus memenuhi
syarat belum terdapatnya ruang binaan untuk mewadahi kegiatan tersebut. 
Contoh yang dapat saya hadirkan untuk menjelaskan penekanan pendekatan Psiko-
Kultural pada aspek tuntutan dalam menghadirkan objek arsitektur adalah adanya
sekelompok anak muda yang rutin berkegiatan olahraga futsal menuntut agar kegiatannya
tersebut diwadahi dalam ruang binaan sementara di lingkungan permukimannya telah
terdapat ruang untuk mewadahi kegiatan olahraga basket yang digunakan secara rutin oleh
sekelompok anak muda lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah dibenarkan menghadirkan
ruang binaan untuk mewadahi kegiatan futsal sementara telah terdapat ruang binaan untuk
mewadahi kegiatan basket? Sebelum menganalisis kasus tersebut, perlu saya sampaikan
kembali bahwa penekanan pendekatan Psiko-Kultural pada aspek tuntutan berkaitan dengan
hubungan antara pelaku, kegiatan dan ruang yang mewadahi, sehingga yang perlu
diperhatikan tidak saja kegiatan dan ruang, tetapi juga manusia yang memiliki dan
berkegiatan di dalam ruang binaan.
Jika ruang yang diperuntukkan untuk mewadahi kegiatan basket memiliki spesifikasi
ruang yang sama untuk mewadahi kegiatan futsal dan antara dua kelompok yang berkegiatan
dapat dicapai kesepakatan untuk mempergunakan ruang tersebut secara bersama-sama
melalui mekanisme pengaturan jadwal penggunaan ruang atau mekanisme lain yang
disepakati keduanya, maka dalam pendekatan Psiko-Kultural tidak dapat dibenarkan
menghadirkan objek arsitektur baru untuk mewadahi kegiatan futsal. Menghadirkan onjek
arsitektur baru untuk mewadahi kegiatan futsal hanya dapat dibenarkan jika yang berlaku
adalah sebaliknya, yakni kedua kegiatan memiliki persyaratan kegiatan yang berbeda
karenanya menuntut spesifikasi ruang yang berbeda pula, sehingga ruang yang diperuntukkan
untuk mewadahi kegiatan olahraga basket tidak mampu mewadahi kegiatan futsal dan atau
antara dua kelompok yang berkegiatan tidak dapat mencapai kesepakatan untuk
mempergunakan ruang secara bersama-sama. Dalam pendekatan Psiko-Kultural tidak dapat
dibenarkan melakukan kegiatan di dalam ruang binaan yang secara legal formal dan atau
sosio-kultural dimiliki oleh seseorang atau suatu kalangan tanpa izin atau kesepakatan dengan
pihak pemilik, walaupun ruang tersebut memiliki spesifikasi yang sesuai untuk dapat
mewadahi kegiatan yang dimaksud karena merupakan perbuatan merampas hak milik pihak
lain yang tidak dibenarkan oleh Islam dan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya
konflik sosial yang sudah pasti akan membawa kemudharatan bagi kalangan yang terlibat. 
Penekanan prinsip pertama pada aspek kebutuhan merupakan rantai penghubung
dengan prinsip kedua upaya menghadirkan objek arsitektur berdasarkan pendekatan Psiko-
Kultural Arsitektur Islam bahwa, kegiatan yang akan diwadahi dalam objek arsitektur yang
sedang berupaya dihadirkan haruslah diafirmasi oleh atau berasaskan Islam, sehingga yang
dimaksud dengan kebutuhan adalah suatu kegiatan yang diizinkan oleh Islam untuk diwadahi
dalam ruang binaan. Dengan kata lain, dalam pendekatan Psiko-Kultural upaya
menghadirkan suatu objek arsitektur ditentukan oleh status kegiatan yang diwadahi yang
harus memenuhi syarat-syarat Islam. Prinsip kedua ini dilandasi asumsi dasar pendekatan
Psiko-Kultural yang di satu sisi mengakui sentralitas manusia dalam upaya menghadirkan
objek arsitektur, tetapi di sisi lain bersandarkan pada pandangan bahwasanya manusia
tidaklah menempati kedudukan sebagai sumber kebenaran tertinggi dalam hirarki kebenaran
yang diakui Islam karenanya manusia bukanlah timbangan kebenaran bagi gagasan yang
dirumuskannya, perilaku yang dilakukannya dan artefak yang dihadirkannya.
Islam mengakui adanya sumber kebenaran yang kedudukannya lebih tinggi daripada
manusia dan melampaui fakulti kebenaran yang dimiliki manusia, yakni Wahyu yang
merupakan firman Allah. Berdasarkan tujuan diturunkannya Wahyu oleh Allah kepada
manusia yang tidak lain merupakan petunjuk dan jalan bagi manusia untuk mencapai
keselamatan, maka agar berorientasi dan selaras dengan kebenaran yang sifatnya mutlak,
fakulti kebenaran yang inheren terdapat dalam diri manusia, yakni intuisi, akal dan
pancaindera, diharuskan tunduk dan terikat erat dengan Wahyu. Atas dasar pandangan
tersebut seluruh gerak gerik manusia, termasuk kegiatan yang dilakukannya, haruslah
mendapatkan persetujuan dari Wahyu untuk dinyatakan sebagai benar, sehingga sah menjadi
dasar untuk menghadirkan suatu objek arsitektur guna mewadahinya.
Terdapat tiga kondisi kebutuhan manusia yang merupakan dasar menghadirkan objek
arsitektur, tetapi tidaklah ketiganya dinyatakan sebagai kebutuhan dalam pendekatan Psiko-
Kultural karena tidak diafirmasi oleh Islam sebagai benar. Ketiga kondisi kebutuhan manusia
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jika terdapat suatu kegiatan, tetapi tidak dibenarkan oleh Islam untuk dilakukan, maka
kegiatan tersebut tidak diperbolehkan untuk diwadahi dalam ruang binaan dan upaya
menghadirkan objek arsitektur guna mewadahinya tidaklah dapat dibenarkan. 
2. Jika terdapat suatu kegiatan dan disetujui oleh Islam untuk dilakukan karena tidak
bertentangan dan sejalan dengan Islam, maka kegiatan tersebut diperbolehkan untuk
diwadahi dalam ruang binaan dan dibenarkan untuk menghadirkan objek arsitektur
guna mewadahinya. Bahkan pada kondisi tertentu Islam sangat mendorong umatnya
untuk menghadirkan objek arsitektur yang merupakan kebutuhan mendasar bagi
manusia seperti bermukim.
3. Jika suatu kegiatan diperintahkan oleh Allah untuk dilakukan, tetapi hanya segelintir
manusia saja dalam suatu komunitas yang melakukannya sedangkan mayoritasnya
tidak mengenal bahkan menentangnya, maka menghadirkan objek arsitektur guna
mewadahinya tetap diupayakan untuk memperkenalkan kegiatan tersebut kepada
kalangan luas agar turut mengamalkannya dan turut berkegiatan di di dalam ruang
yang mewadahinya.

Kondisi pertama di atas dalam pandangan Islam tidaklah dinyatakan sebagai kebutuhan
manusia karena bertentangan dengan Islam, walaupun mayoritas manusia berkeinginan atau
bahkan rutin melakukannya sehingga telah menjadi kebiasaan serta ciri khas diri dan
komunitasnya. Dasar dari pernyataan tersebut adalah bahwa seluruh yang diperintahkan
Allah sebagai Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang termuat dalam Wahyu pastilah
mengandung kebaikan bagi manusia yang menjadikan manusia butuh terhadap seluruh yang
diperintahkan Allah untuk mencapai keselamatan dirinya. Sebaliknya, segala sesuatu yang
bertentangan dengan perintah Allah pastilah memiliki dampak buruk bagi manusia karena
tidak dapat menghantarkannya pada keselamatan diri yang menjadi dasar bagi Islam untuk
menyatakannya sebagai bukan bagian dari kebutuhan manusia dengan melarang dan
berupaya menjauhkan manusia untuk melakukannya. Ini adalah mekanisme Islam untuk
menjaga fitrah kesucian manusia dengan menutup pintu kerusakan dan kemudharatan dari
kegiatan buruk yang dilakukannya. Atas dasar ini, dalam suatu wilayah yang menerapkan
pandangan-alam Islam mengenai kebutuhan manusia tidak akan ditemui kegiatan yang
bertentangan dengan Islam dan tidak pula terdapat objek arsitektur yang mewadahinya.
Contoh untuk menjelaskan kondisi kebutuhan pertama di atas adalah kegiatan hiburan
malam berupa kegiatan menggoyangkan tubuh diiringi lagu disko yang dilakukan oleh pria
dan wanita di dalam ruang yang sama dengan mengenakan pakaian yang memperlihatkan
aurat. Tidak hanya itu, kegiatan demikian sangat berkaitan dan merupakan pintu untuk
dilakukannya kegiatan minum minuman berakohol, mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan
berzina. Walaupun kegiatan tersebut dilakukan oleh mayoritas manusia dalam suatu wilayah
tetaplah tidak dibenarkan oleh Islam untuk dilakukan, sehingga bukanlah merupakan
kebutuhan bagi manusia. Atas dasar tersebut tidak dibenarkan untuk mewadahi kegiatan
hiburan malam dalam ruang binaan dan tidak dibenarkan menjadikannya dasar untuk
menghadirkan objek arsitektur yang mewadahinya semisal klub malam. Kegiatan lainnya
yang termasuk kondisi kebutuhan pertama ialah perjudian. Walaupun diminati mayoritas
manusia dan dilindungi oleh pemerintah karena menguntungkan dari sisi ekonomi negara,
tetaplah tidak dibenarkan oleh Islam untuk dilakukan dan tidak dapat dijadikan pembenar
untuk menghadirkan objek arsitektur yang mewadahinya semisal kasino. 
Berdasarkan cara pandang Islam yang menjadi asas pendekatan Psiko-Kultural,
persoalan yang muncul dari kondisi pertama ini terdiri dari dua hal. Pertama, bagaimana cara
yang dapat dilakukan agar manusia, baik sebagai pribadi maupun komunitas, dalam suatu
wilayah hanya melakukan kegiatan yang berasaskan Islam? Kedua, jika dalam suatu wilayah
marak dilakukan kegiatan yang bertentangan dengan Islam, bahkan telah menjadi ciri khas
komunitas manusia di wilayah tersebut, bagaimana cara yang harus dilakukan untuk
menghentikan kegiatan tersebut serta menggantinya dengan kegiatan yang diafirmasi oleh
Islam dan bagaimana pula cara untuk menangani objek arsitektur yang mewadahinya?
Deretan pertanyaan ini akan saya bahas berdasarkan pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur
Islam dalam tulisan yang berbeda karena dibutuhkan penjelasan yang tidak singkat serta agar
fokus tulisan ini tidak meluas dan lepas dari tujuan awalnya. 
Di antara ketiga kondisi kebutuhan manusia di atas, dalam pandangan Islam yang
dinyatakan sah sebagai kebutuhan manusia hanyalah kondisi kedua dan ketiga. Saya akan
menjelaskannya satu persatu dimulai dari kondisi yang kedua. Kebutuhan yang dimaksud
dalam kondisi kedua ialah kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk keberlangsungan
hidup dan kehidupannya secara personal-individual maupun secara komunal-kolektif sebagai
kesatuan komunitas, baik kegiatan tersebut merupakan tradisi yang telah dilakukan dan
diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulu maupun merupakan inovasi yang
bersifat baharu karenanya belum pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya dengan syarat
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Islam atau selaras dengan Islam. Diakuinya
kondisi kedua sebagai kebutuhan manusia oleh Islam menandakan dua hal, yakni (1) Islam
mengakui bahwasanya manusia memiliki kehendak untuk berkebutuhan sebagai kemampuan
yang diberikan Allah kepada manusia untuk memertahankan kehadirannya di dunia, salah
satunya ialah kehendak untuk memiliki kebutuhan akan ruang binaan; dan (2) Islam
mengakui bahwasanya tidak seluruh kehendak manusia adalah buruk dan bernilai rendah.
Kehendak manusia yang selaras dengan Islam diterima dan dinyatakan bernilai baik oleh
Islam, sehingga mendapatkan legitimasi untuk direalisasikan. 
Secara teleologis, kegiatan yang tergolong kondisi kedua bertujuan untuk
keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia di alam dunia. Sementara kegiatan yang
termasuk di dalamnya tidaklah bersifat statis, dalam artian tidak hanya terbatas pada kegiatan
yang dikenal pada masa hidup Rasul dan telah dilakukan oleh Rasul Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam serta para sahabatnya yang mulia dikarenakan setiap zaman dan tempat
memiliki semangat dan tantangan yang berbeda, sehingga melahirkan kebutuhan yang
berbeda pula. Kebenaran pernyataan tersebut dapat ditilik dengan memperhatikan geliat umat
Islam sepanjang sejarah peradabannya di mana umat Islam melakukan dan mentradisikan
kegiatan-kegiatan yang tidak dikenal pada masa hidup Rasul, tetapi disetujui oleh Islam, yang
menjadi dasar dihadirkannya objek arsitektur yang berbeda dan tidak dijumpai pada zaman
Rasul. Dasar inilah yang meniscayakan terjadinya perkembangan arsitektur di kalangan
komunitas Muslim yang tidak hanya terbatas pada unsur teknologi dan unsur fisik
arsitekturalnya saja, tetapi juga pada unsur fungsinya yang membentuk keragaman tipologi
fungsi dan susunan ruang sebagai tanggapan terhadap keragaman kegiatan dan persyaratan
kegiatan yang diwadahi.
Untuk sekedar menyebutkan satu di antara sekian banyak contoh dari kondisi kedua ini
adalah kegiatan jual beli buku yang dilakukan secara beriringan dengan kegiatan membaca
dan mengkaji buku sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang disediakan.
Kegiatan semacam ini tengah marak dilakukan masyarakat urban dari kalangan terdidik
yang mendorong tumbuh suburnya kehadiran objek arsitektur yang bersifat baharu dari segi
fungsinya, yakni café buku atau café literasi yang pada masa sebelumnya kedua kegiatan
tersebut seringkali dipisah pewadahannya dalam objek arsitektur yang berbeda. Tidak
diragukan lagi kegiatan yang inovatif dan bersifat baharu tersebut mendapatkan
persetujuannya dari Islam, walaupun tidak dikenal pada zaman Rasul, karena selain tidak
bertentangan dengan Islam juga karena memuat semangat Islam yang mewajibkan umatnya
untuk mencari, mempelajari dan menguasai ilmu sepanjang hayatnya.
Yang terakhir dari ketiga kondisi kebutuhan manusia merupakan kebutuhan yang hanya
dimiliki Islam, sehingga menjadi khas miliknya, baik dari aspek kegiatan yang dilakukan
maupun objek arsitektur yang mewadahinya. Kegiatan dalam konteks kondisi ketiga ini
merupakan perintah dari Allah kepada seluruh manusia yang disampaikan oleh-Nya melalui
perantara seorang Rasul. Agar manusia memiliki motif untuk melakukan kegiatan yang
diperintahkan Allah kepadanya, Allah menetapkan bahwa kegiatan tersebut jika dilakukan
akan dapat menghantarkan manusia mencapai tujuan hidupnya, yakni keselamatan.
Sementara agar memiliki dorongan yang kuat, Allah menetapkan pahala bagi manusia yang
melakukan dan dosa bagi yang meninggalkan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan oleh-Nya
kepadanya. Terdapat pula kegiatan yang sangat ditekankan oleh Allah kepada manusia
sebagai tambahan kebaikan bagi dirinya walaupun Allah tidak menetapkan konsekuensi dosa
bagi manusia yang meninggalkannya. 
Berbeda dengan kondisi kedua, kondisi kebutuhan ketiga bersifat statis karena berkaitan
dengan perintah Allah yang tertuang dalam Wahyu dan telah dicontohkan pelaksanaannya
oleh Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Atas dasar tersebut, prinsip kondisi
ketiga ialah kegiatan yang dinyatakan oleh Islam sebagai kebutuhan manusia sejak masa
hidup Rasul, maka akan tetap menjadi kebutuhan manusia hingga kehidupan dunia berakhir.
Begitupula dengan kegiatan yang tidak dinyatakan oleh Islam sebagai kebutuhan manusia
karena tidak terdapat perintah pelaksanaannya dan tidak dilakukan oleh Rasul Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam, maka kegiatan tersebut bukanlah merupakan kebutuhan
manusia hingga Hari Kiamat dalam pengertian kondisi kebutuhan ketiga. Contoh dari kondisi
kebutuhan ketiga ini ialah kegiatan shalat yang diwajibkan oleh Allah untuk dilakukan umat
Islam sejumlah lima kali dalam sehari dan shalat-shalat lain yang ditekankan untuk dilakukan
sebagai ibadah tambahan bagi manusia.
Jika mayoritas manusia dalam suatu wilayah tidak melakukan shalat karena beranggapan
shalat bukanlah kebutuhan hidup baginya, atau bahkan dengan jelas melarang dan
menghalang-halangi manusia lainnya untuk melakukan kegiatan shalat, tidaklah dapat
dijadikan dasar untuk menggugurkan kedudukan shalat sebagai kebutuhan bagi manusia
karenanya upaya menghadirkan ruang masjid untuk mewadahi kegiatan ibadah dalam arti
yang luas dan ruang mushala untuk mewadahi kegiatan shalat harus tetap diupayakan oleh
segelintir manusia yang telah memiliki kesadaran yang benar mengenai kegiatan shalat dan
senantiasa melakukannya dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan Allah. Hal ini
dikarenakan Islam tidak saja menekankan dilakukannya kegiatan shalat itu sendiri yang
secara teologis dapat dilakukan di seluruh permukaan bumi asalkan memenuhi syarat
kesucian, tetapi Islam juga menekankan dihadirkannya ruang binaan guna mewadahinya
sebagai perwujudan keimanan manusia kepada Allah sebagaimana termuat dalam Wahyu dan
tauladan dari Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Upaya menghadirkan objek arsitektur untuk mewadahi kegiatan yang tergolong kondisi
kebutuhan ketiga tanpa didukung pelaku kegiatan secara komunal mendapatkan sandarannya
dalam sejarah perjuangan hidup Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang
diafirmasi oleh Islam sebagai sumber kebenaran yang sah. Pada masa awal beliau Shallallahu
Alaihi Wasallam diutus sebagai Rasul, hanya segelintir manusia dari kalangan Quraisy yang
meyakini benar status beliau sebagai utusan Allah dan mengimani Wahyu yang beliau
sampaikan di mana di dalamnya termuat perintah untuk menunaikan shalat. Di tengah
mayoritas masyarakat yang tidak mengamalkan shalat dan menentangnya, beliau tetap
mengamalkan dan berupaya menghadirkan ruang untuk mewadahinya dengan cara alih fungsi
sebagian hunian milik seorang sahabat bernama Arqam menjadi Mushala yang terletak jauh
dari keramaian kota untuk menjamin keamanan pengguna ruang dari gangguan dan ancaman
masyarakat Mekah. Dalam kondisi yang sama, yakni di tengah mayoritas manusia yang tidak
meyakini kebenaran Islam, sehingga tidak mengamalkan shalat, hanya saja dengan kondisi
keamanan dan politik yang lebih mendukung daripada di Mekah, Rasul menghadirkan ruang
masjid pertama dalam Peradaban Islam setelah hijrah beliau ke tanah Madinah. Upaya Rasul
menunaikan shalat, mengajarkan serta menghadirkan ruang binaan yang mewadahinya dalam
kondisi tersulit sekalipun menunjukkan kedudukan kegiatan tersebut dan objek arsitektur
yang mewadahinya sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.
Objek arsitektur yang dihadirkan berdasarkan kondisi kebutuhan kedua dan ketiga yang
dinyatakan sah oleh Islam sebagai kebutuhan manusia di antara tiga kondisi kebutuhan
memiliki aspek fungsional dan aspek simbolik. Pada aspek fungsionalnya, kondisi kebutuhan
kedua dan ketiga memiliki kesamaan, yakni mewadahi kegiatan manusia untuk beribadah
kepada Allah dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang diperintahkan Allah di dalam Wahyu
sebagaimana kondisi kebutuhan ketiga maupun kegiatan-kegiatan yang diafirmasi oleh Islam
untuk dilakukan berdasarkan timbangan Wahyu sebagaimana kondisi kebutuhan kedua.
Kegiatan yang didasari kehendak manusia dan mendapatkan persetujuannya dari Wahyu
menandakan kegiatan tersebut diridhai Allah untuk dilakukan, sementara segala yang diridhai
Allah ialah merupakan wujud ibadah kepada-Nya. Inilah dasar bagi kondisi kebutuhan kedua
untuk dimasukkan ke dalam koridor kegiatan yang ditujukan untuk beribadah kepada Allah,
sehingga tidak bisa tidak, objek arsitektur yang dihadirkan berdasarkan pendekatan Psiko-
Kultural Arsitektur Islam hanyalah ruang binaan yang diperuntukkan untuk mewadahi
kegiatan ibadah kepada Allah dalam bentuk kegiatan yang diperintahkan, disenangi maupun
disetujui oleh-Nya.
Pada aspek simboliknya, antara kondisi kebutuhan kedua dan ketiga terdapat perbedaan.
Objek arsitektur yang kehadirannya didasari kondisi kebutuhan kedua menyimbolkan lingkup
Islam dalam menjangkau aspek kehidupan umatnya yang tidak saja terbatas pada aspek
peribadatan ritual. Kehadiran objek arsitektur guna mewadahi kegiatan ekonomi, semisal
pasar, tidak saja bermakna fungsional, tetapi juga merupakan penanda bahwa Islam
menjangkau kehidupan ekonomi umatnya. Sementara objek arsitektur yang kehadirannya
didasari kondisi kebutuhan ketiga menyimbolkan bahwa dalam suatu wilayah terdapat umat
Islam yang menyadari dan merealisasikan perintah-perintah Allah berkaitan dengan kegiatan
yang diwadahi. Dengan logika yang termuat dalam pernyataan tersebut dapat diketahui
tingkat kualitas umat Islam dalam suatu wilayah dengan mengidentifikasi objek arsitektur
yang dihadirkannya. Jika dalam suatu wilayah yang mayoritasnya dihuni umat Islam terdapat
objek arsitektur guna mewadahi kegiatan-kegiatan yang diafirmasi oleh Islam serta tersebar
merata objek arsitektur guna mewadahi kegiatan yang diperintahkan Allah kepadanya
menandakan baiknya kualitas umat Islam dalam wilayah tersebut. Berdasarkan logika yang
sama dapat disimpulkan buruknya kualitas umat Islam jika dalam wilayah yang dihuninya
didapati maraknya objek arsitektur guna mewadahi kegiatan yang dilarang oleh Islam serta
tidak terdapat satupun atau tidak tersebar merata objek arsitektur guna mewadahi kegiatan
yang diperintahkan Allah kepadanya. 
Sebagai akhir dari bagian ini, persoalan yang muncul adalah mengenai kedudukan serta
prioritas kedua kondisi kebutuhan manusia. Di antara kedua kondisi kebutuhan manusia,
manakah yang harus didahulukan untuk direalisasikan dalam perwujudan objek arsitektur?
Pertanyaan ini membawa kita pada persoalan yang lebih spesifik, bagaimanakah urutan skala
prioritas menghadirkan objek arsitektur berdasarkan kedudukan setiap kondisi kebutuhan
manusia? Seperti beberapa pertanyaan sebelumnya, deretan pertanyaan inipun tidak dapat
saya jawab dalam tulisan kali ini karena memerlukan analisa yang tidak sederhana dan tidak
singkat, sehingga dibutuhkan tulisan tersendiri untuk memaparkannya. Jawaban atas deretan
pertanyaan tersebut dapat digunakan sebagai panduan bagi umat Islam untuk menghadirkan
objek arsitektur miliknya agar setiap upaya menghadirkan objek arsitektur tidaklah tergolong
perbuatan yang sia-sia dan setiap objek arsitektur yang dihadirkan memanglah dibutuhkan
oleh manusia. Dengan adanya panduan, persoalan manakah yang terlebih dahulu harus
dihadirkan, masjid ataukah hunian, tidak akan lagi membingungkan dan menjadi titik
keributan di kalangan internal umat Islam.
Demikianlah dua prinsip yang mendasari upaya menghadirkan objek arsitektur
berdasarkan pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam. Berdasar prinsip tersebut dapat
dirumuskan langkah-langkah secara berurutan untuk mencapai kelayakan menghadirkan
objek arsitektur dengan berpijak pada aspek kebutuhan dan tuntutan. Darinya saya
merumuskan dua langkah. 
Langkah pertama menekankan pada aspek kebutuhan yakni, mengidentifikasi kegiatan
dan pelakunya dengan syarat kegiatan tersebut diafirmasi atau diperintahkan oleh Islam
sebagai dasar pembenar untuk mewadahinya dalam ruang binaan. Secara metodik dari sisi
perancang, kedua kondisi kebutuhan sebagaimana telah saya jabarkan di atas memiliki
perbedaan sebagai berikut:

1. Pada kondisi kebutuhan kedua, pihak perancang dituntut untuk melakukan dua
langkah kerja dengan menggunakan pola berpikir induksi-deduksi. Pertama,
perancang secara induktif melakukan pengamatan untuk mengidentifikasi dan
mengenali kegiatan yang tengah dilakukan oleh manusia secara individual-personal
maupun komunal. Kedua, perancang secara deduktif melakukan penilaian terhadap
kegiatan yang didapatinya pada langkah pertama dengan menenggunakan timbangan
Wahyu. Jika Wahyu menyatakan kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Islam
atau berkesesuaian dengan Islam, maka perancang dapat melanjutkannya pada
langkah kedua. Tetapi jika Wahyu menyatakannya sebagai kegiatan yang dilarang
oleh Islam untuk dilakukan, maka proses perancangan tidak dapat dilanjutkan.
2. Dengan pola berpikir yang berbeda, kondisi kebutuhan ketiga menuntut pihak
perancang menggunakan pola berpikir deduksi-induksi. Pertama, perancang secara
deduktif melakukan pengkajian Wahyu untuk mengidentifikasi dan mengenali
perintah Allah berkaitan dengan kegiatan yang diwajibkan maupun ditekankan oleh-
Nya untuk dilakukan manusia. Kedua, perancang secara induktif melakukan
pengamatan untuk mengidentifikasi dan mengenali pelaku dari kegiatan yang
diperintahkan Allah, baik secara individual maupun komunal. Jika terdapat pelaku,
walaupun hanya segelintir manusia saja, maka perancang dapat melanjutkannya pada
langkah kedua. Tetapi jika tidak terdapat satupun pelaku di suatu wilayah dan garis
waktu tertentu, maka upaya menghadirkan objek arsitektur harus diakhiri karena tidak
terdapat satupun manusia yang memiliki kesadaran diri untuk melakukan kegiatan
yang diperintahkan Allah kepadanya. Ketiadaan pelaku dan berarti ketiadaan objek
arsitektur yang mewadahinya merupakan penanda bahwa tidak terdapat Islam di
wilayah dan waktu tesebut. 

Langkah kedua menekankan pada aspek tuntutan yakni, mengidentifikasi kehadiran


objek arsitektur yang dapat mewadahi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam langkah
pertama. Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, terdapat rincian penjelasan dari
langkah kedua ini sebagai berikut:
1. Jika dalam suatu wilayah tidak terdapat objek arsitektur yang diperuntukkan untuk
mewadahi suatu kegiatan, termasuk objek arsitektur yang telah hadir pada waktu yang
lalu tetapi memiliki spesifikasi ruang yang berbeda dikarenakan perbedaan
persyaratan kegiatan yang diwadahinya, maka proses menghadirkan objek arsitektur
dapat dilanjutkan dan diyatakan sebagai benar untuk dilakukan.
2. Jika dalam suatu wilayah telah terdapat objek arsitektur dengan spesifikasi ruang yang
masih memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian agar dapat mewadahi kegiatan
baru, maka proses menghadirkan objek arsitektur tidak dapat dilanjutkan dan
dinyatakan tidak benar untuk dilakukan jika objek arsitektur tersebut tidak lagi
digunakan atau dimungkinkan untuk mewadahi kegiatan baru dengan persetujuan
pihak pemilik dan atau penggunanya. Jika syarat tersebut terpenuhi maka upaya
menghadirkan objek arsitektur harus dialihkan pada upaya menyesuaikan ruang
binaan yang telah ada berdasarkan persyaratan kegiatan baru yang akan diwadahi.
3. Jika dalam suatu wilayah telah terdapat objek arsitektur yang diperuntukkan untuk
mewadahi suatu kegiatan, tidaklah dibenarkan menghadirkan objek arsitektur baru
untuk mewadahi kegiatan yang sama jika secara kapasitas dan fasilitas masih dapat
mewadahi kegiatan dan pelakunya. Jika terjadi peningkatan jumlah pelaku, maka
yang diprioritaskan adalah melakukan perluasan objek arsitektur yang telah hadir
berdasarkan jumlah pelaku terkini, baik secara horizontal maupun vertikal. Poin
ketiga ini berlaku untuk kondisi kebutuhan kedua dan ketiga karenanya tidaklah
dibenarkan menghadirkan ruang masjid baru di dalam lingkup pelayanan ruang
masjid yang telah hadir terlebih dahulu sebagaimana kini marak ditemui kehadiran
ruang masjid yang saling berdekatan bahkan bersebelahan.

Kedua langkah di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menghadirkan objek
arsitektur berdasarkan pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam. Jika keduanya terpenuhi,
maka suatu objek arsitektur diyatakan layak secara fungsional untuk dihadirkan dan proses
perancangan dapat dilanjutkan memasuki tahap perumusan konsep dasar yang akan saya
paparkan dalam tulisan mendatang. Tetapi jika syarat pertama tidak terpenuhi, maka proses
perancangan tidak dapat dilanjutkan pada langkah kedua dan objek arsitektur yang
kehadirannya sedang diupayakan haruslah diurungkan dan dialihkan pada objek arsitektur
lain yang tengah dibutuhkan oleh manusia dan tengah dituntut kehadirannya. Tentu saja
kelayakan menghadirkan objek arsitektur tidak hanya sebatas kelayakan fungsional. Terdapat
pula kelayakan lingkungan, sosial, budaya, kesejarahan dan sebagainya sebagai dasar
pembenar dihadirkannya suatu objek arsitektur. Dalam pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur
Islam, aspek kelayakan fungsional ditentukan terlebih dahulu daripada aspek kelayakan
lainnya yang akan ditentukan pada tahapan perancangan selanjutnya berdasarkan asumsi
dasar, bahwa kehadiran arsitektur utamanya bertujuan untuk mewadahi kegiatan manusia
atau untuk memenuhi kebutuhan manusia secara fungsional.
Untuk memudahkan memahami kerangka berpikir mencapai kelayakan menghadirkan
objek arsitektur berdasarkan pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam, seluruh
pembahasan di atas dapat saya tampilkan dalam diagram di bawah ini, sehingga dapat
diketahui kait hubungan setiap bagian yang saya paparkan:
Gambar: Kerangka pikir kelayakan menghadirkan objek arsitektur berdasar pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam.
Sumber: Analisa, 1439 Hijrah Nabi.

Rumusan Definisi Pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam (2); Meretas Jalan


B. Meretas Jalan

Rumusan definisi Arsitektur Islam yang melandasai pendekatan Psiko-Kultural didasari dua
asumsi yang telah saya sampaikan dan jelaskan dalam tulisan berjudul “Meretas Jalan
Tengah; Pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam”, yakni (1) Arsitektur Islam sebagai
hasil kerja-kreatif-budaya manusia Muslim memiliki wujud gagasan, perilaku (fungsi) dan
artefak yang bersumberkan dari Islam; dan (2) antara manusia Muslim sebagai subjek dengan
Arsitektur Islam sebagai objek terikat secara psikologis melalui makna yang melekat pada
ketiga wujud arsitektur yang menumbuhkan rasa kepemilikan oleh manusia Muslim terhadap
Arsitektur Islam yang diciptanya. Berdasar dua asumsi tersebut saya mengajukan definisi
bahwasanya yang dimaksud dengan Arsitektur Islam adalah lingkungan binaan hasil kerja-
kreatif-budaya manusia Muslim, meliputi wujud gagasan, perilaku dan artefak, yang
menempatkan Wahyu sebagai asas, sumber inspirasi dan panduan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan mewadahi dirinya seutuhnya meliputi dimensi lahir dan bathin.

Definisi yang saya ajukan beserta asumsi yang mendasarinya bersandarkan pada hubungan
antara Islam dan arsitektur yang dapat ditinjau dari sisi objektif dan sisi subjektif. Sehingga
untuk dapat memahami secara utuh keterkaitan antara definisi Arsitektur Islam menurut
pendekatan Psiko-Kultural dengan asumsi yang mendasarinya, haruslah dipahami hubungan
antara Islam dan arsitektur yang merupakan jembatan penghubung antar kedua aspek
tersebut. Dimulai dari sisi objektif, bahwa dalam pendekatan Psiko-Kultural dibedakan antara
Islam sebagai Dien dan Islam sebagai Peradaban atau Tamaddun dengan arsitektur
merupakan salah satu unsur pembentuknya. Keduanya tidaklah berhadap-hadapan saling
bertolak belakang dan saling meniadakan dalam relasi dualisme. Pada dasarnya keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena Islam sebagai Dien merupakan
sumber bagi penciptaan Peradaban Islam, sehingga tanpa Islam tidak akan dapat dicipta dan
tidak akan dapat hadir Peradaban Islam, sebagaimana dapat dipahami dengan akal
bahwasanya tanpa sumber, maka tidak akan dapat dihadirkan segala sesuatu yang berasal dari
atau dinisbatkan kepada sumber tersebut. 

Perbedaan antara Islam sebagai Dien dan Islam sebagai Peradaban terdapat pada
kedudukannya berdasarkan hirarki kebenaran yang membentuk ciri khas masing-masing.
Sebagai sumber bagi penciptaan Peradaban Islam, Islam sebagai Dien yang berlandaskan
pada Al-Qur’an, Sunnah dan penjelasan para ulama yang berwibawa mengenai keduanya
menyandang kebenaran yang bersifat mutlak, sehingga menempati kedudukan lebih tinggi
daripada Peradaban Islam yang menyandang kebenaran relatif. Maksud dari kebenaran
mutlak yang dimiliki Islam sebagai Dien ialah kebenaran yang tidak terikat dimensi ruang
dan waktu karena kebenaran yang berasal dari Allah berada di atas keduanya. Dengan
kebenarannya tersebut, Islam sebagai Dien menjadi relevan dan berlaku untuk setiap ruang
kehidupan dan sepanjang waktu yang digulirkan Allah. Sementara maksud dari kebenaran
relatif yang disandang Peradaban Islam ialah kebenaran yang bersifat kontekstual atau
kebenaran yang terikat dimensi ruang dan waktu dikarenakan kedudukannya sebagai hasil
kerja-kreatif-budaya manusia Muslim dalam rangka ikhtiar memenuhi kebutuhan hidup dan
kehidupannya di alam dunia menjadikannya tidak dapat dicipta di luar dimensi ruang dan
waktu. Dikarenakan terikat dengan dimensi ruang dan waktu, proses penciptaan Peradaban
Islam dipengaruhi beragam faktor keduniaan meliputi (1) tingkat keimanan manusia Muslim
yang berbanding lurus dengan tingkat pemahamannya terhadap Islam sebagai Dien; (2)
kemampuan akal; (3) alam budaya; (4) tradisi arsitektur; (5) kondisi lingkungan hidup; (6)
tantangan kehidupan yang tengah dialami; dan (7) kontak peradaban yang tengah dijalin.

Arsitektur Islam dalam pendekatan Psiko-Kultural terdiri dari dua bagian, yakni (1) ilmu
pengetahuan mengenai lingkungan binaan; dan (2) objek lingkungan binaan yang terbentuk
dari wujud gagasan, perilaku (fungsi) dan artefak. Antara keduanya berlaku hubungan timbal
balik di mana untuk menghadirkan Arsitektur Islam sebagai objek lingkungan binaan
membutuhkan Arsitektur Islam sebagai ilmu pengetahuan melalui kerja-amali secara deduktif
dan sebaliknya, dari kehadiran Arsitektur Islam sebagai objek lingkungan binaan dapat
dihadirkan ilmu pengetahuan Arsitektur Islam melalui kerja-keilmuan secara induktif. Lalu di
mana kedudukan Arsitektur Islam di antara Islam sebagai Dien dan Islam sebagai Peradaban?
Arsitektur Islam sebagai ilmu pengetahuan memiliki landasan filosofis yang merupakan
bagian dari Islam sebagai Dien dan memiliki bangunan teoritik yang merupakan bagian dari
Islam sebagai Peradaban. Sementara Arsitektur Islam sebagai objek lingkungan binaan
memiliki wujud gagasan dan sebagian wujud perilaku yang merupakan bagian dari Islam
sebagai Dien dan memiliki sebagian lagi dari wujud perilaku dan wujud artefak yang
merupakan bagian dari Islam sebagai Peradaban yang merupakan kumpulan dari hasil kerja-
kreatif-budaya manusia Muslim. Sehingga Arsitektur Islam menurut pendekatan Psiko-
Kultural memiliki bagian yang menyandang kebenaran mutlak yang melintasi batasan ruang
dan waktu karena merupakan bagian dari Islam sebagai Dien serta terdapat bagian yang
menyandang kebenaran kontekstual yang terikat pada batasan ruang dan waktu karena
merupakan bagian dari Islam sebagai Peradaban.

Arsitektur Islam sebagai bagian dari sekaligus pembentuk Peradaban Islam karena
menyandang kebenaran yang bersifat relatif-kontekstual meniscayakan hadirnya
keberagaman yang hampir tanpa batas disebabkan kombinasi dari beragam faktor yang
mempengaruhi manusia Muslim sebagai subjek kerja-kreatif-budaya. Oleh karena itu
generasi yang hidup pada zaman kini dapat menyaksikan keberagaman wujud Arsitektur
Islam dalam kedudukannya sebagai bagian dari Peradaban Islam sepanjang dan seluas
wilayah Peradaban Islam sejak masa hidup Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
hingga masa kini. Sehingga Arsitektur Islam sebagai bagian dari Peradaban Islam bersifat
dinamik-evolutif, dalam artian terus mengalami perkembangan secara gradual dan
berkelanjutan dari wujudnya yang sederhana menjadi semakin kompleks. Bukti yang
mendukung pernyataan tersebut ialah terjadinya peningkatan kualitas dan kompleksitas
arsitektural sepanjang perkembangan Arsitektur Islam dari masa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam hingga masa kini dan secara fungsional terjadi peningkatan kuantitas yang
ditandai dengan hadirnya tipologi arsitektur yang tidak didapati pada masa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam. 

Di dalam keragaman perwujudan Arsitektur Islam sebagai bagian dari Peradaban Islam,
terdapat landasan filosofis yang menyatukan seluruh hasil kerja-kreatif-budaya manusia
Muslim di bidang lingkungan binaan yang hadir di berbagai ruang kehidupan dan zaman,
yakni Islam sebagai Dien yang merupakan sumber bagi penciptaan Arsitektur Islam.
Sehingga pada ranah landasan filosofisnya Arsitektur Islam bersifat statik, dalam artian tidak
mengalami perkembangan apalagi perubahan karena kebenaran-mutlak yang dimiliki Islam
sebagai Dien bersifat final dan ideal. Walaupun terdapat perkembangan pada beberapa
bagiannya, perkembangan tersebut tidak dapat dipahami sebagai perubahan yang berbeda
secara keseluruhan dari bagian terdahulu, tetapi merupakan perkembangan dari bagian-bagian
intinya melalui metodologi yang disepakati oleh kalangan ulama yang berwibawa, sehingga
menjadikannya mendekati derajat kebenaran mutlak. Pertanyaannya, apa yang termuat dalam
landasan filosofis Arsitektur Islam yang bersumberkan dari Islam sebagai Dien dalam
penciptaan arsitektur? Atau apa yang disediakan oleh Islam sebagai Dien dalam penciptaan
Arsitektur Islam? 

Terhadap pertanyaan di atas, menurut pendekatan Psiko-Kultural, Islam sebagai Dien


menyediakan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam penciptaan Arsitektur Islam
oleh manusia Muslim. Dimulai dari yang pertama, sebagai sumber ontologi, Islam sebagai
Dien menyediakan pandangan-alam yang termuat dalam konsep-konsep kunci khas Islam
untuk digunakan manusia Muslim dalam kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam.
Inilah yang saya maksud dengan Islam sebagai asas pada definisi yang saya ajukan karena
kedudukan pandangan-alam berada dalam ranah landasan filosofis yang paling dasar atau
fundamen. Terdapat dua jenis konsep kunci khas Islam dalam konteks kerja-kreatif-budaya
menghadirkan Arsitektur Islam dilihat dari sifatnya. Yang pertama adalah konsep kunci yang
bersifat mendasar untuk semua objek arsitektur meliputi konsep Tuhan, konsep manusia,
konsep alam, konsep penciptaan, konsep kehidupan, konsep kebahagiaan dan semisalnya.
Sementara yang kedua adalah konsep kunci yang bersifat khusus karena berkaitan dengan
aspek fungsional objek arsitektur yang hendak dicipta, semisal objek arsitektur untuk
mewadahi fungsi kebugaran berkaitan dengan konsep kesehatan; objek arsitektur untuk
mewadahi fungsi pendidikan berkaitan dengan konsep pendidikan dan konsep ilmu; objek
arsitektur untuk mewadahi fungsi bermukim berkaitan dengan konsep keluarga jika
lingkupnya rumah tinggal dan konsep sosial jika lingkupnya permukiman.

Sebagai sumber epistemologi, Islam menyediakan isyarat-isyarat bagi perumusan ilmu


pengetahuan Arsitektur Islam serta sumber inspirasi bagi penciptaan Arsitektur Islam. Yang
pertama, Islam menyediakan isyarat-isyarat yang jika diteliti lebih lanjut akan dapat
dihasilkan ilmu pengetahuan arsitektur yang khas Islam. Salah satunya ialah isyarat yang
disampaikan Allah dalam Surah al-Hijr (15): 80-84 mengenai kaum Tsamud yang mendiami
sebuah kota bernama Al-Hijr. Kemampuan yang diberikan Allah kepada kaum Tsamud
menjadikan mereka dapat mengukir gunung menjadi rumah yang aman untuk didiami, tetapi
ketika mereka mendustakan risalah kenabian yang dibawa oleh Nabi Shaleh Alaihissalam,
maka rumah-rumah mereka yang kokoh sekalipun tidak dapat melindungi mereka dari
kemurkaan Allah. Begitupula dengan isyarat Allah dalam Surah Al-Qashash (28): 38
mengenai Firaun yang mendustakan risalah kenabian Nabi Musa dengan memerintahkan
seorang arsitek bernama Haman untuk membakar tanah liat dan mendirikan bangunan yang
tinggi agar Firaun dapat melihat Tuhannya Musa. Dari kedua isyarat tersebut dapat
dirumuskan model perkembangan arsitektur yang khas Islam yang berbeda dengan model
perkembangan linier-progresif yang mendasari Arsitektur Modern maupun model
perkembangan patahan-kontekstual yang mendsaari Arsitektur Posmodern.

Yang kedua, Islam menyediakan inspirasi berupa ide-ide arsitektural dalam penciptaan
Arsitektur Islam sebagai objek lingkungan binaan seperti termuat dalam Surah Al-Insaan
(76): 12-14 mengenai keindahan Jannah yang dipenuhi dengan pepohonan rindang sehinga
penghuninya tidak merasakan teriknya matahari maupun rasa dingin yang menyengat.
Inspirasi demikian dapat menjadi gagasan arsitektural untuk mewujudkan lingkungan binaan
yang asri. Inilah yang saya maksud dengan Islam sebagai sumber inspirasi untuk perumusan
ilmu pengetahuan maupun penciptaan Arsitektur Islam dalam definisi yang saya ajukan yang
menempatkan aspek epistemologi sebagai landasan konseptual karena memuat ide-ide
arsitektural.

Sebagai sumber aksiologi, Islam menyediakan tujuan dan tata nilai dalam penciptaan
Arsitektur Islam. Aspek tujuan telah termuat secara tekstual dalam definisi yang saya ajukan,
yakni terdapat dalam kalimat “untuk memenuhi kebutuhan dirinya”. Penjelasan mengenai
kebutuhan manusia Muslim terhadap lingkungan binaan yang bersumberkan dari Wahyu
telah saya sampaikan pada tulisan terdahulu dengan judul “Kelayakan Menghadirkn
Arsitektur Berdasarkan Pendekatan Psiko-Kultural”. Yang perlu untuk kembali ditampilkan
dalam tulisan ini mengenai tujuan dihadirkannya Arsitektur Islam ialah untuk kebahagiaan
manusia, yakni kebaikan sebagaimana dikehendaki Allah yang termuat di dalam Wahyu.
Tujuan tersebut menjadikan Arsitektur Islam berbeda dengan Arsitektur Modern yang
memiliki tujuan ‘arsitektur untuk arsitektur’ dan ‘arsitektur untuk pertumbuhan ekonomi’
maupun dengan Arsitektur Posmodern yang memiliki tujuan arsitektur untuk manusia dengan
menyerahkan sepenuhnya kepada subjektifitas manusia yang bersifat relatif.

Islam sebagai sumber tata nilai dalam penciptaan Arsitektur Islam mengacu pada hukum-
hukum Syariat yang bersumberkan dari Wahyu meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram terkait suatu persoalan mengenai lingkungan binaan. Salah satu penerapan tata nilai
Islam dalam bidang lingkungan binaan adalah diharamkannya mengambil sebidang tanah
milik perseorangan maupun lembaga secara paksa oleh pihak penguasa ekonomi yang
bekerjasama dengan pihak penguasa politik. Dengan tata nilai yang bersumberkan dari Islam
sebagai Dien, Arsitektur Islam memiliki batas-batas yang jelas sebagaimana dikehendaki oleh
Allah yang memiliki tujuan sekaligus hikmah untuk mencegah terjadinya kerusakan pada
agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan alam. Inilah yang saya maksud dengan Islam sebagai
panduan dalam definisi yang saya ajukan yang menempatkan dimensi aksiologi sebagai
landasan praktikal karena berkaitan secara langsung dengan kegiatan keilmuan, perancangan,
pembangunan hingga penggunaan arsitektur oleh manusia Muslim. 
  Gambar 1: Arsitektur Islam dan hubungannya dengan Islam sebagai Dien dan Peradaban.
Sumber: Analisa, 2018.

Dari sisi subjektif diri manusia Muslim yang mencipta Arsitektur Islam dengan menggunakan
Islam sebagai sumber yang menyediakan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, ikhtiar
yang dilakukannya bisa jadi bernilai benar dan bisa jadi salah. Benar dan salah yang
dimaksud berbeda pengertian untuk ranah yang berbeda berkaitan dengan hirarkinya. Dalam
ranah landasan filosofis Arsitektur Islam yang merupakan bagian dari Islam sebagai Dien,
benar dan salah bernilai haq dan bathil karena berkaitan secara langsung dengan keimanan.
Kesalahan dalam ranah ini bersifat fatal, sehingga bisa jadi mendapat ganjaran dosa dari
Allah karena dua hal. Pertama, rendahnya tingkat keimanan manusia Muslim, sehingga
keimanan di dalam dirinya tidak mampu menjadi landasan bagi kerja-kreatif-budaya yang
dilakukan. Kedua, tingkat keimanan yang baik, tetapi tidak digunakan oleh manusia Muslim
sebagai landasan dalam kerja-kreatif-budaya yang dilakukan. Persoalan ini lazim disebut
split-personality atau keterbelahan personal di mana kerja-kreatif-budaya yang dilakukan
manusia Muslim tidak melibatkan dimensi keimanan Islam yang diakuinya benar-mutlak,
tetapi malah didasari dengan landasan yang bersumberkan dari selain Islam. Secara
metodologis, keterpisahan antara keimanan di dalam hati dan kerja-kreatif-budaya yang
berpijak pada intuisi dan akal disebabkan tidak adanya jembatan yang menghubungkan
keduanya yang dalam tradisi Islam terdiri dari ilmu Kalam, Filsafat Islam, Tasawuf dan
Fikih. 

Sementara dalam ranah Arsitektur Islam yang merupakan bagian dari Islam sebagai
Peradaban, benar dan salah bernilai tepat (shawwab) dan tidak tepat (khatha’) karena
berkedudukan sebagai ijtihad. Dalam ranah ini, kesalahan yang dilakukan dalam kerja-
kreatif-budaya menghadirkan Arsitektur Islam mendapatkan satu pahala sebagai ganjaran
dari Allah karena manusia Muslim sebagai subjek telah mengerahkan seluruh daya upaya
yang dimilikinya untuk melakukan ijtihad. Pandangan ini mengharuskan manusia Muslim
sebagai subjek dari kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam (1) memiliki otoritas di
bidang lingkungan binaan; dan (2) memiliki pemahaman Islam sebagai Dien yang memadai,
terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan arsitektur dan keterkaitan antara Islam dan
arsitektur. Kedua poin tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi setiap diri manusia
Muslim untuk secara intelektual dapat melakukan ijtihad dan secara sosial diperbolehkan
mencipta Arsitektur Islam. Oleh karenanya tidak setiap diri manusia Muslim dapat dan
diperbolehkan melakukan kerja-kreatif-budaya di bidang Arsitektur Islam dan tidak setiap
kerja-kreatif-budaya yang dilakukan merupakan ijtihad jika salah satu saja syarat untuk
melakukannya tidak terpenuhi.

Dua syarat untuk dapat melakukan ijtihad di bidang Arsitektur Islam membawa pada dua
konsekuensi. Konsekuensi pertama, hanya manusia Muslim yang dapat melakukan kerja-
kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam karena ijtihad merupakan ibadah yang
mensyaratkan pelakunya memiliki iman Islam. Manusia yang tidak beriman Islam, maka
tidak terbuka pintu baginya untuk melakukan ijtihad karena tidak mengakui kebenaran Islam
sebagai Dien yang merupakan sumber bagi penciptaan Arsitektur Islam dan tanpa pengakuan
terhadap kebenaran sumber Islam, maka tidak mungkin dapat dicipta dan dihadirkan
Arsitektur Islam. Konsekuensi kedua, sebagai ijtihad yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah,
maka lingkungan binaan yang dicipta manusia Muslim belum tentu sesuai dengan idealitas
Islam, karenanya tidak setiap lingkungan binaan yang dicipta manusia Muslim dapat
dinyatakan sebagai Arsitektur Islam. 

Berdasar pembahasan di atas, dalam pendekatan Psiko-Kultural diterima dan digunakan


istilah Arsitektur Islam dan Arsitektur Muslim dengan maknanya masing-masing, sehingga
dalam penggunaannya tidak dapat dipertukarkan begitu saja tanpa memperhatikan kedudukan
masing-masing istilah tersebut. Dalam pendekatan Psiko-Kultural, istilah Arsitektur Islam
bersifat objektif-idealistik. Dikatakan objektif karena sebagai ilmu pengetahuan dan objek
lingkungan binaan mencerminkan Islam yang merupakan sumber bagi penciptaannya,
sekaligus menjadikannya ideal karena merujuk pada sumber tersebut. Walaupun dalam
penciptaan Arsitektur Islam mensyaratkan hanya dapat diwujudkan oleh manusia Muslim
sebagai subjek, tetapi kedudukannya sebagai hasil kerja-kreatif-budaya bersifat objektif,
dalam artian membentuk realitas di luar diri subjek penciptanya, tetapi tidak bersifat otonom
atau terpisah secara mandiri dari diri manusia Muslim. Sampai di sini akan muncul
pertanyaan, apakah Arsitektur Islam yang dicipta oleh manusia Muslim dapat digunakan oleh
manusia dengan keyakinan selain Islam? Secara singkat dapat saya jawab, Arsitektur Islam
memiliki unsur bersifat umum yang dapat digunakan oleh seluruh umat manusia tanpa
memandang identitas keyakinannya, serta memiliki pula unsur bersifat khas Islam yang
hanya dapat digunakan oleh manusia Muslim. Mengenai kedua unsur tersebut bukanlah
tujuan dari tulisan ini untuk saya menjelaskannya, oleh karenanya saya cukupkan dengan
jawaban tersebut dan menunda penjelasannya pada tulisan mendatang.

Berdasarkan pada definisi yang saya ajukan beserta asumsi yang mendasarinya serta
sandarannya pada hubungan antara Islam dan arsitektur yang ditinjau secara objektif maupun
subjektif, maka dapat dirumuskan tiga kriteria atau indikator atau syarat Arsitektur Islam
menurut pendekatan Psiko-Kultural. Syarat pertama, dicipta oleh manusia Muslim yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad di bidang lingkungan binaan, sehingga dalam
kerja-kreatif-budaya yang dilakukannya melibatkan keimanan Islam yang diakuinya benar
dengan menjadikannya sebagai sumber bagi penciptaan Arsitektur Islam. Syarat kedua,
sebagai hasil kerja-kreatif-budaya, ketiga wujud pembentuknya yang terdiri dari wujud
gagasan, wujud perilaku (fungsi) dan wujud artefaknya berasaskan, berpandukan dan
terinspirasi dari Islam atau dengan kata lain menjadikan Islam sebagai sumber ontologi,
epistemologi dan aksiologi, sehingga lingkungan binaan yang dicipta manusia Muslim
mencapai idealitas Islam dan mencerminkan Islam secara keseluruhannya. Dan syarat ketiga,
terdapatnya ikatan psikologis yang kuat dan dalam antara manusia Muslim sebagai subjek
dengan lingkungan binaan yang diciptanya melalui makna yang bersumberkan dari Islam dan
dilekatkan pada ketiga wujud pembentuk arsitekturnya. 
Sementara istilah Arsitektur Muslim dalam pendekatan Psiko-Kultural bersifat subjektif-
relatif. Dikatakan subjektif karena merujuk pada diri manusia Muslim sebagai pelaku kerja-
kreatif-budaya di bidang lingkungan binaan. Sedangkan dikatakan relatif karena berlandaskan
pada teologi Islam, keimanan manusia Muslim dapat mengalami kenaikan maupun
penurunan yang menyebabkan kualitas dirinya bersifat dinamik, yakni senantiasa mengalami
perubahan kondisi di mana pada suatu waktu dapat mencapai tingkatan kualitas tertinggi,
sehingga dimungkinkan diciptanya Arsitektur Islam yang bersifat objektif-idealistik dan pada
waktu yang lain kualitas dirinya mengalami penurunan drastis hingga tak tersisa sedikitpun
keimanan dalam hati, sehingga arsitektur yang diciptanya jauh dari idealitas Islam bahkan
bisa jadi bertentangan dengan Islam. 

Dengan pemahaman di atas, kategori Arsitektur Muslim akan memuat beragam kualitas
lingkungan binaan sebagai cerminan dari keragaman dan kedinamisan kualitas diri manusia
Muslim sebagai subjek kerja-kreatif-budaya meliputi lingkungan binaan dengan kualitas ideal
karena berasaskan, berpandukan dan terinspirasi dari Islam sebagai Dien maupun jauh dari
idealitas sumber sumber-sumber Islam. Berdasarkan pada konsep kualitas diri manusia
Muslim yang bersifat dinamik, maka dibutuhkan batasan bagi istilah Arsitektur Muslim agar
tidak menimbulkan kebingungan maupun penafsiran serampangan yang menjadi pembenar
dikategorikannya seluruh hasil kerja-kreatif-budaya manusia Muslim di bidang lingkungan
binaan sebagai Arsitektur Muslim, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun objek rancangan,
padahal tidak satupun dari ketiga wujudnya yang bersumberkan dan berkesesuaian dengan
Islam, sehingga menjadikannya bertentangan dengan Islam dan sama sekali tidak
mencerminkan Islam. 

Dalam pendekatan Psiko-Kultural, batasan Arsitektur Muslim sebagai kategori untuk


menyatakan suatu lingkungan binaan merupakan bagian darinya atau tidak terdiri dari dua
syarat. Syarat pertama, subjek penciptanya ialah manusia Muslim yang berada di dalam
batas-batas keIslaman sebagaimana telah ditetapkan Syariat. Begitu seorang Muslim keluar
dari batas-batas yang telah ditetapkan Syariat bagi dirinya, maka keIslamannya dinyatakan
batal dan identitasnya sebagai Muslim harus ditanggalkan. Konsekuensinya hasil kerja-kretif-
budaya yang dilakukannya di bidang lingkungan binaan tidak dapat dikategorikan sebagai
Arsitektur Muslim dan jika mencapai idealitas Islam pun tidak dapat dinyatakan sebagai
Arsitektur Islam. Syarat kedua, tujuan diciptanya lingkungan binaan oleh manusia Muslim
ialah untuk memenuhi kebutuhan dirinya sebagai seorang Muslim yang berkesadaran Islam
dengan indikator salah satu dari ketiga wujud arsitektur yang diciptanya bersumberkan dari
Islam, sehingga secara objektif menjadikannya dalam batas minimal tetap mencerminkan
Islam. Begitu suatu lingkungan binaan dicipta tanpa didasari kesadaran diri yang
bersumberkan dari Islam yang dibuktikan dari tidak satupun dari ketiga wujudnya
bersumberkan dari Islam, maka tidak dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Muslim, walaupun
subjek penciptanya dinyatakan sebagai seorang Muslim. Dengan demikian, hasil kerja-
kreatif-budaya di bidang lingkungan binaan barulah dapat dinyatakan sebagai bagian dari
Arsitektur Muslim jika memenuhi kedua syarat tersebut. Salah satu saja dari syarat tersebut
tidak terpenuhi, maka suatu lingkungan binaan tidak dapat dinyatakan sebagai Arsitektur
Muslim.

Dua contoh dapat saya hadirkan untuk memahami dua syarat di atas yang membentuk batas
bagi istilah Arsitektur Muslim. Contoh pertama adalah sebuah arsitektur masjid yang dicipta
oleh seseorang yang mengaku sebagai manusia Muslim tetapi meyakini bahwasanya shalat
tidaklah dihukumi wajib bagi umat Islam, sehingga dapat ditinggalkan begitu saja. Di satu
sisi, secara tipologi-fungsional, arsitektur masjid merupakan lingkungan binaan khas milik
umat Islam yang membedakannya dari umat lain, sehingga tidak ada keraguan untuk
menyatakannya sebagai Arsitektur Muslim dan jika berasaskan, berpandukan dan terinspirasi
dari Islam, maka tidak ada pula keraguan untuk menyatakannya sebagai Arsitektur Islam.
Tetapi jika merujuk pada subjek, keyakinannya tersebut merupakan salah satu pembatal
keIslaman, sehingga dapat mengeluarkannya sebagai bagian dari komunitas umat Islam. Jika
oleh kalangan ulama yang berwibawa dan memiliki otoritas, diri subjek dihukumi telah batal
keIslamannya, maka arsitektur masjid yang diciptanya tidak dapat dinyatakan sebagai
Arsitektur Muslim, apalagi Arsitektur Islam, karena tidak memenuhi syarat pertama dari
batasan kategori Arsitektur Muslim walaupun, secara objektif lingkungan binaan yang
diciptanya memiliki kualitas yang baik.

Pertanyaannya, harus seperti apa hasil kerja-kreatif-budaya sebagaimana contoh di atas


ditanggapi dan diperlakukan? Dan bagaimana kedudukannya jika tidak dapat dinyatakan
sebagai Arsitektur Muslim? Dalam pendekatan Psiko-Kultural, seluruh hasil kerja-kreatif-
budaya di bidang lingkungan binaan yang dilakukan oleh kalangan manusia sebagaimana
contoh di atas, begitupula dengan arsitektur masjid atau arsitektur khas milik umat Islam
lainnya yang dicipta oleh manusia non Muslim, kedudukannya sebatas sebagai ‘bahan
mentah’ yang harus diolah oleh manusia Muslim dengan cara mendakunya secara psikologis
agar dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Muslim atau Arsitektur Islam jika dalam proses
mendaku terjadi penyesuaian ketiga wujud pembentuknya, sehingga berasaskan, berpandukan
dan terinspirasi dari Islam. Di sinilah peran dan pentingnya asumsi kedua yang mendasari
pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam yang memiliki tiga langkah bagi manusia Muslim
untuk mendaku lingkungan binaan yang dicipta oleh kalangan manusia di luar komunitasnya.

Langkah pertama, menolak seluruh makna yang dilekatkan pada ketiga wujud pembentuk
lingkungan binaan oleh subjek penciptanya, sehingga arsitekturnya menjadi kosong dari
makna atau menjadi ‘bahan mentah’. Langkah kedua, melakukan penyesuaian ketiga wujud
pembentuk lingkungan binaan agar berkesesuaian dengan Islam. Dan langkah ketiga,
melakukan produksi makna yang bersumberkan dari Islam dan melekatkannya pada wujud
pembentuk lingkungan binaan. Dengan tiga langkah tersebut yang merupakan proses
mendaku secara psikologis, manusia Muslim seiring berkegiatan di dalam lingkungan binaan
tersebut berikhtiar memindahkannya dari alam kesadaran subjek pencipta ke dalam alam
kesadaran dirinya sebagai manusia Muslim yang berkesadaran Islam. Dari pembahasan ini
dapat ditarik syarat ketiga dari istilah Arsitektur Muslim, yakni terdapatnya rasa kepemilikan
manusia Muslim terhadap suatu lingkungan binaan, baik sebagai individu maupun komunitas,
dikarenakan wujudnya mencerminkan identitasnya sebagai manusia Muslim dan terdapatnya
makna yang bersumberkan dari Islam yang mengikat dirinya secara psikologis dengan
lingkungan binaan tersebut. 

Contoh kedua adalah manusia Muslim sebagai subjek kerja-kreatif-budaya mencipta suatu
lingkungan binaan yang dari aspek fungsionalnya tidak diafirmasi oleh Islam, seperti Klub
Malam karena mewadahi kegiatan yang dilarang oleh Islam atau mencipta suatu lingkungan
binaan dengan fungsi pendidikan yang dari wujud gagasannya bertentangan dengan Islam
karena hanya diperuntukkan untuk kalangan pemilik ekonomi atas atau mencipta suatu
lingkungan binaan yang dari wujud artefaknya tidak dapat dibenarkan oleh Islam karena
terinspirasi dari lekuk tubuh wanita. Dalam persoalan ini, walaupun lingkungan binaan
tersebut dicipta oleh manusia Muslim yang tidak sampai membatalkan keIslamannya karena
bisa jadi dilakukannya atas dasar tekanan pekerjaan sementara dalam hatinya mengakui
bahwa perbuatan tersebut salah menurut nilai Islam atau dikarenakan ketidakpahamannya
sebab tidak memahami Islam dengan baik, tetap tidak dapat dinyatakan sebagai bagian dari
Arsitektur Muslim karena tidak sesuai dengan syarat kedua, bahwa diciptanya lingkungan
binaan ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia Muslim yang berkesadaran Islam. Dari cara
pandang ini dapat ditarik pemahaman bahwa segala sesuatu dalam bidang lingkungan binaan
yang tidak diafirmasi oleh Islam atau bertentangan dengan Islam, maka bukan merupakan
kebutuhan manusia Muslim karena tidak sesuai dengan kesadaran dirinya yang bersumberkan
dari Islam.

Ketika manusia Muslim mencipta lingkungan binaan sebagaimana contoh kedua di atas,
dirinya dalam kondisi tidak digerakkan oleh kesadaran sebagai manusia Muslim yang terikat
dengan pandangan-alam, sumber kebenaran, tujuan serta nilai-nilai Islam. Atau ketika
seseorang melakukan hal tersebut, ditanggalkannya identitas dirinya sebagai manusia Muslim
yang bisa jadi disebabkan rendahnya kualitas diri atau sedang mengalami fase di mana
kondisi keimanannya mengalami penurunan. Hal demikian merupakan keniscayaan merujuk
pada pandangan Islam bahwasanya manusia memiliki kebebasan memilih yang terikat
dengan konsep pahala dan dosa sebagai konsekuensi terhadap kebebasan memilih yang
diberikan Allah kepadanya, sehingga menurut pandangan Islam, dimungkinkan bagi
seseorang menanggalkan kesadaran dirinya sebagai manusia Muslim ketika melakukan kerja-
kreatif-budaya yang menjadikan lingkungan binaannya tidak sedikitpun mencerminkan
Islam, bahkan bertentangan dengan Islam.

Jika suatu lingkungan binaan memenuhi tiga syarat di atas, maka dapat dinyatakan sebagai
bagian dari Arsitektur Muslim dan karenanya merupakan bagian dari Peradaban Islam. Dari
pembahasan di atas mengenai Arsitektur Muslim dapat ditarik dua prinsip. Prinsip pertama,
terdapat kaitan yang erat antara Arsitektur Muslim dan Arsitektur Islam secara konseptual
dan metodologis. Secara konseptual, Arsitektur Islam merupakan puncak idealitas Arsitektur
Muslim. Dengan perkataan lain, Arsitektur Islam merupakan hasil terbaik dari lingkungan
binaan yang dicipta oleh manusia Muslim dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Sehingga, Arsitektur Islam pastilah merupakan bagian dari Arsitektur Muslim, tetapi tidak
sebaliknya karena tidak seluruh lingkungan binaan yang menjadi bagian dari Arsitektur
Muslim memiliki kualitas ideal. Sementara secara metodologis, kait hubungan antara
Arsitektur Muslim dan Arsitektur Islam membentuk langkah-langkah untuk menilai hasil
kerja-kreatif-budaya manusia Muslim di bidang lingkungan binaan. Langkah pertama ialah
menilai apakah lingkungan binaan yang dicipta manusia Muslim dapat dinyatakan bagian
dari Arsitektur Muslim atau tidak berdasarkan syarat-syaratnya. Jika dinyatakan merupakan
bagian dari Arsitektur Muslim, maka lingkungan binaan tersebut memasuki langkah kedua
untuk menilai apakah dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Islam atau tidak berdasarkan
syarat-syaratnya pula.

Prinsip kedua, berdasarkan definisi Arsitektur Islam dan Arsitektur Muslim serta kait
hubungan antara keduanya, dalam pendekatan Psiko-Kultural tidak terjadi pemisahan antara
aspek subjek dan objek karena kehadiran subjek menjadi syarat bagi kehadiran objek di mana
kualitas subjek menentukan kualitas objek dan oleh karenanya idealitas objek sangat
bergantung pada idealitas subjek. Dengan demikian dalam pendekatan Psiko-Kultural, suatu
lingkungan binaan untuk dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Islam yang bersifat objektif-
idealistik haruslah menjadi bagian dari Arsitektur Muslim yang merujuk pada diri manusia
Muslim sebagai subjek dari kerja-kreatif-budaya.
Gambar 2: Kait hubungan antara Arsitektur Islam dan Arsitektur Muslim.
Sumber: Analisa, 2018.

Dalam pendekatan Psiko-Kultural, saya tidak menggunakan istilah Arsitektur Islami


berdasarkan tiga argumentasi. Pertama, istilah tersebut sejak awal dihadirkannya sudah
membingungkan jika dihadapkan dengan istilah Arsitektur Islam, terlebih jika pembedaan
antara keduanya tidak sebanding karena pengertian yang diberikan kepada istilah Arsitektur
Islam bersifat tekstual dengan pengertian Islam adalah arsitektur atau arsitektur yang
beragama Islam, sedangkan untuk istilah Arsitektur Islami diberikan pengertian yang bersifat
konseptual, sehingga penolakan terhadap istilah Arsitektur Islam dan pengajuan istilah
Arsitektur Islami tidak berdasarkan penalaran yang matang. Kedua, istilah Arsitektur Islami
hanya digunakan oleh kalangan yang menolak penggunaan istilah Arsitektur Islam, sehingga
tidak terdapat kebutuhan bagi saya untuk menggunakan istilah tersebut karena pendekatan
Psiko-Kultural menerima penggunaan istilah Arsitektur Islam dengan makna yang telah saya
tetapkan pada penjelasan di atas. Dan ketiga, pengertian Arsitektur Islami bermuatan aspek
aksiologi yang hanya merupakan satu dari tiga aspek wujud lingkungan binaan dalam
pengertian Arsitektur Islam yang saya ajukan, sehingga secara substansial, dalam pendekatan
Psiko-Kultural tidak lagi dibutuhkan istilah Arsitektur Islami. Kalaupun digunakan istilah
Islami yang dilekatkan pada arsitektur dalam pewacanaan dan pengkajian Arsitektur Islam
dengan pendekatan Psiko-Kultural, penyebutan tersebut merujuk pada penerapan aspek
aksiologi Arsitektur Islam. 

Berakhir sudah bagian kedua dari tulisan ini yang memuat definisi Arsitektur Islam menurut
pendekatan Psiko-Kultural berdasarkan asumsi yang mendasarinya. Pada bagian selanjutnya
dari tulisan ini saya akan melakukan pembandingan definisi antara definisi yang telah saya
ajukan pada bagian ini dengan ragam definisi yang telah saya jabarkan pada bagian pertama
dengan tujuan objektif untuk mendapatkan definisi terbaik yang mampu menggambarkan
dengan tepat hubungan antara Islam dan arsitektur, sehingga diharapkan dapat diterima dan
disepakati penggunaannya oleh kalangan pewacana dan pengkaji Arsitektur Islam di
Indonesia pada khususnya. Dan secara subjektif pembandingan tersebut bertujuan untuk
membuktikan bahwa definisi yang saya ajukan memiliki kualitas terbaik di antara selainnya.
Dengan demikian akan turut memperkuat struktur pendekatan Psiko-Kultural yang tengah
saya rumuskan sebagai pendekatan Arsitektur Islam yang paling ajeg, rigid dan kokoh di
antara pendekatan lainnya. Sebagai penutup, pembahasan pada bagian ini akan dirangkum
dalam bentuk tabel yang memuat istilah, sifat, definisi, ciri khas serta syarat-syaratnya yang
melandasi pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam.

Tabel: Ragam istilah beserta maknanya masing-masing yang melandasi


pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam

Allahu a’lam bishawab.


Bertempat di Kartasura pada Ramadhan 1439 Hijrah Nabi

Pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam; Asumsi Dasar dan Penamaan (Bagian 1)


Ditilik secara paradigmatik, ketiga pendekatan arus-utama dalam pengkajian dan
perancangan Arsitektur Islam, sebagaimana telah saya jabarkan dalam tulisan berjudul “Tiga
Pendekatan Arus-Utama Arsitektur Islam” memiliki titik-fokus yang berbeda dalam
memandang, memahami dan mendekati fenomena arsitektur dari perspektif Islam,
disebabkan perbedaan dalam asumsi yang mendasari masing-masing pendekatan. Pendekatan
Formal menetapkan titik fokus pada wujud fisik, pendekatan Nilai pada nilai-nilai di balik
wujud fisik, sedangkan pendekatan Perilaku pada fungsi dan perilaku yang diwadahi di dalam
wujud fisik arsitektur. Kelemahan digunakannya titik-fokus tunggal oleh ketiga pendekatan
arus-utama Arsitektur Islam ialah terjadinya reduksi fenomena arsitektur karena berlaku
padanya nalar A atau B atau C. Nalar demikian tidak akan mampu memahami Arsitektur
Islam secara menyeluruh sebagai proses sekaligus hasil kerja-kreatif-budaya serta sebagai
bagian dari Peradaban Islam yang menjadikannya bersifat sangat kompleks karena
melibatkan seluruh unsur kebudayaan dan terikat dengan seluruh aspek kehidupan manusia
Muslim. Karenanya dengan nalar A atau B atau C, ketiga pendekatan arus-utama Arsitektur
Islam dengan titik fokus tunggal yang ditetapkannya tidak akan mampu menangkap dan
memahami fenomena Arsitektur Islam sebagai bagian dari fenomena kehidupan manusia
Muslim dan Peradaban Islam. 
Berangkat dari kelemahan secara paradigmatik tiga pendekatan arus-utama Arsitektur Islam,
saya berikhtiar untuk merumuskan pendekatan baru dalam pengkajian dan perancangan
Arsitektur Islam yang saya namakan dengan pendekatan Psiko-Kultural. Pendekatan
Arsitektur Islam yang saya ajukan dari satu aspek dapat digolongkan ke dalam pendekatan
Filosofis karena antara keduanya memiliki kesamaan dalam beberapa asumsi dasar serta
konsep-konsep penyusunnya. Tetapi jika ditinjau secara paradigmatik, pendekatan Arsitektur
Islam yang saya ajukan merupakan lompatan sintesa sebagai hasil dari dialektika ilmiah yang
melibatkan tiga pendekatan arus-utama Arsitektur Islam, sehingga secara substansi memiliki
kesamaan sekaligus perbedaan yang bersifat asasi dengan ketiga pendekatan arus utama yang
menjadikannya tidak dapat digolongkan ke dalam salah satunya. 

Keterlibatan saya dalam pewacanaan dan pengkajian Arsitektur Islam menjadikan saya tidak
dapat menghindar dari mekanisme dialektika ilmiah untuk mempertahankan kebenaran
pendekatan Psiko-Kultural. Untuk mencapai tujuan tersebut, bentuk penulisan yang saya
gunakan memuat kritik terhadap pendekatan lain untuk menunjukkan kelemahan-
kelemahannya, sekaligus mengajukan argumentasi yang mendukung kebenaran pendekatan
Psiko-Kultural untuk menegaskan keunggulannya dibandingkan pendekatan selainnya.
Pendekatan yang saya ajukan juga tidak dapat menghindar dari mekanisme perkembangan ke
dalam maupun ke luar sebagai konsekuensi yang harus diterima atas keterlibatannya dalam
medan dialektika. Oleh karenanya, tulisan ini haruslah didudukkan sebagai proses awal yang
selalu terbuka pintu untuk mengalami perubahan, pengurangan maupun penambahan pada
masa yang akan datang, dan selalu terbuka keniscayaan untuk mengalami keterbelahan
pemikiran seiring terbentuknya modal sosial pengusung pendekatan Psiko-Kultural,
sebagaimana telah pula dialami pendekatan-pendekatan selainnya, tidak terkecuali tiga
pendekatan arus-utama Arsitektur Islam. 

Sebagai langkah awal dari kerja keilmuan yang harus saya lakukan dalam merumuskan
pendekatan Arsitektur Islam, tulisan ini memuat dua poin bahasan, yakni rumusan asumsi
yang mendasari pendekatan Psiko-Kultural dan penjelasan mengenai penamaan Psiko-
Kultural sebagai identitas pendekatan yang saya ajukan. Persoalan asumsi dasar terlebih
dahulu saya ketengahkan sebelum persoalan penamaan, karena penamaan Psiko-Kultural
berkaitan erat dengan asumsi yang mendasarinya. Sehingga dengan menjelaskan terlebih
dahulu asumsi dasar diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk memahami penamaan
yang saya tetapkan. Bersambung pada tulisan mendatang akan dilanjutkan dengan perumusan
definisi Arsitektur Islam menurut pendekatan Psiko-Kultural yang termuat di dalamnya
persoalan istilah-istilah khusus yang digunakan, variabel dan kriteria atau indikator Arsitektur
Islam menurut pendekatan Psiko-Kultural. 

A. Empat Asumsi Dasar 

Pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam bersandarkan pada empat asumsi dasar. Asumsi
dasar pertama menempatkan Arsitektur Islam yang merupakan proses sekaligus hasil dari
kerja-kreatif-budaya manusia Muslim sebagai bagian dari Peradaban Islam. Asumsi dasar
kedua merinci yang pertama dengan menetapkan empat wujud pembentuk Arsitektur Islam.
Dan asumsi dasar ketiga merupakan tuntutan logis dari dua asumsi dasar sebelumnya yang
menetapkan manusia Musim sebagai unsur-pusat dalam penciptaan Arsitektur Islam yang
didasari atas pandangan-alam Islam mengenai manusia. Sementara asumsi dasar keempat
merupakan pengikat tiga asumsi dasar sebelumnya yang memandang keterlibatan dimensi
internal manusia Muslim dalam kerja-kreatif-budaya mencipta[1] Arsitektur Islam, sehingga
menumbuhkan rasa kepemilikan antara manusia Muslim sebagai pencipta dengan Arsitektur
Islam sebagai hasil dari kerja budaya yang dilakukannya melalui makna yang bersumberkan
dari Islam dan melekat pada keempat wujud pembentuk arsitekturnya. 

Arsitektur Islam sebagai proses sekaligus hasil dari kerja-kreatif-budaya manusia


Muslim merupakan bagian pembentuk Peradaban Islam

Asumsi dasar pertama:


Dalam pendekaan Psiko-Kultural, Arsitektur Islam merupakan proses sekaligus hasil dari
kerja-kreatif-budaya manusia Muslim. Merupakan proses karena penciptaan Arsitektur Islam
oleh manusia Muslim merupakan kerja dalam ranah budaya yang melibatkan secara kreatif
seluruh potensi internal yang dimilikinya, meliputi :

1. Islam itu sendiri yang mempengaruhi seluruh dimensi diri manusia Muslim yang
mewujud dalam pandangan-alam (worldview), sumber kebenaran dan nilai-nilai hidup
yang diamalkan; dimensi bathin terdiri dari jiwa, akal, dan hati; dan
2. dimensi lahir terdiri dari kelengkapan dan kekuatan anggota tubuh untuk melakukan
kerja budaya; serta potensi eksternal yang berada di luar diri manusia Muslim dan berada
di dalam penguasaannya, meliputi :
1) Alam yang diciptakan Allah untuk dipergunakan manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya di dunia.
2) Modal ekonomi.
3) Modal sosial.

Terdapatnya kedua potensi tersebut tidaklah cukup bagi manusia Muslim untuk
melakukan kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam, karena manusia membutuhkan
kehendak yang merupakan daya dorong sekaligus daya arah bagi dirinya untuk
mengaktualkan potensi internal menjadi aksi mempergunakan potensi eksternal.

Dalam Surah An-Nahl ayat 80, Allah berfirman, 


“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan
bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan
(membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula)
dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang
kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”
Pernyataan pada paragraf sebelumnya didasari ayat di atas yang memuat syarat
dilakukannya kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam oleh manusia Muslim, yakni :
1. Terdapatnya kehendak manusia untuk memiliki rumah yang digunakannya untuk
tempat tinggal dan diafirmasinya kehendak tersebut oleh Allah;
2. Terdapatnya potensi eksternal berupa kulit binatang yang disediakan oleh Allah
teruntuk manusia memenuhi kebutuhannya di bidang lingkungan binaan; dan
3. dikenalinya potensi internal yang terdapat di dalam diri manusia yang menjadi
landasan baginya untuk mempergunakan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya di bidang lingkungan binaan. Secara singkat, ketiga syarat tersebut adalah
1) Terdapatnya kehendak manusia yang diafirmasi oleh Islam;
2) Dikenalinya potensi internal; dan
3) Dimilikinya potensi eksternal. Selain itu, ayat di atas juga menggariskan
prinsip dalam penciptaan Arsitektur Islam, bahwa pengenalan manusia
terhadap potensi internal dirinya, yakni memiliki keterbatasan dari segi fisik
dan tradisi kehidupan berpindah-pindah yang harus dijalani, menjadi dasar
baginya untuk mencipta rumah yang seringan mungkin dengan memanfaatkan
kulit binatang sebagai potensi eksternal yang tersedia di sekeliling lingkungan
hidupnya agar memungkinkan untuk dibawa berpindah tempat hidup. 

Sementara Arsitektur Islam merupakan hasil karena manusia Muslim dalam melakukan
kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam berorientasi pada hasil berupa perwujudan
fisik arsitekturnya yang dibutuhkan manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan
melangsungkan kehidupannya di alam dunia. Sebagai proses sekaligus hasil dari kerja-
kreatif-budaya, Arsitektur Islam merupakan bagian pembentuk Peradaban Islam yang
menempatkannya sebagai fenomena keduniaan. Yang dimaksud fenomena keduniaan
bukanlah fenomena yang bernilai profan, dalam artian terpisah dan kosong dari nilai-nilai
yang bersifat suci dan spiritual, karena pada hakikatnya tujuan penciptaan dan tujuan hidup
manusia menurut Islam ialah untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sebagai Sang
Pencipta sebagaimana termaktub di dalam Surah Adz-Dzaariyaat: 56, 
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku” 
Dikarenakan tujuan penciptaan manusia ialah mengabdikan diri kepada Allah dengan
cara-cara yang dikehendaki oleh-Nya, maka seluruh kegiatan manusia di seluruh bidang
kehidupannya pun diharuskan merupakan wujud peribadatan kepada Allah, tidak terkecuali
kegiatan manusia di bidang arsitektur. Dalam pandangan teologisnya, Islam membagi ibadah
menjadi dua jenis, yakni :
1. Ibadah maghdah yang merupakan ibadah ritual dengan cara-cara yang telah
ditetapkan Allah tanpa terdapat ruang bagi manusia untuk melakukan penetapan dan
perubahan; dan
2. Ibadah ghairu maghdah yang merupakan ibadah dalam pengertian luas meliputi
seluruh kegiatan manusia dan seluruh bidang kehidupan manusia selain peribadatan
ritual. Pada jenis ibadah yang kedua ini, Allah memberikan ruang yang luas kepada
manusia untuk mempergunakan akalnya guna menetapkan cara-cara yang terbaik
baginya untuk mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupan sepanjang cara
tersebut tidak menyelisihi batas-batas yang telah ditetapkan oleh-Nya. Segala cara
yang berada di dalam batas, maka diafirmasi oleh Islam untuk direalisasikan,
sedangkan segala cara yang melebihi batas, maka dilarang oleh Islam karena
realisasinya dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada kehidupan sekalian
makhluk. 

Kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam, lebih luas lagi, mencipta Peradaban


Islam, dalam pandangan Islam merupakan bentuk peribadatan ghairu maghdah, sehingga
berlaku syarat-syarat ibadah meliputi:
1. Niat yang ikhlas yang merupakan persoalan kehendak; dan
2. Cara-cara yang dibenarkan oleh Islam yang merupakan persoalan potensi.
Berdasarkan pandangan Islam, yang dimaksud dengan Arsitektur Islam sebagai
fenomena keduniaan ialah amal manusia Muslim sepanjang hidupnya di alam dunia
untuk memenuhi kebutuhannya di bidang arsitektur berdasarkan syarat-syarat dan
batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai wujud penyerahan dan
penghambaan diri manusia kepada-Nya. Pandangan ini menegaskan bahwa, dalam
pandangan Islam, arsitektur sebagai bagian pembentuk Peradaban Islam tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai dan spiritualitas Islam di mana sepanjang proses
penciptaannya hingga pada hasilnya merupakan wujud peribadatan manusia Muslim
kepada Allah. 

Sebagai bagian dari Peradaban Islam yang merupakan fenomena keduniaan, Arsitektur
Islam terikat hukum-hukum kehidupan di alam dunia.
 Hukum pertama, Arsitektur Islam terikat pada dimensi ruang dan waktu. Maksudnya
adalah, kerja-kreatif-budaya yang dilakukan manusia Muslim untuk mencipta Arsitektur
Islam dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat kontekstual dikarenakan penciptaan
Arsitektur Islam oleh manusia Muslim dilakukan pada suatu ruang dan waktu tertentu dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang merupakan tuntutan dari kondisi
kehidupan dan tantangan zaman yang tengah dihadapi dan dipenuhi olehnya berdasarkan
pengenalan terhadap potensi internal serta ketersediaan potensi eksternal di sekeliling ruang
kehidupannya. 
Ditinjau secara metodologis, keterikatan Arsitektur Islam dengan dimensi ruang dan
waktu dikarenakan penciptaannya melalui kerja-kreatif-budaya yang berkedudukan sebagai
ijtihad. Ijtihad dalam penciptaan Arsitektur Islam oleh manusia Muslim selalu terikat konteks
ruang dan waktu yang menjadikan perwujudan arsitekturnya hanya sesuai untuk ruang dan
waktu penciptaannya. Dari sini dapat ditarik prinsip bahwasanya kondisi dan tantangan
kehidupan yang berbeda akan membentuk perwujudan Arsitektur Islam yang berbeda pula.
Sehingga, Arsitektur Islam yang dicipta oleh manusia Muslim di Jawa pada abad 19 tidak
serta merta dapat ditiru dan dipindahkan ke Aceh pada abad yang sama, bahkan dicipta
kembali oleh manusia Muslim di Jawa pada abad kini dikarenakan perbedaan dalam kondisi
kehidupan dan tuntutan zaman yang melingkupinya. Begitupula dengan perwujudan
Arsitektur Islam pada masa Abbasiyah, walaupun dinilai oleh banyak kalangan manusia
Muslim sebagai puncak kejayaan Peradaban Islam, tetapi tidak menjadikannya dapat
diduplikasi begitu saja pada masa kini. 
Hukum kedua merupakan konsekuensi logis dari penciptaan Arsitektur Islam yang
terikat dimensi ruang dan waktu, bahwa Arsitektur Islam memiliki perwujudan yang
beragam. Keragaman Arsitektur Islam sebagai bagian dari Peradaban Islam, mendapatkan
landasannya di dalam Wahyu sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Hujuraat: 13, 
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” 
Pengelompokkan manusia berdasarkan bangsa dan suku merupakan bukti diakuinya
keragaman oleh Islam. Namun demikian, keragaman dalam Islam pun harus dipahami dengan
tepat agar dapat didudukkan secara benar. Perbedaan dalam aspek bangsa dan suku diafirmasi
oleh Islam sepanjang kedudukannya sebagai identitas sekunder, sementara identitas primer
yang diafirmasi oleh Islam hanyalah penyerahan diri sebagai seorang Muslim. Perbedaan
antara keduanya adalah identitas primer bersifat tetap dan bernilai absolut karena berkaitan
dengan tujuan penciptaan dan hidup manusia yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai Sang
Pencipta, serta bersifat azali merujuk pada pengenalan dan pengakuan diri manusia terhadap
identitasnya sebagai seorang Muslim sejak berada di alam Alastu, sebagaimana termuat
dalam Surah Al-A’raaf: 172, 
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman, "Bukankah
Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi."
Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” 
Sedangkan identitas sekunder, walaupun merupakan ketetapan Allah, tetapi bersifat
temporal dan bernilai relatif karena hanya merupakan identitas yang disandang manusia
sepanjang hidup di alam dunia. Setelah berpindah ke alam kubur, manusia tidak lagi
menyandang identitas sekunder. Begitupula dalam kehidupannya di alam akhirat kelak,
identitas sekunder sama sekali tidak mempengaruhi dan tidak dapat menjamin keselamatan
dirinya di hadapan Allah. Dikaitkan dengan struktur unsur pembentuk manusia, identitas
primer merujuk pada unsur kejiwaan manusia yang bersifat metafisik karena dibentuk oleh
aspek keimanan yang diyakini benar oleh manusia. Sedangkan identitas sekunder meliputi
etnis dan ras merujuk pada unsur tubuh manusia yang bersifat fisik. Berdasarkan pandangan-
alam Islam terhadap manusia, identitas primer menempati kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan identitas sekunder dikarenakan unsur jiwa yang dirujuk oleh identitas primer
merupakan hakikat diri manusia. Oleh sebab itu, Islam tidak membedakan manusia dan
menentukan derajatnya berdasarkan identitas sekunder yang melekat pada dirinya, tetapi
berdasarkan identitas primer, yakni kadar ketakwaan dirinya kepada Allah. 
Menganalogikannya dengan struktur identitas manusia sebagaimana di atas, Arsitektur
Islam memiliki identitas primer dan sekunder. Identitas primer Arsitektur Islam merupakan
unsur-tetap yang melampaui dimensi ruang dan waktu karena bersumberkan dari Wahyu
yang memuat substansi Islam, sehingga merupakan unsur yang membentuk ciri khas
Arsitektur Islam yang membedakannya dengan arsitektur selainnya. Yang dimaksud dengan
substansi Islam yang termuat di dalam unsur-tetap Arsitektur Islam ialah asas keyakinan
Islam dan spiritualitas Islam. Sedangkan identitas sekunder Arsitektur Islam merupakan
unsur-dinamik yang terikat dimensi ruang dan waktu karenanya bersifat temporer-
kontekstual. Identitas sekunder atau unsur-dinamik merupakan ciri khas sekaligus pembeda
antar perwujudan Arsitektur Islam yang dicipta oleh manusia Muslim pada suatu ruang dan
waktu tertentu. 
Merujuk pada struktur identitas manusia menurut pandangan Islam, unsur-tetap memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada unsur-dinamik karena memuat substansi Islam yang
bernilai mutlak-benar. Walaupun demikian tidak berarti unsur-dinamik menjadi tidak penting
karena tanpa kehadirannya atau tanpa kehadiran salah satu unsur pembentuknya, Arsitektur
Islam tidak akan terwujud. Arsitektur Islam dikatakan wujud jika kedua unsur pembentuknya
hadir dan saling terhubung membentuk kesatuan wujud Arsitektur Islam. Kehadiran unsur-
tetap tanpa unsur-dinamik menjadikan Arsitektur Islam tidak memiliki akar yang
menghubungkannya dengan ruang dan waktu penciptaannya yang menyebabkan penciptaan
Arsitektur Islam menjadi tidak berarti karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
manusia Muslim yang seiring lintasan ruang dan waktu memiliki tuntutan yang berbeda-
beda. 
Sementara itu kehadiran unsur-dinamik tanpa unsur-tetap menyebabkan dua hal.
Pertama, tidak terdapat unsur yang mengikat keragaman perwujudan Arsitektur Islam
menjadi kesatuan Peradaban Islam. Keragaman wujud peradaban tanpa kesamaan unsur yang
menyatukan dan mengikat bertentangan dengan konsep Ummah dan merupakan ancaman
terhadap kesatuan manusia Muslim sebagai Ummah karena tanpa unsur-unsur peradaban
yang menyatukannya, sekumpulan manusia Muslim tidak memiliki pengikat yang
menjadikannya sebagai kesatuan masyarakat Muslim. Kedua, tanpa kehadiran unsur-tetap,
suatu perwujudan arsitektur tidak dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Islam karena ketiadaan
substansi Islam di dalamnya, sebagaimana manusia tanpa jiwa yang bersyahadat walaupun
tubuhnya menampakkan ciri khas Islam, maka tidak dapat ditetapkan sebagai manusia yang
beriman. 
Keragaman perwujudan Arsitektur Islam yang merupakan hukum kehidupan dunia
mengikat seluruh diri manusia Muslim sebagai subjek kerja-kreatif-budaya. Sementara sikap
menolak keragaman, termasuk dalam arsitektur, merupakan sikap menentang hukum
kehidupan dunia yang merupakan Sunnatullah, sehingga akan menyebabkan berbagai
kerusakan dalam kehidupan manusia Muslim dan peradabannya, karena tidak sejalan dengan
cara-cara berlangsungnya kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Allah. Terjadinya berbagai
kerusakan sebagai akibat dari sikap menentang Sunnatullah berpangkal pada persoalan
ketidakmampuan arsitektur yang dicipta manusia Muslim untuk memenuhi kebutuhan dan
menanggapi tantangan kehidupan yang tengah dihadapinya. Sebagai contoh, penerapan unsur
kubah di Indonesia yang beriklim tropis dengan berdasarkan pada penolakan terhadap ragam
perwujudan atap selain kubah, menimbulkan berbagai masalah seperti biaya perawatan
bangunan yang tinggi dan keterputusan tradisi arsitektur dari generasi awal manusia Muslim
di Indonesia. 
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya manusia Muslim dan
begitupula dengan Arsitektur Islam memiliki unsur-tetap yang bersifat universal dan unsur-
dinamik yang bersifat kontekstual. Berdasar struktur identitas dan sifatnya masing-masing
menjadi sah penyebutan Muslim Jawa dengan kedudukan Muslim sebagai identitas primer
dan Jawa sebagai identitas sekunder, sebagaimana sah pula penyebutan Muslim Bali, Muslim
Padang, Muslim Aceh dan semisalnya. Dalam konteks arsitektur, menjadi sah istilah
Arsitektur Islam bergaya Jawa dengan kedudukan Islam sebagai unsur-tetap yang terdapat di
dalam seluruh perwujudan Arsitektur Islam, sedangkan Jawa berkedudukan sebagai unsur-
dinamik yang membentuk ciri khas perwujudan arsitekturnya yang tidak terdapat pada
Arsitektur Islam selainnya. Inilah kedudukan yang benar bagi keragaman dalam Arsiteketur
Islam. 
Keragaman Arsitektur Islam dapat dipahami dalam konteks hubungannya dengan
dimensi ruang-waktu dan kualitas perwujudan arsitektur. Dalam konteks yang pertama,
keragaman perwujudan Arsitektur Islam terjadi secara sinkronik dan diakronik. Secara
sinkronik, keragaman Arsitektur Islam terjadi pada ruang kehidupan yang berbeda di dalam
lintasan waktu yang sama. Sebagai contoh, antara manusia Muslim yang hidup di Indonesia
dan yang hidup di wilayah Timur Tengah, walaupun keduanya berada dalam lintasan waktu
abad 21, tetapi memiliki wujud Arsitektur Islam yang berbeda dikarenakan perbedaan kondisi
ruang kehidupan yang memiliki karakter dan tantangannya masing-masing. Dan sebaliknya
secara diakronik, keragaman Arsitektur Islam terjadi pada ruang kehidupan yang sama di
dalam lintasan waktu yang berbeda. Sebagai contoh, Arsitektur Islam di Indonesia memiliki
perwujudan yang berbeda antara abad 19 dan abad 21 dikarenakan kondisi kehidupan yang
berbeda di antara dua waktu tersebut disebabkan perbedaan zaman yang melingkupinya. 
Dalam konteks yang kedua, keragaman terjadi dalam aspek kualitas perwujudan
Arsitektur Islam. Keragaman dalam konteks ini mengindikasikan bahwa dimungkinkan
dilakukannya penilaian berdasarkan timbangan nilai yang sama terhadap keragaman
perwujudan Arsitektur Islam yang berakar pada ruang dan waktu penciptaannya masing-
masing. Dengan timbangan nilai yang disepakati otoritasnya untuk menilai seluruh
perwujudan Arsitektur Islam yang beragam, dapat ditetapkan kedudukan setiap perwujudan
Arsitektur Islam berdasarkan aspek kualitasnya, sehingga membentuk hirarki kualitas
perwujudan Arsitektur Islam. Untuk itu dibutuhkan timbangan nilai yang bersifat universal
atau melampaui dimensi ruang dan waktu. Satu-satunya timbangan nilai yang memungkinkan
dan memenuhi syarat adalah Wahyu yang merupakan sumber kebenaran tertinggi dalam
Islam untuk menilai unsur-tetap dan unsur-dinamik pembentuk Arsitektur Islam,
sebagaimana termuat dalam Surah Al-Hujuraat: 13 di atas, bahwa dapat dilakukan penilaian
terhadap diri manusia yang terdiri dari beragam bangsa dan suku berdasarkan timbangan
takwa. 
Dalam pendekatan Psiko-Kultural, secara metodologis, penilaian terhadap Arsitektur
Islam didasarkan atas hubungan setiap unsur pembentuknya dengan Wahyu sebagai
timbangan nilai. Untuk unsur-tetap pembentuk Arsitektur Islam yang bersumberkan dan
dibentuk langsung oleh Wahyu, penilaian terhadapnya didasarkan atas kesesuaiannya dengan
Wahyu. Jika bersumberkan dari Wahyu, maka dinilai sebagai Arsitektur Islam, sedangkan
jika tidak bersumberkan dari Wahyu, maka tidak dapat ditetapkan sebagai Arsitektur Islam.
Sementara untuk unsur-dinamik yang dicipta oleh manusia Muslim melalui mekanisme
ijtihad dengan Wahyu sebagai penyedia batas-batas, prinsip-prinsip dan sumber inspirasi bagi
kreativitas kerja budaya yang dilakukan, penilaian terhadapnya didasarkan atas
kesesuaiannya dengan batas-batas yang telah ditetapkan Wahyu. Untuk dapat ditetapkan
sebagai Arsitektur Islam, kedua unsur pembentuk arsitektur harus diafirmasi oleh Wahyu.
Jika salah satu saja unsur pembentuknya bertentangan dengan Wahyu, maka tidak dapat
dinyatakan sebagai Arsitektur Islam. 
Hukum ketiga, sebagai bagian dari Peradaban Islam, penciptaan Arsitektur Islam oleh
manusia Muslim terikat mekanisme mempelajari dan meminjam unsur arsitektural dari
khazanah peradaban lain. Menilik kembali Surah Al-Hujuraat: 13, bahwa tujuan Allah
menetapkan manusia terdiri dari berbagai bangsa dan suku ialah untuk saling mengenal,
bukan merendahkan dan menjajah atau mengeksploitasi. Dalam konteks kerja-kreatif-budaya,
manusia tidak mampu mencipta arsitektur dalam kondisi diri kosong tanpa ketersediaan
pengetahuan dan teknologi. Keterbatasan tersebut mensyaratkan dalam penciptaan Arsitektur
Islam dikenalinya khazanah arsitektur dari generasi Muslim terdahulu dan atau khazanah
arsitektur dari peradaban lain. 
Dikaitkan dengan hukum kedua, keragaman perwujudan Arsitektur Islam selain
disebabkan hubungan antara faktor :
1. Pengenalan manusia Muslim terhadap potensi internal dirinya; dan
2. Potensi eksternal yang merupakan kondisi ruang dan waktu penciptaan arsitektur;
juga dipengaruhi oleh faktor keterjalinan komunikasi untuk mengenali dan meminjam
khazanah arsitektur dari generasi Muslim terdahulu; sesama komunitas Muslim yang
hidup sezaman dengan latarbelakang kebangsaan, ras dan suku yang berbeda; dan dari
komunitas manusia dengan identitas keagamaan selain Islam. Menyoroti faktor
ketiga, meminjam khazanah arsitektur dari peradaban lain bukanlah hal baru dalam
proses penciptaan Arsitektur Islam oleh manusia Muslim karena secara historis telah
mulai dilakukan sejak masa Umawiyah yang berpusat di Damaskus. Di antaranya
adalah unsur kubah serta pelengkung yang dipelajari dan dipinjam manusia Muslim
dari Peradaban Romawi, unsur minaret dari kalangan Nashrani dan unsur iwanat dari
Peradaban Persia. Dalam lingkup Nusantara, penciptaan Arsitektur Islam tidak dapat
dilepaskan dari mekanisme mempelajari dan meminjam khazanah arsitektur milik
komunitas agama selain Islam dan atau komunitas budaya lokal. Di antaranya adalah
unsur atap tajug sebagai penutup atap Masjid di wilayah Jawa yang dipelajari dan
dipinjam manusia Muslim dari arsitektur Meru yang merupakan ruang peribadatan
umat Hindu. 

Sebagai hukum kehidupan dunia, mekanisme mempelajari dan meminjam khazanah


arsitektur, sebagaimana telah dilakukan generasi pendahulu manusia Muslim, bersifat
mengikat karenanya harus pula dilakukan oleh manusia Muslim yang hidup pada masa kini
untuk dapat mencipta Arsitektur Islam sesuai dengan kebutuhan hidup dan tantangan
kehidupan yang tengah dihadapi. Perbedaannya adalah, generasi Muslim terdahulu
meminjam khazanah arsitektur dari peradaban atau komunitas manusia lain dalam kondisi
peradaban atau komunitas tersebut sedang mengalami kemunduran atau tidak lagi berperan di
dalam kancah sejarah, sehingga komunikasi yang terjalin bersifat satu arah dan berada di
bawah kuasa penuh manusia Muslim. Sedangkan manusia Muslim yang hidup pada masa kini
harus melakukan mekanisme mempelajari dan meminjam khazanah arsitektur di tengah
dominasi dan produktivitas yang tinggi dari Peradaban Barat dalam melakukan kerja-kreatif-
budaya mencipta arsitektur. Dalam kondisi demikian, terdapat dua kemungkinan hubungan
komunikasi yang terjalin antara manusia Muslim dengan Peradaban Barat. 
Kemungkinan pertama, hubungan yang terjalin bersifat satu arah dengan kuasa penuh
dimiliki oleh pihak Peradaban Barat disebabkan dominasi Peradaban Barat yang hendak
menyebarluaskan nilai-nilai peradabannya ke seluruh penjuru dunia atas nama Modernisasi
(Modernization) dan Pemberadaban (Civilize), dan kelemahan manusia Muslim sebagai
kesatuan Ummah yang menyebabkan Peradaban Islam pada masa kini tidak memiliki daya
pengaruh yang kuat terhadap peradaban-peradaban lain. Dalam jalinan hubungan ini,
orientasi dan pengaruh secara aktif ditentukan dan diberikan oleh Peradaban Barat,
sedangkan pihak manusia Muslim bersifat pasif sebagai penerima. Kemungkinan kedua,
hubungan yang terjalin bersifat dua arah di mana kedua peradaban yang mengadakan
hubungan komunikasi saling mempelajari dan meminjam khazanah arsitektur untuk
memperkaya dan mengembangkan peradaban masing-masing. Di antara dua kemungkinan
tersebut, penting bagi manusia Muslim untuk memiliki strategi peradaban yang tepat agar
dapat mengadakan jalinan komunikasi dengan Peradaban Barat dalam bentuk kemungkinan
kedua dan menghindari terjadinya dominasi Peradaban Barat sebagaimana pada
kemungkinan pertama. Jika tidak, keterjalinan hubungan komunikasi dengan Peradaban Barat
alih-alih memperkaya dan memajukan Peradaban Islam, justru akan menyebabkan kerusakan
pada kehidupan manusia Muslim dan peradabannya. 
Sepanjang abad 20 hingga kini, manusia Muslim cenderung menerapkan strategi
menutup diri sepenuhnya dari Peradaban Barat atau membuka diri sepenuhnya. Strategi
menutup diri menolak untuk menjalin hubungan komunikasi dengan Peradaban Barat sebagai
bentuk ikhtiar menghindarkan manusia Muslim dan peradabannya dari keburukan-keburuhan
yang inheren terdapat di dalam dan yang disebabkan oleh Peradaban Barat. Penerapan
strategi menutup diri pada zaman kini tidak mudah, bahkan hampir tidak mungkin untuk
dilakukan serta tidak lagi relevan karena di satu sisi dapat menyebabkan ketertinggalan
Peradaban Islam dari Peradaban Barat, termasuk dalam perwujudan arsitekturnya, yang akan
berdampak pada penurunan kualitas kehidupan manusia Muslim pada masa kini. Dan di sisi
yang lain revolusi teknologi informasi menyebabkan keterhubungan global seluruh
komunitas mausia di berbagai belahan dunia, sehingga sikap menutup diri tidak lagi mungkin
untuk diterapkan secara penuh karena jalinan hubungan komunikasi secara global menuntut
setiap komunitas manusia untuk membuka diri, saling mempelajari dan menyerap informasi
melalui komunikasi secara aktif dengan komunitas manusia lainnya. 
Strategi membuka diri sepenuhnya dari Peradaban Barat merupakan kebalikan dari
strategi sebelumnya yang menuntut dijalinnya hubungan komunikasi secara penuh dengan
Peradaban Barat yang dipandang sebagai tolak ukur kemajuan dan kejayaan peradaban pada
zaman kini. Tujuan diterapkannya strategi ini adalah kebangkitan dan kemajuan Peadaban
Islam dengan cara menyerap secara keseluruhan khazanah Peradaban Barat Modern, tidak
terkecuali dalam bidang arsitektur. Strategi ini alih-alih mendorong kemajuan Peradaban
Islam, yang terjadi justru terjadinya hubungan komunikasi satu arah dari pihak Peradaban
Barat yang menyebabkan Pembaratan di kalangan manusia Muslim dalam cara pandang, pola
pikir, serta gaya hidupnya dan memutus manusia Muslim dari khazanah Arsitektur Islam
yang telah dicapai generasi pendahulu karena dinilai tidak lagi relevan dan tidak lagi berdaya
guna untuk diterapkan dalam kondisi zaman kini. Pada akhirnya strategi ini menyebabkan
manusia Muslim tercabut dari identitas diri dan ciri khas peradabannya serta menyebabkan
kerusakan di berbagai bidang kehidupannya. 
Kerugian dan berbagai kerusakan akibat membuka diri sepenuhnya dari Peradaban Barat
dialami oleh manusia Muslim di Irak, sebagaimana dipaparkan oleh Ali A. Allawi[8]. Secara
fisik, Ali A. Allawi mengakui perwujudan kota dan arsitektur di Irak mengalami kemajuan
yang pesat sebagai akibat dari terjalinnya hubungan komunikasi yang erat dan terbuka
sepenuhnya antara manusia Muslim di Irak, terutama pihak pemerintah, dengan Peradaban
Barat. Tetapi dibalik kemajuan fisik yang pesat, Allawi mendapati manusia Muslim di Irak
telah kehilangan otentisitas identitas dan peradabannya serta telah jauh dari orientasi dan
tujuan hidupnya. Tidak berbeda jauh dengan manusia Muslim di Irak, kerusakan yang sama
dialami pula oleh manusia Muslim di hampir seluruh penjuru dunia yang tidak dapat
dipisahkan dari peristiwa Kolonialisme hingga Neo-Kolonialisme oleh Peradaban Barat
terhadap Dunia Islam. 
Selain kerusakan diri dan peradaban, kerusakan lain yang dialami manusia Muslim ialah
masalah ketimpangan sosial-ekonomi disebabkan pembangunan yang tidak berasaskan pada
keadilan karena hanya berpihak pada kalangan pemilik ekonomi atas dan menengah yang
merupakan dampak dari iklim Peradaban Barat Modern yang berorientasi ekonomi-sentris
dan masalah lingkungan yang merupakan dampak buruk tata cara pembangunan arsitektur
yang dipelajari dan diserapnya dari Peradaban Barat. Di antara seluruh kerusakan, yang
paling menusuk manusia Muslim sebagai kesatuan Ummah, sebagaimana dinyatakan oleh
Ziauddin Sardar ialah perubahan drastis lingkungan binaan di Mekah yang menjadi hambatan
bagi manusia Muslim untuk mencapai kedalaman spiritualitas Islam dalam prosesi ibadah
Haji. Peradaban Barat tidak menyisakan apapun bagi manusia Muslim yang kini tengah
bergelut dengan kerusakan di berbagai bidang kehidupannya, ruang kehidupannya dan ruang
Mekah yang merupakan jantung spiritualitas Islam. 
Dalam menjalin hubungan komunikasi dengan peradaban atau komunitas lain, termasuk
dengan Peradaban Barat, pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam menerapkan strategi
terbuka secara kritis[10], yakni menjalin hubungan dan komunikasi dua arah dengan
peradaban atau komunitas lain untuk mencapai dua tujuan. Tujuan pertama, untuk
memperkaya khazanah Arsitektur Islam sekaligus memajukan Peradaban Islam dengan tetap
mempertahankan otentisitas atau ciri khasnya. Tujuan ini dicapai dengan cara mempelajari
khazanah arsitektur yang merupakan bagian dari peradaban lain dengan benar dan
menyeluruh, dalam artian dipahami sesuai dengan konteks peradaban asalnya, serta
menyerapnya berdasarkan kebutuhan manusia Muslim yang telah ditetapkan dan diafirmasi
oleh Islam bagi dirinya melalui metode Islamisasi yang merupakan proses peminjaman unsur
arsitektur dari peradaban lain agar berkesesuaian dengan pandangan-alam, sumber kebenaran
dan nilai-nilai Islam. Singkatnya, agar unsur arsitektur yang dipinjam manusia Muslim dari
peradaban atau komunitas manusia lain sesuai dengan keimanan Islam, identitas diri serta
peradaban dan kebutuhannya. Tujuan pertama ini menuntut manusia Muslim untuk produktif
dan kreatif, tidak pasif sekedar sebagai penerima. Tujuan kedua, dengan strategi terbuka-
kritis, keterjalinan hubungan dan komunikasi dua arah dengan Peradaban Barat merupakan
kesempatan bagi manusia Muslim untuk mengambil peran secara aktif dan konstruktif dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang lingkungan binaan sekaligus untuk
menampilkan wajah Islam yang solutif sebagai realisasi dari universalitas Islam dan
kebenaran mutlak yang dikandungnya. 
Jalinan hubungan dan komunikasi dua arah dengan peradaban dominan mengandung
pengertian bahwa kedua belah pihak yang terlibat berada dalam kedudukan yang sederajat, di
mana tidak terdapat pihak yang menempatkan diri lebih tinggi dan merendahkan pihak
lainnya. Bagi manusia Muslim yang hidup pada zaman kini, keterjalinan hubungan dan
komunikasi dua arah dengan Peradaban Barat sebagai peradaban dominan, hanya dapat
dicapai jika memenuhi dua syarat, yakni :
1. Mengakui Islam sebagai satu-satunya kebenaran yang bernilai mutlak untuk
mengimbangi klaim Barat terhadap universalitas dan kebenaran mutlak peradabannya;
dan
2. Menerima seluruh capaian Peradaban Islam dari generasi pendahulu sebagai warisan
peradaban yang harus dijaga dan dikontekstualisasikan dengan tuntutan kehidupan
zaman kini untuk mengimbangi produktivitas dan capaian Peradaban Barat. Hanya
dengan mengakui kebenaran-mutlak Islam dan kebesaran Peradaban Islam, manusia
Muslim dapat menempatkan dirinya pada kedudukan yang sederajat dengan
Peradaban Barat. 

Untuk menjaga otentisitas dan ciri khas Arsitektur Islam, mekanisme meminjam unsur
arsitektur dari peradaban atau komunitas manusia lain harus memperhatikan kedudukan
setiap unsur pembentuknya. Peminjaman tidak dapat dilakukan pada unsur-tetap karena
memuat ciri khas Arsitektur Islam yang bersumberkan dari Wahyu. Peminjaman pada unsur-
tetap akan mengakibatkan hilangnya ciri khas yang menjadikan suatu perwujudan arsitektur
tidak lagi dapat dikaitkan dengan Islam, sehingga tidak dapat dinilai dan dinyatakan sebagai
Arsitektur Islam. Peminjaman hanya dimungkinkan dilakukan pada unsur-dinamik yang
merupakan ruang ijtihad bagi manusia Muslim untuk berkreasi dengan menggunakan metode
Islamisasi agar unsur-unsur yang dipinjam tetap berada di dalam batas-batas Islam dan dapat
terhubung dengan unsur-tetap yang bersumberkan dari Islam, sehingga membentuk kesatuan
unsur-unsur pembentuk Arsitektur Islam. Jika peminjaman dilakukan tanpa menggunakan
metode Islamisasi, maka unsur arsitektur yang dipinjam dari peradaban lain berada di luar
batas-batas yang ditetapkan Islam yang menjadikannya bertentangan dengan unsur-tetap,
sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai Arsitektur Islam karena salah satu unsur
pembentuknya bertentangan dengan Islam. 
Dari pembahasan di atas dapat ditarik syarat-syarat dan kriteria dicapainya keberhasilan
dari keterjalinan hubungan komunikasi dua arah antara manusia Muslim dengan peradaban
lain. Syarat-syarat yang harus dipenuhi manusia Muslim adalah :
1. Menempatkan diri sederajat dengan peradaban lain.
2. Memahami khazanah arsitektur milik peradaban lain dengan benar dan menyeluruh;
(3) meminjam unsur arsitektural dari peradaban lain sesuai dengan kebutuhan
manusia muslim yang telah ditetapkan atau diafirmasi oleh islam;
3. Peminjaman unsur asitektural dilakukan dengan metode islamisasi; dan
4. Peminjaman terbatas pada unsur-dinamik pembentuk Arsitektur Islam. Sementara
kriteria keberhasilan yang harus dicapai manusia Muslim dalam menjalin hubungan
komunikasi dengan peradaban lain ialah:
1) Mampu menempatkan unsur arsitektural pinjaman sebagai unsur-dinamik
Arsitektur Islam; dan
2) Terhubungnya secara struktural unsur-dinamik dengan unsur-tetap yang
bersumberkan dari Wahyu dan pembentuk ciri khas Arsitektur Islam. 

Hukum keempat, Arsitektur Islam terikat dengan unsur lain pembentuk Peradaban
Islam sebagai kesatuan struktural peradaban. Realitas kehidupan manusia di alam dunia tidak
dapat dipisahkan antara satu bagian dengan bagian lainnya sebagaimana pandangan
Atomisme yang memecah realitas kehidupan manusia menjadi bidang-bidang kehidupan
yang berdiri sendiri. Pandangan Atomisme merupakan ciri khas Peradaban Barat Modern
dalam memandang kehidupan manusia dan menjadi dasar dalam penetapan bidang-bidang
keilmuan yang mandiri dan terspesialisasi. Dilandasi pandangan Atomisme, arsitektur
sebagai bagian dari realitas kehidupan manusia dipisahkan dari bagian realitas lainnya dan
arsitektur sebagai ilmu pengetahuan ditetapkan sebagai ilmu terapan yang terpisah dari
bidang ilmu lainnya. Dampaknya, penciptaan arsitektur tidak dapat melampaui arsitektur itu
sendiri. Slogan seni untuk seni, IPTEK untuk IPTEK, termasuk pula arsitektur untuk
arsitektur diperkenalkan dan menjadi dasar dalam pembinaan Peradaban Barat Modern.
Dengan pandangan tersebut, kehendak manusia, potensi internal dan eksternal didorong
untuk mewujudkan arsitektur yang semakin baik kualitasnya dari aspek teknologi. Akibatnya
adalah kerusakan di bidang kemanusiaan karena arsitektur dicipta bukan untuk meningkatkan
kualitas diri dan kehidupan manusia serta kerusakan di bidang lingkungan karena dicipta
dengan cara-cara yang bersifat eksploitatif terhadap alam. 
Pendekatan Psiko-Kultural menempatkan dan menetapkan Arsitektur Islam sebagai
bagian dari Peradaban Islam, sehingga terikat secara struktur dalam arah vertikal dan
horizontal. Dalam arah horizontal, Arsitektur Islam sebagai salah satu bagian dari realitas
kehidupan manusia Muslim, terikat dengan bagian realitas lainnya seperti kehidupan
ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Dan dalam arah vertikal, Arsitektur
Islam terikat dengan Wahyu meliputi Al-Qur’an, Hadits dan penjelasan keduanya oleh para
ulama yang berwibawa. Dengan ikatan struktur demikian, pendekatan Psiko-Kultural
menempatkan pewacanaan dan pengkajian Arsitektur Islam sebagai disiplin keilmuan yang
bersifat paradigmatik karena terdiri dari dimensi teoritik dengan orientasi perumusan
bangunan ilmu dan dimensi praktik dengan orientasi penciptaan teknologi, serta bersifat
interdisipliner yang mempertemukan berbagai bidang ilmu, meliputi ilmu Qauliyah dan
Kauniyah atau ilmu Naqli dan Aqli, untuk mengkaji kehidupan manusia di bidang lingkungan
binaan. Sehingga, berdasarkan struktur yang mengikatnya, pendekatan Psiko-Kultural
menetapkan lingkup Arsitektur Islam sebagai ilmu pengetahuan meliputi manusia dan
lingkungan binaannya yang dikaji berdasarkan pandangan Islam. 
Pendekatan Psiko-Kultural yang menetapkan Arsitektur Islam bersifat paradigmatik,
mengharuskannya dipahami secara menyeluruh meliputi dimensi teoritik dan praktik.
Mengakui dan menempatkan Arsitektur Islam sebagai bagian dari ilmu terapan yang hanya
menekankan pada dimensi praktik untuk mencipta teknologi, sebagaimana ditetapkan oleh
pendekatan Formal dan pendekatan Nilai yang berorientasi pada objek, akan menyebabkan
Arsitektur Islam terserap ke dalam dan menjadi bagian dari paradigma arsitektur yang kini
sedang dominan, yakni Arsitektur Barat, disebabkan tidak memiliki bangunan teoritiknya
sendiri yang khas sebagai dasar yang dibutuhkan untuk mencipta teknologi. Pandangan
tersebut mengidap dua kesalahan ditinjau secara filosofis. Kesalahan pertama, penciptaan
Arsitektur Islam sebagai teknologi berdasarkan bangunan teoritik milik khazanah arsitektur
lain berasaskan pada pandangan bahwasanya bangunan teoritik tersebut bersifat universal,
sehingga dapat dipinjam dan dipergunakan begitu saja oleh manusia Muslim tanpa terlebih
dahulu dirasa perlu untuk memeriksa dan mengkajinya secara mendalam hingga menyentuh
asas-asas keyakinan manusia penciptanya. Pandangan demikian justru menggugurkan
legitimasi Arsitektur Islam karena jika telah terdapat khazanah arsitektur selainnya yang
bersifat universal untuk seluruh kalangan manusia tanpa sekat agama, ras dan etnis di satu
sisi dan secara faktual telah terbukti produktivitasnya dalam aspek keilmuan dan penciptaan
teknologi di sisi yang lain, lalu untuk apa lagi diikhtiarkan penciptaan Arsitektur Islam oleh
manusia Muslim dan apa urgensinya?! 
Kesalahan kedua, pandangan tersebut menyalahi kaidah Islam bahwasanya ilmu
mendahului amal dan ilmu merupakan syarat untuk diterimanya amal. Ilmu dibutuhkan untuk
membentuk niat yang benar, yakni ikhlas, dan memberikan arahan terhadap cara-cara
pelaksanaan amal yang benar sebagaimana dituntunkan oleh Rasul Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam, sehingga amal yang dilakukan oleh manusia Muslim dinyatakan sebagai
amal shalih. Oleh sebab itu dalam pandangan Islam, kepemilikan ilmu yang benar, yakni
yang bersumberkan dan atau diafirmasi oleh Wahyu, merupakan syarat untuk dilakukannya
amal yang benar. Begitupula dalam kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam,
kepemilikan ilmu Arsitektur Islam, dalam artian ilmu arsitektur yang benar karena
bersumberkan, berpandukan dan terinspirasi dari Wahyu, menjadi syarat mutlak yang harus
dipenuhi terlebih dahulu untuk dapat diciptanya teknologi Arsitektur Islam yang benar, dalam
artian teknologi arsitektur yang berdasarkan kebutuhan manusia Muslim dan berada dalam
batas-batas Islam. 
Kedudukan Arsitektur Islam menurut pendekatan Psiko-Kultural sebagai ilmu
pengetahuan yang bersifat interdisipliner membuka ruang bagi para ahli dari berbagai bidang
keilmuan yang berkaitan dengan manusia dan lingkungan binaannya untuk melakukan
pengkajian bersama yang dikenal dengan istilah integrasi aksi keilmuan. Jika menengok pada
sejarah masa lalu Peradaban Islam, idealnya seorang ahli Arsitektur Islam juga merupakan
ahli di berbagai bidang keilmuan lainnya yang saling berkaitan, termasuk bidang ilmu Naqli,
yang mencerminkan pandangan Islam terhadap keutuhan realitas kehidupan manusia yang
terdiri dari dimensi fisik dan metafisik. Tetapi di zaman kini di mana tradisi keilmuan Islam
telah ditinggalkan dan menjadi asing bagi manusia Muslim, sementara tradisi keilmuan Barat
Modern sedang mendominasi kerja keilmuan dan pendidikan di bidang arsitektur, maka
kualitas manusia Muslim yang memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang
saling berkaitan hampir tidak mungkin lagi untuk dicapai. Hambatan tersebut menjadikan
metode yang relevan untuk diterapkan pada masa kini ialah integrasi aksi keilmuan yang
melibatkan banyak ahli dari berbagai bidang ilmu untuk mengkaji suatu pokok permasalahan
yang berkaitan dengan manusia dan lingkungan binaannya. 
Terdapat dua syarat agar dimungkinkan terwujudnya integrasi aksi keilmuan di bidang
Arsitektur Islam. Pertama, terdapat ikatan psikologis antar kalangan ahli sebagai daya dorong
untuk menjalin komunikasi, bertemu dan mengkaji suatu permasalahan yang merupakan
lingkup Arsitektur Islam. Ikatan psikologis yang menyatukan kalangan ahli dari berbagai
bidang ilmu dapat bersifat umum maupun khusus. Ikatan yang bersifat umum ialah ikatan
kemanusiaan atau ukhuwah basyariyah tanpa dibatasi identitas agama, etnis dan ras yang
meniscayakan para ahli dari kalangan manusia Muslim dapat menjalin kerjasama dengan para
ahli dari kalangan non Muslim untuk mengkaji suatu permasalahan yang menjadi perhatian
bersama dikarenakan berdampak pada kualitas kehidupan masyarakat luas, seperti persoalan
mitigasi bencana, pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, ruang kehidupan yang layak
huni dan sebagainya. Sementara ikatan yang bersifat khusus adalah ikatan keimanan Islam
atau ukhuwah Islamiyah yang mengikat seluruh manusia Muslim sebagai kesatuan Ummah,
sehingga meniscayakan berbagai ahli dari kalangan manusia Muslim untuk bekerjasama
menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan Peradaban Islam
atau kualitas kehidupan masyarakat Muslim seperti pembangunan ruang kehidupan
berdasarkan konsep Madiinah yang bertolak dari tiga pusat ruang khas Islam meliputi ruang
hunian, masjid dan pendidikan. 
Kedua, terdapat ikatan keilmuan antar kalangan ahli untuk dapat dilangsungkannya
kajian secara produktif dan konstruktif, dalam arti setiap ahli yang terlibat memiliki
pemahaman terhadap bidang ilmu yang dibutuhkan untuk mengkaji suatu permasalahan
Arsitektur Islam. Tanpa ikatan ini, integrasi aksi keilmuan tetap dapat dilakukan berdasarkan
ikatan psikologis, tetapi akan terhambat karena antar pihak yang terlibat sama sekali tidak
memahami bidang ilmu satu dengan lainnya. Syarat ini menuntut kalangan ahli Arsitektur
Islam, selain menguasai bidang ilmu arsitektur yang menjadi wajib baginya, juga diharuskan
memahami bidang-bidang ilmu Naqli dan bidang lainnya dari kelompok ilmu Aqli yang
berkaitan dengan manusia dan lingkungan binaan agar dapat menjalin kerja keilmuan dengan
kalangan ahli ilmu terkait, dan begitupula bagi para ahli dari bidang ilmu lainnya dituntut
untuk memahami Arsitektur Islam walaupun sebatas permukaan untuk dapat melangsungkan
intergasi aksi keilmuan bersama dengan kalangan ahli Arsitektur Islam. Sebagai contoh,
untuk menyelesaikan persoalan lingkungan kumuh bersama dengan para ahli dari beragam
bidang ilmu yang dibutuhkan untuk memahami permasalahan, merumuskan solusi dan
menyelesaikannya dengan benar, kalangan ahli Arsitektur Islam dituntut memahami ilmu-
ilmu Naqli untuk dapat memandang, memahami dan menilai fenomena berdasarkan Islam
dan memahami ilmu-ilmu Aqli yang berkaitan dengan persoalan lingkungan kumuh meliputi
ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, kebijakan publik dan ilmu lainnya sebagai
pengikat keilmuan dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu tersebut. 
Sebagai kesatuan struktural dari realitas kehidupan manusia, setiap peradaban memiliki
unsur dominan yang membentuk ciri khas peradaban tersebut sekaligus merupakan organ
vital yang menjamin keberlangsungan hidup suatu peradaban. Dalam Peradaban Islam, organ
vital yang menggerakkan unsur pembentuk lainnya, termasuk unsur arsitektur, ialah unsur
pendidikan, yang membedakannya dari Peradaban Barat Modern dan Paska Modern dengan
ekonomi sebagai unsur dominan. Penetapan pendidikan sebagai unsur dominan Peradaban
Islam bukan oleh manusia Muslim secara historis maupun sosiologis yang menyebabkan
Peradaban Islam secara terus menerus mengalami pergantian unsur dominan, sebagaimana
dialami Peradaban Barat. Unsur dominan Peradaban Islam ditetapkan oleh Allah melalui
Wahyu pertama yang diterima Rasulullah Muhammad, yakni Surah Al-‘Alaq: 1, yang secara
tradisi bermula sejak masa beliau Shallallahu Alaihi Wasallam hingga kini, 
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS 96: 1) 
Wahyu pertama memuat perintah untuk membaca yang merupakan bagian dari kegiatan
pendidikan. Dalam Islam, pendidikan berkaitan erat dengan konsep Ilm, Khalifah, Dakwah
dan Ishlah dengan tujuan untuk mengembalikan dan menjaga manusia agar tetap pada fitrah
penciptaannya, yakni sebagai hamba sekaligus wakil Allah di muka bumi dan menghantarkan
manusia kepada kesempurnaan dirinya, yakni manusia yang bertakwa hingga mencapai
tataran Ihsan. Tujuan pendidikan dalam Islam berikut dengan jejaring konsep yang
mendukungnya menjadi dasar bagi pendekatan Psiko-Kultural untuk menetapkan tujuan
individual penciptaan Arsitektur Islam untuk setiap diri manusia yakni, menciptakan ruang
kehidupan dalam bentuk lingkungan binaan sebagai wadah bagi manusia untuk mencapai
kesempurnaan dirinya menurut pandangan Islam. 
Hukum kelima, sebagai bagian dari Peradaban Islam, kerja-kreatif-budaya mencipta
Arsitektur Islam selalu dilakukan manusia Muslim sebagai kesatuan Ummah. Keterbatasan
diri untuk mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya di alam dunia,
mendorong manusia hidup bersama dengan manusia lainnya secara berkelompok dengan
membentuk masyarakat. Sebagai sebuah kumpulan manusia yang diikat oleh ashabiyah,
masyarakat merupakan institusi bagi manusia untuk secara bersama-sama saling memenuhi
kebutuhan hidup dan mempertahankan hidupnya. Sehingga kerja-kreatif-budaya yang
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membentuk peradabannya
selalu dalam konteks manusia sebagai bagian dari masyarakat dan harus dipahami dalam
konteks kemasyarakatan. 
Sebagai makhluk yang berakal, manusia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan dan memiliki kebebasan memilih untuk hidup seorang diri dan terpisah dari
masyarakat. Tetapi dikarenakan keterbatasan dirinya, manusia tidak akan mampu memenuhi
seluruh kebutuhan hidupnya yang berakibat pada keselamatan dan keberlangsungan hidupnya
di dunia. Pada kenyataannya, manusia yang memutuskan diri untuk hidup menyendiri pun
membentuk sebuah komunitas yang diikat oleh kesamaan tujuan, yakni memisahkan diri dari
kehidupan kota dan masyarakat kebanyakan yang lambat laun akan membentuk dan membina
peradabannya sendiri yang khas. Oleh karena itu sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak
terdapat khabar satupun yang menyampaikan perihal kemampuan manusia untuk hidup
seorang diri sejak lahir hingga wafatnya dan tidak terdapat satupun peradaban yang dibangun
dan dibina oleh manusia seorang diri. 
Dalam pandangan Islam, hidup berkelompok merupakan Sunnatullah yang mengikat
seluruh diri manusia tanpa terkecuali. Sehingga hidup memisahkan diri dari masyarakat
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Sunnatullah karena akan menyebabkan
berbagai kerusakan dan kebinasaan. Di balik Sunnatullah tersebut terdapat tujuan yang
ditetapkan oleh Islam bagi manusia dengan hidup bermasyarakat, yakni untuk
mempertahankan hidup dan memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka
melangsungkan kehidupan di alam dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, unit sosial terkecil
pembentuk Ummah dan komunitas sosial terkecil yang diakui Islam ialah keluarga karena
dengan berkeluarga, manusia dapat menjaga kelangsungan jenisnya dengan jalan memiliki
ketururan yang sah menurut pandangan Islam dan bersama-sama dengan pasangan hidup
beserta anak keturunannya dapat saling memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar.
Oleh karenanya dalam Arsitektur Islam, hunian yang berfungsi sebagai tempat tinggal sebuah
keluarga merupakan unit terkecil pembentuk ruang kehidupan yang berkedudukan sebagai
kebutuhan mendasar manusia di bidang lingkungan binaan, sebagaimana kedudukan
berkeluarga bagi manusia. 
Dalam lingkup yang lebih luas, kumpulan keluarga membentuk masyarakat Muslim yang
mendiami sebuah ruang kehidupan di lokasi tertentu, dan kumpulan masyarakat Muslim
membentuk Ummah yang bersifat lintas ruang geografis karena menyatukan seluruh
masyarakat Muslim yang mendiami ruang kehidupan terpisah menjadi kesatuan komunitas
manusia yang bersifat teologis-sosialistik, yakni sekumpulan manusia yang diikat tali
keimanan untuk bersama-sama mencapai keselamatan hidup di dunia dan akhirat yang pada
hakikatnya adalah mencapai keridhaan Allah. Seiring perluasan komunitas sosial dari lingkup
keluarga menjadi masyarakat dan akhirnya membentuk Ummah, semakin dibutuhkan
arsitektur dengan fungsi-fungsi komunal untuk memenuhi kebutuhan bersama sekaligus tetap
menjaga ashabiyah yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Dalam lingkup masyarakat
Muslim, ruang-ruang bersama yang bersifat utama dan mengikat ruang hunian menjadi
kesatuan ialah ruang pendidikan dan ruang masjid, sementara ruang-ruang bersama lainnya
yang bersifat sekunder meliputi ruang ekonomi, ruang sosial dan sebagainya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Muslim untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melangsungkan
kehidupannya. Sedangkan dalam lingkup Ummah, ruang bersama yang mengikat keseluruhan
manusia Muslim adalah ruang Mekah dan sekitarnya untuk mewadahi peribadatan Haji yang
merupakan perkumpulan akbar manusia Muslim dari berbagai etnis dan bangsa. 
Dalam penciptaan Arsitektur Islam melalui kerja-kreatif-budaya, konteks komunalitas
atau kemasyarakatan harus diartikan dua hal. Pertama, setiap anggota masyarakat secara
bersama-sama memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya di bidang lingkungan binaan. Hal
ini mengandaikan bahwa setiap masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi untuk
tetap hidup selayaknya organisme. Selain kebutuhan yang bersifat umum, dalam artian
merupakan kebutuhan yang bersifat mendasar bagi seluruh komunitas manusia, seperti unsur
kepemimpinan, setiap masyarakat juga memiliki kebutuhan yang bersifat khusus atau khas
yang dibentuk oleh faktor :
1. Keyakinan yang dianut anggota masyarakat;
2. Jenis dan tingkat kekuatan ashabiyah yang mengikat anggota masyarakat; serta
3. Tujuan yang hendak dicapai masyarakat. Tidak terkecuali Ummah memiliki pula
kebutuhan khusus di bidang lingkungan binaan yang dibentuk asas keyakinan Islam,
yakni Tauhid, yang mengikat seluruh anggota Ummah dan menentukan tujuan
Ummah untuk manusia Muslim mencapai keselamatan di dunia dan akhirat, yakni
ruang Masjid dan ruang Pendidikan yang membedakannya dari masyarakat Barat
Modern dan Paska Modern yang memiliki kebutuhan khusus terhadap ruang
ekonomi. 

Kedua, setiap anggota masyarakat secara bersama-sama memenuhi kebutuhan hidup


sesama anggota masyarakatnya. Sebagai kesatuan Ummah, manusia Muslim tidak saja
dituntut melakukan kerja-kreatif-budaya secara komunal untuk memenuhi kebutuhan
masyarakatnya, tetapi juga dituntut untuk memperhatikan serta membantu sesama anggota
Ummah dalam memenuhi kebutuhannya sebagai individu, di antaranya adalah ruang Hunian
yang merupakan kebutuhan mendasar setiap diri manusia di bidang lingkungan binaan.
Saling memperhatikan dan membantu sesama anggota Ummah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sebagai individu mendapatkan landasan serta dorongan dari Wahyu, yakni sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berikut, 
“Perumpaan orang-orang Mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh. Apabila satu
anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam’.
(Riyawat Imam Muslim) 
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. (Riwayat Imam
Ahmad). 
Dalam hadits pertama ditegaskan bahwasanya manusia Muslim dengan sesamanya
terikat secara psikologis sebagai kesatuan Ummah yang menumbuhkan sikap empati dan
simpati kepada saudara seimannya. Realisasinya terdapat dalam hadits kedua yang memuat
dorongan bagi manusia Muslim untuk aktif memberikan manfaat, tidak sekedar mengamati
dari kejauhan tanpa berbuat sesuatu yang dapat meringankan kehidupan sesamanya. Bahkan
yang menjadi poin penting, hadits kedua bersifat umum bagi manusia Muslim untuk
memberikan manfaat kepada seluruh manusia tanpa dibatasi sekat agama, ras dan etnis.
Sehingga menjadi tanggungjawab pula bagi manusia Muslim turut membantu manusia
lainnya untuk secara bersama-sama memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar di bidang
lingkungan binaan. Sedangkan untuk kebutuhan khas masyarakat lain, manusia Muslim tidak
turut serta secara aktif dalam pemenuhannya karena berasaskan pada keyakinan yang dianut
oleh masyarakat tersebut. Yang diperintahkan oleh Islam kepada manusia Muslim dalam
persoalan ini adalah memberi kesempatan dan akses terhadap potensi eksternal untuk
masyarakat tersebut memenuhi kebutuhan yang khusus baginya. 
Diperintahkannya manusia Muslim oleh Allah untuk memberikan manfaat kepada
seluruh manusia serta melakukan perbaikan dan mengajaknya kembali kepada Allah melalui
kerja-kreatif-budaya mencipta Arsitektur Islam yang dilakukannya, memiliki tujuan untuk
mewujudkan keadilan dalam bidang lingkungan binaan, yakni kondisi terpenuhinya
kebutuhan manusia Muslim sebagai Ummah sekaligus individu di bidang lingkungan binaan
serta kebutuhan yang bersifat umum dan mendasar bagi manusia seluruhnya sebagai
masyarakat sekaligus individu. Inilah tujuan penciptaan Arsitektur Islam oleh manusia
Muslim dalam dimensi sosialnya menurut pendekatan Psiko-Kultural. 
Lima hukum kehidupan dunia yang mengikat Arsitektur Islam sebagai bagian dari
Peradaban Islam yang menempatkannya sebagai fenomena keduniaan, secara teologis,
merupakan batas tegas yang memisahkan antara wilayah makhluk dengan wilayah Allah.
Berdasarkan asas keimanan Islam, yakni Tauhid, kehidupan dunia yang bercirikan kelima
hukum di atas tidak berlaku bagi Dzat Allah sebagai Sang Pencipta dan Pemelihara karena
Allah tidak terikat dengan dimensi ruang dan waktu; merupakan Dzat Yang Satu yang tidak
mengalami perkembangan maupun perubahan; tiada sesuatu pun yang menyamai Allah dan
menjadi sekutu bagi-Nya; dan tidak membutuhkan siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya
karena Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Memiliki atas segala ciptaan-Nya. 

Demikianlah asumsi pertama yang mendasari pendekatan Psiko-Kultural Arsitektur Islam.


Dalam gambar 2 di bawah ini akan ditampilkan relasi antara Arsitektur Islam dengan
Peradaban Islam, hukum-hukum kehidupan dunia yang mengikatnya serta turunan dari
hukum tersebut yang membentuk ciri khas Arsitektur Islam dalam pendekatan Psiko-
Kultural: 
Gambar 2: Relasi antara Arsitektur Islam dengan Peradaban Islam, hukum kehidupan dunia
yang mengikat dan turunannya. 
Sumber: Analisa, 2018.

Daftar Bacaan:
Al-Attas. Syed Muhammad Naquib, 1995, Prolegomena to the Metaphysics of Islam,
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization. 
Al-Attas. Syed Muhammad Naquib, 2002, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya
Dalam Islam, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization.
Al-Attas. Syed Muhammad Naquib, 2011, Islam dan Sekularisme, Bandung: Institut
Pemikidan Islam dan Pembangunan Insan.
Wan Daud. Wan Mohd Nor, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Attas, Bandung: Penerbit Mizan

 
Catatan Kaki:

[1] Dalam pendekatan Psiko-Kultural digunakan kosakata ‘mencipta arsitektur’, bukan


kosakata merancang atau membangun arsitektur. Secara teologis, kewenangan dan
kemampuan untuk mencipta hanya dimiliki oleh Allah sebagai Sang Pencipta. Namun
demikian, manusia yang menempati puncak hirarki dari ciptaan Allah, terinspirasi untuk turut
mencipta. Tentu terdapat perbedaan yang bersifat asasi antara penciptaan oleh keduanya.
Penciptaan yang dilakukan Allah bermakna dari tiada menjadi ada dan tanpa membutuhkan
bahan baku. Hasilnya disebut dengan alam yang berstatus sebagai makhluk. Sedangkan
penciptaan yang dilakukan manusia bermakna mengolah alam yang hasilnya disebut dengan
kebudayaan atau peradaban. Sidi Gazalba menyatakan, hakikat kebudayaan atau peradaban
adalah penciptaan, yakni perbuatan mengolah alam. Lihat Sidi Gazalba, Pengantar
Kebudajaan Sebagai Ilmu, 1963, Jakarta: Pustaka Antara.
Kosakata ‘mencipta arsitektur’ digunakan dalam pendekatan Psiko-Kultural untuk
menegaskan keterhubungan yang tak terpisahkan antara Allah dan manusia; Khalik dan
makhluk; alam dan budaya yang membentuk rangkaian kesatuan Tuhan-manusia-alam-
budaya (arsitektur), sebagai ikhtiar membentuk persepsi bahwasanya penciptaan Arsitektur
Islam melalui kerja-kreatif budaya dan hasilnya sebagai bagian pembentuk Peradaban Islam
tidak dapat dipisahkan dari Allah.

Dalam penggunaannya, kosakata ‘mencipta arsitektur’ harus diartikan dalam lingkup yang
luas di mana termasuk di dalamnya kegiatan merancang, membangun dan menggunakan
arsitektur.

[2] Dalam pandangan-alam Islam, tujuan Allah menciptakan alam ialah untuk digunakan
manusia memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidupnya di alam dunia. Tetapi tidak
berarti manusia dapat mempergunakan alam sekehendak dirinya karena manusia hanya diberi
oleh Allah hak untuk mempergunakan alam yang beriringan dengan kewajiban untuk
melestarikan serta menjaga keberlangsungannya, sedangkan hak kepemilikan alam hanya
kepada Allah sebagai Yang Maha Memiliki seluruh ciptaan-Nya.

[3] Mengenai pandangan Islam terhadap kehendak dan potensi serta relasi antara keduanya
secara konseptual, dapat merujuk pada Jaudat Said, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi (terj),
2002, Bandung: Pustaka Hidayah.

[4] Dr. Huri Yasin Husain dengan menggunakan pendekatan kesejarahan melacak asal-usul
setiap unsur arsitektural pembentuk Arsitektur Masjid. Merujuk pada karya ilmiah beliau
dapat diketahui mekanisme meminjam unsur arsitektur dari peradaban lain oleh manusia
Muslim, terkhusus dalam lingkup Arsitektur Masjid. Huri Yasin Husain, Fikih Masjid (terj),
2007, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

[5] G.F. Pijper, Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, 1984, Jakarta: UI-Press; Yulianto
Sumalyo, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim, 2006, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press; Pudji Pratitis Wismantara, Eksistensi dan Rekontekstualisasi Arsitektur
Masjid Nusantara, 2014, Malang: UIN-Maliki Press.

[6] Mengenai dua strategi yang diterapkan manusia Muslim dalam menjalin hubungan
dengan Peradaban Barat Modern, yakni tertutup dan terbuka sepenuhnya, dibahas secara
mendalam beserta dampak-dampak yang dialami manusia Muslim dan peradabannya oleh
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu Satu Penjelasan, 2007, Singapura: Pustaka
Nasional PTE LTD dan Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam (terj), 1987, Bandung: Penerbit
Pustaka.

[7] Dampak revolusi teknologi informasi terhadap kehidupan manusia Muslim sebagai
kesatuan Ummah dan peradabannya dikaji secara mendalam oleh Ziauddin Sardar. Salah satu
kesimpulan dari kajian yang dilakukannya, Sardar menyatakan tidak lagi dimungkinkan bagi
manusia Muslim untuk menutup diri sepenuhnya dari Peradaban Barat Modern karena alih-
alih akan menghindarkan manusia Muslim dari keburukan-keburukan Peradaban Barat
Modern, justru akan menyebabkan ketertinggalan dan kerusakan dalam kehidupannya.
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (terj), 1993,
Bandung: Penerbit Mizan.
[8] Ali A. Allawi, Krisis Peradaban Islam Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total, 2015,
Bandung: Penerbit Mizan.

[9] Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam (terj), 1987, Bandung: Penerbit Pustaka.

[10] Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyebutnya dengan sikap hormat dan kritis sebagai
ciri khas Budaya Ilmu Islam yang ditujukan terhadap Peradaban Barat dan khazanah
Peradaban Islam masa lalu dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Wan
Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu Satu Penjelasan, 2007, Singapura: Pustaka Nasional PTE
LTD.

Sementara Ziauddin Sardar membahas strategi serupa dalam konteks IPTEK dengan
pembahasan yang bermuatan metodologis untuk menyerap bagian-bagian ilmu pengetahuan
dan teknologi Barat yang tidak bertentangan dengan Islam dengan tujuan untuk mewujudkan
masa depan Peradaban Islam yang mendekati idealitas Negara Madinah. Ziauddin Sardar,
Masa Depan Islam (terj), 1987, Bandung: Penerbit Pustaka.

[11] Pandangan Atomisme terhadap realitas kehidupan manusia, dalam Peradaban Barat
Modern, diawali oleh Rene Descartes yang mengajukan metode memilah menjadi bagian-
bagian kecil suatu persoalan untuk dikaji dan diselesaikan. Metode tersebut mendasari
dilakukannya pembagian ilmu pengetahuan menjadi bidang-bidang ilmu terspesialisasi
dengan lingkup kajian yang sempit untuk memudahkan dalam menyelesaikan suatu
persoalan. Rene Descartes, Diskursus dan Metode (terj), 2012, Yogyakarta: Ircisod.

[12] Kaidah lengkapnya adalah al-ilmu qabla al-qaul wa al-amal yang merupakan rumusan
Imam Bukhari berdasarkan pemahaman beliau terhadap Surah Muhammad: 19,
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah selain Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah
mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS 47: 19)
Kaidah tersebut dikenal luas setelah Imam Bukhari menetapkannya menjadi judul salah satu
bab di dalam kitab shahihnya.

[13] Basyar, secara etimologi selain berarti kemanusiaan, juga berarti kulit. Secara
konseptual, basyariyah diartikan manusia dengan merujuk pada unsur tubuhnya atau unsur
lahirnya. Sehingga yang dimaksud ukhuwah basyariyah adalah ikatan kemanusiaan yang
didasari kesadaran sebagai sesama manusia ditinjau dari aspek lahirnya. Dengan ikatan ini,
secara lahiriyah manusia dari berbagai latarbelakang agama, ras dan etnis dapat melakukan
kerja-kreatif-budaya secara bersama-sama, sedangkan aspek bathin yang mendasarinya
meliputi niat, daya dorong dan tujuan-akhir tidak terikat, sehingga saling berbeda
dikarenakan perbedaan keyakinan yang dianut.

Contoh praktik ukhuwah Basyariyah adalah terjalinnya integrasi aksi keilmuan antara
manusia Muslim dengan kalangan penganut faham Humanis-Sekular untuk memenuhi
kebutuhan hunian bagi masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomi. Kedua kalangan
dapat mengikat diri untuk bekerjasama sebatas pada aspek lahir, tetapi tidak dapat mengikat
pada aspek bathin dikarenakan perbedaan keyakian yang dianut. Bagi manusia Muslim,
mewujudkan integrasi aksi keilmuan untuk menyelesaikan persoalan tersebut didasari daya
dorong yang bersifat teologis, sedangkan kalangan Humanis-Sekular didasari daya dorong
yang bersifat keduniawian semata perihal hak asasi manusia.
[14] Dalam ilmu kemasyarakatan atau dikenal dengan Sosiologi, konsep Ashabiyah
dirumuskan oleh Ibnu Khaldun yang diartikan dengan solidaritas sosial. Ashabiyah mengikat
individu-individu secara emosional, sehingga menumbuhkan rasa sebagai bagian dari suatu
kelompok manusia atau masyarakat dan rasa saling memiliki satu dengan lainnya. Ibnu
Khaldun, The Muqaddima: An Introduction to History (terj), 1967, London: Routledge; Ibnu
Khaldun, Mukaddimah (terj), 2013, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

[15] Sunnatullah hidup berkelompok, dalam lingkup paling kecil adalah berkeluarga, telah
berlaku sejak manusia pertama, yakni Nabi Adam Alaihissallam yang oleh Allah ditetapkan
memiliki seorang pasangan hidup dari jenis yang sama dengannya dan dari keduanya, Allah
menghadirkan manusia di alam dunia sebagai keturunan Adam hingga menjadi berbangsa
dan bersuku-suku, sebagaimana termaktub di dalam Surah An-Nisaa’: 1,
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu. (QS 4:1)
[16] Hubungan antara keluarga, masyarakat dan Ummah serta perannya masing-masing
dalam membentuk Ummah dijelaskan dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan
Peradaban Muslim, 1989, Bandung: Penerbit Mizan.

[17] Pandangan Tauhid menetapkan keterpisahan ontologis antara Dzat Allah dengan
makhluk-Nya yang berarti dua hal. Pertama, Allah tidak menyatu atau menitis ke dalam dzat
makhluk. Dan kedua, makhluk tidak dapat bersatu dan menjadi bagian dari Dzat Allah.
Namun demikian, keterpisahan ontologis dalam pandangan Tauhid tidak berarti keterpisahan
epistemologis dan aksiologis, yang memungkinkan manusia sebagai khalifatullah memenuhi
amanah dari Allah untuk merealisasikan kehendak-Nya di dalam kehidupan dunia
berdasarkan kebenaran dan nilai-nilai yang ditetapkan dan bersumberkan dari-Nya. Lebih
lanjut dapat merujuk pada Ismail Raji Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life, 1992, Virginia: International Institute of Islamic Thought.

Anda mungkin juga menyukai