Anda di halaman 1dari 28

SOSIAL DAN BUDAYA MARITIM

MASYARAKAT PESISIR

OLEH:
ADHAR
G2T121009

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN REKAYASA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas berkat rahmatnya dan hidayahNya

sehingga kami bias menyelesaikan makalah yang berjudul “ SOSIAL DAN BUDAYA

MARITIM MASYARAKAT PESISIR”. Dalam penyusunan makalah ini, kami telah berusaha

semaksimal mungkin sesui dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak

luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tehnik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi

walaupun demikian kami sebisa mungkin menyelesaikan makalah ini meskipun tersusun sangat

sederhana.Untuk itu kami meminta kerjasama antara dosen dengan teman-teman agar dapat

memberikan masukan yang bermanfaat bagi kami demi tersusunnya makalah ini. Untuk itu kami

mengucapkan terima kasih kepada pihak tersebut diatas yang telah bersedia meluangkan

waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan para pembaca pada umumnya. Kami

mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.

Kendari, Rabu 29 Juni 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………….........................………………………………….i
Kata Pengantar……………………………….…………………………………ii
Daftar Isi……………………………………………………………….……….iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………….......
B. Rumusan Masalah………….…………………………….............................
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………....
D. Manfaat penulisan...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Peradaban Maritim di Indonesia……………………………….....................
B. Sumber Daya Manusia…………………………………………....................
C. Kemiskinan Masyarakat Pesisir………………………………………………
D. Karakteristik Masyarakat Pesisir..................................................................
E. Budaya Tradisi Sedekah Laut Masyarakat Pesisir........................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan……………………..……………………………….................
B. Saran………………………………..………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas wilayah 5,8 juta per segi

dan panjang garis pantai 95.181 km, sudah sepatutnya Indonesia memiliki strategi

maritime yang baik. Hal tersebut mencakup aspek ekonomi, social, budaya, politik,

keamanan dan pertahanan. Jika di petakan belahan bumi lain, luas wilayah nusantara

sama dengan jarak antara Irak hingga Inggris ( Timur-Barat ) atau Jerman hingga Aljazair

( Utara-Selatan ). Letaknya yang seksi, di topang sumber daya alam yang melimpah,

membuat Negara-negara yang berkepentingan tergoda menguasai kekayaan alam bumi

khatulistiwa. Tak heran, ancaman dan gangguan terus menerpa Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Dalam mengatasi tantangan tersebut, seluruh komponen

bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran

lingkungan maritime. Hal itu dibutuhkan karena bangsa Indonesia sekarang tidak lagi

memiliki budaya bahari. Sehingga, perlu di bangun kembali upaya penyadaran. Upaya ini

harus sampai pada penyadaran efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut

lingkungan maritime merupakan hal vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan

lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri

bangsa. Dari aspek social dan budaya sejarah menunjukan bangsa Indonesia pada masa

lalu memiliki pengaruh besar di wilayah Asia Tenggara. Terutama melalui kekuatan

maritime di bawah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Tak heran, wilayah laut Indonesia

dengan luas dua pertiga Nusantara di warnai banyak prguluman kehidupan di laut
Indonesia pernah dikenal sebagai Negara Maritim karena budaya kelautan yang

sangat maju di zaman dahulu, seperti suku Bugis yang dikenal juga dengan suku pelaut

yang menjelajah hingga ke mancanegara, atau armada laut Sriwijaya dan Majapahit yang

perkasa. Selain kebudayaan Maritim, Indonesia juga memiliki kekayaan laut yang

termasuk paling besar di dunia, karakter topografi laut Indonesia yang sangat beragam

karena terletak di batasan garis lempeng tektonik menjadikannya unik dibandingkan

negara-negara lain, Namun, seiring berjalannya waktu, dengan kekayaan yang melimpah

tersebut, identitas Maritim negara ini seperti terlupakan. Dewasa ini semakin

menyadarkan kita, bahwa Indonesia semakin kehilangan kebanggaannya. Bait lagu

“Nenekku seorang pelaut” bak lantunan yang sumbang. Berbagai permasalahan maritim

kian lama kian menumpuk. Menjadi fakta pahit yang menyedihkan ketika pulau sipadan

dan ligitan terkelupas dari Indonesia, dua pulau yang memiliki keindahan dan kekayaan

hayati. Belum lagi pulau ambalat yang mempunyai cadangan minyak mentah yang

melimpah masih menjadi sengketa. Saat ini Budaya Maritim Indonesia sama seperti

sebuah kapal yang tak bernahkoda, jika kesadaran Maritim tidak segera

diciptakan/dibangun kembali.

B. RumusanMasalah

1. Bagaimana Peradaban Maritim di Indonesia.

2. Bagaimana Keberadaan Sumber Daya Manusia Terhadap Aspek Sosial dan Budaya

Maritim.
3. Bagaimana Masyarakat Pesisir di Indonesia.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui peradaban maritime di Indonesia.

2. Untuk mengetahui sumber daya maritime di Indonesia.

3. Untuk mengetahui masyarakat pesisir maritime di Indonrsia.

C. Manfaat penulisan

Selain tujuan daripada penulisan makalah, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat

yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah

keilmuan terutama di wawasan kemaritiman dan semoga keberadaan makalah ini dapat memberi

masukan bagi semua pihak.


BAB II

PEMBAHASAN

A. PERADABAN MARITIM DI INDONESIA

Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Dengan alat

navigasi seadanya, mereka telah mampu berlayar ke utara, lalu ke barat memotong lautan

Hindia hingga Madagaskar dan berlanjut ke timur hingga pulau Paskah. Dengan kian

ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya

kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak Maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Memasuki masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara adalah Negara besar

yang di segani di kawasan Asia maupundi seluruh dunia. Sebagai kerajaan maritime yang

kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada

penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis

yang di gunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Tidak hanya itu, ketangguhan maritime

kita juga ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13.

Dengan kekuatan armada laut yang tiada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara

mengirimkan ekspedisi bahari kekerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan

agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara.

Tahun 1284, ia menaklukan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Puncak kejayaan maritime

Nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478 M). Di bawah pimpinan Raden
wijaya, Hayam wuruk dan Patih Gaja Mada, Majapahit berhasil menguasai dan

mempersatukan Nusantara.

Pengaruhnya bahkan sampai kenegara-negara asing seperti Siam, Ayuthia,

Lagor,Kamboja, Anam, India, Filipina dan Cina. Kilasan sejarah itu tentunya memberikan

gambaran betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara

dan di segani bangsa lain karena , paradigm masyarakatnya yang mampu menciptakan visi

Maritim sebagai utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial. Bukti kebesaran

bangsa Indonesia sebagaimana Negara maritime di ungkapkan ahli sejarah Universitas

Indonesia, Ali Akbar. Menurutnya, sejarah kekuatan maritime di tanah airsudah ada sejak

zaman dahulu, dan sentralnya berada di wiayah pesisir dan laut. Namun, banyak juga kerajaan

yang berdiri dan hidup di wilayah pedalaman. Misalnya, Banten yang bias Berjaya selain

karena di dalamnya kuat, juga tidak terlepas dari kekuatan maritime. Menurut Ali Akbar yang

menjabat sebagai Ketua Kajian Pendirian M useum Maritim, dahulu sistim religi yang dianut

sebagai kerajaan tidak lepas dengan gunung dan dewa. Bahkan, dewa tertinggi mereka

percaya ada di ketinggian, yaitu gunung-gunung. Kehidupan religi zaman dulu sangat kuat.

Tapai, kemudian beberapa manusia menyadari, kehidupan itu bukan hanya religi, harus ada

interaksi dengan dunia luar. Terdapat banyak bukti-bukti prasejarah dimana bangsa Indonesia

adalah bangsa yang hebat di dunia maritim. Hal ini dapat di buktikan dengan adanya lukisan

perahu di dalam gua di Sulawesi. Kehebatan pelaut-pelaut Indonesia dibuktikan dengan

adanya perubahan kebudayaan yang tadinya berorientasi pada daratan kemudian memiliki

kemampuan berlayar. Menurut Ali, di saat pelaut Yunani dan Cina Selatan datang ke

Indonesia pada periode 3000 sebelum masehi atau 5000 ribu tahun yang lalu dan pelaut
Belanda yang jago mengelola budaya maritim baru datang 400 tahun sesudah masehi, bangsa

Indonesia sudah lebih daulu berlayar keluar. Itu di buktikan dengan adanya pelabuhan

syahbandar. Bisa dikatakan bahwa karakter maritim bangsa Indonesia sudah kuat sejak dahulu

sebelum kebudayaan Eropa.

B. Sumber daya manusia

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya alam yang melimpah,

bangsa Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kondisi ini terjadi

karena rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang maritim. Salah satunya,

Indonesia masih kekurangan tenaga pelaut. Krisis tenaga pelaut di Tanah Air hingga kini masih

menjadi masalah serius. Jumlah lulusan pendidikan tersebut belum seimbang dengan kebutuhan

di bidang pelayaran. Di sector angkatan laut minim tenaga pelaut. Para lulusan pelaut tingkat

perwira hamper 75% memilih bekerja di kapal asing atau berbendera asing ketimbang

mengabdikan diri untuk perusahaan pelayaran nasional dengan alas an yang masuk akal yakni

penghasilan yang lebih besar.

Kondisi ini seperti membuat miris dan menjadi perhatian penuh Badan Pengembangan

Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementrian Perhubungan. Lima tahun kedepan, kebutuhan

pelau nasional mencapai 43.806 atau 8.600 orang setiap tahunnya, yang terdiri dari 18.774 pelaut

kelas perwira dan 25.032 pelaut kelas dasar. Namun, suplai pelaut saat ini di Tanah Air baru

mencapai 3.000 orang pertahun karena kapasitasnya yang belum mencukupi. Namun begitu,

jumlah tersebut bias segera bertambah dengan peningkatan jumlah sekolah yang akan di

realisasikan dua tahun mendatang. Rendahnya SDM bangsa ini karena focus pembangunan

pemerintah masih berrientasi pada sector darat atau agraris. Pemerintah tidak berupaya
mengubah arah pembangunan sesui kondisi geografis yang dimiliki bangsa ini. Berpijak pada

sejarah bangsa Indonesia yang pernah Berjaya di masa Kerjaan Sriwijaya dan Majapahit

menggambarkan bahwa masyarakat ini maju sebagai Negara maritime, bukan Negara agraris.

Selama ini kebudayaan di Indonesia di konsep dengan format kebudayaan agraris, yang

cenderung terpaku pada alam,kekuatan adikodrati, feodalistik, yang membagi masyarakat pada

sastra-sastra kekuasaan.

Bicara mengenai laut, tidak lepas dari segala sumber kekayaan alam yang belum

dirnanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia. Setrarusnya, sumber alam yang

berlimpah ini bisa memberikan andil besar bagi kesejahteraan rakyat.

Padahal,laut Indonesia dapat menghasilkan ratusan triliun devisa dengan berbagai potensi

energi terbarukan. Negeri ini juga memiliki sumber daya hayati beranekaragam, meliputi 2.000

spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang atau sekitar 17,95 persen di dunia, 850 jenis

sponge, padang lamun, dan hutan mangrove yang menyimpan potensi 5,5 juta ton ikan (dapat

dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan di hamparan laut seluas 5,8 juta km persegi).

Sebaliknya negeri tetangga, Malaysia banyak memanfaatkan potensi kelautan Indonesia

dengan meningkatkan penguasaan teknologi penangkapan ikan, sehingga negara ini mengalami

kerugian lebih dari Rp100 miliar per tahun. Acla dua faktor paling mendasar yang diperlukan

dalam membangun sektor kelautan, yaitu SDM dan kemampuan teknologi. Pengalaman beberapa

negara dan wilayah lain yang sukses membangun sektor kelautan, karena bertumpu pada kedua

faktor tersebut sumber daya manusia berkualitas dan perigembangan teknologi.

Norwegia dan Chili dapat menjadi acuan dalam pengembangan sektor kelautan. Norwegia

pada mulanya adalah negara miskin di Erop+ yang hanya mengandalkan minyak bumi. Tapi,
perlahan negara tersebut semakin maju. Norwegia saat ini menjadi penghasil ikan salmon

terbesar di dunia.

Produl perikanannya dihasilkan melalui proses budidaya Salmon yang didukung kegiatan

penelitian dan pengembangan SDM. Tidak heran, mereka mampu menghasilkan devisa negara

jutaan, bahkan miliaran dolar A$ dari satu jenis ikan Salmon.

Demikianhalnya dengan Chili. Saatini Chili mampu memproduksi vaksin untuk perikanan

budidaya memiliki pakan sendiri, dan produk perikanannya berstandar internasional. Produk

mereka laku di pasar ekspor dan memberikan devisa bagi negaranya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya alam berlimpah, bangsa

Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kondisi ini terjadi karena

rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang maritim. Salah satunya, Indonesia

masih kekurangan tenaga pelaut.

Krisis tenaga pelaut di Tanah Air hingga kini masih menjadi masalah serius. lumlah, lulusan

pendidikan tersebut belum seimbang dengan kebufuhan di bidang pelayaran. Di sector angkutan

laut kondisinya minim tenaga pelaut. Para lulusan pelaut di tingkat perwira hampir 75 persen

memilih bekerja di kapal asing atau berbendera asing ketimbang mengabdikan diri untuk

perusahaan pelayaran nasional dengan alasan yang masuk akal yakni penghasilan yang lebih

besar.

Kondisi seperti itu membuat miris dan menjadi perhatian penuh Badan Pengembangan

Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan. Kepala BPSDM, Bobby R

Mamahit mengemukakan perlu ada restandar gaji dan ada perbaikan gaji bagi para pelaut.

Bekerjasama dengan Kementerian Tenaga Kerja perlu dikaji ulang agar pelaut nasional tidak
bekerja di kapal asing. Meskipun terdapat perbedaan penghasilan yang cukup jautr, tiga hing ga

empat kali lipat dengan penghasilan pelaut kita di Tanah Air. Dalam lima tahun ke depan,

kebufuhan pelaut nasional mencapai 43.806 orang atau 8.600 orang setiap tahunnya, yang terdiri

dari 78.774 pelaut kelas perwira dan 25.032 pelaut kelas dasar. Namun, suplai pelaut saat ini di

Tanah Air baru mencapai 3-000 orang per tahun karena kapasitasrrya yang belum mencukupi.

Namun begitu jumlah tersebut bisa segera bertambah dengan peningkatan jumlah sekolah yang

akan direalisasikan dua tahun mendatang. Pelaksanaan asae'cabotage di Indonesia selama enam

tahtrn terakhir telah memicu terjadi peningkatan kebutuhan pelaut hingga mencapai 55.000

orang. Ketua Umum hrdonesia National Shipowner Association (INSA), Carmelita Hartoto,

mengatakan lonjakan kebutuhan pelaut nasional itu menyrusul meningkatnya jumlah armada

niaga nasional. Dia menjelaskan selama 2005 hingga 2019 perhrmbuhanjumla! kapal niaga

nasional mencapai lebih dari 50 persen atau ada penambahan tidak kurang dari 3.300 unit kapal.

Selama periode itu, kebutuhan pelaut untuk mengisi kapal-kapal niaga nasional bertambah

hingga 55.000 orang danbelum termasuk mesin dan nahkoda.

Ia menambahkan untuk saat ini, pelaku usaha pelayaran nasional iu"tn, mengalami krisis

pelaut akibat produksi pelaut dalam negeri tidak bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan.

Bahkan kondisi ini sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir menyusul lonjakan jumlah kapal

niaga nasional dan ketentuan wajib diawaki oleh awak berkebangsaan hrdonesia. Rendahnya

SDM bangsa ini terjadi karena fokus pembangunan pemerintah masih berkiblat pada sektor darat

atau agraris. Pemerintah tidak berupaya mengubah arah pembangunan sesuai dengan kondisi

geografis yang dimiliki bangsa ini. Berpijak pada sejarah bangsa Indonesia yang pemah iaya di

masa to"1uar, soi*ilaya dan Majapahit menggambarkanbahwa masyarakat ini maiu sebagai

negara maritim,-bukan negara agraris' Selama ini kebudayaan Indonesia di konsepsengan format
kebudayaan agraris, yang cenderung terpaku pada alam, kekuatan adikodrati, feodalistik' yang

membagi masyarakat pada strata-strata kekuasaan Budaya tersebut sengaja dihembuskan kaum

pe iujah untuk mencengkramkan kakinya di bumi khatulistrwa. Masyarakat Indonesia dibuat

lupa atas kekuatarmya di bida5rslmaritiln. Alhasil, bangsa ini menjadi budak, kuli dan buruhrdi

negerinya sendiri. Kehormatan mereka sebagai bangsa maritim ya4g kUat terampas Karena itu,

perlu mengubah paradigma pembangunan SDM dengan konsep kebudayaan maritim. Yaihr,

pengetahuan kebudayaan maritim modem yang memiliki semangat keterbukaaru kemandirian,

dan keberanian,dalam mmgfudapi era modem dengan ditunjang kecerdasan masy4rakatrya.

Keterbukaan yang dimaksud adalah sikap ma

membuka diri terhadap perubahan zaman dan nilai-nilai lain. Mereka mau menghargai

kebudayaan bangsa lain yang acap kali melakukan adaptasi inovatif untuk rnemperkuat

budayanya. Apalagi dalam konteks sekrang dunia dikatakan sebagai global ttillage, pertemuan

budaya antar bangsa yang menjadi sangat mudah dan cepat. Terkait hal ini, sikap kemandirian

merupakan pagar pelindung bagi bangsa maritim. Perdagangan merupakan pencarian utama

masyarakat maritirn. Kebudayaan maritim modem yang hendak dicapai adalah mencoba

melepaskan diri dari kungkungan konsumerisme, yaitu bangsa pemakai dari barang-barang orang

lain. Hal ini diupayakan dengan kolaborasi Penguasaan pasar bersama pembuatan hasil produksi

di dalam negeri. Sifat agraris masyarakat Indonesia yang mayoritas petani dapat diberdayakan

dalam konteks ini. Pertanian dan industri dikembangkan secara modem, tidak hanya

menghasilkan barang mentah, tapi produksi barang jadi. Sehingga produk ini didistribusikan

pedagang ke seantero dunia rnelalui kemampuannya bemegosiasi dan merambah pelosok negari

lain melalui perdagangan laut. Keberanian menjadi ciri khas dari masyarakat maritim. Saat

berlayar banyak hambatan alam yang ditemui. Gelombang badai, keterasingan di tengah laut,
perompak atau bajak laut, dan ancaman binatang laut menjadi hal biasa. Tantangan ini begitu

berat dibandingkan dengan mengelola pertanian. Sehingga masyarakat maritim secara psikologis

adalah bangsa yang berani. Mereka tidak mau takluk dengan alam, tapi berusaha bersahabat

dengan alam. Fenomena alam mereka pelajari dan dijadikan sebagai penunjuk dalam berlayar.

Terlebitu abad ini telah teqadi pergeseran besar dalam pendekatan bagaimana memvisualisasikan

lautan dan profesi pelaut. Lahimya teknologi canggih, kapalhi-tech menuntut kualitas SDM yang

tinggi untuk mengoperasikan kapal.

Sumber daya hayati dan non hayati harus dapat dikelola secara optimal. Potensi itu meliputi

potensi perikanan, sumber daya wilayah pesisir, bioteknologi, wisata bahari, minyak bumi dan

transportasi. Dalam mengelolanya diperlukan sumber daya manusia berkualitas yang memahami

danmengerti terhadap potensi laut yang dlmilitinya. Tenaga Ahli Bidang SDM Bahari dan Iptek

Kelautan, Dewan Kelautan Indonesia, Bonar Simangunsong mengatakan, Indonesia tidak bisa

hanya mengandalkankemajuaniptekharus ada sumber daya manusia yang mengelolanya dengan

baik. SDM kelautan berorientasi global diperlukan karena laut menganut hukum nasional dan

intemasionaf human heritage, dan masa depzm dunia ada di laut. Menurut Bonar, kini

pembangunan kelautan diarahkan untuk mewujudkan potensi laut menjadi kenyataan yang

membutuhkan kapasitas SDM memadai. Masyarakat masih berorientasi landbased daselopment

(pembangunan darat), pelayaran nasional hanya 54 persen, sisanya masih dipegang perusahaan

asing. Masih banyak yang belum kita capai dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. SDM

diperlukan sehingga dapat tersebar baik dipemerintahan maupirn masyarakat serta akademisi.

SDM Bahari harus menjadi salah'satu fokus karena mereka yang mengelola dan memanfaatkan

potensi laut. Dalam hal ini, DEKIN merumuskan rekomendasi urnum mengenai kelautan kepada

Presiden. Untuk SDM Baha{ Bonar sendiri ingin segera melakukan pendataan yang memadai
berapa dan di mana saja potensi SDM tersebut berada. Selama ini DEKIN sendiri telah beberapa

kali membentuk kelompok kerja. Dengan adanya kelompok Le4u, y^gdapat rnempertemukan

antar stakeholder sehingga koordinasi dapat terjalin. Melihat besarnya potensi laut nusantara,

Indonesia mestinya mempunyai infrastruktur maritim yang kuat seperti pelabuhan yang

lengkap dan moderry sumber daya manusia di bidang maritim berkualitas serta kapal berkelas,

mulai untuk jasa pengangkutan manusia, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan

armada TNI Angkatan Laut. Apabila hal ini dikelola dengan baik, potensi kelautan Indonesia

diperkirakan dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini industri maritim di

Indonesia sekarang bergerak menuju tahap yang lebih maju, tidak hanya terfokus-pada

perdagangan domestik, namun juga bergerak lebih menuju perdagangan internasional. Lrntuk itu

perlu adanya ekspansi armada nasional dalam hal jumlah dan teknologi maritim. Sementara itq

Sekretaris ]enderal DPP PPNSI (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia), Riyono,

mengharapkan agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Kelautan untuk

meningkatkan sumber daya manusia di bidang maritim, karena dengan minimnya kebijakan yang

dibuat pemerintah, negeri ini tidak memiliki arah yang jelas untuk membangun dunia kelautan

perikanan nasional, khususnya dalam mensejahterakan nelayan.

C. Kemiskinan Masyarakat pesisir

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada seluruh negara baik negara

berkembang atau negara maju. Kemiskinan dimaknai sebagai ketidakmampuan seseorang

dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan standar kehidupan yang lain (Herbert, 2001

dalam Iskandar, 2012). Hingga saat ini Negara Indonesia masih tetap didera oleh begitu

banyak permasalahan, diantaranya: kemiskinan, pengangguran, dan ketimbangan pendapatan.


Kusnadi (2009) menguraikan persoalan – persoalan yang mengungkapkan bahwa masalah -

masalah yang yang sering dilihat diantaranya: 1) kemiskinan, kesenjangan sosial, dan

tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat, 2) keterbatasan akses modal, teknologi, dan

pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha, 3) kelemahan fungsi kelembagaan sosial

ekonomi yang ada, 4) kualitas sumber daya manusia yang rendah sebagai akibat keterbatasan

akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, 5) degradasi sumberdaya lingkungan,

baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan 6) belum kuatnya kebijakan yang

berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional. Permasalahan

kemiskinan bukanlah suatu gejala baru bagi masyarakat Indonesia. Selama puluhan tahun,

kondisi kemiskinan itu selalu nyata di tengah-tengah masyarakat, baik di kota maupun di

desa. Masyarakat pesisir dengan komunitas rumah tangga petani nelayan merupakan bagian

dari masyarakat Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam kebijakan

pembangunan. Jika pada masyarakat petani terdapat berbagai program subsidi, seperti subsidi

pupuk dan benih, maka pada masyarakat nelayan subsidi seperti itu hampir tidak pernah

mereka peroleh. Memang di beberapa daerah kadang ada semacam bantuan peralatan tangkap

untuk nelayan, namun sering tidak bisa dimanfaatkan oleh nelayan, karena kendala yang

bersifat struktural seperti keharusan adanya agunan yang tidak mereka miliki serta sistem

angsuran yang tidak sesuai dengan pola pendapatan mereka. Akibatnya, walaupun beberapa

program sudah dijalankan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

pesisir namun tetap saja kehidupan masyarakat pesisir masih akrab dengan kemiskinan,

menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Sebagai negera

maritim, Indonesia tercatat sebagai negara kepulauan dengan jumah pulau sebanyak 17.508

buah yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 Km dan luas laut sekitar 5,8 juta
kilometer persegi dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2.78 juta Km2. Ada sekitar 60 juta

Penduduk Indonesia bermukim di wilayah Pesisir dan penyumbang sekitar 22 persen dari

pendapatan brutto nasional. Tak bisa dipungkiri di tengah potensi besar lautan justru

kemiskinan banyak terletak di pemukiman nelayan. Memang banyak faktor yang

menyebabkan kemiskinan nelayan baik secara alamiah, struktural, maupun kultural. Secara

alamiah laut memang sulit diprediksi. Gelombang tinggi, angin kencang atau badai, serta

rusaknya alam membuat hasil tangkapan semakin sedikit. Di satu sisi masyarakat nelayan

mempunyai kelemahan secara struktural. Kemampuan modal yang lemah, manajemen rendah,

kelembagaan yang lemah, di bawah cengkeraman tengkulak, dan keterbatasan teknologi. Kita

mengetahui nelayan termasuk warga negara kita yang berekonomi lemah, kontras dengan

perannya sebagai pahlawan protein bangsa. Kondisi kultural juga bisa mendorong nelayan

semakin terjun ke jurang kemiskinan. Kekayaan alam yang besar sering meninabobokan kita

semua. Ketergantungan pada sumber daya laut mengakibatkan terjadi kepasrahan, dan ini

berakibat tidak adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Yang selanjutnya,

masyarakat kembali menjadi miskin.

Kemiskinan merupakan suatu konsep yang cair dan bersifat multidimensional. Para pakar

ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih

banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya

serta teknologi yang digunakan. Hal-hal inilah yang menyebabkan masyarakat yang

berprofesi nelayan dalam kondisi kemiskinan. Kusnadi (2009), perangkap kemiskinan yang

melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Karakteristik

masyarakat pesisir terdiri atas nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil

perikanan, pelaku usaha industri dan jasa maritim serta masyarakat lainnya yang bermukim di
daerah pesisir dan pulaupulau kecil merupakan segmen anak bangsa yang pada umumnya

masih tergolong miskin (DKP, 2008). Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir

secara terencana dan terstruktur telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui program yang

langsung menyentuh masyarakat di kawasan pesisir yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan masyarakat dan pendayagunaan

sumber daya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan. Ciri umum yang melekat

pada masyarakat pesisir Indonesia adalah akses permodalan yang lemah. Permodalan

merupakan unsur utama dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat

pesisir itu sendiri. Kekurangan modal ini sangat mengurangi aktivitas usaha masyarakat

pesisir, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan

(Kasryno, 1984).

Badan Pusat Statistik (2018) merilis bahwa ekonomi Indonesia periode 2015-2018

tumbuh sekitar 5% cukup mampu menekan angka pengangguran, kemiskinan maupun

ketimpangan. Pada 2018, ekonomi domestik berhasil tumbuh 5,17% dari tahun sebelumnya.

Pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah untuk meningkatkan konektivitas

serta program bantuan sosial yang diterapkan berhasil menurunkan angka kemiskinan dan

ketimpangan dalam empat tahun. Badan Pusat Statistik juga memberikan informasi bahwa

perekonomian makro menunjukkan bahwa ekonomi kita bertumbuh, namun dibalik

pertumbuhan itu tersembunyi persoalan sensitif yang dapat menimbulkan konflik horizontal

dan vertikal di tengah bangsa. Sudah seharusnya pemerintah Indonesia berupaya mencapai

tujuan pembangunan, yakni struktur masyarakat Indonesia yang sejahtera. Masyarakat

sejahtera adalah masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang baik, diukur antara lain dari

pemerataan dan keterjangkauan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan


hidup baik primer maupun sekunder (Gumelar, 1998). Terkait kemiskinan, capaian

pemerintah dalam pengentasan kemiskinan terdapat penurunan. Dalam 4 (empat) tahun per 20

Oktober 2018 pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, jumlah

penduduk miskin di Indonesia berkurang sebanyak 1,78 juta jiwa menjadi 25,95 juta jiwa

pada Maret 2018 dibanding 27,73 juta jiwa pada akhir pemerintahan sebelumnya. Penurunan

jumlah penduduk miskin tersebut membuat angka penduduk miskin juga turun 1,14% menjadi

9,82% dari 10.96% pada September 2014. Persentase penduduk miskin satu digit ini

merupakan yang pertama kali pasca terjadinya krisis moneter 1998. Jumlah penduduk miskin

di perdesaan lebih besar dibanding perkotaan.

Pada akhir Maret 2018, jumlah penduduk miskin mencapai 15,81 juta jiwa atau sebesar

13,2% dari total populasi. Sementara penduduk miskin diperkotaan hanya 10,14 juta jiwa atau

sekitar 7,02% dari total populasi. Namun oleh beberapa pemerhati mengatakan bahwa

turunnya angka kemiskinan tersebut masih dianggap semu. Pasalnya penurunan tersebut

karena kebijakan instan pemerintah pemberian bantuan sosial seperti program Kartu

Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan, dan bukan dari meningkatnya produktivitas

masyarakat (BPS 2018 dan databoks.co.id). Berangkat dari kondisi dan data di atas, catatan

yang menjadi fokus permasalahan adalah bagaimana rumah tangga nelayan yang 90%

mendiami wilayah pesisir dapat menikmati kehidupan yang seperti dinikmati oleh rata-rata

penduduk dengan pendapatan Rp.47,96 juta atau 3.605,1 dollar AS (Wikipedia.org).

Kerumitan dan kompleksitas permasalahan yang dialami masyarakat pesisir, telah

menimbulkan pro dan kontra di antara pihak-pihak yang peduli dengan permasalahan

kemiskinan dan masyarakat pesisir. Sejumlah permodelan yang diungkap oleh peneliti-

peneliti tentang pengentasan kemiskinan daerah pesisir yang berprofesi sebagai nelayan,
hingga saat ini belum mampu mengangkat kesejahteraan nelayan. Program pemberdayaan

oleh pemerintah belum cukup mengentaskan rumah tangga nelayan dari masalah kemiskinan.

Sejumlah hasil penelitian tentang kemiskinan dan nelayan telah banyak dipublikasikan,

sebagian besar mengangkat implementasi program-program pengetasan kemiskinan melalui

pemberdayaan dan permodelan pengentasan kemiskinan, yang berupaya memecahkan akar

permasalahan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat pesisir yang berprofesi nelayan

tradisional. Ayu Diah Amalia (2015) mengungkapkan bahwa kemiskinan dapat dipecahkan

dengan modal sosial yang berkaitan dengan jaringan sosial. Muhammad Risal (2016),

mengungkapkan gambaran kondisi masyarakat nelayan di desa Bonde Kabupaten Majene

yang memiliki perekonomian yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya

perhatian dari pemerintah terhadap masyarakat nelayan di desa Bonde menyebabkan faktor

lahirnya kemiskinan struktural.

Kemiskinan struktur terjadi oleh adanya faktor yakni adanya patron-klien dan

perkembangan modernisasi. Bentuk strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh masyarakat

nelayan di desa Bonde yakni dengan mengurangi pola konsumsi kehidupan keluarga, bekerja

di sektor yang lain secara kreatif sebagai bentuk melawan kemiskinan struktur. Rosni (2017)

menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan dikategorikan menjadi 3 (tiga)

yaitu 63,63% tergolong dalam prasejahtera, 31,81% tergolong dalam sejahtera I, dan 4,56%

tergolong dalam sejahtera II. Terkait dengan upah minimum Kabupaten Batubara tahun 2016

yaitu sebesar Rp.2.313.625, masyarakat prasejahtera pendapatannya Rp. 897.000, masyarakat

sejahtera I Rp.1.149.000, dan masyarakat sejahtera II Rp. 1.470.000. Iin Indarti (2015),

mengungkapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dapat melalui

penguatan kelembagaan koperasi nelayan yang berkelanjutan. Adapaun Neng Kamarni


(2012), Otniel Pontoh (2010), dan Bambang Rustanto (2007) menjelaskan bahwa

kesejahteraan masyarakat nelayan dapat dipecahkan melalui pemberdayaan masyarakat

dengan penguatan modal sosial. Demikian halnya dengan Ali Imron HS (2012), Yenida, Elni

(2016), dan Edwin Wantah (2017) mengungkapkan pemberdayaan ekonomi masyarakat

miskin khususnya di wilayah pesisir diperlukan strategi dan upaya yang efektif melalui

pembelajaran ekonomi, kerjasama dan keterlibatan secara terus menerus oleh pemerintah.

Oleh Peter Garlans Sina (2012), Neti Budiwati (2014), Lilik Sri Hariani (2015), Dias

Kanserina (2015) mengungkapkan bahwa persoalan kemiskinan sebenarnya disebabkan oleh

ketidakmampuan individu atau kelompok dalam memahami konsep ekonomi, sehingga

diperlukan kecakapan atau literasi ekonomi sebagai upaya memperbaiki pola konsumsi, gaya

hidup maupun pengelolaan keuangan dari masyarakat.

Penelitian tentang masyarakat nelayan sebagian besar berfokus pada aspek sosial

ekonomi. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat nelayan merupakan salah satu

kelompok sosial dalam masyarakat kita yang sangat intensif didera kemiskinan. Kemiskinan

ini disebabkan oleh faktor-faktor kompleks yang saling terkait serta merupakan sumber utama

yang melemahkan kemampuan masyarakat dalam membangun wilayah dan meningkatkan

kesejahteraan sosialnya. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan salah satu isu utama dalam

pembangunan kawasan pesisir (Kusnadi et al. 2007). Oleh Hisbullah (2006) menjelaskan

salah satu variable positif yang mempengaruhi kesejahteraan adalah adanya modal komunitas

sebagai modal sosial yang dimiliki oleh komunitas masyarakat pesisir. Beberapa indikasi

modal sosial yang tergambar menunjukkan bahwa indikator seperti partisipasi sosial

masyarakat di dalam komunitas; tingkat resiprositas dan proaktiviti di dalam kegiatan sosial;

perasaan saling mempercayai dan aman; jaringan dan koneksi dalam komunitas; jaringan dan
koneksi antar teman dan keluarga; toleransi dan kebhinekaan; nilai hidup dan kehidupan;

koneksi / jaringan kerja di luar komunitas; partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar

komunitas.

Hisbullah (2006) memberikan perttimbangan indikasiindikasi dari modal sosial adalah

partisipasi dalam suatu jaringan; resiprocity; trust; norma sosial; nilai-nilai; dan tindakan yang

proaktif. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang bersumber pada kekuatan

modal sosial masyarakat sendiri telah terbukti dapat mengurangi sikap selfish dan free rider,

dan akhirnya cenderung lebih efektif mendorong ke arah pemanfaatan sumberdaya yang

sustainable (Nasution et al. 2007). Modal sosial dapat menjadi modal stimulan yang dimiliki

oleh komunitas nelayan untuk terbukanya peluang dan potensi modal lainnya. Konsep modal

sosial, yang awalnya dipahami sebagai suatu bentuk dimana masyarakat menaruh

kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian di dalamnya, mereka membuat

kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitasnya. Modal sosial diartikan pula

sebagai stock kepercayaan sosial, norma dan jaringan dimana masyarakat dapat

menggambarkan penyelesaian masalah umum (Putnam,1993). Modal sosial dapat menjadi

dasar dan penentu kehidupan masyarakat yang teratur dan sejahtera. Modal sosial dapat

merupakan potensi sekaligus energi dalam menjembatani dan memperkuat bahkan menstimuli

potensi modal lainnya dalam suatu komunitas. Pada intinya modal sosial menjadi potensi

yang dapat dioptimalkan oleh individu dalam suatu komunitas untuk keluar dari permasalahan

yang dihadapi.

Selain modal sosial, upaya memberikan penguatan bagi rumah tangga petani/nelayan

dapat berupa proses pembelajaran yang bertujuan memberikan kecakapan dalam kajian

ekonomi yang terkait dengan pemanfaataan dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang
efisien dan efektif serta ekonomis. Pembelajaran yang sementara ini masih secara formal

dilakukan pada pendidikan regular (formal) dapat dijadikan pertimbangan dalam

pembelajaran secara informal dan non formal, yaitu literasi ekonomi.

Konsep literasi ekonomi diartikan sebagai melek ekonomi yang dimaknai konsumen atau

rumah tangga konsumsi dapat berpikir dan bertindak secara rasional dalam aktivitas ekonomi.

Yunus, dkk. (2010) melakukan penelitian tentang literasi ekonomi, yang bertujuan untuk

mengetahui apakah pendidikan ekonomi, tabungan, pengeluaran dan investasi memiliki

hubungan dengan literasi ekonomi dan untuk mengukur sejauh mana pendidikan ekonomi,

tabungan, pengeluaran dan investasi mempengaruhi literasi ekonomi. Pembelajaran literasi

ekonomi dilakukan melalui pengalaman dan penanaman sikap, untuk membentuk individu

sebagai pelaku ekonomi yang efektif dan efisien di lingkungan keluarga. Pembelajaran ini

bersifat nonformal, yang dicirikan oleh rencana yang tidak sistematis, tidak terjadwal dan

tidak dirumuskan dengan jelas, target dan tujuannya.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, buku ini menyajikan hasil dan temuan penelitian

yang mengkaji dan mengembangkan model pengentasan kemiskinan berbasis literasi ekonomi

dan modal sosial dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir di

kabupaten Minahasa Utara. Perspektif literasi ekonomi ditinjau dari kemampuan rumah

tangga nelayan memahami dan mengimplementasikan konsep ilmu ekonomi secara praktis.

Sedangkan modal sosial ditinjau dari dimensi partisipasi dalam jaringan, resiprocity, trust,

norma sosial, nilai-nilai, dan tindakan yang proaktif. Dan kesejahteraan ekonomi ditinjau dari

dimensi tingkat pendapatan dan kelayakan hidup.

D. Karakteristik Masyarakat Pesisir


Ekonomi Lokal Sumber Daya Laut adalah potensi utama yang menggerakkan kegiatan

perekonomian desa. Secara umum kegiatan perekonomian tinggi rendahnya produktifitas

perikanan. Jika produktifitas tinggi, tingkat penghasilan nelayan akan meningkat sehingga aya

beli masyarakat yang semakin besar nelayan juga akan meningkat. Sebaliknya, jika produktifitas

rendah, tingkat penghasilan nelayan akan menurun sehingga tingkat daya beli masyarakat

semakin rendah. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kuat lemahnya kegiatan perekonomian

desa khususnya pada masyarakat pesisir.

E. Budaya Tradisi Sedekah Laut Masyarakat Pesisir

Maksud dan tujuan pokok dari tradisi sedekah laut adalah memberikan persembahan dan

penghormatan yang berupa sesaji yang ditujukan kepada roh-roh para leluhur dan penguasa laut

yang dianggap telah menjaga dirinya dan bumi pertiwi yang ditempati dalam keadaan aman,

tentram, sejahtera jauh dari segala macam persoalan-persoalan dan masalah.Nilai-nilai filosofis

yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural, dan religius yang

terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk tari-

tarian, nyanyian, doa-doa, dan ritual-ritual lainnya. Pemahaman terhadap nilai-nilai itudapat

ditransformasikan dalam membangun kehidupan masyarakat kelautan ketaraf yang lebih maju

dan lebih baik-baik dari sisi pendidikan, ekonomi maupun solidaritas sosial budaya.
Dalam konteks relasi sosial, lanjutnya, tradisi sedekah laut (nadran) dapat meningkatkan

persaudaraan antar warga desa yang selama ini tinggal di sekitar pesisir, dan dikenal memiliki

watak dan karakter yang keras. Larung Sesaji juga merupakan salah satu kekayaan budaya dan

estetika simbolis masyarakat yang berakar pada nilai dan norma sosial kultural antara manusia

dan Sang Pencipta yang menyimpan nilai mulia. Larung Sesaji terus dilakukan setiap tahunnya

guna melestarikan budaya nenek moyang serta nilai-nilai spiritual yang telah ada sejak dahulu

dan hampir punah. Di dalam ritual Larung Sesaji juga tersimpan nilai-nilai leluhur di dalamnya.

Larung Sesaji juga merupakan bentuk selametan untuk keselamatan dan keseimbangan terhadap

alam.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mengenai Peradaban Maritim di Indonesia

Dari penjelasan di atasdapat di simpulkan bahwa, bukti kebesaran bangsa

Indonesia sebagai Negara maritime yang kuat di ungkapkan oleh ahli sejarah dari

Universitas Indonesia, Ali Akbar. Menurutnya, sejarah kekuatan maritime di Tanah

Air sudah ada sejak zaman dahulu, dan sentralnya berada di wilayah pesisir dan laut.

Namun, namun banyak juga kerajaan yang berdiri dengan kerajaan maritimnya seprti

Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Selain itu ada juga kerajaan yang yang berdiri dan

hidup diwilayah pedalaman yaitu Kerajaan Banten selain kekuasaannya di daratan

juga memiliki maritime yang kuat.

2. Mengenai Sumber Daya Manusia

Dapat di ambil kesimpulan, bahwa Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar

didunia dengan sumber daya alam berlimpah, bangsa Indonesia belum mampu

memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kondisi ini terjadi karena rendahnya

kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang maritime. Salah satunya Indonesia

masih kekurangan tenaga pelaut.


3. Mengenai Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama

mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang

terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir.

B. Saran

Ditinjau dari sudut kepulauanya Indonesia mempunyai banyak gugusan pulau-pulau

mulai dari yang terkecil sampai terbesar. Maka dari itu pemerintah , terutama yang menjaga

keutuhan NKRI ( TNI ) harus lebih teliti lagi menjaga keutuhanya negara, dan tak lupa pula

bahwa indonesia memiliki banyak potensi kekayaan alamnya mulai dari sumber daya

manusia maupun sumberdaya alamnya yang melimpah ruah. Maka kita sebagai warga,

masyarakat Indonesia mari kita gunakan kekayaan ini untuk membangun bangsa dan negara.

Akhirulqalam kami dari tim kelompok (Vl) enam mengucapkan terimakasih banyak, lebih

dan kurangnya mohon di maafkan kiranya kami hanyalah manusia biasa.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari :

Akbar, Muhammad Amin Idrus. Aspek sosial Budaya Masyarakat Pesisir. Jakarta,
1969.
Ali Akbar. Perekonomian dan Sumber Daya Laut. Cet, 2010.
Burger, D.H. 1980. Sejarah Sosiologis-Ekonomis Indonesia. Jakarta: Prajnyaparamita.
Koentjaraningrat. 1969.
BPS 2011 Statistik Indonesia

Kusnadi. 2002. Polemik Kemiskinan Nelayan. Jogyjakarta: Pustaka Jogya Mandiri

Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Pusat Penelitian Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Schrool, Pim. Sejarah Maritim Indonesia. Cet. Djambatan, 2003

Anda mungkin juga menyukai