TEKNOLOGI KELAUTAN
“Keterkaitan Teknik Industri Terhadap Sosiologi Dan
Antropologi Masyarakat Maritim”
Dosen : Billy J. Camerling, ST, MT
Disusun Oleh :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Keterkaitan teknik industri terhadap
sosiologi dan antropologi masyarakat maritim” ini dengan baik, meskipun masih terdapat banyak
kekurangan didalamnya. Saya juga berterima kasih kepada Bapak Billy J. Camerling, ST, MT
selaku dosen mata kuliah Teknologi Kelautan yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan dan juga
pengetahuan bagi para pembacanya.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap ada kritikan, saran dan
juga usulan demi kebaikan makalah yang saya buat dimasa yang akan datang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi seluruh pembacanya, sekiranya tugas
yang telah disusun ini dapat berguna bagi seluruh pembaca. Sebelumnya saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 11
B. Saran ......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan Negara Kepulauan terluas di dunia yang terdiri atas lebih dari 17.504
pulau dengan 13.466 pulau telah diberi nama. Sebanyak 92 pulau terluar sebagai garis pangkal
wilayah perairan Indonesia ke arah laut lepas telah didaftarkan ke Perserikatan Bangsa Bangsa.
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km dan terletak pada posisi sangat strategis
antara Benua Asia dan Australia serta Samudera Hindia dan Pasifik. Luas daratan mencapai
sekitar 2.012.402 km2 dan laut sekitar 5,8 juta km2 (75,7%), yang terdiri 2.012.392 km2 perairan
pedalaman, 0,3 juta km2 Laut Teritorial, dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Sebagai Negara Kepulauan yang memiliki laut yang luas dan garis pantai yang panjang,
sector maritim dan kelautan menjadi sangat strategis bagi Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi
dan lingkungan, sosial-budaya, hukum dan keamanan. Meskipun demikian, selama ini sektor
tersebut masih kurang mendapat perhatian serius bila dibandingkan dengan sektor daratan.
Laut, pesisir,dan sungai merupakan urat nadi yang menjadi kekuatan bangsa ini sejak dulu.
Di tiga wilayah ini pelabuhan-pelabuhan besar dibangun yang diramaikan dengan aktivitas
pedagang dari berbagai pulau di Nusantara dan dari belahan dunia.Hal itu membuat
perekonomian dan peradaban maju dan berkembang. Kemampuan mengelola maritim itu
disadari oleh Belanda, karena itu Belanda mendesak pribumi menjauhi laut menuju daratan
hingga pegunungan. Sejak itu pertanian daratan menjadi berkembang. Potensi maritim dan
kelautan yang begitu besar, Oleh karena itu, kajian akademis terhadap sektor maritim dan
kelautan merupakan salah satu langkah yang tepat untuk ditempuh dalam upaya membangun
sektor maritim dan kelautan yang komprehensif dan berkelanjutan.
1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diperoleh beberapa rumusan masalah, yaitu antara lain :
1. Apa hubungan industri dengan kehidupan sosial serta antropologi masyarakat maritim?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat maritim?
3. Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat maritim?
4. Mengapa perlu studi khusus dalam mempelajari tentang kehidupan masyarakat maritim?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, terdapata bebrapa tujuan penulisan makalah, diantaranya :
1. Untuk mengetahui hubungan yang ada antara perindustrian dengan sosiologi dan
antropologi masyarakat industri.
2. Untuk mempelajari sejarah serta perkembangan kehidupan masyarakat maritim.
3. Agar dapat mengetahui kehidupan sosial serta antropologi masyarakat maritim.
4. Agar mengetahui kebudayaan khas yang dimiliki masyarakat maritim.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah maritim Indonesia adalah sejarah yang amat panjang yang telah dimulai sejak
manusia Austronesia berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Tradisi maritim kitajauh lebih tua
daripada yang lainnya. Hal ini disebabkan karena nenek moyang kita hidup dalam sebuah
kawasan yang akrab dengan laut. Hasil-hasil studi mutakhir menunjukkan,bahwa pelaut-pelaut
Indonesia telah mencapai Madagaskar, bahkan Afrika Barat, serta Australia, jauh lebih dahulu
dari pada penemuan Benua Amerika oleh Columbus, maupun penemuan Australia oleh James
Cook.
Nusantara mencatat dua kerajaan maritim yang amat berpengaruh di jamannya, yaitu
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Penjajahan Belanda atas Indonesia dilakukan secara
bertahap yaitu melalui infrastruktur maritim kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu
dikuasai. Dengan menguasai infrastrukutur maritim ini, secara perlahan namun pasti, Belanda
juga memaksakan cara berpikir agraris-feodal pada kaumelite kerajaan-kerajaan Nusantara
sehingga mereka semakin mudah dipecah-belah, untuk kemudian dikuasai (politik devide at
impera). Sejak saat itu, cara pandang kepulauan diganti dengan cara pandang pulau besar
(daratan) yang agraris, inward-looking, statis,hierarkis dan feodal. Cara pandang kepulauan yang
dinamis, egaliter, demokratis danoutward-looking secara perlahan-lahan menjadi asing bagi
masyarakat Nusantara.
Dengan kepergian Belanda sejak kemerdekaan, infrastruktur maritim ini juga dibawa
pergi, termasuk sistem pemerintahan di laut yang dikuasai oleh Belanda. Akibatnya,Pemerintah
Soekarno terpaksa meminta bantuan Uni Sovyet (saat perang dingin) untuk menggantikan
armada laut Belanda. Namun demikian, hingga saat ini kita masih gagal membangun
pemerintahan di laut yang efektif. Akibatnya, perairan Indonesia merupakan salah satu perairan
tak bertuan tempat berbagai kejahatan dilakukan : illegal fishing,mining, waste disposal, human
trafficking, oil smuggling, dan sebagainya. Juga kecelakaan di laut, kemampuan Search and
Rescue kita terbatas sekali. Pulau-pulau terluar Indonesia tidak mampu kita duduki secara efektif
sehingga mudah jatuh kepemerintahan asing/tetangga.
3
Selain itu, menurut Ralph Linton (1956), dalam Sitorus et.al. (1998) mengartikan
masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga
mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-
batas tertentu.
Sementara itu, Soejono Soekanto (1990) merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut:
1. Manusia yang hidup bersama
2. Bercampur dalam waktu yang lama
3. Sadar sebagai suatu kesatuan
4. Sadar sebagai suatu sistem hidup bersama
Konsep suku bangsa mengacu pada kesatuan hidup manusia yang memiliki dan dicirikan
dengan serta dasar akan kesamaan budaya (sistem-sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial,
pola ekonomi, teknologi, seni, kepercayaan). Contoh dari kesatuan hidup manusia yang disebut
suku bangsa seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Minagkabaau, Batak, Aceh, Bali, Dayak, Bugis,
Makassar, Ambon, Asmat, dan lain-lain. Di Indonesia, menurut macam bahasa yang diucapkan,
terdapat krang lebih 600 buah suku bangsa. Bagian terbesar diantaranya terdapat di Irian,
Sulawesi, Maluku, dan NTT.
Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil dan pantai-pantai terpencil
hampirtidak dikenal oleh sebagian besar oleh orang di Nusantara ini, hal tersebut telah
menyebabkanmereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan kebangsaan, karena itu
perlu ada upaya mengenali kebudayaannya. Kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman
atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan
menghadapi lingkungan tertentu (lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk dapat
melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup
secara lebih baik lagi. Karena itu, seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint
(cetak biru) ataudesain menyeluruh kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972)
Agar mampu melakukan adaptasi diri, maka perlu dikenali ciri-ciri suatu tindakan sosial.
Pertama, yang bersifat faktual, yaitu suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada
orientasi atau dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua,
tindakan sosial yang bersifat tradisional, yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau
dipengaruhi olehadanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga,
tindakan sosial yang bersifat afektual, yaitu tindakan sosial yang berorientasi atau sangat
dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas atau tidak pantas, senang atau tidak senang, aman
atau tidak aman, bangga atau tidak bangga, dan lain sebagainya. Masyarakat dan kebudayaan,
karena itu, merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan, meskipun dapat diuraikan untuk dipahami
kesatuan fungsionalnya.
Jadi, masyarakat bahari/maritim dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia
berupa kelompok-kelompok kerja (termasuk satuan-satuan tugas), komunitas sekampung atau
sedesa, kesatuan suku bangsa, kesatuan administratif, berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa
merupakan negara atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan
kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut
4
(hayati dan nonhayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan
kebudayaan baharinya.
D. Kebudayaan Maritim
Dalam perspektif elisionistik yang dimotori oleh Anthony Giddens ataupun Pierre
Bourdieu, hubung an timbal balik tak henti antara individu dan strukturlah yang menjadi dasar
dari realitas sosial yang muncul di dalam masya rakat. Menurut mereka, pemisahan secara ketat
antara perspektif fakta sosial dan interaksionisme simbolik dianggap kurang mumpuni untuk bisa
menjelaskan masalah yang terjadi pada masa modernisasi lanjut seperti sekarang ini. Meminjam
perspektif keduanya, kebudayaan bisa dimaknai sebagai satu arena sosial dalam sebuah tatanan
sosial yang di dalamnya terjadi proses redefinisi dan restrukturisasi terus-menerus.
5
Masyarakatlah yang melahirkan kebudayaan. Oleh karena itu, untuk memahami kebudayaan
maritim, kita mesti memahami apa yang dimak-sud dengan masyarakat maritim.
Merujuk pada Janizewski (1991) dalam Bartlomiejski (2011: 48), masyarakat maritim
merupakan representasi masyarakat lokal yang memiliki tipe sosial yang unik. Menurutnya,
masyarakat maritim memiliki makna yang jauh lebih besar daripada masyarakat nelayan. Mereka
bukan saja tinggal di tepi pantai dan mencari ikan di laut, tetapi juga memiliki norma serta
obligasi sosial yang berangkat dari relasi panjang mere-ka dengan lautan. Kemudian, identitas
mereka sebagai masyarakat maritim diperoleh melalui proses sosial berbagi pemaknaan dan
pengala-man bersama dalam berhubungan dengan laut. Sementara itu Cameron (1986),
mempersoalkan sebuah kenyataan sosiologis tentang keragaman orientasi sosio-kultural
masyarakat terhadap laut meskipun mereka memiliki kesempatan fi sik dan kebutuhan ekonomi
yang sama. Menurutnya, tidak semua masyarakat yang tinggal dekat laut memiliki keterikatan
yang kuat terhadap laut, termasuk dalam menentukan pembagian kerja di antara mereka.
6
E. Sosial Budaya
Di masa lalu Nusantara pernah mengalami kejayaan maritim. Kejayaan maritim dapat dilacak
dari kehadiran kerajaan-kerajaan di pesisir pantai yang telah membangun budaya maritim.
Disebut memiliki budaya maritim karena kerajaan-kerajaan itu menghidupi aktivitas ekonominya
dari perdagangan yang kegiatannya dipusatkan di laut. Kerajaan-kerajaan maritim yang
menyebar dipisahkan laut. Laut tidak membuat mereka saling menjauh, tetapi saling berinteraksi.
Interaksi antara satu kerajaandengan yang lain terbangun lewat transaksi perdagangan.
Dalam budaya maritim, perdagangan dan pelayaran menjadi denyut nadi kerajaan.
Perdagangan ini yang menjulangkan kemashuran kerajaan-kerajaan Nusantara di masanya.
Sriwijaya adalah kerajaan maritim dengan aktivitas perdagangannya pada abad ke-7. Pada
masanya para saudagar dari Cina melakukan transaksi perdagangan dengan Sriwijaya. Saudagar
dari Cina banyak yang menetap di wilayah kerajaan ini, bahkan Sriwijaya mengundang ratusan
pendeta Budha belajar agama di Palembang. Kedatangan pendeta Budha melambungkan
ketenaran Sriwijaya sebagai kota dagang terbesar di Nusantara. Sebagai kota dagang
infrastruktur perdagangan seperti bongkar muat relatif berkembang dan memudahkan kapal-
kapal besar memasuki wilayah Sriwijaya. Dengan demikian kapal lebih mudah merapat dan
bersandar di Sriwijaya.
Memasuki abad ke-13, perlahan-lahan kerajaan ini melemah karena diserang kerajaan Chola,
India. Pasca keruntuhan Sriwijaya, muncul Majapahit sebagai pusat perdagangan di Nusantara.
Majapahit yang berlokasi di Jawa menjalin hubungan perdagangan dengan Cina dan India. Cina
menghasilkan porselein, India menghasilkan pakaian, sedangkan Majapahit memasarkan beras,
cengkih, pala, dan sebagainya. Kebanyakan pedagang berasal dari Jawa, Melayu, Ambon,
Ternate, Bugis, Makasar, Banjar, Arab, dan India. Seperti juga kerajaan Sriwijaya, kerajaan
Majapahit tidak dapat menegakkan kejayaan kemaritimannya dalam waktu lama. Menjelang
abad ke-15 Majapahit runtuh.
Setelah kejatuhan Majapahit, muncul Malaka sebagai kota dagang di Semenanjung Melayu.
Malaka berdiri pada pertengahan abad ke-15 dan menjadi kerajaan maritim termashur di
masanya. Sebagai pusat perdagangan banyak pedagang dari Jawa, Cina, Asia Timur, Eropa, dan
Nusantara bertemu untuk transaksi perdagangan. Kerajaan di Jawa dan kerajaan Nusantara
lainnya mengekspor beras, lada dan gambir, sedangkan dari luar Nusantara mendatangkan
barang-barang berharga lainnya. Barang dagangan dan rempah-remah itu saling ditukar di
7
Malaka dan diangkut dengan kapal besar ke seluruh penjuru dunia. Di masa ini industri
perkapalan dan pelayaran berkembang baik. Malaka tidak saja sebagai pusat perdagangan dunia,
tetapi juga sebagai tempat penyebaran Islam, mendiseminasikan pengetahuan, bahasa, dan sastra
Memasuki abad ke-16 kejayaan Malaka sebagai pusat perdagangan dunia meredup.
Kejatuhan Malaka melahirkan beberapa kerajaan maritim lain di Nusantara seperti Ternate,
Tidore, Hitu, Palembang, Jambi, Pasai, Pidie, Aceh, Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Banten.
Kerajaan-kerajaan maritim ini menghasilkan pala, cengkeh, dan lada. Nusa Tenggara terkenal
dengan kayu cendananya, sedangkan Sumatera menghasilkan kapur barus dan kemenyan.Kapur
barus diekspor ke India dan Cina untuk keperluan keagamaan. Kerajaan Mataram Islam juga
berkembang menjadi pusat. perdagangan di Jawa. Demikian pula dengan Makassar muncul
sebagai gerbang kota dagang di luar Jawa.DiMakassar berdiri kerajaan Gowa dan Tallo.
Meskipun kedua kerajaan itu berbatasan tetapi juga bersatu, sehingga dikatakan sebagai kerajaan
kembar. Sekitar tahun 1600-an Gowa-Tallo merupakan pelabuhan transito, tempat para pedagang
dari Maluku singgah untuk mengisi perbekalan. Di samping itu di Gowa-Tallo banyak rempah-
rempah yang didatangkan dari Maluku, sementara para pedagang Jawa, Bugis, dan Melayu
datang ke Gowa-Tallo untuk mempertukarkan barang-barang mereka dengan rempah-rempah.
Setelah kemerosotan Majapahit pada abad ke-16, di Jawa muncul kerajaan maritim baru, yaitu
Demak. Pada jaman kejayaan kerajaan Islam Demak, di sepanjang pantai utara Jawa juga berjaya
kota-kota pelabuhan antara lain Tuban, Panarukan, Gresik, Sedayu, Brondong, Juwana, Jepara,
Demak, Semarang, Banten, Sunda, dan lain-lain.
Trajektori kerajaan maritim di atas memerlihatkan kejayaan maritim di masa lalu tersebar di
Nusantara. Berkembangnya kerajaan maritim menumbuhkan budaya maritim. Menguatnya
budaya maritim sama sebangun dengan memafaatkan laut sebagai sumber peradaban dan
kemakmuran bangsa. Namun, budaya maritim yang mengakar ini tidak dapat ditegakkan karena
didera masalah internal dan eksternal. Masalah internal terkait dengan perseteruan kerajaan
pedalaman dan pesisir. Kerajaan pedalaman seperti Mataram sewaktu meluaskan ekspansi
kekuasaannya melumpuhkan kota dagang di wilayah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Surabaya
menjadi taklukannya. Penaklukan ini menggeser orientasi kerajaan dari budaya maritim ke
agraris. Setelah menjadi bawahan kerajaan pedalaman, penguasa kota-kota pantai itu tidak lagi
mengolah perdagangan, tetapi bergeser mengolah tanah. Kultur maritim berganti dengan kultur
agraris yang mengutamakan tanaman padi. Akibatnya, kultur maritim tersubordinasi dalam
kultur agraris. Setelah kehadiran pemerintah Belanda menganeksasi seluruh wilayah Nusantara
yang kemudian disebut Hindia Belanda, bangsa yang dikenal sebagai negara laut (sea state)
dengan budaya maritim ini memudar dan menghilang dalam aktivitas perdagangan dunia.
Pada tahun 1957 pemerintah Indonesia mencari dasar hukum untuk mengamankan keutuhan
Republik Indonesia dengan menyusun konsep Negara Kepulauan(archipelagic state). Konsep
Negara Kepulauanini merupakan konsep radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata
negara dunia. Pada Desember 1957 Dewan Menteri memutuskan pemakaian archipelagic state
8
principle dalam tata hukum Indonesia dengan dikeluarkannya pengumuman pemerintah
mengenai Perairan Negara Republik Indonesia. Inilah yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda
1957.
Sampai menjelang akhir Orde Baru belum terlihat ada tanda-tanda budaya maritim diangkat
lebih mengemukauntuk menjadi program penguatan ekonomi bangsa. Pemerintah-pemerintah
sesudahnya terlihat masih kurang memiliki komitmen yang kuat untuk menoleh ke laut, padahal
laut tidak saja memersatukan Nusantara dan bangsa, tetapi juga menjadi sumber ekonomi
bangsa. Potensi laut, termasuk ekonomi kelautan belum dimanfaatkan untuk kesejahteraan
bangsa.
Geliat untuk kembali menoleh ke laut muncul saat ini, pada pemerintahan yang sekarang.
Archipelagic stateyang dideklarasikan di penghujung 1950-an diangkat, dirumuskan, dan
didefiniskan kembali untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim. Kejayaan negara
maritim dan bangsa pelaut yang mengarungi cakrawala samudera, yang mempunyai armada
niaga, yang mempunyai armada militer, yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang
lautan itu sendiri ditumbuhkan kembali untuk mengangkat budaya maritim yang lama terkubur,
bersamaan dengan kemauan politik mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Jika
penolehan bergerak menuju laut dan mengeksplorasi dunia kelautan (maritim), bangsa ini
menghidupkan kembali kejayaan bangsa sebagai bangsa pelaut. Tidak hanya itu, jika negara
maritim terwujud, budaya maritim yang memuat industri perkapalan, pelayaran, perdagangan
laut, pengetahuan bahari, dan wisata bahari akan menjadi motor pembangunan ekonomi bangsa.
Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah
pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan
pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan
pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu.
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product
and process, inseparably Joint" (Agus. S. 2003: 11).
Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk
melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah
tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Pengembangan sains
mensyaratkan sebuah kegiatan pencatatan dan dokumentasi yang ketat secara tertulis. Oleh
karena itu, pengembangan sains mensyaratkan budaya menulis (dan membaca) yang kuat.
Sains dikembangkan dengan sebuah disiplin berpikir tertentu. Salah satunya yaitu
pendekatan saintifik yang akan menjamin bahwa setiap pengetahuan baru yang diperoleh melalui
sebuah sebuah penelitian akan menghasilkan pengetahuan yang valid/sahih (tidak diragukan).
9
Pendekatan saintifik menggabungkan antara proses berpikir deduktif logis dengan berpikir
induktif statistik. Dalam sebuah penelitian berpikir deduktif logis diterapkan dalam hipotesa,
sedangkan bepikir induktif statistik diterapkan dalam pengolahan data-data statistik hasil
pengamatan yang akan digunakan untuk menyimpulkan apakah hipotesa itu ditolak atau
diterima.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah maritim Indonesia amat panjang dan lebih tua di banding negara-negara lainnya.
Infrastruktur maritim di Indonesia dibawa oleh Belanda.
Masyarakat maritim dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa kelompok-
kelompok kerja (termasuk satuan-satuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan
suku bangsa, kesatuan administratif, berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan negara
atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya
secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan nonhayati)
dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan baharinya.
Struktur masyarakat pesisir(maritim) rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat
perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu
membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akultrasi budaya dari masing-masing
komponen yang membentuk struktur masyarakatnya. Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat/
karakteristik tertentu yang khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang
perikanan itu sendiri. Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti lingkungan, musim, dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga
terpengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
kebudayaan maritim bukanlah satu bentuk domi-nasi antara yang pesisir terhadap yang
daratan. Kebudayaan maritim Nusantara diperkuat oleh proses tukar-menukar barang antara
wilayah pesisir dan pedalaman. Meskipun dalam hal perdagangan antarpulau, pelaksanaan
perhubung-an memerlukan kemampuan berlayar, baik ke-mahiran membuat perahu atau kapal
sebagai alat angkutan maupun pengetahuan navigasi untuk mencapai tujuan. Dalam budaya
maritim, perdagangan dan pelayaran menjadi denyut nadi kerajaan. Perdagangan ini yang
menjulangkan kemashuran kerajaan-kerajaan Nusantara di masanya.
11
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Amarulla. (2014). DEGRADASI KEBUDAYAAN MARITIM: SEJARAH, IDENTITAS, DAN PRAKTIK SOSIAL
MELAUT DI BANTEN. Retrieved Maret 28, 2021, from Layout MI_No.2_2014_Update.indd -
148736-ID-degradasi-kebudayaan-maritim-sejarah-ide.pdf:
https://media.neliti.com/media/publications/148736-ID-degradasi-kebudayaan-maritim-
sejarah-ide.pdf
Andriati, R. (2020, juni). Retrieved Maret 28, 2021, from 7A_PENEGEMBANGAN BUDAYA MARITIM-
converted.pdf: http://repository.unair.ac.id/95874/2/7A_PENEGEMBANGAN%20BUDAYA
%20MARITIM-converted.pdf
Stifronis, A. (2011). Retrieved Maret 27, 2021, from [PDF] Pengantar Teknologi Kelautan | WIAC.INFO:
https://wiac.info/doc-viewer
13