Anda di halaman 1dari 20

PENELITIAN SOSIAL BUDAYA MARITIM PADA PUSAT

PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN KEBUDAYAAN-LIPI


DAN SUMBANGANNYA PADA KEBIJAKAN PEMERINTAH DI
BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

RESEARCH ON MARITIME SOCIO CULTURE AT RESEARCH


CENTER FOR SOCIETY AND CULTURE AND ITS CONTRIBUTION
FOR GOVERNMENT POLICY IN MARINE AND FISHERIES ASPECT

Masyhuri Imron dan Ary Wahyono1


Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI
mr_hoeng@yahoo.com

Abstract
The interaction between fishermen and marine environment has led to its own culture. Therefore, the Research
Center for Society and Culture (P2KK) - LIPI conducted research on marine and fishery issues in Indonesia,
particularly related to socio-cultural issues of fishing communities and coastal communities. The focus of this
paper is describing the development of the research and its contribution to government policy in marine and
fisheries sector in Indonesia. This paper is the result of a desk research in the form of tracing documents of
marine and fisheries research results that have been done in P2KK LIPI since 1991 until 2016. The results
showed that some studies have contributed to the government policy, such as marine tenure (hak ulayat laut)and
right of coastal waters exploitation (HP-3)research. The biggest contribution of the research is to realize that
the management of marine and fishery is not enough to be seen from the perspective of resources, fishery
technology and socio-economic, but also from a socio-cultural perspective.
Keywords: Maritimecommunity, social cultural, management, marine and fisheries

Abstrak
Interaksi antara nelayan dengan lingkungan laut telah menimbulkan kebudayaan tersendiri. Oleh karena itu,
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) - LIPI melakukan penelitian permasalahan kelautan
dan perikanan di Indonesia, khususnya terkait dengan permasalahan sosial budaya masyarakat nelayan dan
masyarakat pesisir. Fokus dari tulisan ini adalah menjelaskanperkembangan penelitian tersebut
dansumbangannya terhadap kebijakan pemerintah di sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Tulisan ini
merupakan hasil kajian desk researchberupa penelusuran dokumen hasil penelitian kelautan dan perikanan yang
sudah dilakukan di P2KK LIPI sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 2016. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa beberapa penelitian telah memberikan sumbangan terhadap kebijakan kepada pemerintah, seperti hak
ulayat laut dan hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3). Sumbangan terbesar penelitian adalah menyadarkan
bahwa pengelolaan kelautan dan perikanan tidak cukup dilihat dari perspektif sumber daya, teknologi perikanan,
dan sosial ekonomi, melainkan juga dari perspektif sosial budaya.
Kata kunci: Masyarakat maritim, sosial budaya,pengelolaan, kelautan dan perikanan

Pendahuluan1 pada tahun 2013 luas wilayah perairan Indonesia


mencapai 6,32 juta km2, terdiri dari: wilayah
Fakta geografis menunjukkan bahwa
perairan pedalaman dan kepulauan 3,09 juta
lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia
km2, wilayah perairan laut teritorial 0,28 juta
merupakan lautan. Data pada Kementerian
km2, wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa
(ZEE) 2,97 juta km2, dan wilayah perairan
landas kontinen 2,75 juta km2. Kondisi itu
1
Peneliti dan anggota Kelompok Studi
diperkaya dengan keberadaan 17.504 pulau dan
Maritim pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan garis pantai sepanjang 99,093 km (Kelautan dan
Kebudayaan LIPI. Perikanan dalam Angka, 2014). Karena itu

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 123


sangat layak jika negara Indonesia disebut (Desa Bontobulaeng dan Bontobaru) juga
sebagai negara maritim atau negara bahari. menunjukkan bahwa pendapatan keluarga nelayan
masih rendah, yaitu rata-rata Rp.507.122,50 per
Data pada Kementerian Kelautan dan
bulan, bahkan pendapatan per kapita per bulan
Perikanan juga menunjukkan bahwa pada tahun
hanya sebesar Rp.126.380,06. Kondisi tersebut
2013 terdapat 12.827 desa yang lokasinya
sangat jauh dari ukuran kemiskinan yang
berada di tepi laut. Dengan kondisi geografis
ditentukan PBB, yaitu sebesar satu dolar per
yang demikian, maka banyak masyarakat yang
orang per hari atau sekitar Rp.270.000 per orang
kehidupannya tergantung pada laut dan sebagian
per bulan (Imron dan Soetopo, 2009).
besar dari mereka bekerja sebagai nelayan. Data
dari sumber yang sama menunjukkan bahwa Secara kasatmata kemiskinan yang
pada tahun 2013 di Indonesia terdapat 671.625 dialami oleh nelayan itu juga dapat dilihat pada
rumah tangga perikanan laut (RPP laut) saat memasuki permukiman nelayan. Kondisi
subsektor perikanan tangkap dan 192.871 RPP permukiman yang kumuh, kondisi rumah yang
budidaya laut. Adapun jumlah nelayan dalam umumnya jauh dari layak, serta perabotan yang
kegiatan perikanan tangkap sebanyak 2.164.969 sangat sederhana menunjukkan kondisi kemiskinan
dan perikanan budidaya sebanyak 601.286 yang dialami oleh nelayan. Semua itu semakin
(Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2014). lengkap dengan tingkat pendidikan nelayan yang
umumnya rendah, bahkan ada yang tidak tamat
Manusia dan lingkungannya mewujudkan
SD.
interaksi timbal balik, yaitu manusia mempengaruhi
lingkungannya dan lingkungan akan mempengaruhi Melihat kondisi sosial ekonomi yang
manusia (Ahimsa, 1994). Hubungan timbal balik dihadapi oleh masyarakat nelayan, maka diperlukan
antara manusia dengan lingkungannya itu yang sumbangan pemikiran untuk meningkatkan
memunculkan kebudayaan tersendiri, berupa kesejahteraan nelayan melalui penelitian kelautan
strategi adaptasi (Marzali, 2003). Begitu pula dan perikanan dari perspektif sosial budaya.
interaksi antara nelayan dengan lingkungan Penelitian sosial budaya masyarakat maritim
lautnya juga menimbulkan kebudayaan tersendiri yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
yang dilakukan oleh para nelayan. Oleh karena Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK)-LIPI
itu, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan sejak tahun 1991 itu dapat dikelompokkan ke
kebudayaan (P2KK)-LIPI sebagai lembaga yang dalam beberapa topik penelitian, yaitu: (1)
melakukan penelitian di bidang kemasyarakatan dan Penelitian tentang aspek-aspek sosial budaya
kebudayaan juga melakukan penelitian masyarakat maritim, (2) Penelitian tentang hak
permasalahan kelautan di Indonesia, khususnya ulayat laut, (3) Penelitian tentang kooperatif
yang terkait dengan permasalahan sosial budaya manajemen (ko-manajemen), (4) Penelitian tentang
masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir pada konflik, (5) Penelitian tentang pengelolaan
umumnya. sumber daya laut dalam era otonomi daerah, (6)
Penelitian tentang perubahan iklim, (7) Penelitian
Penelitian permasalahan kelautan dan
tentang peran nelayan dalam mengatasi
perikanan itu juga dipicu oleh fakta tentang
penyelundupan manusia, dan (8) Penelitian
kondisi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat
tentang pelayaran rakyat. Tulisan ini dimaksudkan
nelayan. Hasil penelitian yang dilakukan di
untuk menjelaskan perkembangan penelitian
Muncar, Banyuwangi pada tahun 2001
maritim di P2KK-LIPI mulai dari tahun 1991
menunjukkan pengakuan buruh nelayan slerek2
sampai sekarang dan sumbangannya pada
di Muncar, Jawa Timur, yang menyatakan bahwa
kebijakan pemerintah di sektor kelautan dan
rata-rata pendapatan per bulannya hanya sekitar
perikanan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan
Rp250.000 - Rp400.000 (Indrawasih, Imron, dan
data meta-etnografi berupa penelusuran dokumen
Antariksa, 2002). Bahkan beberapa nelayan
hasil penelitian maritim yang sudah dilakukan di
mengaku pendapatannya lebih kecil dari itu.
P2KK-LIPI sejak tahun 1991 sampai dengan
Hasil penelitian di dua desa di pulau tahun 2016.
kecil wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur

2
Slerek adalah alat tangkap jenis purse seine
yang digunakan oleh nelayan Muncar, dan
pengoperasiannya menggunakan dua perahu ukuran
antara 20 – 30 GT.

124 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


Tahap Awal Penelitian Sosial Budaya penelitian di kedeputian lain di LIPI, yaitu Pusat
Maritim dan Pengenalan tentang Hak Ulayat Penelitian Oceanografi (P2O), Pusat penelitian
Laut Geoteknologi (P2Geo), dan Pusat Penelitian
Biologi (P2Bio). Melalui penelitian terpadu
Penelitian aspek-aspek sosial budaya
tersebut, bukan hanya masalah sosial budaya
masyarakat maritim merupakan titik awal dari
masyarakat pesisir yang dikaji, melainkan juga
penelitian tentang kelautan dan perikanan di
potensi perikanan, potensi lahan, potensi
P2KK-LIPI, bahkan di Kedeputian Ilmu
pertanian, dan potensi pasar yang dapat
Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK)
dikembangkan di wilayah pesisir.
LIPI. Penelitian yang dilakukan di tiga daerah,
yaitu Papua (Demta dan Tobati), Maluku (Tual Sebagai tindak lanjut dari hasil
dan Hitu), dan Sulawesi Utara (Pulau Bebalang penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya
dan Beo, Sangihe Talaud) itu dilakukan untuk penguasaan wilayah laut oleh kelompok-
mengidentifikasi beberapa permasalahan yang kelompok masyarakat tertentu, terutama di
dihadapi oleh masyarakat maritim, terutama wilayah Indonesia Timur, maka penelitian
nelayan. Dalam penelitian yang dilaksanakan tentang hak ulayat laut dilakukan. Tujuan
selama tiga tahun itu dipotret berbagai penelitian tersebut adalah untuk mengetahui
permasalahan dalam kehidupan nelayan, seperti lebih lanjut praktik pengelolaan wilayah laut
peralatan penangkapan ikan, baik yang yang dilakukan oleh suatu komunitas, dinamika
tradisional maupun nontradisional, akses hak ulayat laut, serta fungsi hak ulayat laut,
terhadap wilayah penangkapan, permodalan, dan terutama bagi ekosistem perikanan. Kajian
pemasarannya. tentang hak ulayat laut sebelumnya memang
sudah dilakukan oleh beberapa lembaga
Melalui penelitian ini juga diungkap
swadaya masyarakat (LSM) di daerah, tetapi
masalah pengetahuan tradisional yang berkaitan
masih terbatas pada diskusi-diskusi di antara
dengan kenelayanan, seperti pengetahuan tentang
anggotanya, dan masih terfokus pada sasi (salah
navigasi, cuaca, lokasi ikan, dan sebagainya,
satu bentuk praktik hak ulayat laut di Maluku).
serta simbol-simbol, kepercayaan, dan tradisi
yang dilakukan oleh nelayan dalam melaut, Penelitian yang dilaksanakan di
termasuk upacara adat kelautan. Melalui penelitian berbagai wilayah tersebut3 telah memotret dan
ini juga berhasil dipotret kondisi kemiskinan memetakan hak ulayat laut di Indonesia,
yang dihadapi oleh nelayan. Karena merupakan walaupun belum semua praktik hak ulayat laut
penelitian awal yang merupakan pengenalan berhasil diidentifikasi. Kajian tentang hak ulayat
terhadap masyarakat maritim, maka permasalahan- laut tersebut mengacu pada konsep Sudo tentang
permasalahan yang berhasil diungkap masih (sea tenure) (Sudo, 1983), yang mendefiniskannya
berupa permasalahan umum yang bersifat makro sebagai suatu sistem tempat beberapa orang atau
(Wahyono dkk., 1991; Retnowati dkk., 1991; kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut dan
Antariksa dkk, 1991; Wahyono, dkk., 1992). mengatur tingkat eksploitasi di wilayah tersebut.
Penelitian yang dilakukan selama tiga Melalui penelitian ini diketahui berbagai
tahun tersebut juga diikuti dengan program hal yang terkait dengan pengelolaan wilayah
bantuan kepada masyarakat pesisir dan nelayan, laut, mulai dari wilayah laut yang dikelola dan
bekerjasama dengan Badan Pengkajian Teknologi batas-batasnya, bentuk-bentuk pengelolaanyang
Tepat Guna (BP TTG)–LIPI. Kegiatan yang dilakukan (aturan-aturan yang diberlakukan),
dilakukan adalah membuat program perpipaan lembaga yang mengelola, sanksi bagi pihak
penyaluran air bersih di tiga tempat, yaitu di yang melanggar aturan, legalitas pengelolaan,
Hitu (Maluku), Bebalang (Sulawesi Utara), dan
Tobati (Papua). Penentuan jenis program 3
Lokasi penelitian dilaksanakan di Maluku
tersebut didasarkan pada hasil musyawarah
(Desa Latuhalat, Desa Haruku, Kei Kecil), Sulawesi
dengan masyarakat setempat. Utara (Desa Ratatotok Kecamatan Belang
Menyadari bahwa untuk meningkatkan Kabupaten Minahasa, Desa Salurang dan Desa Para
kesejahteraan masyarakat pesisir diperlukan Kabupaten Sangihe Talaud), Papua (Desa Endokisi
pengenalan potensi masyarakat pesisir baik yang Kecamatan Demta, Desa Tablasufa Kecamatan
Depapre, Desa Bindusi Kecamatan Biak Timur
ada di darat maupun di laut, maka dilakukan
Kabupaten Biak), dan di Nusa Tenggara Timur (Desa
kegiatan penelitian terpadu dengan Pusat Alor Kecil Kabupaten Alor). Belakangan penelitian
Penelitian Ekonomi (P2E) dan beberapa pusat dilakukan juga di Aceh.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 125


konflik-konflik yang menyertai pengelolaan, tonaas (Wahyono, Thufail, dan Antariksa,
serta fungsi pengelolaan dalam menjaga 1994). Adapun di Pulau Para, dibedakan antara
kelestarian ekosistem perikanan. Melalui dua wilayah penangkapan,yaitu wilayah
penelitian ini juga diketahui bahwa ada beberapa penangkapan menggunakan seke dan yang
tipe hak ulayat laut yang dipraktikkan di khusus menggunakan soma tatenda. Walaupun
masyarakat. Di wilayah Maluku, hak ulayat laut wilayah tangkap kedua alat tangkap tersebut
didasarkan pada klaim atas wilayah laut oleh memiliki kondisi ekologis yang sama, tetapi
desa yang disebut petuanan laut. Pada bagian penggunaan seke di wilayah tangkapsoma
tertentu dari petuanan laut juga terdapat sumber tatenda atau sebaliknya dianggap sebagai
daya yang berada di kawasan tertentu yang pelanggaran berat yang harus diberi sanksi adat
dilindungi dengan sistem sasi,4yaitu larangan (Wahyono, Thufail, dan Antariksa, 1994).
menangkap sumber daya tertentu pada waktu
Sementara di Aceh hak ulayat laut itu
yang telah ditentukan (Abdussomad, Supriadi,
didasarkan pada persekutuan hukum yang
dan Indrawasih, 1994; Antariksa, 1995).
disebut lhok dan/atau muara, yang memiliki
Di wilayah Papua, klaim atas wilayah batasyang membentang di sepanjang pesisir
laut juga dilakukan oleh desa. Bedanya dengan pantai dan/atau muara yang kedua ujungnya
di Maluku, di Papua juga terdapat klaim ditarik garis vertikal ke arah laut. Wilayah
pemilikan wilayah laut oleh suku-suku di dalam persekutuan hukum atau lhok itu merupakan
satu desa. Baik di Maluku maupun di Papua, suatu wilayah di pesisir tempat nelayan
tidak ada batas yang jelas wilayah laut yang berdomisili dan melakukan usaha penangkapan
diklaim, karena batas di tengah laut adalah ikan. Wilayah lhok bisa terdiri dari satu desa
sejauh mata memandang. Hal itu berbeda (gampong) atau beberapa gampong. Di setiap
dengan batas wilayah laut di darat, yang lhok kemudian dibuat peraturan bersama (bisa
umumnya berupa pohon, sungai, atau bahkan tertulis bisa tidak) yang mengatur kegiatan
batu yang terdapat di pinggir laut. Dari tanda di penangkapan ikan, yang disebut hukum adat
darat itulah kemudian ditarik garis imajiner ke laot, yang dibuat oleh kelembagaan adat yang
tengah laut, yang merupakan batas wilayah laut dipimpin oleh panglima laot lhok (Adhuri,
yang dikelola. Karena batas di laut hanya berupa Indrawasih, dan Wahyono, 2006).
garis imajiner, maka tidak jarang memicu
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa
terjadinya konflik antara nelayan yang dipicu
efektivitas pengelolaan sumber daya laut
oleh perbedaan persepsi karena dianggap telah
berbasis masyarakat adat merupakan realitas
memasuki wilayah orang lain (Imron, Laksono,
sosial yang terdapat di Indonesia yang perlu
dan Surmiati Ali, 1993; Laksono dan Surmiati,
mendapat perhatian dari negara. Selama ini,
1995).
pengelolaan perikanan berbasis hukum adat tidak
Berbeda dengan kedua daerah tersebut, pernah diakomodasi dalam rezim pemerintahan
hak ulayat laut di Sulawesi Utara didasarkan yang sentralistik, sehingga mengundang banyak
pada perpaduan antara pengelolaan wilayah dan kritik. Salah satu kritik yang muncul adalah
pengelolaan jenis sumber daya ikan tertentu. Di pengelolaan yang sentralistik kurang memperhatikan
Desa Salurang, misalnya, dikenal istilah kondisi ekosistem dan kondisi masyarakat yang
malombo,yaitu penangkapan jenis ikan tudeyang berbeda-beda di berbagai wilayah, sehingga
terdapat di wilayah nyare yang berdekatan pengelolaan yang dijalankan kurang efektif.
dengan desa, yang penangkapannya hanya boleh Dengan diakuinya pengelolaan yang berbasis
dilakukan secara bersama-sama dengan hukum adat, maka melahirkan harapan baru
menggunakan jaring, dan dipimpin oleh seorang terhadap efektifitas pengelolaan sumber daya
laut. Harapan ini lahir karena ternyata asumsi
4
Secara harafiah “sasi” berarti larangan, Hardin (1968) yang menyatakan bahwa
yaitu tidak diperbolehkan mengambil sumber daya manusia cenderung bergerak sendiri-sendiri
tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dalam “sasi” tidaklah benar. Praktik hak ulayat laut oleh
dikenal istilah tutup dan buka sasi. Tutup sasi adalah masyarakat adat telah membuktikan bahwa
waktu tertentu yang orang tidak boleh mengambil masyarakat adat mampu bekerja sama dan
suatu sumber daya di wilayah yang disasi, biasanya
menahan diri dari tindakan eksploitasi sumber
berlangsung sekitar enam bulan. Adapun buka sasi
adalah dibukanya tempat itu untuk mengambil
daya laut secara berlebihan.
sumber daya yang disasi, dengan aturan-aturan
tertentu

126 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


Beberapa kelebihan yang dapat dicatat (3) Melibatkan masyarakat; (4) Setiap unsur
dari penggunaan praktik hak ulayat laut oleh yang terkait diaudit oleh masyarakat (mendapatkan
masyarakat adalah: (1) Masyarakat adat lebih kepercayaan masyarakat); (5) Setiap unsur yang
dekat dengan sumber daya laut yang diaturnya, terlibat dideskripsikan peranannya terhadap
karena itu mereka dianggap mengetahui banyak kegiatan yang dilakukan; (6) Pengambilan
tentang kondisi sumber daya tersebut, (2) keputusan dalam pengelolaan didasarkan pada
Masyarakat adat juga mampu membuat isntitusi konsensus semua pihak yang terlibat; (7) Setiap
yang memungkinkan mereka mengatur pemanfaatan keputusan yang diambil memperhatikan dua
dan pemeliharaan sumber daya laut secara unsur, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan
efisien dan distribusi merata (equity), (3) masyarakat; dan (8) Pemanfaatan sumber daya
Hubungan-hubungan personal yang terjalin antar dilakukan secara adil dan jujur antara para pihak
anggota komunitas mengarahkan pada terbentuknya yang berkepentingan.
pola-pola kerjasama yang baik di antara mereka
Penelitian yang dilaksanakan selama
(ini juga berarti konflik lebih mudah diatasi),
empat tahun di berbagai wilayah itu melihat
dan (4) Karena fungsi manajemen dilakukan
pengelolaan sumber daya yang dilakukan oleh
sendiri oleh komunitas masyarakat adat, maka
pemerintah, masyarakat, dan industri perikanan,
biaya pelaksanaan manajemen relatif rendah
dengan mengambil lokasi di Tuban dan
(Johannes, 1978; Bailey dan Zerner, 1992).
Bayuwangi (Jawa Timur), Rembang dan
Pekalongan (Jawa Tengah), serta Belitung.
Peningkatan Peran Masyarakat dalam
Selain itu, penelitian ini juga melakukan evaluasi
Pengelolaan Sumber Daya Laut
praktik ko-manajemen dalam pengelolaan model
Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan co-fish (Coastal Cummnunity Development and
oleh masyarakat merupakan realitas sosial yang Fisheries Resources Management Project), yang
tidak boleh diabaikan begitu saja dalam dilaksanakan di Lombok Timur dan di Tegal.
pengelolaan kelautan dan perikanan. Pengabaian
Fakta menunjukkan bahwa pengelolaan
terhadap hal itu dapat mengakibatkan munculnya
sumber daya laut yang dijalankan di berbagai
ketidakpedulian masyarakat terhadap kelestarian
daerah, termasuk sumber daya perikanan, masih
sumber daya yang ada di sekitar mereka, yang
belum dilaksanakan dengan pendekatan ko-
dalam jangka panjang berakibat pada rusaknya
manajemen. Pengelolaan masih bertumpu pada
lingkungan laut. Jika itu terjadi maka tragedy of
kebijakan pemerintah, tanpa melibatkan
the common sebagaimana yang dikemukakan
masyarakat dalam pelaksanaannya. Lebih celaka
oleh Hardin (1968) itu akan terbukti kebenarannya.
lagi, yang disebut pengelolaan oleh pemerintah
Berkaitan dengan realitas sosial dalam itu dalam realitasnya bukan oleh pemerintah
pengelolaan sumber daya laut tersebut, maka daerah yang lebih tahu tentang kondisi sumber
penelitian tentang pengelolaan sumber daya laut daya di wilayahnya, tetapi oleh pemerintah
secara terpadu atau ko-manajemen merupakan pusat. Akibatnya praktik pengelolaan yang
konsentrasi studi yang selanjutnya dilakukan. dijalankan tidak sesuai dengan kondisi daerah.
Dalam hal ini ko-manajemen diartikan sebagai Tersentralisasinya pengelolaan oleh pusat
pengelolaan bersama antar stakeholder. Dalam mengakibatkan kontrol atas pelaksanaan kebijakan
penelitian ini dilihat apakah pengelolaan sumber itu tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Kondisi
daya laut, termasuk pengelolaan perikanan yang demikian mengakibatkan terjadi pelanggaran
selama ini dilakukan sudah mengikuti prinsip- dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat
prinsip ko-manajemen. dihindari. Program-program yang disusun
pemerintah juga cenderung berorientasi pada
Dahuri (1999) menunjukkan adanya
proyek dan bersifat sektoral, sehingga hasilnya
delapan prinsip penting dalam ko-manajemen
kurang optimal. Akibatnya dukungan masyarakat
yang harus diikuti dalam pengelolaan sumber
terhadap kebijakan juga rendah (Adhuri, dkk.,
daya, yaitu: (1) Pendelegasian wewenang
2003).
kepada para stakeholder; (2) Mengutamakan
peran nelayan, dalam arti nelayan dan pihak lain Hal yang agak berbeda ada pada
yang kehidupannya tergantung pada laut pengelolaan model co-fish, yang berusaha
memiliki peran utama dalam merumuskan melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya.
kebijakan pengelolaan lingkungan laut, mulai Pengelolaan model Co-Fish dilakukan dengan
dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya; melibatkan stakeholder yang ada di wilayah itu

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 127


di dalam wadah yang berupa organisasi penelitian tentang manajemen sumber daya laut
pengelola, baik di tingkat kabupaten maupun di dalam perspektif otonomi daerah. Penelitian
tingkat desa. Sebutan organisasi pengelola bisa yang dilakukan di daerah Kota Padang
berbeda, tergantung pada daerahnya. Di Tegal (Sumatera Barat), Kabupaten Lampung Selatan,
misalnya, organisasi pengelola di tingkat desa Kabupaten Buleleng (Bali), Kota Tidore
disebut kelompok PSBK (Pengelolaan Perikanan (Maluku Utara), Kota Bengkulu, dan Kabupaten
Berbasis Komunitas), sedangkan di Lombok Tanah Laut (Kalimantan Selatan) itu bertujuan
disebut KPPL (Komite Pengelola Perikanan untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah
Laut). Organisasi pengelola itulah yang bertugas dan implementasinya dalam mengelola sumber
menyusun pengelolaan sumber daya laut yang daya laut di wilayahnya, partisipasi masyarakat
ada di wilayah desa, seperti penanaman dan dalam pengelolaan sumber daya laut yang
pengelolaan mangrove dengan berbagai larangan dilakukan oleh pemerintah daerah, serta dampak
dan sanksinya, pengelolaan abrasi pantai, kebijakan terhadap pengelolaan yang berbasis
pengelolaan terumbu karang, pengelolaan konflik masyarakat.
peralatan tangkap (arad), upaya peningkatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesejahteraan masyarakat, serta pembuatan
pemerintah kabupaten dan kota umumnya
awig-awig (peraturan) kawasan konservasi laut
memahami pengelolaan kelautan masih terbatas
yang dilakukan di Lombok (Indrawasih, 2004).
pada sektor perikanan, sehingga sektor lain di
Permasalahan utama dari pengelolaan luar perikanan masih kurang diperhatikan. Hal
model Co-Fish dilihat dari kacamata ko- itu dapat dilihat pada beberapa peraturan daerah
manajemen adalah terletak pada aspek keterwakilan yang mengatur masalah pesisir dan laut, yang
stakeholder, sebagaimana dikemukakan oleh lebih terkait dengan masalah retribusi sektor
Hernes dan Sandersen (tanpa tahun). Di Tegal perikanan, dengan orientasi untuk peningkatan
misalnya, lembaga pengelola yang dibentuk pendapatan asli daerah (PAD). Walaupun
sebagai wadah perwakilan para stakeholder itu mereka melakukan konsentrasi pengelolaan pada
dalam realitasnya dibentuk tanpa memperhatikan sektor perikanan, tetapi pada umumnya mereka
unsur-unsur stakeholder yang diwakilinya, tetapi tidak memiliki data tentang potensi sumber daya
keanggotaannya bersifat terbuka. Dengan perikanan yang ada di wilayah mereka, dan
keanggotaan seperti itu, maka anggotanya tidak pengetahuan tentang potensi perikanan hanya
lagi merupakan representasi dari orang-orang berdasarkan data yang dimiliki oleh provinsi.
yang memiliki komitmen terhadap permasalahan Pengelolaan perikanan yang dilakukan juga
perikanan dan lingkungan pantai, melainkan masih mengacu pada pusat, dan tidak
sebagian besar justru diisi oleh orang-rang yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Dengan
memiliki matapencaharian di luar sektor sistem pengelolaan seperti itu, maka pengelolaan
perikanan. Akibatnya program yang dilakukan perikanan yang dilakukan bukan hanya tidak
tidak terfokus pada pengelolaan lingkungan laut melibatkan masyarakat, bahkan pengelolaan
tapi pada pembangunan desa secara umum. perikanan berbasis masyarakat yang sudah ada
Adapun di Lombok, lembaga pengelola hanya di suatu daerah juga cenderung diabaikan
dijadikan legitimasi bagi pemerintah dalam (Imron, dkk, 2005; Imron, dkk, 2006; Imron,
melakukan pengelolaan, karena dalam dkk., 2008; Wahyono, 2007).
perjalanan waktu keterlibatan masyarakat mulai
Sisi lain yang mengemuka dari
ditinggalkan dan keputusan yang diambil oleh
pelaksanaan otonomi daerah di bidang kelautan
lembaga pengelola itu sering diabaikan oleh
adalah timbulnya konflik-konflik kenelayanan,
pemerintah.
yang dipicu oleh pemahaman otonomi daerah
Seiring dengan diterbitkannya Undang- yang keliru, yaitu bahwa kewenangan yang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang dimiliki daerah untuk mengelola wilayah laut itu
Pemerintahan Daerah, Kabupaten Kota diberi dianggap sebagai pengavelingan laut. Akibatnya
wewenang untuk mengelola laut yang ada di banyak nelayan luar daerah yang tidak
wilayahnya sejauh sekitar empat mil dari garis diperbolehkan menangkap ikan di suatu wilayah
pantai.5 Menyikapi masalah itu, dilakukan perairan kabupaten/kota. Walaupun larangan itu
tidak dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah

5
Di dalam undang-undang tersebut tidak wilayah laut milik provinsi sejauh maksimal 12 mil
disebutkan secara eksplisit 4 mil, tapi sepertiga dari diukur dari garis pantai ke arah laut lepas.

128 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


daerah, tetapi dilakukan oleh kelompok- pemberian HP-3 tidak dapat direalisasikan.
kelompok nelayan yang ada di suatu daerah. Bukan itu saja, bahkan praktik pengavelingan
Praktik itu kemudian mengakibatkan terjadinya laut yang sudah terjadi di beberapa daerah juga
konflik nelayan antardaerah (Imron, 2009). perlu ditinjau kembali, dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat. Walaupun HP-3
Hasil penelitian ini merekomendasikan
ditolak, tapi masyarakat diharapkan diberikan
agar pengelolaan sumber daya laut yang
kewenangan mengelola wilayah laut yang ada di
dilakukan oleh pemerintah daerah lebih
sekitarnya, karena hal itu justru dapat membantu
melibatkan partisipasi masyarakat. Untuk itu
pemerintah dalam mengatasi kerusakan
pengelolaan kelautan harus menggunakan
lingkungan laut (Imron, Wahyono, dan Solihin,
prinsip-prinsip demokratisasi, partisipasi, dan
2011).
transparansi, sehingga pengelolaan yang
dilakukan bisa sesuai dengan kondisi ekologis
Konflik Nelayan sebagai Realitas Sosial
dan kondisi sosial masyarakatnya (Imron, 2009).
Laut Indonesia dapat dipandang dari dua
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor
sisi. Dari sisi hukum international, diakui bahwa
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan
Indonesia merupakan wilayah berdaulat dengan
Pulau-Pulau Kecil juga menarik perhatian
wilayah laut sejauh 12 mil ditarik dari garis
peneliti untuk menyikapinya, terutama dengan
pantai terluar (UNCLOS, 1982). Jika dilihat dari
dicantumkannya ketentuan tentang hak
sisi ini, Indonesia mengakui terjadinya
pengusahaan perairan pesisir (HP-3). Di dalam
pengavelingan laut oleh negara. Namun di sisi
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
lain, Indonesia juga menerapkan Wawasan
pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam
Nusantara, yang menentukan bahwa laut
bentuk HP-3 yang meliputi pengusahaan atas
Indonesia itu merupakan satu kesatuan, sehingga
permukaan laut dan kolom air sampai dengan
tidak boleh ada pengavelingan terhadap laut.
permukaan dasar laut (Pasal 16). HP-3 tersebut
Dalam konteks ini maka laut menjadi common
dapat diberikan kepada orang perorangan warga
property resources, yaitu sebagai sumber daya
negara Indonesia, badan hukum, dan masyarakat
milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh
adat (Pasal 18), dalam jangka waktu 20 tahun
siapa pun kecuali oleh negara.
dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi (Pasal 19).
Adapun dalam Pasal 20 disebutkan bahwa HP-3 Perikanan sebagai common property
tersebut dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan resorces berarti bahwa semua orang boleh
jaminan hutang dengan dibebankan hak menangkap hasilnya di manapun berada, kecuali
tanggungan. Semua ketentuan tentang HP-3 yang diatur oleh negara. Dalam konteks itulah
tersebut dianggap merupakan ancaman bagi maka terjadi persaingan antara nelayan dalam
masa depan kehidupan nelayan, karena akan memperebutkan sumber daya perikanan, yang
muncul pengavelingan laut yang dilakukan oleh sering mengakibatkan timbulnya konflik
pengusaha. antarnelayan.
Penelitian tentang Hak Pengusahaan Di Indonesia, konflik kenelayanan sudah
Perairan Pesisir di Pulau Sebatik bertujuan untuk lama terjadi dan tampaknya akan semakin terus
mengetahui persepsi, sikap dan aspirasi meningkat. Studi-studi yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap HP-3. Hasil penelitian Kelompok Studi Maritim PMB-LIPI sejak tahun
menunjukkan bahwa masyarakat tidak setuju 1990 juga hampir selalu menemukan konflik-
jika hak pengelolaan diserahkan kepada investor konflik kenelayanan di berbagai provinsi di
atau kepada badan hukum, karena bisa tanah air (Wahyono, dkk, 1992, Adhuri, 1993).
merugikan nelayan, yaitu berkurangnya fishing Demikian pula dari studi-studi setelah runtuhnya
ground yang berdampak pada berkurangnya Orde Baru, tampak bahwa konflik kenelayanan
hasil tangkapan (Imron, Wahyono, dan Solihin, tidak mengendur tetapi semakin mengeras
2010). Hak pengelolaan bisa saja diberikan (Adhuri, Wahyono, dan Sudiyono, 2002;
kepada perorangan atau badan hukum jika Adhuri, dkk., 2003).
kawasan itu tidak dimanfaatkan nelayan untuk
Hasil studi yang dilakukan di Madura,
kegiatan produktif, tetapi tetap harus ada benefit
Aceh, Maluku Tenggara, Kupang, Nunukan, dan
yang diperoleh nelayan. Akan tetapi, karena
Kepulauan Riau menunjukkan bahwa ada
hampir tidak ada wilayah laut di pesisir yang
beberapa tipe konflik nelayan, yaitu konflik
bukan merupakan fishing ground nelayan, maka
antara nelayan lokal dengan nelayan asing,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 129


konflik antara nelayan lokal dengan nelayan dari konflik yang lebih kecil, tetapi diabaikan dalam
daerah lain, dan konflik antara nelayan dengan jangka waktu yang lama. Oleh karena itu,
peralatan tangkap yang berbeda (baik nelayan pemahaman yang komprehensif akan sangat
dari wilayah yang sama maupun dari wilayah sulit dilakukan tanpa ada upaya memahami dan
lain). menyelesaikan konflik-konflik yang kecil.
Konflik antara nelayan lokal dengan
Pemberdayaan Nelayan
nelayan asing biasanya terjadi di wilayah
perbatasan, baik karena masuknya nelayan dari Wilayah laut Indonesia kaya akan
luar ke fishing ground mereka, seperti kasus di sumber daya perikanan, mulai dari ikan, kerang-
di Kepulauan Riau dan Aceh, atau karena kerangan, udang, kepiting, dan berbagai sumber
penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan daya perikanan lain yang siap untuk
Indonesia di wilayah laut milik negara tetangga dieksploitasi oleh nelayan. Walaupun sumber
seperti kasus nelayan NTT dan Sumenep di daya melimpah, tetapikenyataan menunjukkan
Australia (Indrawasih, Wahyono, dan Hadi, bahwa nelayan tetap miskin, terutama nelayan
2008). Konflik antara nelayan lokal dengan kecil, sehingga bisa diibaratkan seperti ayam
nelayan dari daerah lain cenderung dipicu oleh yang mati di lumbung padi. Jumlah nelayan
perebutan wilayah tangkap (fishing ground) kecil itu sangat besar, sekitar 611.432 unit
sementara nelayan dari daerah lain perahu/kapal atau sekitar 95,57% dari jumlah
menggunakan peralatan tangkap yang lebih seluruh kapal perikanan di Indonesia. Mereka
tinggi. Konflik seperti inilah yang semakin itu terdiri dari nelayan yang menggunakan motor
berkembang pada era otonomi daerah. Adapun tempel dan nelayan tanpa motor serta nelayan
konflik antar nelayan dengan peralatan tangkap yang menggunakan kapal berkapasitas 10 GT ke
yang berbeda selain terjadi karena nelayan lain bawah. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa
menggunakan alat tangkap yang lebih dari jumlah kapal perikanan sebanyak 639.707
eksplotatif juga karena alat tangkap yang unit, sebanyak 175.510 unit merupakan perahu
digunakan bersifat merusak (destructive fishing). tanpa motor, dan 237.625 unit menggunakan
motor tempel. Adapun yang menggunakan
Alternatif solusi yang ditawarkan agar
motor dalam (inboard motor) sebanyak 198.297
konflik tidak berulang antara lain sebagai
memiliki kapasitas ≤10 GT (Kelautan dan
berikut.Pertama, dengan melihat penyebab
Perikanan dalam Angka Tahun 2014).
timbulnya konflik. Kedua, mempertemukan para
pihak yang berkonflik untuk membuat Sudah banyak kebijakan untuk
kesepakatan bersama, misalnya dengan kesepakatan memberdayakan nelayan, mulai dari program
bahwa nelayan pendatang diperbolehkan yang bertujuan langsung untuk meningkatkan
menangkap di wilayah mereka, tapi tidak di kesejahteraan nelayan seperti program
fishing ground yang menjadi favorit mereka. pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan
Dengan demikian penyelesaian konflik tidak program nasional pemberdayaan masyarakat
harus mengacu pada aturan resmi penerintah (PNPM) Mina, maupun program penunjang
tentang hal yang terkait dengan pemanfaatan dan kegiatan lainnya seperti yang terdapat dalam
pengelolaan wilayah laut (Adhuri, Indrawasih, program MCRMP (Marine and Coastal
dan Wahyono, 2006). Sementara itu, terkait Resources Management Project), PLBPM
dengan konflik karena destructive fishing, (Program Pengelolaan Lingkungan Berbasis/
alternatif solusinya adalah sosialisasi kepada Pemberdayaan Masyarakat), Co-Fish (Coastal
pelaku destructive fishing dengan menekankan Community Development and Fisheries
pada kerugian yang dialami dalam jangka Resources Management Project), dan Coremap
panjang dan penegakan hukum yang adil. (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program). Meskipun demikian, semua itu belum
Kecenderungan yang terjadi sampai saat
mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan
ini adalah kesadaran perlunya menyiasati
secara signifikan (Imron, Wahyono, dan Solihin,
konflik hanya lahir setelah terjadi konflik yang
2015).
besar (kompleks). Selain itu, belum tampak
usaha-usaha yang sistematis untuk mencegah Penelitian yang dilakukan di Cirebon,
timbulnya konflik yang sekecil apa pun. Padahal Cilacap, Juwana, dan Sukabumi menunjukkan
tidak tertutup kemungkinan konflik-konflik yang bahwa banyak kegiatan pemberdayaan yang
besar itu merupakan akumulasi dari konflik- dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan

130 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


masyarakat, karena pendefinisian tentang tiga arti, salah satunya adalah empowering atau
kebutuhan masyarakat dilakukan oleh pihak lain, memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat.6
dalam hal ini penyelenggara negara. Padahal,
Selain tidak sesuai dengan kebutuhan
satu hal penting yang perlu dipahami dalam
masyarakat, banyak juga program bantuan yang
pemberdayaan adalah adanya analisa kebutuhan
tidak sesuai dengan pola kerja nelayan.
masyarakat (needs assessment). Mulai dari
Pembukaan akses nelayan untuk meminjam
analisa kebutuhan masyarakat itulah maka akan
uang melalui jalur perbankan, atau program-
dapat dirumuskan siapa yang perlu diberdayakan,
program bantuan yang harus diangsur mengikuti
apa yang diberdayakan dan bagaimana cara
pola perbankan, jelas tidak cocok dengan budaya
memberdayakannya. Sebagai contoh adalah
kerja nelayan. Banyaknya terjadi kredit macet
pengembangan teknologi penangkapan. Sama-
pada nelayan bukan disebabkan nelayan tidak
sama diketahui bahwa kunci kemiskinan nelayan
mampu membayar, tetapi karena sistem
adalah teknologi penangkapan yang rendah,
angsuran dalam pengembalian pinjaman tidak
sehingga hasil tangkapan tidak banyak. Namun
sesuai dengan budaya kerja nelayan.
teknologi apa yang perlu dikembangkan,
tentunya nelayan akan lebih tahu, karena mereka Sebagaimana diketahui, dalam satu
yang tahu persis kondisi lingkungannya (Imron, tahun nelayan tidak selalu dapat melaut karena
Wahyono, dan Solihin, 2016). kendala cuaca. Dengan demikian dalam satu
tahun terdapat bulan-bulan tertentu (kadang bisa
Terkait dengan pengembangan teknologi
sampai dua bulan lebih) ketika nelayan tidak
penangkapan, banyak bantuan yang sudah
dapat melaut. Dalam kondisi seperti itu nelayan
diberikan kepada nelayan.Namun, baik jenis
tidak memperoleh penghasilan, sehingga tidak
maupun kapasitasnya sering tidak disesuaikan
memungkinkan nelayan untuk membayar
dengan kebutuhan nelayan lokal. Oleh karena
angsuran pinjaman setiap bulannya. Oleh karena
itu, disarankan agar pengembangan alat tangkap
itu, pembukaan akses lembaga keuangan
perikanan tidak dilakukan secara nasional, tetapi
terhadap nelayan tidak akan mampu memberdayakan
memerhatikan aspek lokalitas. Selain itu,
nelayan jika skema pengembalian pinjaman
melihat sistem bagi hasil yang sangat timpang
tidak diubah. Selain berisiko terjadinya kredit
antara nelayan juragan dengan buruh nelayan,
macet, nelayan juga akan terjebak dalam utang
maka pengembangan alat tangkap perikanan
yang tidak terbayarkan.
juga disarankan agar pemilikannya dilakukan
secara kolektif, sehingga di dalam satu kapal Satu upaya untuk mengatasi hal tersebut
tidak ada lagi buruh dan majikan. Dengan cara adalah dengan memberikan angsuran pinjaman
demikian maka disparitas pendapatan antar dari nelayan yang disesuaikan dengan pola
nelayan semakin lama akan semakin terkurangi. kerja nelayan, sebagaimana yang dirintis di
Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan Kabupaten Sukabumi. Melalui jasa Lembaga
buruh nelayan, maka perbaikan struktur bagi Konsultan Keuangan Mitra Bank (LKKMB),
hasil juga perlu dilakukan (Wahyono, dkk., dilakukan negosiasi mekanisme angsuran yang
2001). sesuai dengan pola kerja nelayan, antara pihak
bank dengan nelayan. Hasil negosiasi adalah
Pemberdayaan dengan berbasis pada
pembayaran angsuran disesuaikan dengan
needs assessment semacam itu tidak
tingkat fluktuasi pendapatan nelayan, sehingga
menempatkan masyarakat sebagai objek
pada saat musim ikan nelayan akan membayar
penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung
angsuran yang besar, sedangkan jika musim
pada pemberian dari pemerintah, melainkan
paceklik pembayaran angsuran bisa ditunda
dalam posisi sebagai subjek penentu masa
(Imron, Wahyono, dan Solihin, 2015).
depannya sendiri. Pandangan tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan Adams Robert yang Dalam kerangka itu, pihak bank akan
mengartikan pemberdayaan sebagai “the user menghitung jumlah pembayaran angsuran yang
participation in services and to self-help
movement generally, in which group take action 6
on their own behalf, either in cooperation with, Dua makna lain dari pemberdayaan adalah
enabling, yaitu menciptakan suasana yang
or independently of, the statutory services”
memungkinkan potensi masyarakat berkembang, dan
(Imron, Wahyo, dan Solihin, 2015). Senada protecting (melindungi masyarakat agar mampu
dengan itu, Cholisin (2011) menyatakan bahwa bersaing dengan pihak lain, sehingga keberpihakan
di dalam konsep pemberdayaan itu mengandung terhadap yang lemah itu merupakan suatu keharusa

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 131


harus dilakukan oleh nelayan peminjam dalam Indonesia. Walaupun sampai saat ini masih
satu tahun, misalnya Rp12.000.000. Untuk terjadi perdebatan apakah saat ini sudah terjadi
mengantisipasi musim paceklik ketika nelayan perubahan iklim ataukah hanya terjadi
sulit mendapatkan hasil tangkapan, maka jumlah perubahan alam yang sesaat yang belum dapat
angsuran per bulan tidak dibagi 12 tetapi dibagi dikategorisasikan sebagai perubahan iklim,
9, dengan asumsi tiga bulan itu musim paceklik tetapi menurut prediksi Intergovermental Panel
(nelayan tidak bisa melaut). Dengan cara on Climate Change (IPCC), masyarakat pesisir
demikian, nelayan akan bisa mengangsur secara memiliki potensi paling besar terkena dampak
rutin selama sembilan bulan, dan yang tiga perubahan iklim (IPCC,2007). Hal itu dapat
bulan, karena musim paceklik, tidak perlu dipahami karena lokasi mereka yang berhadapan
mengangsur. Sementara itu, pihak bank tidak dengan laut, yang sangat rentan terkena
dirugikan, karena jumlah angsuran yang terjangan angin yang besar dari arah laut. Selain
diterima oleh bank dalam setiap tahunnya tidak itu, banyak kehidupan masyarakat pesisir yang
berkurang. tergantung pada hasil laut, sehingga perubahan
kondisi laut akan mempengaruhi perubahan
Dalam rangka meningkatkan pendapatan
pendapatan mereka.
nelayan, aspek pemasaran juga disarankan untuk
diperhatikan. Terkait dengan itu, peran KUD Terlepas dari perdebatan tersebut,
Mina dan TPI juga perlu ditingkatkan, dengan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
cara mengintensifkan sistem lelang, sehingga sudah banyak nelayan yang menderita karena
pembelian harga ikan dari nelayan bisa lebih terjadi perubahan lingkungan, yang diindikasikan
tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa oleh datangnya musim hujan yang tidak
pemberdayaan tidak semata-mata ditujukan untuk menentu, juga datangnya perubahan musim dari
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi musim barat ke musim timur, dan sebaliknya.
lebih dari itu, agar masyarakat dapat mandiri Perubahan-perubahan seperti itu menyulitkan
dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan kehidupan nelayan, karena pekerjaan menangkap
demikian pemberdayaan perlu dilakukan secara ikan di laut yang dilakukan oleh nelayan itu
serentak baik yang bersifat ekonomi maupun sangat sensitif terhadap terjadinya perubahan
yang non-ekonomi (Imron, Wahyono, dan cuaca maupun perubahan lingkungan laut.
Solihin, 2016).
Memahami permasalahan tersebut, maka
Dengan demikian pemberdayaan nelayan penelitian tentang kerentanan nelayan dalam
harus dilihat secara menyeluruh. Dalam proses menghadapi perubahan iklim dilakukan di
pemberdayaan tersebut, nelayan mesti diperlakukan Lombok, Jawa Timur (Banyuwangi, Pacitan),
sebagai subjek yang ikut mendefiniskan kebutuhan- dan Sulawesi Utara. Dalam hal ini kerentanan
kebutuhannya, mulai dari kegiatan praproduksi, dilihat dengan menggunakan pendekatan yang
produksi (penangkapan ikan maupun budidaya dilakukan oleh Tuller (2008), yang melihat
ikan), pascapanen, sampai pada dukungan kerentanan sosial dari tiga aspek, yaitu (1)
kegiatan lainnya seperti pembangunan dan Exposure atau keterpaparan bencana perubahan
penyediaan sarana dan prasarana perikanan, akses iklim pada masyarakat, (2) Sensitivitas masyarakat
terhadap jasa lembaga keuangan, teknologi, dalam menghadapi bencana perubahan iklim,
penyuluhan, aspek pemasaran, dan kelembagaannya. dan (3) Kapasitas adaptif, yaitu kemampuan
Berbagai kebijakan juga perlu mempertimbangkan masyarakat untuk mempertahankan kondisinya
heterogenitas nelayan, baik yang menyangkut dari bahaya perubahan iklim.
alat tangkap, jumlah ABK, struktur hubungan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelompok kerja, wilayah tangkap, status penguasaan,
nelayan sudah mengalami anomali caca yang
dan jenis sumber daya yang diinginkan, juga
mereka sebut sebagai perubahan musim,
hubungan antara nelayan lokal dan pendatang
terutama terkait pergeseran dari musim barat ke
dan pluralitas etnis. Kurangnya pemahaman
musim timur dan sebaliknya, walaupun belum
terhadap heterogenitas nelayan menyebabkan
ada kejelasan apakah perubahan tersebut sebagai
upaya pembangunan perikanan tidak menyentuh
akibat dari perubahan iklim. Bagi nelayan,
sasaran program (target group).
pergeseran perubahan musim itu sangat
berpengaruh dalam kehidupan mereka, karena
Penyikapan terhadap Perubahan Iklim
jumlah hari melaut dalam setahun lebih sedikit.
Sejak tahun 1980-an, perubahan iklim
Musim barat yang lebih panjang dari biasanya
telah menjadi perhatian dunia, termasuk

132 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


mengakibatkan mereka tidak dapat melaut dalam Menyikapi hal tersebut, agar nelayan
jangka waktu yang lebih lama, sehingga jika memiliki resiliensi dalam menghadapi perubahan
sebelumnya mungkin hanya dua bulan dalam iklim, maka direkomendasikan agar juragan
setahun mereka tidak dapat melaut, dengan perahu besar juga menyediakan armada kecil
perubahan musim tersebut bisa bertambah yang bisa dioperasikan oleh ABK-nya pada saat
menjadi tiga atau empat bulan. Dalam masa- terjadi musim barat, sebagaimana yang
masa itulah nelayan mengalami paceklik dilakukan oleh nelayan slerek dan ijo-ijo di
sehingga sulit untuk memperoleh pendapatan. Banyuwangi. Dengan cara demikian maka ABK
yang mengelola jukung tetap akan memperoleh
Walaupun secara umum nelayan sangat
pendapatan walaupun pada musim barat, dan
peka terhadap anomali cuaca, tetapi tingkat
pemilik slerek dapat memperoleh keuntungan
sensitivitas mereka berbeda-beda antara satu
dari pembelian ikan yang dijual oleh jukung
kelompok nelayan dengan kelompok nelayan
yang dikelola oleh ABK yang sudah dibantu.
lainnya. Tidak seperti yang diduga sebelumnya,
nelayan yang menggunakan armada penangkapan Selain antara satu kelompok nelayan
yang besar ternyata cenderung lebih rentan dengan kelompok nelayan lainnya, tingkat
dalam menghadapi perubahan iklim, karena sensitivitas mereka juga berbeda-beda antara
mereka tidak dapat melaut setiap saat. Sebaliknya, nelayan dalam satu kelompok penangkapan itu
nelayan kecil ternyata justru lebih memiliki sendiri, tergantung pada statusnya. Nelayan
kemampuan adaptasi dalam menghadapi perubahan buruh jelas lebih sensitif dalam menghadapi
iklim. perubahan musim dibanding juragan pemilik
kapal, karena juragan umumnya memiliki
Hasil penelitian di Banyuwangi, misalnya,
tabungan yang diperoleh dari akumulasi bagi
menunjukkan bahwa nelayan slerek dan ijo-ijo
hasil yang diterima, yang cenderung menguntungkan
dengan armada penangkapan yang cukup besar,7
juragan.8
lebih sensitif terhadap munculnya gelombang
besar, yang terjadi pada musim barat. Hal itu Selain perbedaan sensitivitas antara
karena penangkapan yang dilakukan oleh dua nelayan buruh dengan juragan pemilik kapal,
jenis armada tersebut berada di tengah laut yang perbedaan sensitivitas juga terjadi antara nelayan
gelombangnya cukup besar. Jika gelombang buruh itu sendiri, terutama antara nelayan yang
besar datang, mereka tidak punya waktu untuk berstatus sebagai nakhoda dan ABK lainnya.
mencari tempat berteduh dan menyelamatkan Hal itu karena bagi hasil yang diterima oleh
diri. Oleh karena itu, pada saat terjadi perubahan nakhoda lebih besar dari ABK lainnya, sehingga
musim barat yang lebih dari enam bulan di seorang nakhoda masih memiliki kemampuan
wilayah itu, maka nelayan slerek dan ijo-ijo untuk menabung (Wahyono, Imron, dan Daraini,
lebih memilih tidak melaut dan menjadi 2014a).
pengangguran. Hal itu berbeda dengan nelayan
Aspek lain yang berpengaruh terhadap
jukung. Walaupun perahunya kecil, tetapi karena
sensitivitas nelayan dalam menghadapi perubahan
penangkapan ikan hanya dilakukan di pinggir,
musim adalah keberadaan matapencaharian
maka tidak terpengaruh oleh angin barat yang
alternatif sebagai diversifikasi usaha. Nelayan
menimbulkan ombak besar di tengah laut. Selain
di Desa Sidomulyo misalnya, kurang terpengaruh
itu, penangkapan menggunakan armada jukung
oleh perubahan musim karena selain sebagai
juga menggunakan lebih dari satu jenis alat
nelayan mereka juga memiliki usaha sampingan
tangkap, sehingga selalu bisa melakukan
bertani padi dan berkebun kelapa. Hal itu
penangkapan sesuai dengan jenis ikan yang
berbeda dengan nelayan Desa Grajagan, yang
dominan pada saat itu. Kondisi demikian bukan
hanya terjadi di Banyuwangi, tetapi juga pada
8
nelayan kecil di Pacitan dan Sulawesi Utara Juragan pemilik kapal di Banyuwangi
(Wahyono, Imron, dan Daraini, 2014a; Wahyono, menerima bagi hasil 50% dari pendapatan bersih
Imron, dan Daraini, 2014b). hasil penangkapan ikan, sementara pendapatan ABK
hanya 50% dibagi jumlah seluruh ABK. Dengan
jumlah pendapatan yang hanya seperlima puluh dari
pendapatan juragan maka ABK sulit untuk
menabung, sebaliknya juragan dengan bagi hasil
7
Perahu slerek memiliki ABK antara 40-50 yang cukup besar sangat memungkinkan untuk
orang, sedangkan jumlah ABK ijo-ijo antara 2-25 menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung
orang (Imron, 2014). (Wahyono, Imron dan Daraini, 2014b).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 133


walaupun sama-sama terpapar perubahan perikanan yang relatif besar dan tidak memiliki
musim, tetapi mereka sangat tergantung pada usaha sampingan.
hasil laut dan sama sekali tidak memiliki
Ada beberapa indikator kerentanan
matapencaharian lain, sehingga mereka lebih
sosial-budaya komunitas pesisir akibat perubahan
sensitif, walaupun keduanya sama-sama di
iklim, yang dihasilkan dari penelitian ini.
wilayah Pacitan dan mereka juga memiliki
Indikator tersebut merupakan kombinasi antara
lokasi penangkapan ikan (fishing ground) yang
tingkat keterpaparan, sensitivitas, dan kemampuan
relatif sama (Wahyono, Imron, dan Daraini,
adaptasi masyarakat. Berdasarkan indikator
2014a).
tersebut maka akan dapat diketahui apakah
Dari tingkat sensitivitas yang berbeda sebuah komunintas di desa pesisir termasuk
tersebut dapat diketahui kapasitas adaptif dalam kategori rentan terhadap perubahan
masyarakat, yaitu kemampuan masyarakat untuk iklim.
mempertahankan kondisinya dari bahaya
Kerentanan masyarakat pesisir juga
perubahan iklim. Nelayan kecil dengan tingkat
tidak cukup hanya dilhat pada level komunitas
sensitivitas yang rendah, lebih mampu
tetapi juga pada tingkat rumah tangga.
melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan kerentanan rumahtangga maka
Begitu pula nelayan yang memiliki diversifikasi
dapat ditentukan bentuk kegiatan program aksi
usaha, juragan pemilik kapal, dan ABK yang
untuk adaptasi sosial-budaya masyarakat, yang
berstatus sebagai nakhoda. Walaupun pendapatan
didasarkan pada rumusan tingkat kerentaan
mereka juga turun, tetapi tidak sedrastis jika
masyarakat persisir berdasarkan indikator pokok
dibandingkan dengan kelompok nelayan
sebagai berikut.
lainnya, terutama ABK yang bekerja di kapal

Gambar 1
Kerentanan Masyarakat Pesisir
Dilihat dari Indikator Eksposure, Sensitivitas,dan Kapasitas Adaptasi

Sensitivity:
Keterparan (Exposure):
 Peralatan Tangkap Rusak
 Gelombang Besar
 Gagal dalam fishing trip
 Salinitas air laut
 Gagal panen
 Cuaca ekstrim (Angin Ribut)
 Penghasilan menurun Cuaca
Ekstrem

Potential Impact: Kapasitas merespon (Adaptive


 Perkembangan jumlah tangkapan Capacity):
 Ketergantungan matapencaharian  Asset fisik (peralatan dan
berbasis SDL tabungan);
 Ketimpangan distribusi sarana  Asset alam (posisi fishing
ground)
penangkapan
 Asset sosial (jaminan sosial,
pranata bagi hasil tangkapan)
 Asset Manusia (ketrampilan
dan posisi dalam unit
penangkapan)

Tingkat Kerentanan
(Vulnerability) Nelayan

Sumber: Pengolahan data oleh penulis.

134 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


Peningkatan Peran Nelayan dalam Mengatasi Australia, yang melalui wilayah perairan
Penyelundupan Manusia Indonesia dan terdampar di wilayah pantai
Indonesia, khususnya pantai selatan Jawa. Selain
Banyaknya penyelundupan manusia
itu, terdapat pula para imigran yang menjadikan
(human smuggling)9lewat laut telah menarik
Indonesia sebagai wilayah transit untuk
perhatian untuk meneliti peningkatan peran
bermukim sementara.
nelayan dalam mengatasi penyelundupan
manusia melalui laut, mengingat kehidupan Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nelayan sehari-hari berada di tengah laut. imigran gelap dapat dibedakan menjadi dua,
Banyaknya penyelundupan manusia lewat laut yaitu orang asing yang masuk ke dalam wilayah
itu terjadi karena wilayah Indonesia memiliki Indonesia, dan orang Indonesia yang keluar dari
garis pantai yang panjang (99,093 km), dengan wilayah Indonesia secara ilegal. Imigran gelap
posisi geografis yang banyak berbatasan dengan yang berasal dari luar, beberapa menggunakan
wilayah laut negara lain. Dengan kondisi jasa nelayan untuk membantu melakukan
wilayah laut Indonesia yang luas dan cukup penyelundupan manusia melewati laut, dengan
terbuka seperti itu, dan tidak didukung oleh menyewa perahu nelayan, terutama di pantai
jumlah aparat yang memadai untuk mengawasi selatan Jawa. Sementara itu, imigran gelap yang
wilayah laut, maka terjadinya penyelundupan keluar dari wilayah Indonesia tidak meng-
manusia melalui laut hampir tidak terhindarkan. gunakan jasa nelayan, karena dilakukan secara
terorganisasi dengan menggunakan speed boat
Data UNHCR menunjukkan bahwa pada
dan memiliki jaringan yang melibatkan oknum
tahun 2014 terdapat 8.262 orang imigran ilegal
di negara Indonesia dan negara tujuan, yaitu
yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi
Malaysia.
(Rudenim) di seluruh Indonesia. Adapun jumlah
imigran ilegal yang berada di wilayah Indonesia Ada dua hal yang menyebabkan nelayan
sampai bulan Maret 2014 kurang lebih sekitar mau membantu mengangkut imigran gelap.
10.623 orang yang terdiri dari 7.218 orang Pertama, karena tergiur dengan imbalan yang
pencari suaka dan sisanya 3.405 berstatus cukup tinggi yang ditawarkan, apalagi jika
pengungsi. Angka tersebut diyakini selalu tawaran tersebut diberikan pada musim paceklik.
meningkat, mengingat konflik di negara bagian Hal itu juga didukung oleh kondisi ekonomi
Afrika dan Asia terus berlangsung10. Lebih-lebih nelayan yang umumnya masih miskin. Kedua,
saat ini Indonesia kedatangan pengungsi dari karena nelayan hanya tahu bahwa mereka orang
Rohingya (Myanmar) yang jumlahnya cukup asing, tetapi tidak tahu bahwa mereka itu
besar. imigran gelap. Selain itu, mereka juga tidak tahu
bahwa membantu imigran gelap itu melanggar
Di Indonesia juga banyak imigran gelap
hukum, karena belum pernah ada sosialisasi
dari negara-negara Timur Tengah dan Asia
tentang hal itu. Sosialisasi baru dilakukan di
Selatan yang ingin mencari suaka politik ke
wilayah Sukabumi pada tahun 2014 oleh Kantor
Imigrasi bekerjasama dengan Polri. Sejak saat itu
9
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 mereka mengaku tidak mau lagi jika diminta
Tahun 2011 tentang keimigrasian penyelundupan untuk membantu mengangkut orang asing yang
manusia didefinisikan sebagai perbuatan yang belum jelas statusnya.
bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk Nelayan, karena tempat tinggalnya
orang lain yang membawa seseorang atau tidak berada di pinggir laut, dan kehidupannya juga
terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk banyak dilakukan di tengah laut, sebetulnya
membawa seseorang atau kelompok orang, baik memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan
secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang oleh pemerintah untuk membantu menangani
tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki
penyelundupan manusia lewat laut, dengan
Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia
dan/atau masuk wilayah negara lain yang orang
melaporkan jika ada orang asing yang mendarat
tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah secara mencurigakan di wilayah mereka. Hal itu
tersebut secara sah, baik dengan menggunakan juga ditopang oleh keberadaan 12.827 desa
dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa pesisir di seluruh wilayah Indonesia, yang
menggunakan dokumen perjalanan, baik melalui tersebar di 2.118 kecamatan pesisir (511
pemeriksaan imigrasi maupun tidak. kabupaten), dengan jumlah nelayan sekitar 2,6
10
http://muhammadalvisyahrin.blogspot.co.id
/2014/07/indonesia-darurat-imigran-ilegal.html

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 135


juta orang (Kelautan dan Perikanan dalam yang disesuaikan dengan penyelenggaraan
Angka 2014). fungsi kepolisian. Pada hakekatnya ada dua
unsur utama yang terkandung dalam Polmas,
Potensi besar yang dimiliki oleh nelayan
yaitu membangun kemitraan antara Polisi dan
dan masyarakat pesisir itu ternyata belum
masyarakat, dan menyelesaikan berbagai
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengawasi
masalah sosial dalam masyarakat. 12
penyelundupan manusia melalui laut. Padahal,
pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan
Sumbangan terhadap Kebijakan Pemerintah
Perikanan sebetulnya sudah membentuk kelompok
di Sektor Kelautan dan Perikanan
pengawasan masyarakat (Pokwasmas) di setiap
desa pesisir, yang tugasnya adalah melakukan Beberapa penelitian sudah memberikan
pengawasan untuk mencegah terjadinya sumbangan terhadap kebijakan pemerintah
perusakan lingkungan laut. Melalui sinergi dalam pengelolaan kelautan dan perikanan.
antara Kantor Imigrasi dengan Kementerian Penelitian tentang hak ulayat laut, misalnya,
Kelautan dan Perikanan, maka peran Pokwasmas telah memunculkan pengakuan negara terhadap
yang sudah ada itu dapat diperluas untuk pengelolaan perikanan yang berbasis hukum
mengawasi terjadinya penyelundupan melalui laut. adat, yang terdapat pada Pasal 61 ayat 1 Undang-
Peningkatan fungsi Pokwasmas itu tidak sulit Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
dilakukan, karena fungsi tambahan itu masih Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.
terkait dengan pengawasan di laut. Untuk Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
peningkatan fungsi itu maka diperlukan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan
sosialisasi kepada nelayan dan anggota melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat
Pokwasmas, tentang perlunya pengawasan tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah
terhadap masuknya imigran gelap. pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah
dimanfaatkan secara turun-temurun. Sementara
Kajian ini sangat berguna dalam
itu, dalam Ayat 2 disebutkan bahwa pengakuan
penanganan imigran gelap di Indonesia, khususnya
tersebut dijadikan acuan dalam pengelolaan
yang melalui laut. Pentingnya penanganan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
berbasis komunitas karena keberadaan masyarakat
berkelanjutan.
yang lebih dekat dengan lokasi kejadian. Oleh
karena itu, dalam melakukan pengawasan Pengakuan tersebut juga dinyatakan
terhadap imigran gelap, aparat kepolisian agar dalam Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31
lebih mendekatkan diri dengan masyarakat Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menyebutkan
pesisir, melalui sistem kemitraan. 11 Mengingat bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan
di wilayah pesisir sudah ada kelompok penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan
pengawasan masyarakat yang diinisiasi oleh harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau
Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka kearifan lokal serta memperhatikan peran serta
penanganan imigran gelap dapat bekerjasama masyarakat. Meskipun demikian, implementasi
dengan kelompok tersebut, sekaligus menjadikan dari pengakuan tersebut sampai saat ini masih
kelompok tersebut sebagai Forum Komunikasi belum jelas. Beberapa daerah yang di
Polisi Masyarakat (FKPM) di wilayah pesisir. wilayahnya terdapat hak ulayat laut sudah
mengimplementasikannya melalui peraturan
Kemitraan polisi-masyarakat atau yang
sering disebut perpolisian masyarakat (Polmas)
12
pada dasarnya bukan hal baru di Indonesia, Sebagai suatu strategi, Polmas menekankan
karena sejalan dengan nilai-nilai yang kemitraan yang sejajar antara petugas dengan
terkandung dalam sistem pengamanan swakarsa, masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi
setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan
dan ketertiban masyarakat.Sedangkan sebagai suatu
11
Di Jepang, model pendekatan seperti ini falsafah, Polmas mengandung makna sebagai model
lebih dikenal dengan istilah Koban, yang mulai perpolisian yang menekankan hubungan yang
dikembangkan sejak masa Meiji sekitar 110 tahun menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dan
silam. Sistem ini menggantikan pola Samurai yang menampilkan sikap saling menghargai antara polisi
sangat militeristik. Sistem ini banyak diterapkan di dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang
Asia. Di Indonesia, model perpolisian masyarakat menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi
(Polmas) sudah digulirkan sejak tahun 1970-an, kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat
berupa tugas-tugas pre-emtif yang dilakukan melalui (lihat Buku Panduan Pelatihan untuk Anggota
pembinaan masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006).

136 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


daerah, seperti di Wilayah Papua dan Sulawesi dengan mempertimbangkan rekomendasi dari
Tenggara. Namun, beberapa daerah lain belum hasil-hasil penelitian tersebut.
mengimplementasikannya. Dengan belum
Penelitian tentang pemberdayaan nelayan,
diimpelementasikannya pengakuan tersebut
misalnya, walaupun tidak secara langsung
menyebabkan masyarakat adat sangat dirugikan.
berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah
Karena jika terjadi konflik-konflik kelautan dan
dalam mengentaskan kemiskinan nelayan, tetapi
perikanan yang melibatkan masyarakat adat,
telah menyadarkan pemerintah bahwa bantuan
mereka akan selalu dikalahkan.
yang diberikan kepada nelayan perlu disesuaikan
Penelitian tentang HP-3 juga telah dengan kebutuhan riil nelayan dan
memberikan makna bahwa hak pengusahaan mempertimbangkan heterogenitas nelayan.
perairan pesisir yang bisa diberikan kepada Selain itu, juga disadari bahwa sistem kredit
perorangan atau badan hukum sangat nelayan pengembaliannya tidak didasarkan pada
bertentangan dengan upaya konstitusi untuk sistem perbankan konvensional (pembayaran
melindungi dan menyelenggarakan kesejahteraan pinjaman secara flat bulanan), tetapi disesuaikan
umum. HP-3 tidak lain merupakan sebuah dengan pola kerja nelayan yang pada musim
komersialisasi sumber daya alam yang tertentu tidak bisa melaut, walaupun untuk
dicantumkan dalam regulasi negara yang pada merealisasikannya terkendala dengan aturan
dasarya melemahkan atau mengaburkan kewajiban perbankan. Begitu pula tentang peran nelayan
negara melindungi masyarakat yang marjinal. dalam mengatasi penyelundupan manusia, juga
Tidak adanya perlindungan negara terhadap diakui bahwa karena tempat tinggalnya berada di
warga masyarakat marjinal untuk bisa pinggir laut dan kehidupannya juga banyak
berkontestasi dalam pemanfaataan sumber daya dilakukan di tengah laut, maka nelayan
alam menyebabkan pelemahan akses masyarakat selayaknya dilibatkan untuk mengawasi keberadaan
dalam memanfaatkan sumber daya laut. orang asing yang diduga illegal migrant.Adapun
sumbangan terbesar penelitian yang sudah
Permasalahan HP-3 tersebut kemudian
dilakukan oleh P2KK LIPI adalah memberikan
mendapatkan gugatan melalui judicial review ke
kesadaran kepada para stakeholder bahwa
Mahkamah Konstitusi oleh beberapa LSM yang
pengelolaan kelautan dan perikanan tidak cukup
peduli terhadap nasib nelayan, dan berujung
hanya dilihat dari perspektif sumber daya,
pada dibatalkannya pasal-pasal yang berkaitan
teknologi penangkapan, dan aspek sosial-
dengan HP-3oleh Mahkamah Konstitusi, melalui
ekonominya, melainkan juga perlu dilihat dari
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
perspektif sosial budaya.
3/PUU-VIII/2010.Keputusan tersebut kemudian
diikuti dengan pembuatan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Penutup
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Penelitian sosial budaya masyarakat
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
maritim yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kecil, yang di dalamnya tidak lagi mencantumkan
Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI telah
pengaturan tentang HP-3, karena dinilai
menempuh perjalanan panjang dengan melihat
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
berbagai aspek yang terkait dengan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.13
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
Tidak semua penelitian yang sudah pesisir dan nelayan. Hasil-hasil penelitian
dilakukan berdampak terhadap kebijakan maritim tersebut diharapkan dapat memberikan
pemerintah di sektor kelautan dan perikanan. sumbangan yang berharga bagi kebijakan
Meskipun demikian, beberapa penelitian telah pemerintah di sektor kelautan dan perikanan.
berhasil menyadarkanstakeholder (terutama
Penelitian tentang hak ulayat laut telah
pemerintah) tentang perlunya melakukan
memberikan sumbangan yang besar terhadap
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan
pemahaman pemerintah mengenai otonomi
13
masyarakat di kawasan pesisir dalam mengelola
Pasal-pasal yang dibatalkan dalam wilayah laut di sekitarnya. Pemahaman tersebut
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 meliputi terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap
Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan
ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal adat, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
71 dan Pasal 75. 61 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 137


tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Berbeda dengan pemberdayaan nelayan
Pulau Kecil. Meskipun demikian, dalam pada umumnya, pemberdayaan nelayan yang
realitasnya pengakuan dan penghormatan terhadap diakibatkan oleh bencana perubahan iklim
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat memerlukan pendekatan yang berbeda. Oleh
hukum adat tersebut belum diimplementasikan karena itu, kajian kerentanan masyarakat pesisir
secara utuh. Di beberapa wilayah, masyarakat akibat perubahan iklim sangat membantu dalam
hukum adat masih disamakan dengan entitas penyusunan program strategi adaptasi perubahan
sosial lainnya, sehingga mereka terpaksa harus iklim.
berkompetisi dengan kelompok masyarakat
Kajian perubahan iklim yang banyak
lainnya dalam pemanfaatakan sumber daya laut.
dilakukan selama ini lebih banyak menyoroti
Kajian hak ulayat laut juga mengingatkan negara
dimensi kerentanan fisik, belum banyak yang
bahwa pengakuan dan penghormatan masyarakat
menyoroti masalah kerentanan sosial. Penyusunan
hukum adat harus dilihat dalam perspektif
indikator kerentanan masyarakat pesisir dapat
communal property right, bukan individual
memberikan manfaat apabila memiliki policy
property rights.
relevancy, yakni memberikan informasi tentang
Dalam konteks itulah maka penerapan arah kebijakan yang dapat dipengaruhi atau perlu
hak pengusahaan pesisir (HP-3) juga mendapatkan dirubah. Indikator yang dihasilkan diharapkan
perlawanan, karena kepentingan ekonomi dan dapat dipergunakan oleh orang yang berbeda, dan
politik masih mewarnai kebijakan tersebut. memberikan hasil yang konsisten. Indikator
Dalam kebijakan tentang HP-3, seharusnya kerentanan sosial yang dihasilkan diharapkan juga
bukan hak pengusahaan yang ditonjolkan, dapat memberikan dasar berupa kriteria-kriteria
melainkan hak pengelolaan. Itu pun dengan yang mudah diidentifikasi guna mengukur tingkat
prioritas pada masyarakat hukum adat, yang kerentanan dan resiliensi masyarakat akibat
telah terbukti berhasil melakukan pengelolaan perubahan iklim. Penyusunan indikator
wilayah laut di sekitarnya. Dengan demikian HP- kerentanan sosial-budaya masyarakat pesisir juga
3 harusnya merupakan kebijakan negara untuk diharapkan dapat digunakan untuk melihat
melindungi masyarakat yang lemah, yang kemajuan dalam waktu yang berbeda.
terbukti telah membantu pemerintah dalam
Dalam kaitannya dengan penyelundupan
mengelola wilayah laut. Perlawanan terhadap
manusia yang melewati laut, hasil penelitian ini
HP-3 telah membuahkan hasil dengan munculnya
telah mengingatkan kepada pemerintah tentang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
posisi strategis masyarakat pesisir dan nelayan,
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27
yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
mengawasi keberadaan orang asing. Keberadaan
dan Pulau-Pulau Kecil, yang menghapus pasal-
masyarakat pesisir dan nelayan merupakan
pasal yang berkaitan dengan HP-3, sebagaimana
potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk
diamanatkan olah Keputusan Mahkamah Konstitusi
mengawasi penyelundupan manusia lewat laut,
Nomor 3/PUU-VIII/2010.
karena tempat tinggalnya yang berada di kawasan
Pengakuan terhadap hak ulayat laut pantai, dan sehari-hari para nelayan hidup di laut.
maupun penghapusan HP-3 pada dasarnya
Penelitian konflik kenelayanan, walaupun
merupakan salah satu bagian dari upaya untuk
tidak banyak,tetapi dapat digunakan sebagai
memberdayakan nelayan, terutama nelayan kecil
sumber referensi untuk memahami kasus-kasus
yang selama ini selalu identik dengan
di Indonesia. Hasil penelitian ini juga
kemiskinan. Memang upaya memberdayakan
mengingatkan kepada pemerintah perlunya
nelayan kecil tersebut sudah dilakukan oleh
melakukan pemetaan konflik kenelayanan berdasarkan
pemerintah melalui berbagai program
distribusi, pola, serta akar masalahnya, untuk
pengentasan kemiskinan.Namun, hasilnya belum
mengantisipasi terjadinya konflik kenelayaanan
sesuai dengan yang diharapkan. Karena itu hasil
di masa depan. Berdasarkan hasil pemetaan
penelitian tentang pemberdayaan nelayan
tersebut maka dapat dilakukan evaluasi upaya
merekomendasikan agar intervensi pengentasan
yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan
kemiskinan supaya dilakukan secara menyeluruh
konflik kenelayanan dan mencari alternatif
dalam berbagai aspek, mulai dari yang bersifat
penyelesaian konflik yang lebih efisien, efektif
fisik seperti alat tangkap ikan atau mesin perahu,
dan sistematis. Dengan demikian kemungkinan
sampai dengan yang bersifat kelembagaan,
termasuk aspek pemasarannya.

138 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


terjadinya peningkatan intensitas dan kualitas Institutions in Indonesia, in Maritim
konflik dapat segera diantisipasi. Antrhopological Studies 5 (1): 1-7.
Ke depan, penelitian masalah sosial Buku Panduan Pelatihanuntuk Anggota Kepolisian
budaya masyarakat maritim perlu lebih Negara Republik Indonesia. (2006).
digiatkan. Ini perlu dilakukan, karena banyak Diterbitkan di Jakarta atas Kerjasama
permasalahan kelautan dan perikanan yang tidak Polri, IOM dan Kedutaan Australia.
cukup dilihat dari perspektif sumber daya,
Cholisin.(2011). Pemberdayaan Masyarakat.
teknologi penangkapan dan aspek sosial
Makalah disampaikan pada Gladi
ekonominya, melainkan juga perlu dilihat dari
Manajemen Pemerintahan Desa bagi
perspektif sosial budayanya.
Kepala Bagian/Kepala Urusan Hasil
Pengisian Tahun 2011 di Lingkungan
Daftar Pustaka
Kabupaten Sleman.
Abdussomad, Dedi Supriadi, dan Ratna
Dahuri, Rakhmin. (1999). Perencanaan Pengelolaan
Indrawasih. (1994). Hak Ulayat Laut
Sumber Daya Pesisir Terpadi Berbasis
Masyarakat Maritim Indonesia Bagian
Masyarakat. Makalah disampaikan
Timur. Hak Ulayat Laut Desa Haruku,
dalam Rapat Koordinasi Proyek dan
Maluku Tengah. Jakarta: PMB-LIPI.
Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya
Adhuri, Dedi S, Ary Wahyono, dan Sudiyono. Pesisir dan Lautan di Indonesia, Ditjend
(2002). Studi tentang \Model-Model Bangda Depdagri.
Institusi Kemitraan pada Pengelolaan
Hardin, G. (1968). Tragedy of the Common.
Sumber Daya Kelautan. Pelajaran dari
Science 162: 1243-1248.
Beberapa Konflik Kenelayanan. Jakarta:
PMB-LIPI. http://muhammadalvisyahrin.blogspot.co.id/2014
/07/indonesia-darurat-imigran-ilegal.
Adhuri, Dedi S., dkk. (2003). Pengelolaan
html
Sumber Daya Alam secara Terpadu.
Pelajaran dari Praktek Pengelolaan Imron, Masyhuri.(1995). Hak Ulayat Laut
Sumber Daya Laut di Bangka–Belitung, Masyarakat Maritim. Desa Latuhalat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Kecamatan Nusaniwe, Ambon. Jakarta:
Pengelolaan Taman Nasional Lore PMB-LIPI.
Lindu di Sulawesi Tengah. Jakarta: Imron, Masyhuri (ed). (2009). Pengelolaan
PMB–LIPI. Sumber Daya Laut di Era Otonomi
Adhuri, Dedi, Ratna Indrawasih, dan Ary Wahyono. Daerah. Respons Daerah terhadap
(2006). Konflik-Konflik Kenelayanan: Kompleksitas Permasalahan Kenelayanan.
Distribusi, Pola, Akar Masalah dan Jakarta: LIPI Press.
Resolusinya. Studi Kasus di Provinsi Imron, Laksono dan Surmiati Ali.(1993). Aspek-
Nangroe Aceh Darussalam dan Kep. Aspek Sosial Budaya Masyarakat
Riau. Jakarta: LIPI Press. Maritim Indonesia Bagian Timur. Hak
Ahimsa, NSP. (1994). Antropologi Ekologi: Ulayat Laut Desa Endokisi-Kecamatan
Beberapa Teori dan Perkembangannya, Demta – Jayapura. Jakarta: PMB-LIPI.
dalam Jurnal Masyarakat Indonesia XX Imron, Masyhuri, dkk. (2005). Manajemen
(4): 1-44. Sumber Daya Laut dalam Perspektif
Antariksa, I GP dkk. (1991). Tobati: Kehidupan Otonomi Daerah.Pengelolaan Berbasis
Nelayan di Atas Laut. Jakarta, PMB – Komunitas dalam Pelaksanaan Otonomi
LIPI. Daerah. Jakarta: LIPI Press.
Antariksa, I GP. (1995). Hak Ulayat Laut Imron, Masyhuri, dkk. (2006). Manajemen
Masyarakat Maritim Kecamatan Pulau- Sumber Daya Laut dalam Perspektif
Pulau Kei Kecil, Kabupaten Maluku Otonomi Daerah.Kasus Kota Padang
Tenggara, Maluku. Jakarta: PMB-LIPI. dan Kota Tidore. Jakarta: LIPI Press.
Bailey, Conner dan Charles Zernes. (1982). Imron, Masyhuri, dkk. (2008). Manajemen
Community Based Fisheries Management Sumber Daya Laut dalam Perspektif

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 139


Otonomi Daerah. Respons Daerah Their Demise, in Annual Review of
terhadap Kebijakan Otonomi di Sekjtor Ecology and Systematics 9: 349-364.
Kelautan. Kasus Kabupaten Lampung
Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014.
Selatan, Provinsi Lampung dan Kabupaten
(2014). Jakarta, Pusat Data, Statistik dan
Buleleng, Provinsi Bali. Jakarta: LIPI
Informasi Kementerian Kelautan dan
Press.
Perikanan.
Imron, Masyhuri dan Toni Soetopo.(2009).
Laksono, DS. dan Surmiati Ali.(1995). Hak
Potret Kesejahteraan Masyarakat di
Ulayat Laut Masyarakat Maritim. Desa
Dua Desa Pesisir. Jakarta: LIPI Press.
Bindusi, Kecamatan Biak Timur,
Imron, Masyhuri, Ary Wahyono, dan Akhmad Kabupaten Biak Numfor, Irian Jaya.
Solihin.(2010). Studi Penerapan Hak Jakarta: PMB-LIPI.
Pengusahaan Pesisir (HP-3) pada
Marzali, Amri.(2003). Strategi Peisan Cikalong
Masyarakat Pulau Kecil di Pulau
dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta:
Sebatik. Persepsi, Sikap dan Aspirasi
Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Masyarakat. Jakarta: LIPI Press.
Retnowati, Endang dkk. (1991). Nelayan Hitu:
Imron, Masyhuri, Ary Wahyono, dan Akhmad
Perubahan Orientasi Kerja. Jakarta:
Solihin (2011). Permasalahan Pengelolaan
PMB–LIPI.
Kelautan di Pulau Sebatik. Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Sudo, Ken-ichi.(1983). Social Organization and
Rekomendasi Kebijakan. Jakarta, PT. Types of Sea Tenure in Micronesia,
Gading Inti Prima. dalam Ruddle, Kenneth dan Johannes,
R.E (ed): Traditional Marine Resources
Imron, Masyhuri, Ary Wahyono, dan Akhmad
Management in the Pacific Basin: an
Solihin.(2015). Nelayan Sukabumi dan
Anthology. Jakarta: UNESCO/ROSTSEA.
Problematika Pemberdayaan. Jakarta:
PT. Gading Inti Prima. Tuller, Seth, et. al. (2008). Assessing
Vulnerability: Integrating Informations
Imron, Masyhuri, Ary Wahyono, dan Akhmad
about Driving Forces that Affect Risk
Solihin.(2016). Problematika Pemberdayaan
and Risilience in Fishing Communities,
dalam Program Minapolitan Perikanan
in Human Ecology Review Vol 5 No. 2.
Tangkap. Jakarta, PT. Gading Inti Prima
Wahyono, Ary (ed).(2007). Manajemen Sumber
Indrawasih, Ratna (ed)., 2004. Pengelolaan
Daya Laut dalam Perspektif Otonomi
Sumber Daya Laut secara Terpadu (Co-
Daerah. Respons Daerah terhadap
Management: Evaluasi Pengelolaan
Kebijakan Otonomi di Sektor Kelautan:
Model Co-Fish. Jakarta: PMB-LIPI.
Kasus Kota Bengkulu dan Kabupaten
Indrawasih, Ratna, Masyhuri Imron, dan Tanah Laut. Jakarta: LIPI Press.
Antariksa, I, GP. (2002). Pengelolaan
Wahyono, Ary, dkk. (1991). Bebalang: Memudarnya
Sumber Daya Laut secara Terpadu:
Fungsi Seke. Jakarta: PMB–LIPI.
Masyarakat Nelayan dan Negosiasi
Kepentingan. Jakarta: PMB-LIPI. Wahyono, Ary, dkk. (1992). Nelayan dan
Strategi Menghadapi Ketidakpastian (di
Indrawasih, Ratna, Ary Wahyono, dan Aulia
Beo, Sathean dan Demta). Jakarta: PMB
Hadi.(2008). Konflik-Konflik Kenelayanan:
– LIPI.
Distribusi, Pola, Akar Masalah dan
Resolusinya. Penelusuran Nelayan Pelintas Wahyono, Ary dkk. (2001). Pemberdayaan
Batas dan Konflik Antar kelompok Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media
Nelayan di Kabupaten Sumenep- Pressindo.
Madura. Jakarta: LIPI Press. Wahyono, Ary, Masyhuri Imron, dan Ibnu
IPCC. (2007). The Fourth Assessmen Report, Nadzir Daraini.(2014a). Studi Kerentanan
Working Group I. Masyarakat Pesisir Akibat Perubahan
Iklim: Kasus Nelayan Tangkap di
Johannes, RE. (1978). Traditional Marine
Kabupaten Pacitan. Jakarta: PT. Gading
Conservation Methodes in Oceania and
Inti Prima.

140 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


Wahyono, Ary, Masyhuri Imron, dan Ibnu Nadzir Daya pada Nelayan Pulau dan Nelayan
Daraini. (2014b). Indikator Kerentanan Pantai). Jakarta: PMB–LIPI.
Sosial Budaya Masyarakat Pesisir
Akibat Perubahan Iklim. Sintesa Empat Daftar Perundang-undangan
Daerah: Kabupaten Probolinggo, Minahasa
United Nations Convention on the Law of the
Utara, Banyuwangi dan Pacitan. Jakarta:
Sea (UNCLOS), 1982.
PT. Gading Inti Prima.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Wahyono, Ary, Fadjar Ibnu Thufail, dan
Pemerintahan Daerah.
Antariksa, I GP. (1994). Hak Ulayat
Laut di Sangihe Talaud (Studi Kasus Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
tentang Sistem Pengelolaan Sumber Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau
kecil.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 141


142 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018

Anda mungkin juga menyukai