Anda di halaman 1dari 6

MATERI

SEJARAH KEMARITIMAN

OLEH

Nama : Winur Monika Rossi


Nim. : A1O122022
Kelas. : B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN


KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023

MATERI

SEJARAH KEMARITIMAN

Sejarah kemaritiman Indonesia terdiri dari tiga kata yang masing-masing memilikj arti tersendiri,,
yaitu sejarah, kemaritiman, dan Indonesia. Sejarah atau history dalam Bahasa Inggris merupakan sebuah
kata yang sering muncul dalam berbagai bentuk. Presiden Soekarno dalam sebuah pidatonya
mengeluarkan pernyataan yang sampai sekarang masih sering kita dengar, yaitu JAS MERAH yang
merupakan akronim dari “jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah”. Hal ini berarti sejarah
merupakan sesuatu yang penting, karena tidak boleh dilupakan. Sejarah merupakan kejadian atau
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Makna dibalik peristiwa atau kejadian itulah yang
kemudian dipelajari oleh sejarawan, dengan tujuan agar kita bisa belajar dari sejarah.

Dengan demikian sejarah itu mengandung pengetahuan tentang suatu peristiwa yang pernah terjadi, hal
itulah yang menjadi objek para sejarawan. Jika kita merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia Online, arti
kata sejarah adalah:

1. asal-usul (keturunan) silsilah;

2. kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat; tambo: cerita

3. pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi dl masa lampau; ilmu
sejarah

Sedangkan kemaritiman memiliki kata dasar maritim ya atrti kata maritim dalam KBBI (2011:879) adalah
(1) segala sesuatu yang berkenaan dengan laut dan

(2) berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Selanjutnya, kemaritiman bermakna hal-hal
yang menyangkut masalah maritim atau sifat kepulauan Indonesia.

Istilah maritim sering disinonimkan dengan kata bahari yang bermakna (1) dahulu kala; kuna, (2) indah;
elok sekali, dan (3) mengenai laut; bahari (KBBI 2011:115). Dengan demikian, sejarah maritim adalah
studi tentang aktivitas manusia di masa lampau yang berkaitan dengan aspek-aspek kemaritiman,
khususnya pelayaran dan perdagangan (Poelinggomang, 2012:1).

Oleh karena itu, maka Sejarah Kemaritiman Indonesia mengkhususkan pada studi tentang aktivitas
manusia di masa lampau yang berkaitan dengan aspek-aspek kemaritiman, khususnya pelayaran dan
perdagangan yang terjadi wilayah Indonesia atau lebih tepatnya Nusantara, karena di masa lalu sebelum
tahun 1945 Indonesia belum menjadi negara. Mengacu pada salah satu artikel di
www.indomaritimeinstitute.org yang ditulis oleh Y. Paonganan, dikatakan bahwa sejarah maritim di
Indonesia adalah sejarah yang terlupakan. Hal ini diungkapkan karena kenyataan yang ada sekarang
dimana aspek-aspek terkait kemaritiman di Indonesia mulai hilang. Padahal Sejarah mencatat bahwa
kejayaan maritim bangsa Indonesia sudah lahir sebelum kemerdekaan, hal ini dibuktikan dengan adanya
temuan-temuan situs prasejarah maupun sejarah.

Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-
perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut, selain
itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa
menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain yang tentunya
menggunakan kapal-kapal yang laik layar. Kerajaan Sriwijaya (683 M – 1030 M) memiliki armada laut
yang kuat, menguasai jalur perdagangan laut dan memungut cukai atas penggunaan laut. Pengaruhnya
meliputi Asia Tenggara yang mana hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah bahwa terdapat hubungan yang
erat dengan Kerajaan Campa yang terletak di antara Camboja dan Laos.

Lebih lanjut, Y Paonganan dalam artikel tersebut, memaparkan bahwa banyak bukti lainnya yang
memperkuat eksistensi kemaritiman di nusantara. Kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah bersama
kerajaan lainnya seperti Kerajaan Tarumanegara telah membangun Candi Borobudur yang pada relief
dindingnya dapat terlihat gambar perahu layar dengan tiang-tiang layar yang kokoh dan telah
menggunakan layar segi empat yang lebar. Kejayaan Kerajaan Singosari di bawah kepemimpinan Raja
Kertanegara telah memiliki armada kapal dagang yang mampu mengadakan hubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan lintas laut.

Perkembangan Kerajaan Singosari dipandang sebagai ancaman bagi Kerajaan Tiongkok dimana saat itu
berkuasa Kaisar Khu Bilai Khan. Keinginan untuk menaklukkan Kerajaan Singosari dilakukan Khu Bilai
Khan dengan mengirim kekuatan armadanya hingga mendarat di Pulau Jawa. Disaat Kertanegara harus
berhadapan dengan kekuatan armada Khu Bilai Khan, Raden Wijaya memanfaatkan momentum ini untuk
membelot melawan Kertanegara dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit (1293 M –
1478 M) selanjutnya berkembang menjadi kerajaan maritim besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan
yang luas meliputi wilayah Nusantara. Dengan kekuatan armada lautnya, Patih Gajah Mada mampu
berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan, sekaligus menanamkan pengaruh, melaksanakan
hubungan dagang dan interaksi budaya. Bukti-bukti sejarah ini tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan
bahari Bangsa Indonesia sudah bertumbuh sejak dahulu.

Hal yang disayangkan oleh Y. Paonganan yang juga dituliskan dalam artikel itu adalah keberadaan
berbagai dokumen tentang kejayaan maritim Bangsa Indonesia pada masa lalu, kini dalam perjalanannya
kemudian mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya hal ini, yaitu praktek kebaharian
kolonial Belanda pada masa lalu; dan kebijakan pembangunan bahari pada masa rezim Orde Baru. Pada
masa kolonial Belanda, atau sekitar abad ke -18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut,
misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa
kerajaan maritim nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasar
kebaharian Ammana Gappa di Sulawesi Selatan. Akibatnya budaya maritim bangsa Indonesia memasuki
masa suram.

Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun
kembali Indonesia sebagai bangsa bahari. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia Pasifik, pelayaran
nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya investasi. Pada era kolonialisme
terjadi pengikisan semangat maritim Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot
masyarakat Indonesia untuk melakukan aktivitas agraris untuk kepentingan kolonial dalam perdagangan
rempah-rempah ke Eropa. Mengembalikan semangat bahari itu tidak mudah, diperlukan upaya yang
serius dari semua elemen bangsa.

Dalam dunia arkeologi Indonesia pun, hal tersebut dapat dilihat dengan kurangnya keberpihakan
pemerintah dalam menangani potensi situs-situs arkeologi maritim yang tersebar di seluruh wilayah
perairan Indonesia. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi para penggiat dunia kemaritiman di
Indonesia. Diperlukan perjuangan dan kerja keras untuk mewujudkan kembali kejayaan dunia maritim
Indonesia, sebagaimana falsafah TNI Angkatan Laut yaitu Jalas veva jaya mahe, yang berarti di Laut kita
Jaya. . Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan bahari
merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara
profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut.
Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-
kebijakan berbasis maritim adalah; laut sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media
sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun
pengaruh ke seluruh dunia.

Di lain sisi, Perjalanan panjang sejarah maritim Indonesia pada dasarnya hampir sama tua-nya dengan
perkembangan peradaban suku anak bangsa di Nusantara. Hal itu, telah memperkaya hasanah bahasa dan
mewarnai budaya bangsa Indonesia. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa perkembangan peradaban suku
bangsa maritim di Nusantara itu tidak terlepas dari berkembang masuknya suku bangsa lain ke Nusantara
dengan membawa berbagai corak dan warna budaya daerahnya masing-masing.

Berdasarkan data sejarah, aspek kemaritiman yang terekam di masa lalu memperlihatkan adanya kontak
budaya dimana ada dua negeri yang pernah datang ke dua wilayah di nusantara, yaitu bangsa India dan
Cina pada eksodus pertama tahun 264 hingga 195 SM. Pendatang asing ini umumnya telah memiliki
berbagai tingkat keterampilan dibidang kelautan, pertukangan, pertanian, serta memiliki seni budaya yang
jauh lebih tinggi dari penduduk pribumi. Negeri yang pertama dikunjunginya adalah Phalimbham di
Provinsi Banten dan Lu-Shingshe di Provinsi Bengkulu. Dua negeri ini sama-sama banyak menghasilkan
emas (pertama kali) yang ditemukan oleh bangsa pendatang di Nusantara.

Sedangkan merujuk berbagai teori sosiologi – antropologi – arkeologi telah mengajarkan kepada kita
bahwa, “Peradaban manusia itu selalu berawal dari kehidupan sekelompok manusia dipesisir pantai atau
sungai. Selanjutnya berkembang menjadi komunitas masyarakat yang semula homogen, berubah menjadi
heterogen. Dalam suatu masyarakat pergaulan yang lebih besar berbentuk bangsa (Nasional) dan
selanjutnya berkembang menjadi antara bangsa-bangsa (Internasional)”. Kedatangan bangsa-bangsa asing
ini, juga tidak terlepas dari berbagai kepentingan-kepentingan. Secara geologi dan geografis negeri-negeri
di Nusantara ini telah dikunjungi oleh bangsa-bangsa asing. Secara umum ada tiga bentuk alasan untuk
itu. Pertama, mencari tambang emas. Kedua, perpindahan penduduk (Exsodus) akibat bencana alam. Baik
vulkanis maupun tektonis, akibat terjangkitnya wabah penyakit, dan perang. Ketiga, meningkatnya
hubungan perdagangan. Dalam pelayaran yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, mereka selalu
membuat sebauh catatan tentang pelayaran yang dilakukan oleh mereka seperti halnya Peta Pelayaran.

Bila kita dilihat dari peta yang ada, tampak dengan jelas bahwa rute pelayaran melintasi Selat Sunda telah
lama dilakukan oleh pelaut-pelaut India, Arab (Asia dan Afrika) yang akan menuju ke negeri Cina.
Mereka biasanya singgah dulu di Phalimbham dan Pulau Panaitan serta Kota Perak yang berada di
Provinsi Banten sekarang, sebelum meneruskan perjalanan pelayarannya ke negeri yang hendak
ditujunya. Rute Laut merupakan salah satu rute perjalanan menuju Cina, disamping melalui darat. Para
Pedagang lebih banyak memilih rute laut dari pada darat karena pertimbangan keamanan. Selain itu, rute
darat menuju Cina biayanya lebih mahal dan barang yang dibawapun sangat terbatas jika dibandingkan
melalui pelayaran.

Hal yang sama juga terjadi di Selat Malaka, dimana sejak dulu diketahu, kalau rute ini tidak aman
(Karena prompak atau bajak laut) Thailand, Malayu dan bajak laut Cina di Nan Yang atau Nan Hai Lintas
Selat Sunda kelihatannya lebih aman, karena rute ini banyak dilayari kapal layar pedagang-pedagang dari
berbagai negara yang hendak menuju Phalimbham dan Tarumanagara. Kata Phalimbham atau
Phalembhang di Sumatera Bagian Selatan, sering digunakan secara rancu oleh para peneliti atau penulis
sejarah. Phalimbham yang berada di Provinsi Banten ini merupakan negeri yang pertama disinggahi oleh
nenek moyang dinasti Tarumanagara, sedangkan Phalimbham atau Phalimbhang di Sumbagsel.

Ini merupakan sejarah dari maritim Indonesia pada abad dulu. Dilihat dari sejarah tersebut apakah negara
Indonesia masih menyandang predikat seabagai negara Maritim yang telah dikenal oleh orang luar pada
masa sebelum Masehi. Saat ini, Maritim Indonesia Indonesia masih sangat kurang diperhatikan oleh
pemerintah, padahal Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki pulau kurang lebih dari 17.508
buah pulaunya sangat berpotensi sekali dalam kemaritiman antar pulau.

Maritim berasal dari bahasa Inggris yaitu maritime yang berarti navigasi. Sedangkan menurut KBBI,
maritim memiliki arti berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.
Menurut rimbakita.com, pengertian negara maritim adalah suatu negara yang daerah teritorial lautnya
lebih luas daripada daerah teritorial daratan. Secara sederhana, negara maritim bisa diartikan sebagai
negara yang dikelilingi laut atau perairan yang luas. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara maritim
apabila memiliki garis pantai yang panjang. Selain itu, beberapa ciri-ciri negara maritim antara lain:
memiliki wilayah perairan atau laut lebih luas sekitar 2/3 luas daratan, memiliki banyak pulau yang
dikelilingi oleh perairan atau laut, dan memiliki sumber daya laut yang melimpah.

Contoh negara maritim dunia, antara lain: Kanada, Indonesia, Papua Nugini, Jepang, Selandia Baru, dan
masih banyak lagi. Negara-negara tersebut memiliki perairan yang luas mengelilingi daratan teritorialnya,
serta memiliki garis pantai yang panjang. Dilihat dari panjang garis pantainya, Indonesia (54.716 km)
menempati peringkat kedua yang memiliki garis pantai terpanjang setelah Kanada (202.800 km).

Dilansir dari kkp.go.id, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terbentang dari Sabang
hingga Merauke, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta
km2. Dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 yang berupa daratan.
Hal ini yang menyebabkan Indonesia disebut sebagai negara maritim. Selain itu, potensi kelautan dan
perikanan di Indonesia juga sangat besar.

Sudah sejak lama Indonesia ditetapkan sebagai negara maritim dunia, tepatnya pada tahun 1982. Secara
hukum, penetapan Indonesia sebagai negara maritim tertuang pada United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang disebut Prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle).

Ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, wilayah
Indonesia hanya sebatas wilayah Hindia Belanda ditambah dengan Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor,
dan kepulauan sekelilingnya (berdasarkan sidang BPUPKI 11 Juli 1945). Wilayah laut Hindia Belanda
yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia hanya hanya selebar 3 mil dari garis pantai. Bayangkan
bahwa Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, statusnya merupakan
perairan internasional. Pada masa ini, wilayah Republik Indonesia mengacu pada Ordonasi Hindia
Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeen en Maritiemw Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939. Dalam
peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di
sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini
berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, dirasakan bahwa hukum laut yang berlaku saat itu dapat mengancam
keamanan dan kedaulatan NKRI. Hal ini dikarenakan wilayah kepulauan Indonesia terpecah-pecah oleh
perairan yang statusnya perairan internasional, dan kapal asing bebas berlayar di area tersebut.

Deklarasi Djuanda

Menanggapi situasi tersebut, pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Indonesia, Ir. Djuanda
Kartawijaya, mendeklarasikan “Deklarasi Djuanda”. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa perairan di
sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan
negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan


(Archipelagic State), sehingga perairan antar pulau di kawasan Republik Indonesia pun merupakan
wilayah Republik indonesia.

Deklarasi ini menuai pro dan kontra dari berbagai negara di dunia. Beberapa negara yang kontra antara
lain Amerika Serikat, Ingris, Australia, Belanda, Perancis, dan Selandia Baru. Sedangkan yang pro antara
lain Filipina, Equador, dan Yugoslavia.

UNCLOS 1982

Amerika Serikat tetap mempertahankan posisinya yang kontra dan menolak Deklarasi Djuanda hingga
tahun 1982. Setelah Indonesia melalui perjuangan panjang, pada tahun 1982, Deklarasi Djuanda akhirnya
dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982. Pada pertemuan itu
juga, konsepsi Wawasan Nusantara akhirnya diakui dunia sebagai The Archipelagic Nation Concept.

Melalui UNCLOS 1982, luas laut Indonesia bertambah, dari semula kurang dari 1 juta km2 menjadi 5,8
juta km2. Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985
tentang pengesahan UNCLOS, untuk mempertegas aturan dari PBB yang menyatakan Indonesia
merupakan negara kepulauan.

Anda mungkin juga menyukai