Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No.

3 Tahun 2021
journal homepage: https://jmb.lipi.go.id/jmb

LOCAL GENIUS TRADISI PEMBUATAN PERAHU


MASYARAKAT BONTOBAHARI TERHADAP SPIRIT
KEBUDAYAAN MARITIM NUSANTARA

LOCAL GENIUS OF BONTOBAHARI COMMUNITY’S BOAT


ARCHITECTURE TRADITION ON THE MARITIME CULTURE
SPIRIT OF NUSANTARA

Fitria Nugrah Madani


Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
fitria.nugrah.m@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Sejarah maritim Nusantara tidak terlepas dari eksistensi local genius yang berkembang di Indonesia termasuk
pada masyarakat pesisir. Local genius dalam dunia maritim Nusantara tercermin pada aktivitas yang digiatkan
oleh industri pembuatan perahu dan pelayaran. Salah satu daerah dengan masyarakat yang memiliki local genius
dalam keahlian pembuatan perahu yang kemudian menjadi sentra industri pembuatan perahu terbesar di Indonesia,
bahkan di dunia adalah di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Penelitian ini
ingin menelusuri sejarah, unsur dan spririt budaya maritim dalam tradisi pembuatan perahu sebagai local genius
masyarakat Bontobahari. Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung dan teknik wawancara. Hasil
dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa tradisi pembuatan perahu Pinisi terikat oleh pemahaman mitologi
Sawerigading dan perahu megahnya. Selanjutnya, ditemukan pula bahwa struktur bangunan Pinisi memiliki nilai-
nilai yang terhubung dengan kepribadian masyarakat Bontobahari.

Kata kunci: Tradisi Pembuatan Perahu, Local Genius, Spirit Budaya Maritim Nusantar Bontobahari, pinisi.

ABSTRACT
The maritime history of the archipelago cannot be separated from the existence of local geniuses who developed
in Indonesia, including in coastal communities. Local genius in the maritime world of the archipelago is reflected
in the activities that are activated by the boat and shipping industry. One of the areas with people who have
local genius in boat-building expertise which later became the center of the largest boat-building industry in
Indonesia, even in the world, is in Kec. Bontobahari, Kab, Bululkumba, South Sulawesi. This research wants to
explore the history, elements and spirit of maritime culture in the boat-building tradition as the local genius of
the Bontobahari community. This study uses direct observation techniques and interview techniques. The results
in this study conclude that the tradition of making Pinisi boats is bound by the understanding of Sawerigading’s
mythology and its magnificent boat. Furthermore, it was also found that the structure of the Pinisi building has
values ​​that are connected to the personality of the Bontobahari community.

Keywords: Boat Building Tradition, Local Genius, Archipelago Maritime Culture Spirit, Bontobahari, Phinisi.

PENDAHULUAN
Secara geografis, Indonesia merupakan negara Aspek maritim menjadi sangat penting
laut terbesar di dunia. Luas wilayah lautnya 3,1 dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
juta km2, dengan panjang garis pantai 81.000 km. Sejak dikenalnya jalur perdagangan laut di Asia
Di tengah laut tersebut dikelilingi 17.508 pulau abad ke-1 M. Nusantara bagian barat memetik
besar dan kecil (Nontji 1987: 4; Dahuri dkk manfaat dari interaksi perdagangan maritim. Di
2004: 1). Hal ini kemudian menyatakan bahwa sepanjang jalur itu, terbentuk kantong-kantong
Indonesia secara de facto merupakan negara niaga (emporium) yang berkembang menjadi
maritim. politik yang besar (imperium). Dalam proses

DOI: 10.14203/jmb.v23i3.1160 367


Naskah Masuk: 5 Juni 2021 Revisi akhir: 7 Februari 2022 Diterima: 8 Februari 2022
ISSN 1410-4830 (print) | e-ISSN 2502-1966 (online) | © 2021 The Author(s). Published by LIPI Press. This is
an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
Fitria Nugrah Madani

itu tersiar agama Hindu dan Buddha, kemudian memiliki dua tiang utama dan tujuh buah layar
Islam dan Kristen. Selain itu, terjadi proses ahli yang telah melakukan perjalan ke Vancouver
pengetahuan dan kreasi teknologi perkapalan Kanada dan ke Madagaskar. Dengan adanya
(Rahman, 2013). Pinisi, diyakini menjadi simbol terhadap nilai-
Sejarah maritim Nusantara juga tidak nilai kebudayaan dan tradisi masyarakat Konjo
bisa terlepas dari eksistensi local genius yang Pesisir pembuat perahu di Bontobahari. Seperti
berkembang di beberapa daerah di Indonesia. diketahui Suku Konjo merupakan subetnik dari
Local genius dalam dunia maritim di Indonesia Suku Makassar. Namun sebagian besar Suku
juga berperan dalam kegiatan perkapalan dan Konjo menyebar di Kabupaten  Bulukumba di
pelayaran. Kegiatan pelayaran dan perkapalan antaranya tersebar di empat kecamatan yang
merupakan faktor yang signifikan sebagai terletak di Bulukumba Timur yakni Bonto
medium komunikasi dan transportasi masyarakat Tiro, Kajang, Bontobahari, dan Herlang. Selain
di suatu daerah ke daerah lainnya. Untuk itu, juga Suku Konjo identik dengan bahasa
melakukan pelayaran tentunya diperlukan alat Konjo, terutama di wilayah pesisir di Kabupaten
transportasi laut yaitu perahu. Perahu sebagai Bulukumba.
media transportasi tentu saja tidak serta merta Adanya aktivitas pembuatan perahu
dimaknai sebagai “artefak” saja. Sebagaimana khususnya perahu pinisi merupakan suatu
diutarakan oleh Gibbins dan Adams (2001: 280), gambaran terhadap eksistensi local genius
bahwa kapal dan perahu adalah “artefak” paling Nusantara dalam bidang maritim. Local genius
kompleks yang diproduksi manusia secara rutin ini merupakan gambaran spirit budaya maritime
sebelum masa Revolusi Industri. Masyarakat Pesisir di Bontobahari. Masyarakat
Pembuatan perahu memiliki historisitas dan Pesisir Konjo di Bontobahari, Kabupaten
nilai tersendiri bagi masyarakat pembuatnya. Bulukumba merupakan komunitas masyarakat
Terdapat hal yang signifikan yang mana hal pembuat perahu yang kemudian menjadi
tersebut juga tidak terlepas dari kebudayaan representasi simbolik dari Kabupaten Bulukumba
dan spirit dari masyarakat pembuatnya. Perahu sebagai “Butta Panrita Lopi” atau “Tanah Para
merupakan artefak sejarah dan representasi Ahli Pembuat Perahu”.
budaya maritim yang memberikan gambaran Jika ditelisik, aktivitas pembuatan perahu
terhadap suatu masyarakat yang memiliki di Bontobahari tak hanya menjadi aktivitas fisik
gagasan, motivasi, prinsip dan visi mengenai laut. semata. Dalam aktivitas pembuatan perahu yang
Maka dari itu, hal ini menunjukkan adanya local dilakukan masarakat Bontobahari, terdapat nilai-
genius di Indonesia yang tidak bisa diabaikan nilai dan spirit kebudayaan yang terwujud dalam
begitu saja dalam perkembangan maritim di bentuk tradisi. Hal ini kemudian diidentifikasi
Indonesia. sebagai budaya maritim dalam pembuatan
Salah satu daerah yang masyarakatnya perahu yang dilakukan secara turun-temurun.
memiliki local genius dengan keahlian pembuatan Sebagaimana dikatakan Bakker (1984: 37)
perahu dan pelayarannya yang kemudian menjadi bahwa kebudayaan sebagai penciptaan dan
sentra industri pembuatan perahu terbesar di perkembangan nilai meliputi segala apa yang
Indonesia, bahkan di dunia adalah di Kecamatan ada dalam fisik, personal, dan sosial yang
Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia
Selatan. Keahlian pembuatan perahu masyarakat dan masyarakat.
Bontobahari dipercaya secara turun temurun dan Menurut Ralph Linton (1945), kebudayaan
menjadi ciri khas masyarakat tersebut. adalah seluruh cara hidup dari masyarakat
Salah satu perahu yang diproduksi manapun dan tidak hanya mengenai sebagian
dan kemudian menjadi simbol lokal daerah cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat
Kabupaten Bulukumba maupun Indonesia dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.
secara umum adalah perahu Pinisi. Perahu Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, yang
Pinisi merupakan kapal layar sekunar yang bagaimanapun sebenarnya kebudayaan itu dan

368 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378
LOCAL GENIUS TRADISI PEMBUATAN PERAHU MASYARAKAT BONTOBAHARI TERHADAP
SPIRIT KEBUDAYAAN MARITIM NUSANTARA

setiap manusia adalah makhluk berbudaya, membangun suatu struktur homogen, di mana
dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu semua elemennya, dari yang besar sampai ke yang
kebudayaan. Sehingga kebudayaan merujuk paling kecil, bertalian dengan erat, dan sekaligus
pada seluruh aspek kehidupan, meliputi cara-cara hanya memperlihatkan peran sebenarnya dalam
berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap hubungannya pada keseluruhan struktur itu tak
dan juga merupakan hasil dari kegiatan manusia mungkin tanpa adanya konsep-konsep holistis
yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok akan rupa dan fungsi yang diinginkan.
penduduk tertentu. Secara umum, keahlian pembuatan perahu
Dengan kebudayaan yang menjadi ciri khas pada masyarakat Pesisir Konjo di Bontobahari
masyarakat Bontobahari, secara tidak langsung dipercaya oleh masyarakat Bontobahari dengan
juga menjadi spirit budaya yang pada khususnya adanya mitologi Sawerigading sebagai asal mula
tercirikan budaya maritim. Menurut Alo Liliweri aktivitas pembuatan perahu sebagai identitas
(2014: 65) spirit merupakan nilai-nilai yang lokal. Untuk mengaktifkan kecerdasan lokal,
mengacu pada nilai-nilai yang bersifat tidak maka masyarakat kebudayaan bekerja bersama
bendawi yang timbul dari kecerdasaan, emosi, mitos yang hadir. Ada beberapa fungsi mitos
dan kehendak baik. sebagaimana dijelaskan oleh Van Peursen
Aktifitas pembuatan perahu yang (1976), fungsi pertama adalah mitos digunakan
dilakukan masyarakat Bontobahari juga manusia untuk menyadarkan manusia tentang
dapat diklasifikasikan sebagai local genius adanya kekuatan-kekuatan gaib. Mitos itu tidak
seiring tradisi-tradisi pembuatan perahu terus memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-
dikembangkan. Hal ini dijelaskan Ayatrohaedi kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar
(1986) bahwal local genius merupakan identitas/ dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu
kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai
bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah alam dan kehidupan manusia.
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan Fungsi kedua dari mitos bertalian erat dengan
sendiri. fungsinya yang pertama yakni memberikan
Jika merujuk pada inovasi dan pengembangan jaminan masa kini, artinya mitologi hadir sebagai
pembuatan perahu yang dilakukan masyarakat upaya untuk menghadirkan aktifitas tertentu
Bontobahari, terdapat ide-ide yang terus untuk bertahan di masa kininya. Sedangkan
dikembangkan yang tidak hanya sekadar dalam fungsi ketiga dari mitos adalah mirip dengan
pembuatan perahu tradisional. Perkembangan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam
ide dengan memodifikasi bentuk perahu sesuai alam pikiran manusia modern: mitologi sebagai
perkembangan zaman juga dilakukan masyarakat jalan pengetahuan manusia untuk menjelaskan
Bontobahari. Terutama dalam pembuatan perahu gejala dan fenomena khusus yang terjadi pada
pinisi, model perahu yang diadaptasi dengan ciri manusia sehingga untuk manusia zaman dulu bisa
khas perahu-perahu khas Eropa (terutama pada menggunkan mitologi sebagai jalan ketertiban
layar perahu) menjadi salah satu bentuk inovasi dan pemahaman atas daya-daya alam tersebut.
masyarakat Bontobahari dalam pengembangan Hal ini juga menunjukkan konsep holistik
dunia pelayaran. pada masyarakat Bontobahari mencirikan
Sehingga proses pembuatan perahu ini juga kebudayaan yang muncul dari aktivitas tersebut.
menjadi kemampuan paling khas yang dimiliki Menurut C. Kluckhon dalam Koentjaraningrat
masyarakat Bontobahari dengan pengembangan (2003: 81) terdapat tujuh unsur kebudayaan:
inovasi yang dilakukan. Terdapat proses-proses kepercayaan, teknologi, bahasa, organisasi
kognitif yang dimiliki masyarakat Bontobahari masyarakat, mata pencaharian, pengetahuan,
dalam menciptakan kemampuan pembuatan dan seni dalam tujuh unsur kebudayaan
perahu. Menurut Pomey (2011: 26) yang mungkin tersebut termuat pada tradisi pembuatan perahu
paling penting ialah proses-proses kognitif yang masyarakat Bontobahari.
kini kita kenali di bawah istilah perencanaan yakni

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378 369
Fitria Nugrah Madani

Dari uraian di atas, artikel akan menjelaskan pembuatan perahu, pemukiman, pohon kelapa,
spirit budaya maritim dalam tradisi pembuatan dan palawija. Wilayah desa ini, semakin ke
perahu sebagai local genius masyarakat darat, semakin berbukit juga bukit berbatu yang
Bontobahari guna untuk menunjukkan ciri khas ditumbuhi pohon jati, kayu bitti, dan perdu.
pada kebudayaan maritim yang kemudian mampu Begitu juga dengan Desa Bira, yang
menjadi industri maritim yang khas Nusantara. merupakan dataran tinggi bergelombang. Pantai
Tanjung Bira yang berkembang menjadi kawasan
METODE wisata, datarannya juga hanya sebatas garis pantai
Dalam artikel ini digunakan metode penelitian sepanjang dua kilometer, antara bibir pantai
kualitatif, melalui serangkaian tahapan dengan daratan terdapat dinding batu. Desa Bira
penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik juga merupakan kawasan berbukit dan berbatu,
observasi langsung dan teknik wawancara pohon yang tumbuh kebanyakan adalah kayu
dengan narasumber. Adapun narasumber dalam bitti. Dari keterangan di atas, dapat diketahui
penelitian ini adalah para tukang ahli pembuatan bahwa ketiga desa tersebut (Desa Ara, Bira,
perahu (panrita lopi), budayawan Kabupaten dan Tana Lemo) banyak ditumbuhi kayu bitti.
Bulukumba, dan antropolog sekaligus peneliti Arief Saenong (2013: 63) menjelaskan bahwa
perahu-perahu Nusantara khususnya di Sulawesi. pada umumnya pembuatan perahu seperti pinisi
digunakan jenis kayu yang memenuhi standar
kualitas seperti di atas ialah kayu suryan/surian/
BONTOBAHARI DALAM KONTUR suren (Naknasa-Konjo, Katondeng-Makassar,
GEORGRAFIS, HISTORIS, DAN Bitti-Bugis), dalam istilah Latinnya, Vitex
KULTUR cofassus. Kayu ini dianggap paling baik, sebab
Bontobahari yang terkenal sebagai masyarakat di samping tahan dan tidak mudah pecah juga
pembuat perahu pada dasarnya didukung oleh mudah diolah. Hal ini menjadi terbukti bahwa
faktor geografis. Tiga daerah yang terkenal kemampuan masyarakat pembuat perahu di
dengan asal mula terciptanya perahu dari mitologi Bontobahari didukung secara geografis.
terdamparnya perahu Sawerigading (Ara, Bira, Meski didukung oleh faktor geografis, namun
dan Tanah Lemo) jika ditinjau secara geografis bagi masyarakat Bontobahari, aktifitas pembuatan
terdiri dari batu karang dan padang rumput, perahu yang mereka lakoni tidak hanya bernilai
serta ditumbuhi semak belukar yang kering dan sebagai mata pencaharian saja yang notabene
tandus. Sangat sedikit lahan yang cocok dijadikan sebagai tukang kayu seperti yang dijelaskan Sikka.
pertanian, sehingga keadaan alam menjadikan Aktivitas pembuatan perahu yang dilakukan juga
masyarakat desa tersebut tidak bisa menjadi kerap dinilai suatu aktivitas budaya. Aktivitas
petani. budaya ini menyimbolkan berbagai aktivitas
Menurut Idris Sikka (2017) sejarawan Desa maritim yang dilakukan masyarakat pesisir di
Ara, pada umumnya, penduduk Desa Ara (desa Sulawesi Selatan, khususnya pada suku Bugis,
yang terkenal dengan tukang pembuat perahu) Makassar, dan Konjo yang kerap melakukan
adalah tukang kayu, bisa mengerjakan apa saja aktivitas pelayaran hingga ke berbagai wilayah.
yang terbuat dari bahan kayu. Wilayah Desa Ara
Menurut Arief Saenong (2013: 8–9)
pada dasarnya berada di daerah pesisir, berbatu
perantauan orang Bugis-Makassar sebagai salah
karang dan menurut Sikka, kawasan Desa Ara
satu pewaris bangsa bahari telah banyak bukti
dahulu banyak ditumbuhi oleh pohon kayu bitti.
yang menunjukkan kepiawaian mereka menguasai
Sehingga memungkinkan ahli-ahli pembuatan
laut dengan menggunakan perahu layar. Seorang
perahu dapat lahir dari keuntungan geografis
sejarawan Australia dan juga Direktur Museum
ini. Sedangkan Desa Tanah Lemo, sebagaimana
Darwin, Peter G. Spillet menulis bahwa orang-
Kecamatan Bontobahari secara umum didominasi
orang Makassar telah menemukan Australia sejak
dataran rendah. Dari garis pantai hingga dua
tahun 1600-an.
kilometer ke darat, dataran rendah berisi lokasi

370 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378
LOCAL GENIUS TRADISI PEMBUATAN PERAHU MASYARAKAT BONTOBAHARI TERHADAP
SPIRIT KEBUDAYAAN MARITIM NUSANTARA

Orang Bugis dan Orang Makassar telah (need for achievement) yang tinggi. Dihubungkan
berlayar ke Australia Utara untuk menangkap dengan teori itu, pengaruh siri’ dalam mendorong
teripang dengan menggunakan perahu transformasi industrial terletak pada sejauh mana
pa’dewakang; Thomas Forrest, seorang peneliti etos kerja yang bersumber dari nilai tersebut
asal Inggris pada 1792 mengadakan perjalanan dari menempatkan prestasi kerja sebagai hal yang
Calcutta ke India menuju Australia (Kepulauan utama.
Margui). Dalam perjalanannya itu ia bertemu Sebagaimana dikatakan Abdullah dalam
dengan orang-orang Bugis yang pada akhirnya Darmawan Salam (2006: 16) etos kerja terkait
diketahui bahwa mereka sering mengadakan dengan sumber motivasi seseorang dalam bekerja
pelayaran dengan perahu pa’dewakang ke dan sejauhmana sumber motivasi tersebut cukup
New Hollandia atau Teluk Carpenteria untuk kuat untuk menciptakan prestasi kerja. Dijelaskan
menangkap teripang. lebih lanjut Salman (2006: 17) bahwa karena
Aktivitas pelayaran dan pembuatan perahu nilai siri’ sebagai sumber motivasi yang utama,
yang dilakukan masyarakat Bontobahari ini berarti etos kerja masyarakat pesisir, khususnya
juga pada historitasnya dilatarbelakangi konteks masyarakat Bontobahari adalah etos kerja yang
nilai budaya lokal Sulawesi Selatan. Menurut menempatkan pretasi kerja sebagai bagian dari
Errington (1977: 5), nilai-nilai budaya lokal penegakan nilai siri’. Selanjutnya juga dapat
masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya diduga bahwa karena siri’ adalah sesuatu yang
dilatarbelakangi dengan nilai dikenal dengan nilai sangat berharga yang dapat mendorong seseorang
Siri’. Nilai Siri’ mengutamakan rasa malu atau untuk berkorban dan menegakkannya, yang
harga diri sebagai acuan tindakan. berarti masyarakat maritim Sulawesi Selatan
Sementara dijelaskan oleh Rahim (1985: berdaya lecut tinggi untuk suatu prestasi kerja.
100) pada masyarakat Sulawesi Selatan terdapat Artinya, terdapat etos kerja yang kuat dalam
lima perilaku yang dianggap sangat memalukan berlangsungnya transformasi industrial pada
apabila tidak terpenuhi atau dilanggar, yakni masyarkat pembuatan perahu di Sulawesi Selatan.
nilai kejujuran (alempureng), kecendekiaan Dengan demikian, di satu sisi nilai siri’
(amaccang), keteguhan (aggetengeng), kepatuhan adalah bagian dari sumber acuan tindakan, di sisi
(asitinajang), dan keusahaan (reso). lain malas bekerja adalah lemah usaha dianggap
Pada masyarakat Bontobahari dengan melanggar nilai itu sendiri. Ini berarti nilai siri’
dilatarbelakangi keahlian pembuatan perahu berfungsi mendorong orang untuk bekerja keras
tersebut, urgensi nilai siri’ terletak kaitannya dalam pencapaian di bidang ekonomi termasuk
dengan nilai usaha. Nilai siri’ menempatkan juga pada masyarakat Bontobahari. Nilai Siri,
orang yang tidak bekerja, malas-fatalis dan tidak ini menjadi faktor pemacu dalam perkembangan
produktif sebagai orang yang mempermalukan keahlian pembuatan perahu hingga menjadi pusat
dirinya, tidak memiliki harga diri. Dengan industri pembuatan perahu terbesar di Indonesia.
demikian, siri’ adalah sumber motivasi kerja,
yang berada di balik etos kerja. Sub Inovasi Pembuatan Perahu
Berlakunya nilai siri’ ini merupakan sebagai Latar belakang keahlian pembuatan perahu pada
acuan tindakan, termasuk yang berhubungan masyarakat Bontobahari tersebut kemudian
dengan pencapaian di bidang ekonomi (Salman: menjadikan keahlian tersebut menjadi local
2006). Pada aspek ekonomi kehidupan masyarakat genius. Hal ini karena pembuatan perahu tersebut
Bugis-Makassar, tidak bekerja dan lemah usaha juga tidak terlepas dari daya inovasi masyarakat
dianggap sesuatu yang menimbulkan siri’, sesuatu pembuat perahu yang mengikuti semangat
yang merendahkan harga diri. modernisasi. Hal ini diungkap oleh Horst H.
Menurut McCeland dalam Salman (2006: Liebner (2017) salah seorang peneliti asal Jerman
16) suatu kebudayaan menghasilkan daya dorong yang giat melakukan penelitian mengenai perahu-
bagi perkembangan ekonomi apabila dalam perahu Nusantara khususnya di Bontobahari
kebudayaan itu tertanam kebutuhan berprestasi mengungkapkan bahwa Pinisi adalah salah satu

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378 371
Fitria Nugrah Madani

perahu yang mengikut perahu-perahu modern khas, diakui Liebner, sebagai tradisi otentik
Barat yang diikuti ciri khasnya dengan layar. pembuatan perahu masyarakat Bontobahari.
Menurut Liebner, perahu pinisi bukan Bahkan kemampuan tersebut menjadi ciri khas.
merupakan produksi orang Bontobahari pada Khas yang menandakan masyarakat Bontobahari
awalnya apabila Pinisi dicirikan sebagai terus melakukan daya inovasi dan kreasi dalam
layarnya. Sebab ciri khas layar Pinisi mengikuti pembuatan perahu yang dilakukan hingga kini.
bentuk layar perahu-perahu Eropa yang memang Pinisi dianggap menjadi modifikasi terakhir
cenderung identik dengan layarnya. Namun ini dari pembuatan perahu yang dibuat hingga saat
menjadi bentuk upaya orang Bontobahari untuk ini. Dengan inovasi pembuatan perahu Pinisi di
berinovasi dan memodifikasi perahu. Dijelaskan Bontobahari bahkan kini pun mampu dimodifikasi
lebih lanjut oleh Liebner (2016, 38) bahwa pada masyarakat Bontobahari dengan model perahu
awalnya, layar pinisi dipasang di atas lambung wisata layaknya kapal pesiar dengan fasilitas
perahu padewakang dan sejenisnya. Akan tetapi, mewah.
setelah para pelaut dan pengrajin perahu semakin Menurut G.A. Horridege (1979) bahwa
mendalami cara mengoperasikannya, maka perubahan dan pengembangan perahu Bugis-
lambung yang dipilih adalah tipe palari. Bentuk Makassar memang berawal dari perahu pajala,
lambung yang runcing dan ‘pelari’ itu memanglah sebab lambung perahu pajala merupakan
paling sesuai dengan daya dorong dengan layar lambung perahu yang memang identik dengan
sekunar. perahu buatan Sulawesi Selatan. Dari hal tersebut
Tipe-tipe lambung ini, menurut Liebner, kemudian terjadi modifikasi secara bertahap, baik
dibangun dari papan yang dieratkan dengan dari lambung dan layar yang disesuaikan dengan
pasak kayu sebelum penguat dalamnya dipasang. tuntutan zaman. Hal ini juga dilakukan oleh
Di sentra pembuatan perahu Sulawesi Selatan, orang-orang Bontobahari dengan memodifikasi
terutama di kawasan seperti di Lemo-Lemo, Ara, perahu hingga mampu membuat perahu Pinisi
dan Tana Beru, terdapat dua rancang bangun yang menjadi identitas lokal budaya Sulawesi
‘tradisional’ untuk lambung-lambung ini. Perahu Selatan dan Indonesia.
berukuran kecil sampai sedang bisa menggunakan
pola tatta tallu, ‘potongan tiga’; yang lebih besar Kecerdasan Lokal dan Spirit Pembuatan
dapat mengikuti tatta appa, ‘potongan empat’. Perahu
Liebner lebih jauh menjelaskan bahwa Aktivitas pembuatan perahu menjadi
kemampuan orang Bontobahari identik pada keseluruhan hidup dari masyarakat Konjo
sistem pembuatan perahu yang diakui rumit Pesisir di Bontobahari, yang secara tidak
dan konsisten. Kemampuan terberat dalam langsung dapat dikatakan sebagai kebudayaan.
pembuatan perahu yang paling rumit dibuat saat Begitu juga kebudayaan yang ditonjolkan pada
harus merancang bagian lambung perahu. Bentuk aktivitas pembuatan perahu pada masyarakat
layar bisa saja diadopsi dari perahu-perahu Eropa Bontobahari. Di sini terdapat spirit kebudayaan
karena dianggap efisien untuk menghadapi yang mengafirmasi terhadap keahlian pembuatan
angin, namun pembuatan lambung perahu perahu tersebut.
menjadi bagian terpenting dikarenakan dapat
Adapun spirit budaya yang ditonjolkan pada
menunjukkan kualitas perahu. Perkembangan
Bontobahari terlihat dengan pengaktualisasikan
pembuatan perahu juga terjadi evolusi dari bentuk
mitologi Sawerigading. Masyarakat di
perahu baik itu bentuk lambung maupun layar
Bontobahari percaya pada Mitologi Saweregading
menunjukkan bahwa aktfitas pembuatan perahu
yang diceritakan secara turun temurun. Menurut
yang masih dilakukan kemudian menciptakan
H. Galla, seorang pengusaha pembuat perahu
daya inovasi dan modifikasi yang terus dilakukan
di Desa Ara, Bontobahari menjelaskan bahwa
orang Bontobahari.
mitologi Sawerigading merupakan cerita
Dengan keahlian pembuatan perahu secara turun-temurun yang diceritakan sebagai
yang diakui konsistensi terhadap teknik yang satu-satunya sumber untuk mengetahui asal

372 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378
LOCAL GENIUS TRADISI PEMBUATAN PERAHU MASYARAKAT BONTOBAHARI TERHADAP
SPIRIT KEBUDAYAAN MARITIM NUSANTARA

usul keahlian pembuat perahu masyarakat (1976: 37), mitos sesungguhnya adalah sebuah
Bontobahari. cerita yang memberikan pedoman dan arah
Hal yang sama juga diungkapkan oleh tertentu kepada sekelompok orang.
kepala tukang pembuat perahu, Ali di Desa Ara, Inti dari cerita-cerita tersebut dapat
H. Djafar dan Syarifuddin Lala yang terkenal merepresentasikan lambang-lambang yang
sebagai Panrita Lopi (ahli pembuatan perahu) digunakan pada manusia zaman dahulu untuk
di Tana Beru, bahwa mitologi Saweregading mengekspresikan pengalaman hidup mereka.
merupakan asal usul keahlian mereka dalam Mitos memberikan arah kepada kelakuan
pembuatan perahu. Hal ini yang membuat manusia. Di sisi lain, mitos juga semacam
mereka menyakini diri bahwa mereka memang pedoman kebijaksanaan manusia. Lewat mitos,
terlahir sebagai pembuat perahu karena merasa manusia dapat turut serta dalam mengambil peran
mitologi Sawerigading tersebutlah menjadi ilham dan merespon kejadian-kejadian di sekitarnya,
masyarakat Bontobahari mendapatkan keahlian juga dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam.
tersebut. Adanya mitologi Sawerigading ini menjadi satu
Adapun mitologi Sawerigading yang klaim identitas sekaligus spirit masyarakat untuk
diyakini menjadi cikal bakal keyakinan sebagian terus menjadikan aktivitas pembuatan perahu
Panrita Lopi yang secara turun-temurun diyakini serta menjadi budaya masyarakat Konjo Pesisir
yakni cerita yang mengisahkan tentang perahu di Bontobahari. Adanya mitologi Sawerigading
Saweregading (Putra Raja Luwu) yang tenggelam ini menjadi satu klaim identitas sekaligus spirit
dan kemudian hanyut dan terdampar di sekitar masyarakat untuk terus menjadikan aktivitas
Tanjung Bira. Sehingga menurut Arief Saenong pembuatan perahu serta menjadi budaya
(2013) orang-orang di Desa Ara percaya bahwa masyarakat Konjo Pesisir di Bontobahari.
kepandaian nenek moyang mereka membuat Menurut Usman Pelly (1975), apabila
perahu yang disusun dari kepingan-kepingan keadaan geografis di Bontobahari dikaitkan
papan bersumber dari penemuan bagian-bagian dengan mitos Saweregading, maka akan tampak
perahu Sawerigading. Menurut masyarakat di motivasi sesungguhnya. Mitos Sawerigading
Desa Ara, kepingan-kepingan perahu tersebut telah menjadi pengukuh dalam memilih sebuah
dikumpulkan kemudian dirakit kembali (nipuli profesi pembuat perahu sebagai jawaban dari
paso’), dari hasil rakitan itulah orang Ara dapat tantangan alam yang dihadapi. Hal ini yang
ilham dasar dalam pembuatan perahu yang kemudian diungkap pada beberapa Panrita Lopi
mereka miliki sejak ratusan tahun lalu. Sedangkan (ahli pembuat perahu) di Bontobahari. Seperti
orang-orang di Desa Tana Lemo percaya juga yang diungkap dalam wawancara bersama Panrita
bahwa keahlian membuat perahu yang mereka H. Djafar dan Syarifuddin Lala di Tana Beru,
miliki sejak ratusan tahun lalu juga bersumber kemampuan membuat perahu didapatkan sejak
dari penemuan perahu Sawerigading, di mana dalam kandungan. Sebelum menjadi manusia
orang Tana Lemo terampil dalam hal membuat pun, diakui oleh keduanya, kemampuan itu sudah
sotting dan halusnya pekerjaan. Hal yang sama menjadi takdir dan bawaan dari nenek moyang.
juga diyakini orang Bira, mereka percaya bahwa Hal ini menunjukkan adanya spirit budaya
keahlian berlayar yang mereka miliki sejak dulu berkaitan dengan adanya mitologi Saweregading
diwarisi dari penemuan layar dan tali temali bagi Panrita Lopi, sehingga itu memunculkan
perahu Sawerigading penjiwaannya terhadap aktivitasnya dalam
Diyakini, mitologi Saweregading merupakan pembuatan perahu. H. Djafar mengakui ketika
pengukuh identitas masyarakat Bontobahari seseorang tidak bisa menjalankan sepenuhnya
sebagai komunitas masyarakat pembuat perahu pekerjaannya sebagai pembuat perahu, maka
dengan keahlian yang khas, sehingga masyarakat seseorang tidak akan pernah menjadi Panrita
Bontobahari percaya bahwa mereka memang Lopi. Sebab menjadi Panrita Lopi berarti harus
terlahir untuk membuat perahu sebagaimana memahami dan menjiwai aktifitasnya sebagai
mitos Saweregading. Menurut Van Peursen pembuat perahu tersebut.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378 373
Fitria Nugrah Madani

Selain diyakini dari mitologi Saweregading pembuatan lambung perahu yang dijelaskan
tersebut yang menunjukkan spirit budaya pada Liebner merupakan bagian paling rumit dan
masyarakat Bontobahari sebagai pembuat kompleks. Sistem pembuatan tersebut memang
perahu, terdapat unsur kebudayaan yang dapat teramat sederhana dan tradisional, namun
dianalisis. Unsur kebudayaan ini menunjukkan tidak mudah dilakukan oleh masyarakat awam.
aktivitas budaya pada berbagai sistem Penerapan sistem teknologi khususnya dalam
kebudayaan yang dilakukan suatu masyarakat. pembuatan lambung perahu memiliki ciri khas
Dari sistem kepercayaan masyarakat Bontobahari sendiri, diawali mengukur ukuran perahu hanya
mengawali dirinya dengan kepercayaan dengan menggunakan sebilah potongan bambu
animisme sebagaimana yang dianutnya sebelum (palatta). Dengan kata lain, palatta digunakan
Islam datang dan berkembang di Bontobahari. sebagai skala untuk menentukan ukuran perahu.
Kepercayaan ini memiliki pengaruh terhadap Ukuran ini kelak akan konsisten terhadap
tradisi pembuatan perahu, yaitu kesakralan yang pembuatan perahu dalam menyusun papan-papan
ada pada tradisi pembuatan perahu di Bontobahari lambung perahu.
diaktualisasikan dengan berbagai macam ritual, Penyusunan lambung perahu pun memiliki
baik dari awal mula proses penebangan kayu hitungan tersendiri dengan melakukan perhitungan
(ammalaq) untuk perangkat perahu hingga sesuai yang diinginkan pemesan perahu. Panrita
menuju peluncuran perahu (nipposiq). Lopi meminta patokan lebar ukuran perahu melalui
Namun seiring dengan berkembangnya Islam ukuran kaki atau tangan pemesan di sebilah
di Bontobahari yang kemudian berpengaruh bambu dengan menentukan ukuran berdasarkan
terhadap tradisi dan ritaul yang diakulturasikan nasib perahu (1) Massale-sale (bersenang-
dengan nilai-nilai Islam. Ritual yang dilakukan senang), (2) tallang ri lauq (tenggelam di laut)
baik ammalaq maupun nipossiq dilakukan secara (3) Mencari laba (4) Nialla Pamuso (diambil
tradisi Islam dengan doa-doanya yang berbahasa perampok), dan (5) Mate ri daraq (mati di darat).
Arab dan dicampur berbahasa konjo. Upacara Pengkalian ukuran pemesan akan diteruskan
ini dilakukan masyarakat Bontobahari dengan sehingga dapat berakhir dengan salah satu dari
barasanji (doa-doa yang dilakukan sekelompok ketiga nasib yang dianggap baik. Selanjutnya,
masyarakat yang dianggap dapat memiliki palatta tersebut akan diteruskan sebagai ukuran
berkah). Sebagaimana juga terdapat sajian-sajian untuk menentukan lunas (bagian dasar) perahu.
makanan yang harus disiapkan untuk didoakan Penyusunan lambung perahu memiliki nama dan
dan setelahnya dibagikan kepada warga yang pola tertentu dalam pembuatan perahu. Semua
datang saat ritual tersebut. hal dilakukan dengan peralatan sederhana laiknya
Pelaksanaan setiap ritual bagi pemesan peralatan tukang tradisional tanpa menggunakan
perahu juga harus dilakukan bersama antara konstruksi dan gambar perencanaan (print out)
pemesan dan panrita yang mengerjakan. Hal ini yang dilakukan para panrita. Bahkan Pelly
menandakan silaturahmi yang harus dilakukan (1975: 92) menyebutkan bahwa seorang panrita
kedua pihak harus terjalin secara baik yang hanya menyelesaikan pembuatan perahu dalam
juga akan berpengaruh terhadap nasib baiknya imajinasinya, lalu mengeksekusinya di Bantilang
perahu kelak. Ritual ini dianggap perlu sebab (lokasi pembuatan perahu di pinggir pantai).
antara pemesan dan Panrita Lopi, terdapat Ini unik. Sebab, konstruksi penyusunan
kegagalan pembayaran yang kerap menimbulkan lambung perahu di Bontobahari terus mengalami
ketidakharmonisan dan kadang salah satu pihak modifikasi bentuk sesuai fungsi dan bentuk
harus menggunakan ilmu sihir. Olehnya itu, layarnya, dari perahu pajala yang diyakini
setiap ritual pelaksanaan ini harus dihadiri kedua menjadi perahu tradisional pertama, hingga
belah pihak. perahu Pinisi yang diproduksi akhir abad ke-19.
Pada sistem teknologi, pembuatan perahu Dari sistem bahasa, masyarakat Konjo
oleh masyarakat Bontobahari dengan sistem Pesisir di Bontobahari memiliki sistem kata yang
teknologi yang ditonjolkan dengan cara terspesifikasi dalam penyusunan papan lambung

374 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378
LOCAL GENIUS TRADISI PEMBUATAN PERAHU MASYARAKAT BONTOBAHARI TERHADAP
SPIRIT KEBUDAYAAN MARITIM NUSANTARA

perahu. Setiap penamaan papan lambung bahwa ikatan punggawa (kepala tukang) sawi
menandai susunan papan yang menggunakan (pekerja) masih bertahan sebagai pola umum
bahasa Konjo (bahasa yang digunakan masyarakat dalam organisasi produksi pembuatan perahu,
Bontobahari). Terdapat juga kata tertentu dalam tetapi berbagai perubahan telah terjadi dalam
susunan papan lambung yang tidak memiliki bentuk terdiferensiasinya sejumlah fungsi yang
definisi khusus yang merujuk pada makna sebelumnya terkonsentrasi pada diri punggawa.
tertentu dalam bahasa Konjo, hanya ada pada Dalam sistem mata pencaharian, pembuatan
sistem penyusunan lambung perahu tersebut. perahu di Bontobahari merupakan bagian dari
Seperti misalnya Kalabiseang (jiwa perahu), mata pencaharian pokok yang pada umumnya
bengo, rakka, papangappa (papan empat), dilakukan masyarakat. Menurut Mulyadi
papanglima (papan lima), papangannang (papan Salam (2017), Kepala Desa Ara, Bontobahari,
enam), urussangkaraq (papan pertama), sangahili mengatakan bahwa mayoritas penduduk di
pintallu (urat buritan tiga lapis), sangahili Desa Ara adalah pekerja perahu, yang juga
pinruang (urat buritan dua lapis), pannappu banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia,
tallulalang, tungku-tungkulu (penyangga), dan mayoritas penduduk Desa Ara merantau untuk
sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan membuat perahu di daerah yang dekat dengan
untuk menandai setiap konstruksi pembuatan pelabuhan besar, seperti di Gresik, Batu Licin,
perahu yang sebagian besar istilah tersebut Kendari dan Sunda Kelapa. Perkembangan
memang hanya diketahui secara teknis dan pembuatan perahu di Bontobahari kemudian
maknanya pengunaannya oleh oleh Panrita difasilitasi oleh pemerintah dengan dibukanya
saat proses pembuatan perahu. Dibutuhkan Tana Beru, yang akhirnya pada tahun 1990
pembahasan lebih mendalam untuk penjelasan menjadi industri pembuatan perahu.
masing-masing istilah di atas.
Dalam sistem pengetahuan, tradisi pembuatan
Dalam sistem organisasi, masyarakat perahu diwariskan dengan lisan (oral) dan secara
Bontobahari memiliki pembagian kerja dan langsung (interface), yang mengandalkan memori
klasifikasi pekerja dalam pembuatan perahu. kolektif. Hal ini disebabkan karena tradisi
Terdapat organisasi produksi antar daerah (Desa dalam masyarakat tradisional di Indonesia pada
Ara, Tana Beru, Lemo-Lemo, dan Bira), begitu umumnya adalah tradisi lisan, begitu juga dalam
juga dalam sistem kerja pembuatan perahu. tradisi pembuatan perahu di Bontobahari. Tidak
Organisasi produksi antar daerah tercipta dari adanya konsep atau sumber tertulis maupun
adanya klasifikasi keahlian masing-masing desa rumus matematis yang menjadi rujukan dalam
di Bontobahari. Di Desa Ara terkenal dengan para pembuatan perahu.
tukangnya (sawi), Desa Lemo-Lemo terkenal
dengan para panrita (ahli pembuat), Desa Bira Meskipun begitu, menurut H. Djafar
terkenal dengan para pelayar dan pembuat layar, dan Syarifuddin Lala (2017), tak ada satupun
dan juga di Tana Beru menjadi pusat industri proyek pembuatan perahu yang pernah gagal
pembuatan perahu di Bontobahari. dalam pembuatannya dengan perhitungan yang
mengandalkan cara tradisional tersebut. Sehingga
Organisasi produksi pada sistem kerja pengetahuan mereka dengan metode yang
pembuatan perahu juga terbagi dan terspesifikasi mengandalkan memori kolektif dalam pembuatan
dalam kerja dan pekerjannya, di mana punggawa perahu menjadi kelebihan sendiri. Menurut
(panrita) memainkan peranan sentral sebagai Liebner (2017) meskipun pada akhirnya ada yang
pemimpin dalam pembuatan perahu yang bisa menghitung dengan teori matematis dalam
juga sebagai penguasa mantra, guru, dan pembuatan perahu yang dilakukan layaknya pada
penghubung terhadap pemesan. Sedangkan sawi masyarakat Bontobahari, namun pekerjaan yang
sebagai pengikut punggawa. Dalam manajemen dilakukan langsung oleh masyarakat pembuat
organisasi, suatu pekerjaan harus dipimpin satu perahu di Bontobahari lebih berkualitas yang
orang untuk mengkoordinatori dan mengevaluasi hanya mengandalkan memori kolektif dan tidak
hasil kerja. Menurut Salman (2006: 57)

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378 375
Fitria Nugrah Madani

menggunakan rancangan konsep yang tertulis dan dengan kehidupan mikrokosmos (manusia).
terencana. Menurut Darwis, keturunan panrita di Desa
Dalam sistem seni Liebner (2017) Tana Beru, Bontobahari mengungkapkan
menyatakan bahwa pembuatan perahu merupakan bahwa pembuatan perahu pada dasarnya
pekerjaan paling rumit dan kompleks yang menurut masyarakat Bontobahari sama dengan
diciptakan manusia sebelum revolusi industri, menciptakan “manusia”. Maka segala prosesi
yang merupakan seni tertinggi dalam pembuatan dalam pembuatan perahu harus diwujudkan
alat transportasi. Sehingga pembuatan perahu dengan proses penciptaan manusia. Begitu
dalam masyarakat Bontobahari merupakan seni juga dengan teknik pembuatan perahu, yang
tersendiri sebagai suatu karya dalam tradisi beberapa teknik penyusunan balok dan papan
maritim. perahu menggunakan istilah pada konteks
“dilahirkannya manusia ke muka bumi”. Hal
Dari hasil analisis terhadap unsur-unsur
ini digambarkan dengan pada proses awal
budaya yang ada pada tradisi pembuatan perahu
penyambungan Kalabiseang (lunas) maupun
masyarakat Bontobahari tersebut, secara tidak
sistem pemasangan papan-papan lambung
langsung mencerminkan spirit budaya maritim
dalam pembuatan perahu, terdapat penyebutan
lokal yang tidak banyak menjadi perhatian.
memasukkan “laso (alat kelamin lelaki) ke telang
Seperti yang telah dijelaskan oleh Alo Liliweri
(alat kelamin perempuan)” atau dalam istilah
(2014) bahwa kebudayaan sebagai folk spirit
biologis, memasukkan “penis ke dalam lubang
dari sebuah identitas yang unik. Hal ini berarti
vagina”.
aktivitas pembuatan perahu yang dilakoni
masyarakat Bontobahari bukan hanya sekadar Secara implisit, perwujudan perahu
pekerjaan material semata, namun menjadi folk sebagai manusia merupakan cara masyarakat
spirit mereka yang memiliki keahlian yang khas mengidentikkan aktivitasnya, menurut Liebner
dan asli (local genius) dalam dunia maritim, baik (2017), hal tersebut menjadi instrumen bagi
pelayaran maupun sistem perkapalan. masyarakat dalam mengekspresikan dengan
hal-hal terdekat. Sehingga nilai yang terlihat
dalam aktivitas pembuatan perahu tersebut
Wujud Kebudayaan Pembuatan Perahu mengandung pesan moral dalam memanusiakan
Spirit budaya pada masyarakat Bontobahari segala hal, termasuk alam dan penciptaan karya
dapat juga dianalisis dengan adanya tiga wujud yang dilakukan secara totalitas dan dianggap
kebudayaan idea atau gagasan, aktivitas, dan melahirkan manusia.
artefak. Idea merupakan wujud ideal dari sebuah Wujud idea dalam pembuatan perahu di
kebudayaan. Dia bersifat abstrak, inmateri, dan Bontobahari juga kemudian melahirkan aktivitas
naratif. Kehadirannya memberikan jiwa kepada wujud dalam tradisi dan upacara pembuatan
masyarakat kebudayaan, baik dalam pergaulan perahu. Terdapat ritual pemotongan kayu, lunas,
maupun sistem yang terbangun di dalamnya. hingga peluncuran perahu. Tradisi dan ritual yang
Aktivitas kebudayaan berwujud ke dalam dilakukan merupakan bentuk lanjutan dari idea
sistem sosial yang meliputi interaksi, hubungan, pembuatan perahu sebagai “penciptaan manusia”.
dan pergaulan satu sama lain. Sistem sosial Tradisi dan upacara pun tidak jauh berbeda dalam
bersifat konkret. Peristiwanya dapat diobservasi, tradisi dan ritual untuk memberikan rasa syukur
didokumentasikan, dan dipotret. Wujud terakhir pada kelahiran manusia ke muka bumi. Sehingga
adalah artefak sebagai buah karya manusia semua tradisi dan upacara yang dilakukan sebagai
kebudayaan. Wujudnya disebut kebudayaan bentuk representasi idea perahu yang diidentikkan
fisik. Dia berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, sebagai manusia.
perbuatan, dan karya manusia kebudayaan.
Perahu merupakan wujud konkret (artefak)
Idea dalam penciptaan perahu di Bontobahari dari adanya ide dan aktivitas pembuatan perahu
tidak terlepas dari kepercayaan dari masyarakat pada masyarakat Konjo Pesisir di Bontobahari.
Bontobahari terkait Perahu yang diidentikkan Maka beberapa perahu terkenal pembuatannya

376 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378
LOCAL GENIUS TRADISI PEMBUATAN PERAHU MASYARAKAT BONTOBAHARI TERHADAP
SPIRIT KEBUDAYAAN MARITIM NUSANTARA

berasal dari masyarakat Bontobahari, seperti Potensi pembuatan perahu di Bontobahari


perahu Pinisi yang saat ini bahkan dapat banyak digunakan oleh pihak asing untuk
dimodifikasi dengan menambahkan fasilitas melakukan investasi pembuatan kapal-kapal
mewah layaknya kapal pesiar. pesiar yang megah, yang diakui oleh pengusaha-
Dengan adanya wujud kebudayaan di atas, pengusaha perahu di Bontobahari merupakan
local genius pembuatan perahu di Bontobahari ladang bisnis yang sangat menguntungkan.
menjadi satu identitas yang melekat pada Keahlian pembuat perahu di Bontobahari bisa
masyarakat Bontobahari, sehingga spirit dimanfaatkan untuk terciptanya ekowisata
kebudayaan terhadap eksistensi perahu terlihat maritim di Indonesia, seperti pengadaan sekolah-
dengan cara masyarakat pembuat perahu sekolah maritime, tour travel dengan perahu-
mengeksistensikan perahu sebagai budaya perahu. Di sisi lain, juga dapat dimanfaatkan
mereka. untuk memaksimalkan pengadaan transportasi
laut demi distribusi bahan pangan di Indonesia ke
Pembuatan perahu di Indonesia tidak bisa
daerah-daerah terpencil dan juga dapat melakukan
dilepaskan perannya, terlebih ketika dalam
upaya pariwisata bahari dengan pembuatan kapal-
nawacita pemerintah Indonesia menyebutkan
kapal pesiar untuk turis-turis asing yang datang
adanya tujuan mewujudkan Indonesia sebagai
ke Indonesia dan juga sebagai media untuk
negara poros maritim dunia. Hal ini karena
mengenalkan local genius pembuatan perahu di
eksistensi local genius pembuatan perahu
Indonesia yang ada di Bontobahari.
merupakan satu simbol bahwa kemandirian
bangsa dalam menciptakan kreatifitas Saat ini Tana Beru yang oleh pemerintah
kemaritiman dengan berwujud pembuatan perahu dibuka sebagai kawasan yang khusus untuk
seperti yang dilakukan masyarakat Bontobahari. industri pembuatan perahu telah diakui menjadi
Hal ini juga menandakan pembuatan perahu pada daerah pembuatan perahu terbesar di Indonesia
hakikatnya Indonesia secara lokal telah memiliki bahkan di dunia (Alimuddin, 2016). Keuntungan
potensi untuk membangun konsep maritimnya. yang didapat dari industri pembuatan perahu pun
tidak bisa dipungkiri. Saat ini industri perahu
Menurut budayawan sekaligus pemerhati
untuk kapal pesiar di Tana Beru berkembang
pinisi di Bontobahari, Agusriadi (2017)
pesat. Pemesan asing meningkat sejak perahu
mengungkapkan bahwa perlu sebuah upaya
Pinisi mengikuti pameran di Vancouver Kanada.
yang dilakukan pemerintah terhadap eksistensi
pembuatan perahu di Bontobahari. Upaya-upaya Fian (2017), pemerhati pembuatan perahu
tersebut dengan melakukan internalisasi nilai- di Tana Beru, mengatakan bahwa potensi
nilai panrita (ahli pembuat perahu) agar supaya Bontobahari sebagai daerah sentral pembuatan
spirit terhadap maritim juga dapat dirasakan perahu sangat signifikan dalam kemaritiman
masyarakat luas, sehingga menjadi upaya sadar Indonesia. Saat ini pembuatan perahu di Tana
maritim dan dapat membangun konsep negara Beru terfokus pada pembuatan perahu untuk
maritim dengan basis budaya. Potensi keahlian kapal pesiar, karena dianggap memiliki nilai
pembuatan perahu jika tidak dibarengi dengan estetis sendiri sebagai perahu-perahu ekowisata
kesadaran tentang pentingnya keahlian tersebut layaknya kapal pesiar. Para pemesan bahkan
oleh generasi muda berpotensi merosot dan lebih banyak dari negara seperi Jerman, Amerika
terancam hilang. Dengan demikian, untuk Serikat, Australia, dan Perancis, sehingga
menginternalisasi nilai-nilai kebaharian khususya investasi banyak dilakukan oleh orang asing
pembuatan perahu yang genuine berasal dari di Indonesia dalam sektor wisata kebaharian.
masyarakat Konjo Pesisir di Bontobahari tersebut Padahal potensi pembuatan perahu di Indonesia
harus diupayakan semacam sebuah forum khusus dengan berbasis ekowisata bisa dimanfaatkan,
untuk belajar tentang keahlian tersebut atau terlebih Indonesia kaya akan wisata bahari. Hal
dibuatkan semacam lembaga untuk menurunkan ini yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah
tradisi pembuatan perahu. dengan keahlian pembuat perahu dengan adanya
local genius masyarakat Bontobahari.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378 377
Fitria Nugrah Madani

KESIMPULAN Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I.


Jakarta: Rineka Cipta.
Ditelisik dari sejarahnya, tradisi pembuatan
Liebner, Horst. 2016. Beberapa Catatan akan Sejarah
perahu pada masyarakat Bontobahari merupakan Pembuatan Perahu dan Pelayaran Nusantara.
suatu aktifitas budaya yang khas dan disebut
Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan.
local genius. Local genius ini tentu tak semata Nusa Media: Bandung.
keahlian pembuatan perahu saja, namun terdapat Linton, Ralph. 1945. The Cultural Background of
aktivitas budaya yang dilakukan masyarakat Personallity. New York: Appleton-Crofts.
Bontobahari yang kerap memunculkan sebagai Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif.
spirit kebudayaan. Spirit ini ditonjolkan Bandung: Remaja Rosda.
dengan mengukuhkan identitas kemampuan Nawawi, Hadari. 2007. Metodologi Penelitian Bidang
bagi masyarakat pembuatnya. Dengan adanya Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University
spirit kebudayaan berdasarkan local genius Press.
yang berkembang, masyarakat Bontobahari Nontji, Anugerah. 1987. Laut Nusantara. Jakarta:
menunjukkan berbagai kekhasan baik kemampuan Djambatan.
maupun sebagai budaya maritim. Rahman, A. Hamid. 2013. Sejarah Maritim Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tentu kemampuan yang ada pada masyarakat
Rahim, A. Rahim. 1985. Nilai-nilai Utama Kebuday-
Bontobahari memiliki potensi yang dapat
aan Bugis. Makassar: Lembaga Penerbitan
berpengaruh terhadap ekspansi potensi kebaharian Universitas Hasanuddin.
Nusantara. Hal ini bisa dilakukan jika terjadi Ridwan Alimuddin. 2012. Ekspedisi Garis Depan
pemaksimalan peran masyarakat Bontobahari Nusantara. Teluk Mandar Kreator: Polewali
dalam industri maritim di Indonesia. Dengan Mandar.
adanya kemampuan yang berciri khas sebagai Salman, Darmawan. 2006. Jagad Maritim: Dialektika
aktivitas budaya ini menjadi harapan munculnya Modernitas dan Artikulasi Kapitalisme pada
gerakan-gerakan untuk melestarikan local genius Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan.
pembuatan perahu di Bontobahari. Bahkan dengan Makassar: Inninawa.
langkah Pemerintah dapat mengambil peran Saenong, Arief. 2013. Pinisi: Paduan Teknologi dan
Budaya. Yogyakarta: Ombak.
dalam pengembangan local genius masyarakat
Bontobahari yang perlahan juga diakui akan Peursen, Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
mengalami kemerosotan kemampuan jika tidak
Usman Pelly. 1975. Ara dengan Perahu Bugisnya.
terdapat upaya-upaya edukasi mengenai adanya
Ujungpandang: Tesis tidak diterbitkan dari
kemampuan masyarakat Bontohari ini. Pusat Latihan Ilmu–ilmu Sosial.

REFERENSI Daftar Wawancara


Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa
Ali, kepala tukang pembuat perahu di Desa Ara, pada
(Local Genius). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
10/04/2017.
Bakker, Pater Jan. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yog-
Djafar, panrita di Tana Beru pada 14/04/2017.
yakarta: Kanisius.
Idris Sikka, Sejarawan Ara di Desa Ara pada
Dahuri, Rochman dkk. 2004. Pengelolahan Sum-
12/04/2017.
berdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara
Terpadu. Jakarta: Pradiya Paramita Hamid. Syafaruddin Lala, panrita di Tana Beru, pada
15/04/2017.
Gibbins, David dan Adams, Jonathan. 2001. Ship-
wrecks and Maritime Archaeology, World Horst H. Liebner, Peneliti perahu-perahu Nusantara
Archaeology, 32 (3), 279-91. di Tana Beru pada 17/04/2017.
Horridge, Adrian. 1979. The Konjo Boatbuilders and Agusriadi Maulana, Budayawan dan pemerhati Pinisi
the Bugis Perahu of South Sulawesi. Green- di Desa Bialo, Kabupaten Bulukumba pada
wich: National Maritime Museum. 16/04/2017.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Yogya- Fian, Pengusaha dan pemerhati Pinisi di Tana Beru,
karta: Paradigma. pada 15/04/2017.

378 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 23 No. 3 Tahun 2021, hlm. 367–378

Anda mungkin juga menyukai