Anda di halaman 1dari 44

Peranan Pariwisata Berbasis Budaya

dalam Melestarikan Budaya Tradisional Bali

Oleh :
Achmad Rhesa Saputra, 0806317911
Ilmu Administrasi Fiskal

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2010
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan juga telah memberikan
kami kesempatan untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah yang
berjudul ”Peranan Pariwisata Berbasis Budaya dalam Melestarikan Budaya
Tradisional Bali”.

Penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada


semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materil, diantaranya:

1. Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Ilmu Sosial


dan Ilmu Politik.
2. Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI.
3. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, yang
senantiasa buka setiap hari sehingga kami dapat
mengumpulkan informasi mengenai BPK.
4. Orang tua kami.
5. Teman-teman kami, khususnya jurusan Ilmu
Administrasi.
Kami sebagi penulis menyadari akan kekurangan pada karya tulis
ilmiah kami, yang mana tentunya masih jauh dari sempurna terlebih
dalam pembuatan karya tulis ini kami mengerjakannya sambil belajar
atau leraning by doing . Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca guna terciptanya karya-karya kami yang lebih baik di
masa yang akan datang.

Depok, Februari 2010

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL
iii RINGKASAN
iv

BAB I PENDAHULUAN
1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah
3
C. Gagasan Kreatif 3
D. Tujuan Penulisan
4
E. Manfaat Penulisan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Landasan Teori 5
2.2 Pendapat yang Relevan
11

BAB III METODE PENULISAN


13

BAB IV ISI 14

A. Analisis Permasalahan 14
Pariwisata sebagai langkah penyelamatan budaya bangsa
14 Manfaat Pariwisata dari Sektor Ekonomis
16 Pariwisata Merusak Budaya
18 Tidak Ada Budaya yang Asli
19 Pariwisata Memperkuat Budaya
22 Rencana Aksi Pariwisata
Berbasis Budaya 26

B. Simpulan 32
C. Saran 33

DAFTAR PUSTAKA vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penilaian Wisman Terhadap Objek Wisata 15


RINGKASAN

Indonesia merupaka negara yang sangat kaya akan budaya, namun


kebudayaan itu tampaknya semakin terancam di masa globalisasi
seperti sekarang. Proses masuknya kebudayaan barat melalui berbagai
media perlahan tapi pasti semakin melunturkan kebudayaan
Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka budaya mutlak
harus dilestarikan. Menjaga nilai-nilai budaya merupakan kewajiban
bersama sebagai generasi pewaris kebudayaan tersebut. Cara yang
baik untuk melestarikan seni budaya adalah dengan
mempraktikkannya secara berkelanjutan. Hal ini berangkat dari
pemahaman bahwa sesuatu yang terus menerus dikerjakan, maka
tidak akan terlupakan dan akan melekat serta terpatri di dalam
sanubari. Oleh karena itu, perlu adanya usaha untuk membuat
masyarakat mau menjalankan praktik-paraktik seni budaya tersebut.
Menjadikan kebudayaan sebagai komoditas pariwisata merupakan cara
yang tepat agar masyarakat memiliki kemauan untuk berkecimpung di
bidang seni-budaya.

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk Menunjukkan


keuntungan penerapan pariwisata berbasis budaya terhadap
kelestarian budaya. Sebagai landasan teori, pariwisata dapat diartikan
keseluruhan gelaja-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan
pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal
sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak
memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu.
Batasan ini merupakan definisi yang diterima oleh The Assocition
Internatinale des Experts Scientifique du Tourisme (AIEST) yang
berlaku sampai saat ini.

Penulisan karya tulis ini menggunakan metode studi literatur.


Data-data didapat dari berbagai buku dan beberapa artikel dari
internet. Dalam karya tulis ini, penulis membahas mengenai dampak
positif pariwisataterhadap kebudayaan Bali, selain itu penulis juga
menganalisa dua pendapat yang bertolak belakang terkait pariwisata
berbasis budaya.

Penulis menyimpulkan bahwa pariwisata dapat berdampak


positif, yakni melestarikan kebudayaan Bali. Penambahan anggaran
sektor pariwisata di dalam APBN ataupun APBD penulis
rekomendasikan sebagai saran.

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia telah dikenal di seluruh dunia akan kekayaannya yang berlimpah,


baik itu sumber daya alam maupun kekayaan budayanya. Dalam hal kultural, kita
tidak dapat menafikan lagi jika Indonesia merupakan salah satu negara yang
benar-benar diberkahi Tuhan dengan keanekaragaman budaya. Betapa tidak,
dengan lebih dari tujuh ratus empat puluh suku bangsa yang hidup di Indonesia,
berkembangnya lima agama besar dunia, lokasinya yang terletak di jalur silang
antara dua samudera dan dua benua, dan terdiri dari tujuh belas ribu lebih pulau
yang berserakan di wilayah khatulistiwa sepanjang tiga ribu mil dari Timur ke
Barat dan seribu mil dari Utara ke Selatan, telah menjadikan Indonesia menjadi
negara yang sangat majemuk. Kemajemukan bangsa ini pula yang membuat
Indonesia memiliki seni budaya yang melimpah ruah. Hal itu merupakan potensi,
sekaligus amanah yang harus kita jaga.

Dengan semua kekayaan itu, kini Indonesia memasuki masa di mana


kehidupan semakin membutuhkan interaksi yang tidak terbatas sehingga
masyarkat dunia terkoneksi dengan masyarakat di belahan dunia lain. Batas
negara pun menjadi semu atau borderless. Dunia seolah menjadi sebuah
perkampungan kecil dan hal itulah yang sekarang dikenal dengan istilah
globalisasi. Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20,
telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap
menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan
bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Bagi bangsa
Indonesia budaya adalah kekuatan. Kesenian rakyat, salah satu bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi.

Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi
Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika
seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka
berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-
bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya.
Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai
bangsa, yang dahulu dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk
yang lebih luas dengan nama globalisasi.

Apa yang dikatakan Thiong’O tentu saja dapat mengancam kekayaan budaya
yang dimiliki Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, budaya merupakan perekat
berbagai perbedaan yang ada, misalnya perbedaan agama. Sebagai contoh, di
kalangan masyarakat adat di Sulawesi Barat, adat menjadi perekat bersama dalam
menghadapi ketegangan yang lahir dari perbedaan agama, khususnya di daerah
Polmas, Sulawesi Barat, dalam kasus ketegangan antara komunitas penganut
Islam dan penganut agama Kristen. Konflik bermula ketika adat dilepaskan
sebagai ikatan kebersamaan dalam konteks kebangsaan. (Ahmad Baso : 2010 ).
Selain sebagai perekat, budaya merupakan harga diri serta jati diri bangsa yang
harus tetap lestari keberadaannya.

Dampak negatif globalisasi pada aspek kultural Indonesia, sedikit banyak


telah tampak dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Gaya hidup
masyrarakat Indonesia yang semakin kebarat-baratan, perilaku yang telah
mengabaikan adat ketimuran, serta seni budaya yang semakin dilupakan adalah
bukti nyata bahwa globalisasi telah mengancam eksistensi kebudayaan Indonesia.
Untuk itulah diperlukan tindakan penanggulangan yang segera atas isu ini karena
arti pentingnya yang sangat vital . Dalam membangun bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang tangguh, budaya nasional perlu dibina dan dikedepankan agar dapat
berfungsi sebagai pemersatu anak bangsa, karena tidak ada bangsa yang berhasil
maju kecuali maju sebagai satu kesatuan yang utuh dalam mempertahan-kan jati
diri dan budayanya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka budaya mutlak harus dilestarikan.


Menjaga nilai-nilai budaya merupakan kewajiban bersama sebagai generasi
pewaris kebudayaan tersebut. Cara yang baik untuk melestarikan seni budaya
adalah dengan mempraktikkannya secara berkelanjutan. Hal ini berangkat dari
pemahaman bahwa sesuatu yang terus menerus dikerjakan, maka tidak akan
terlupakan dan akan melekat serta terpatri di dalam sanubari. Oleh karena itu,
perlu adanya usaha untuk membuat masyarakat mau menjalankan praktik-paraktik
seni budaya tersebut. Menjadikan kebudayaan sebagai komoditas pariwisata
merupakan cara yang tepat agar masyarakat memiliki kemauan untuk
berkecimpung di bidang seni-budaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang muncul adalah
sebagai berikut:

1. Mengapa sektor pariwisata bisa membuat masyarakat menekuni seni dan


budaya?

2. Apakah benar jika sektor pariwisata justru akan menghancurkan


kebudayaan?

3. Langkah apa saja yang dapat ditempuh dalam melaksanakan program


pariwisata berbasis budaya?

C. Gagasan Kreatif

Penulis mengemukakan gagasan pariwisata berbasis kebudayaan untuk


dijadikan solusi dalam menjaga kelestarian budaya di Indonesia. Gagasan ini
penulis pilih sebagai alternatif solusi karena dapat memberikan dorongan yang
kuat kepada masyarakat agar dapat terus mempraktikkan berbagai macam seni
budaya yang ada. Pariwisata Indonesia pada dasarnya telah menngunakan konsep
pariwisata budaya mengingat terdapat begitu besar potensi keragaman budaya
yang dimiliki Indonesia. Untuk itu, program ini hendaknya terus digalakkan
karena agar dapat berjalan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam karya tulis ini, penulis menganalisis dua buah pendapat yang saling
bertentangan mengenai pariwisata berbasis budaya. Kemudian penulis memilih
satu pendapat yang penulis anggap valid terkait masalah ini. Selain itu penulis
juga berusaha menunjukkan langkah konkret dalam bentuk rencana aksi yang
dapat dilakukan dalam rangka menjalankan program ini.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:

1. Menunjukkan keuntungan penerapan pariwisata berbasis budaya


terhadap kelestarian budaya.

2. Menganalisis dua pendapat yang bertentangan mengenai pariwisata


berbasis budaya.

3. Menyajikan rencana aksi sebagai langkah nyata untuk memulai


program pariwisata berbasis budaya.

E. Manfaat Penulisan

1. Memberi alternatif solusi dalam menjaga eksistensi kebudayaan Indonesia


dengan cara pemanfaatan budaya tersebut.

2. Menambah wawasan bagi pembaca mengenai permasalahan budaya yang


ada di Indonesia, khusnya pariwisata berbasis budaya.
BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Landasan Teori

PARIWISATA

Kata pariwisata sesungguhnya baru popular di Indonesia setelah


diselenggarakan Musyawarah Nasional Tourism ke-2 di Tretes, Jawa Timur, pada
tahun 1958. Sebelumnya sebagai kata ganti “pariwisata” digunakan kata
“tourisme” yang berasal dari bahsa Belanda.

Seorang ahli ekonomi bangsa Austria Herman V. Schulard pada tahun


1910 telah memberikan batasan kepada pariwisata sebagai sejumlah kegiatan,
terutama yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian yang secara langsung
berhubungan dengan masuknya, ada pendiaman dan bergeraknya orang-orang
asing keluar masuk suatu kota, suatu daerah atau suatu negara.

E. Guyer Freuler merumuskan pengertian pariwisata dengan memberikan


batasan sebagai berikut: “Pariwisata dalam artian modern merupakan fenomena
dari zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan
pergantian hawa, penilaian yang sadar akan menumbuhkan cinta kepada
keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan
berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasuk dari perkembangan
perniagaan industri, perdagangan serta penyempurnaan dari alat-alat
pengangkutan.”

Batasan yang lebih bersifat teknis dikemukakan oleh Prof. Hunzieker dan
Prof. K. Krapf dalam tahun 1942 dimana batasanya mengatakan bahwa
kepariwisataan adalah keseluruhan gelaja-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan
dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara,
asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan
dari aktivitas yang bersifat sementara itu. Batasan ini merupakan definisi yang
diterima oleh The Assocition Internatinale des Experts Scientifique du Tourisme
(AIEST) yang berlaku sampai saat ini.

Pariwisata mempunyai berbagai tujuan, dan salah satunya adalah


kebudayaan. Wisatawan secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu
untuk mendapat kesenangan. Di samping pariwisata dengan tujuan umum itu
terdapat apa yang disebut dengan pariwisata minat khusus. Yang khusus itu
objeknya, yaitu bisa alam dan bisa pula budaya. Dalam minat khusus tersebut
terdapat varian yang pasif dan yang aktif. Yang pasif, wisatawan terutama
menerima’sajian’, dalam arti menikmati suatu lingkungan alam yang
mengagumkan atau yang langka, ataupun menyaksikan ekspresi-ekspresi budaya
yang khas, dan mungkin langka pula seperti upacara-upacara daur kosmik. Untuk
yang aktif, wisatawan melakukan sesuatu kegiatan terkait dengan objeknya,
seperti arung jeram dalah hal wisata alam. Dalam hal wisata budaya, wisatawan
ikut melakukan kegiatan untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya, seperti
belajar disertai praktek membuat anyam-anyaman, membatik, belajar menari, dan
lain-lain.

KEBUDAYAAN

Pengertian Kebudayaan Menurut Beberapa Ahli

1. Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya


terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota
masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial,


ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan
sosial.
3. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya


manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.

4. Dr. K. Kupper

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah


bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun
kelompok.

5. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh
para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan
melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua
masyarakat.

6. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap
dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup
manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai.

7. Francis Merill

• Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi sosial


• Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai
anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
8. Bounded et.al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari
kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa
sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya
di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di
harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem
pendidikan dan semacam itu.

9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)

Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas


manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara
sosial dan bukan sekedar di alihkan secara genetikal.

10. Robert H Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat,


mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan,
keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan
warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.

11. R. Seokmono

Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun
hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.

Kesimpulan

Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai


kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang
terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.

WISATA BERBASIS BUDAYA

Wisata berbasisi budaya diartikan sebagai jenis kegiatan pariwisata yang


objeknya adalah kebudayaan. Ini dibedakan dari minat-minat khusus lain, seperti
wisata alam, dan wisata petualangan. Namun tidak berrati seorang wisatwan tidak
bisa memiliki lebih dari satu program wisata.

Objek ‘daya tarik’ wisata budaya itu dapat berkisar pada beberapa hal, seperti:
kesenian (seni rupa dan segala bentuk seni pertunjukkan), tata busana, boga,
upacara adat, demonstrasi kekebalan dan komunikasi dengan alam ghaib,
lingkungan binaan, serta keterampilan-keterampilan khusus fungsional seperti
membuat alat-alat dan sebagainya).

Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis,
dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat
kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata.
Kompromi-kompromi sering harus diambil. Namun yang memerlukan hehati-
hatian lebih besar adalah dalam niatan untuk ‘mengemas’ sajian-sajian yang
bermakna religi bagi masyrkat pemiliknya. Perlu dijaga betul agr agar di suatu
sisi, tidak terjadi pelecehan terhadap praktek religi yang bersangkutan, dan di sisi
lain tidak mendorong orang ke jalan musyrik.

GLOBALISASI

Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang


bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh
aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan
permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingan kehidupan.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu


keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat
semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari
perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian
W. Pye, 1966 ). Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar
dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar
lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah
diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai
sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.

Dalam kata globalisasi tersebut mengandung suatu pengertian akan


hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang dan jasa antar negara
diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam perdagangan. Dan
dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang masuk bukan hanya
barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya
dan lain-lain.

Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada


penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia,
yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi
tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi
modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan
lebih baik secara budaya.

Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang.


Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau
menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian
lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat
dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya.

Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004)
adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan
politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan
merasuk ke dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi
produk global.

B. Pendapat yang Terkait

Prof. Selo Soemardjan: kebudayaan akan terus berkembang, karena memang


dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan,
seperti adanya perkembangan industri pariwisata.

Prof. Emil Salim: pencemaran seni budaya itu bergerak sesuai dengan
perkembangan dan pertambahan penduduk. Contoh: film di tahun lima puluhan
dan bandingkan dengan film Indonesia masa kini. Perubahan-perubahan unsure
kebudayaannya tampak sekali. Baik itu dari tata kehidupan masyarakatnya
maupun mode pakaian, hiasan dan sebagainya. Mengenai kemungkinan
kebudayaan asing terserap ke dalam kebudayaan kita, hal demikian adalah wajar
saja karena ada pergaulan dengan orang asing, baik karena pergaulan ekonomi,
politik atau pergaulan internasional lainnya.

Prof. Dr. Edi Sedyawati: agar kebudayaan dapat lestari dan selalu eksis, maka
upaya-upaya yang perlu dijamin kelangsungannya meliputi perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatannya.

Mohammad Husein Hutagalung: eksistensi budaya dan pariwisata adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Di salah satu sisi, budaya memiliki potensi untuk
menarik orang-orang yang akan berujung pada perkembangan sektor pariwisata.
Di sisi lain, pariwisata dapat menjaga bahkan mengembangkan kebudayaan dan
nilai-nilainya. Namun di samping itu, eksploitasi kebudayaan dapat menjadi
negatif ketika dikembangkan tanpa tanggung jawab.

Prof. Dr. S. Budhisantoro: Selama ini pariwisata hanya dilihat dari sisi
keuntungan materi saja. Pariwisata dikatakan penghasil devisa yang prospektif
yang harus dikembangkan sebagai suatu industri. Namun pengalaman mengatakan
lain, pengembangan pariwisata itu jelas dapat membahayakan pengemmbangan
kebudayaan selanjutnya. Demi mengejar dolar wisatawan, terjadi pengikisan
kehidupan beragama melalui penodaan terhadap upacara-upacara keagamaan yang
disulap menjadi barang dagangan konsumsi wisatawan.

Greenwood: kebudayaan telah dipaket-paket, dihargakan, dan dijual bagaikan


menjual barang dagangan lainnya, seperti fast food! Komoditisasi kebudayaan
pada akhirnya telah merampok manusia dari makna, nilai, pada mana mereka
mengorganisasikan hidup dan kehidupannya.

John Naisbitt: semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin
menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal,
namun bertindak global. Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita
harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh
kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia
Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang
dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-
masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam era
globalisasi ini.

BAB III

METODE PENULISAN
Penulisan karyat tulis ini berdasarkan studi literatur dan metode deduktif.

Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:

Menentukan tema yang disediakan, kemudian peneliti merumuskan


masalah. Setelah diketahui permasalahan yang akan dibahas selanjutnya
dilakukan proses pengumpulan data. Untuk mengumpulkan data penulis
melakukan studi literatur dengan membaca beberapa buku dan merujuk ke artikel-
artikel di internet. Setelah data-data terkumpul, penulis mengolah data tersebut.
Pengolahan data dilakukan secara kualitatif, dengan mengaitkan antara dengan
rumusan masalah yang sudah diketahui dengan data-data yang terkumpul. Dengan
informasi yang ada, penulis berusaha menelusuri penyebab terjadinya masalah
dan mencarikan solusi untuk masalah tersebut. Setelah mengolah semua informasi
yang ada, penulis mengambil kesimpulan dengan mempertimbangkan segala
kemungkinan positif maupun negatif yang mungkin terjadi. Tahap selanjutnya
adalah penulis merumuskan saran dan rekomendasi terkait kesimpulan yang
didapatkan.

BAB IV
ISI

A. Analisis Permasalahan

Pariwisata sebagai Langkah Penyelamatan Budaya Bangsa

Budaya bangsa adalah aset nasional yang tidak terkira harganya. Di masa
globalisasi seperti sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa masyrakat kita
khususnya yang hidup di daerah perkotaan mulai meninggalkan budaya tradisonal
dan justru meniru budaya asing. Dalam menghadapi kenyataan ini perlu adanya
tindakan penyelamatan budaya bangsa, sebagai langkah yang berkelanjutan agar
kebudayaan nasional tidak punah dan Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.
Salah satu alternatif solusi dalam menjaga kebudayaan Indonesia adalah dengan
menggalakkan pariwisata berbasis budaya secara merata di seluruh daerah di
seantero negeri. Dengan adanya penggiatan kegiatan pariwisata berbasis budaya,
diharapkan akan terjadi kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sebagai
pemilik budaya untuk tetap menghidupkan budaya tradisonal tersebut. Budaya
yang berkembang di daerah tertentu dijadikan komoditi pariwisata agar dapat
menguntungkan secara eknomis sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Pada dasarnya terdapat simbosis mutualisme antara pariwasata
dengan budaya sendiri. Dengan adanya tambahan motif ekonomi dari kegiatan
pariwisata, maka masyarkat diharapkan dapat semakin terdorong untuk
menghidupkan kembali berbagai potensi budaya yang dimilikinya untuk
dipertunjukkan kepada para wisatawan.

Budaya sendiri memang menjadi nilai plus dari sektor pariwisata


Indonesia. Untuk itu potensi budaya yang dimiliki hendaknya benar-benar
dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan penelitian Citra Pariwisata Indonesia,
budaya merupakan aspek dengan nilai tertinggi dalam hal menarik minat
wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia.
Tabel 1
Penilaian Wisman terhadap Objek dan Daya Tarik Wisata
Indonesia Tahun 2003
(Skala 1 = negatif, 2 = agak negarif, 3 = cukup, 4 = positif, 5 = sangat positif)
Persepsi
Sang
at
No. Elemen Pariwisata Tidak Menarik/Tidak Sangat Skala
Tidak menarik
Menarik Menarik Menarik
Mena
rik
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Keindahan Alam 0,79 2,01 9,38 48,41 39,42 4,02
2 Peninggalan Sejarah 0,72 1,73 15,54 51,15 30,86 8,39
3 Budaya 0,59 1,26 8,32 47,5 42,33 4,11
4 Karya Manusia 0,64 3,21 18,37 46,08 31,7 3,81
Sumber: Data Lapangan, Penelitian Citra Pariwisata Indonesia, 2003

Dari tabel di atas dapat dilihat jika atraksi budaya merupakan aspek yang
dipersepsikan denga skor tertinggi yakni 4,11. Hal ini disebabkan karena
wisatawan memang ingin mencari hal yang berbeda dengan biasanya. Dasar
pemikirannya, semua negara sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan devisa
dari sektor pariwisata. Pengadaan fasilitas bagi wisatawan dibangun seperti suatu
perlombaan. Negara yang satu ingin melebihi negara yang lain. Namun
kenyataanya apa yang mereka sajikan pada dasarnya sama. Hotel yang mereka
bangun, tempat-tempat rekreasi yang mereka ciptakan, shopping center yang
tersedia, semuanya serupa. Kalau begitu apa perbedaan suatu negara dengan
negara lain?

Disinilah pentingnya suatu “nilai plus” harus diciptakan untuk menarik lebih
banyak wisman ke dalam negeri. Nilai plus tersebut adalah “hasil seni budaya”
yang spesifik yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Dengan menonjolkan
seni budaya yang ada, tidak hanya kehidupan ekonomi masyrakat yang membaik,
tapi juga keanekaragaman budaya Indonesia dapat lestari.
Menurut Ritchie dan Zins (Chapter 19, Social and Cultural Impacts;
dalam buku Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text, hlm. 221),
ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan, yaitu:

• Bahasa (language)

• Kebiasaan Masyarakat (Traditions)

• Kerajinan Tangan (Handicraft)

• Makanan dan Kebiasaan Makan (Foods and Eating Habits)

• Musik dan Kesenian (Art and Music)

• Sejarah suatu tempat (History of the Region)

• Cara Kerja dan Teknolgi (Work and Technology)

• Agama (Religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang


dapat disaksikan

• Bentuk dan Karakteristik Arsitektur di masing-masing Daerah


Tujuan Wisata (Architectural Characteristic in the Area)

• Tata Cara Berpakaian Penduduk Setempat (Dress and Clothes)

• Sistem Pendidikan (Educational System)

• Aktivitas pada Waktu Senggang (Leisure Activities)

Manfaat Pariwisata dari Sektor Ekonomis

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat


dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:

1. Dampak terhadap penerimaan devisa,

2. Dampak terhadap penerimaan masyarakat,


3. Dampak terhadap kesempatan kerja,

4. Dampak terhadap harga-harga,

5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,

6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol,

7. Dampak terhadap pembanguna pada umumnya,

8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa


pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak
yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan
pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan
kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan
keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya.

Peranan pariwisata bagi pembangunan ekonomi di daerah tujuan wisata


seperti Bali, tidak perlu dipertanyakan lagi. Kontribusi pariwisata menunjukkan
trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 transaksi
penukaran valuta asing adalah sebesar 95,105 juta dollar AS. Angka ini
mengalami kenaikan, menjadi 456, 105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada
tahun 1997 (sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS.
Selanjutnya, karena nilai tukar dollar yang melonjak, penukaran valuta asing
hanya mencapai niali 868,078 juta dollar AS pada tahun 2000.

Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun 1998, dampak pengeluaran


wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak
dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara
keseluruhan, industri pariwisata menyumbang sebesar 51,6% terhadap pendapatan
masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38% dari
seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan oleh sektor pariwisata .
Angka ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 1995 (yaitu
sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke
tahun jika aspek budaya tetap dinomorsatukan untuk menjadi komoditi pariwisata.
Hal itu disebabkan adanya prediksi bahwa menjelang akhir abad ke-20 atau
permulaan abad ke-21, diperkirakan selera wisatawan mancanegara akan banyak
mengalami perubahan dalam permintaan.

Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman lebih
banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam
industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama
untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan
penelitian yang dilakuakn oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh
suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan
daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan
menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-
bangunan kuno yang tinggi nilainya.

Antara dan Parining (1999) juga mengemukakan bahwa pariwisata


mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan banyak sektor, melalui
apa yang disebut open-loop effect dan induced-effect. Dengan menggunakan
model SAM (Social Accounting Matrix), ditemukan bahwa pengaruh pengeluaran
wisatawan sangat signifikan terhadap denyut nadi perekonomian Bali, yang
meliputi belasan sektor.

Pariwisata Merusak budaya

Kaum yang pesimis dengan dampak perkembangan pariwisata terhadap


budaya menyatakan, kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak
keaslian atau keutuhan esensi dari suatu produk budaya. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ,menghancurkan kebudayaan
lokal. Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk
dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya
dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan
oleh Britton (1977):

“Culutural expressionas are bastradized in order to be more


comprehensible and therefore saleable to mass tourism” (Britton, 1977:
272)

Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara
utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami
nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan
nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu
wisatawan yang ingin menyaksikannya.

Seiring dengan meningkatnya dominasi nilai eknomi, komoditas atas


kebudayaan selalu terlihat sangat menonjol di semua daerah wisata (Greenwood,
1978), dan warisan budaya telah berubah fungsi menjadi modal pariwisata
(Picard, 1990). Untuk kasus Bali, memang tidak dapat disangkal bahwa kesenian
telah mengalami banyak perubahan, dan orientasi seniman bukan lagi semata-
mata pada seni seni yang religius, melainkan lebih banyak berorientasi pada
ekonomi. Kesenian sudah mengalami proses komoditisasi, dimana nilai seni
sudah diukur dengan uang (harga pasar), sebagaimana layaknya komoditas lain.

Tidak Ada Budaya yang Asli

Sebenarnya, hal-hal seperti di atas tidak benar adanya. Mengenai


kekhawatiran akan berubahnya kebudayaan asli setempat akibat adanya
pariwisata, sosiolog Selo Soemarjan mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya,
kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak,
memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya
perkembangan industri pariwisata. Proses saling mempengaruhi adalah gejala
yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai
masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang
mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses
dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang
penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang
terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi
banyak negara-negara berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan
kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung
selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa
lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa
dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar.

Kemudian, timbul pertanyaan lainnya. Apabila mengalami suatu


modifikasi, apakah hal itu akan menghilangkan keaslian dan mutu budaya
tersebut? Menurut Profesor Haryati Subadio, memang dalam mengembangkan
kebudayaan yang dipersoalkan adalah mutu, akan tetapi popularisasi, atau
penyederhanaan bukan berarti perlu menurunkan mutu itu. Misalnya pertunjukkan
tarian yang dan musik yang diperpendek belum tentu berarti harus menjadi
ceroboh dan sembarangan tekniknya. Apabila pertunjukkkan yang diperpendek
tersebut mutu teknis dan seninya tinggi, maka tidak akan merugikan standar
kebudayaan.

Masalah asli tidaknya suatu budaya memang menjadi perdebatan tersendiri


bagi sejumlah pihak. Namun konsep ‘keaslian’ itu sendiri adalah sesuatu yang
sangat problematik. Ada beberapa permasalahan yang sangat mendasar dalam
membicarakan keaslian ini. Berbicara masalah keaslian, umumnya citra yang
terbayangkan adalah masyarakat yang dicirikan oleh keadaannya yang ‘alami’,
‘primitif’, dan ‘eksotik’. Kenyataannya, tidak ada suatu kebudayaan pun yang
sepenuhnya statis, yang tidak berubah dalam denyut waktu. Semua masyarakat
dan kebudayaannya selalu berubah, walaupun dengan laju perubahan yang
berbeda.
Permaslahan lain adalah pendefinisian terhadap suatu ‘keaslian’.
Penelitian di Bali (Pitana, 1996) menunjukkan bahwa wisatawan memberikan
penekanan yang yang sangat bervariasi tentang makna ‘keaslian’ tersebut. Hal ini
sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh ahli pariwisata Erick Cohen (1988)
yang mengatakan bahwa keaslian adalah sesuatu yang negotiable, karena keaslian
adalah suatu konsep yang merupakan hasil konstruksi sosial yang sangat
kontekstual. Terlebih lagi dengan kaitannya dengan pariwisata, keaslian bukanlah
sesuatu yang statis, karena wisatawan sendiri bukanlah konsumen pasif,
melainkan konsumen aktif, yang turut menentukan ‘tingkat keaslian’ sesuatu
masyarakat atau hasil kebudayaan. Dalam hak produksi cinderamata misalnya,
sebagian besar wisatawan mengatakan bahwa ‘keaslian’ berhubungan erat dengan
keunikan cinderamata tersebut bagi suatu daerah, yang berarti tidak bisa
ditemukan di daerah lainnya. Dikarenakan keunikan daerah yang menjadi standar,
maka karya jiplakan yang dilakukan oleh seniman lokal, sebagaimana ditemukan
pada karya-karya seni (lukis, patung) di Bali masih tetap termasuk ‘asli’
(authentic), tetapi patung Gaya Asmat (Papua) yang dibuat di Bali adalah ‘tiruan’,
dan oleh karenanya tidak ‘autentik’. Disamping itu ada juga wisatawan yang
berpendapat bahwa keaslian juga ditentukan oleh material yang digunakan. Suatu
keaslian memang benar-benar ‘asli’ bila material yang digunakan adalah material
yang telah digunakan secara mentradisi, yaitu material lokal dan alami. Berbagai
aksesoris luar (misalnya pewarna) dianggap mengurangi keaslian.

Cukup banyak juga wisatawan yang berpendapat bahwa kriteria yang


sangat fundamental di dalam menentukan keaslian adalah senimannya sendiri.
Artinya, suatu karya seni akan menjadi autentik kalau menggunakan bahan-bahan
tradisional, alami, dan dikerjakan dengan tangan (bukan mesin), dan senimannya
adalah ‘orang asli’. Jadi patung Asmat yang menggunakan bahan lokal Papua,
dikerjakan di Papua, namun kalau senimannya bukan orang Asmat, bukanlah
suatu karya yang ‘asli’. Selain itu yang tidak akalh pentingnya, banyak juga
wisatawan yang berpendapat bahwa karya asli adalah karya yang tidak tersentuh
komoditisasi. Karya-karya yang diperjualnelikan sebagai komoditas bukanlah
sesuatu yang asli, karena pembuatnya tidak didorong oleh motivasi tradisional,
dan tidak sakral lagi. Dengan kata lain, keaslian karya tersebut telah berkurang
karena motivasi pembuatnya tidak terikat dengan tujuan-tujuan penggunaan
tradisional.

Hal senada juga terjadi pada bentuk kesenian lain. Banyak wisatawan yang
menilai bahwa tari-tarian Bali yang asli adalah tari-tarian yang secara tradisional
dipertunjukkan dalam kegiatan-kegiatan ritual, yang bukan diperuntukkan
wisatawan. Tari-tarian kreasi baru dianggap tidak asli, karena diciptakan bukan
karena dorongan religious, melainkan dorongan seni yang tidak bernafaskan
agama Hindu. Apalagi kesenian yang sengaja dipaket-paketkan untuk
dipertunjukkan kepada wisatawan.

Keaslian kebudayaan sering dikaitkan dengan identitas masyarakat. Dari


berbagai contoh diatas, kiranya cukup beralasan kalau banyak orang dewasa ini
menghawatirkan ‘keaslian kebudayaan’ daerah tujuan wisata (khusunya aspek
seni) akan hilang. Namun di balik itu, perlu juga direnungkan kembali, bahwa
pada dasarnya sangat sulit menemukan sesuatu yang ‘asli’, dan ini tidak selalu
berasosiasi dengan perkembangan pariwisata. Dengan ataupun tanpa pariwisata,
masyarakat akan selalu berubah. Kekhawatiran bahwa pariwisata akan
menghilangkan ‘keaslian’ dan ‘identitas’ masyarakat nampaknya terlalu
berlebihan. Pada tingkat yang lebih ekstrim, tidak berlebihan kiranya apabila
dikatakan bahwa ‘masyarakat asli’ atau ‘kebudayaan asli’ tidak pernah ada dalam
sejarah kebudayaan, karena masyarakat dan kebudayaan selalu berubah dlam
fungsi waktu. Sejalan dengan ini, perlu diketengahkan bawha keaslian dan
identitas bukanlah suatu harga mati (fixed), melainkan sesuatu yang selalu
berubah, dalam proses interaksi dengan lingkungan luar, ataupun dinamika
internal masyarakat itu sendiri.

Selain masalah ‘keaslian’ sebuah kebudayaan, masalah yang sering


diperdebatkan juga adalah masalah menurunnya mutu suatu produk kesenian yang
telah dikomoditisasi. Penilaian tentang menurun/mendangkalnya mutu suatu karya
seni pada dasarnya bukanlah hal sederhana yang bisa dilakukan siapa saja. Tim
Appraisal of BaliTourism Study menilai bahwa ‘penurunan’ kualitas kesenian
hanya dapat dinilai oleh para ahli dan kritikus seni, yang jumlahnya hanya
segelintir, sedangkan masyarakat luas umumnya tidak melihat hal tersebut.
Sejalan dengan hal ini, Profesor Haryati lebih lanjut mengatakan bahwa tidak
semua hal yang dikomoditisasi berari rendah mutunya. Bila pembuatannya tetap
indah dan memperhatikan teknik dan penghalusan penyelesaian, maka mutu seni
bisa tetap terjamin.

Pariwisata Memperkuat Budaya

Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah mengalami erosi,


yang dapat dilihat dari munculnya komoditisasi terhadap kebudayaan; terjadinya
penurunan kualitas hasil kesenian; pencemaran kesenian sakral, ritual, ataupun
tempat suci; dan bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia Bali dewasa ini
sudah semakin kecil kemauannya untuk mempertahankan identitas budayanya.

Sebaliknya, banyak juga ahli Sosiologi dan Antropologi yang melihat


bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan Bali, melainkan
justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan
(cultural involution). McKean (1978) mengatakan,

“... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua


itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan
tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses
konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.”

Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali


will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam
Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali
bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan
transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan
tradisional masyarakat (Lansing, 1974).

Penelitian lapangan di beberapa daerah pariwisata menunjukkan bahwa


organisasi sosial tradisional (khususnya Banjar dan desa Pakraman) bahkan
bertambah kuat, bertambah dinamis. Pariwisata telah menjadi wahana dinamisasi
masyarakat. Hal ini terkait erat dengan peningkatan ekonomi yang dibawa oleh
kepariwisataan serta semakin bertumbuhkembangnya kesadaran akan ‘identitas
diri’ (Pitana, 1991, 1995). Penemuan ini menghidupkan kembali tesis Noronha,
bahwa industri pariwisata tidak mencabut keterikatan manusia Bali terhadap
organisasi internasional, di mana budaya Bali berakar, yaitu desa Pakraman
(Banjar). Bahkan pariwisata dapat memperkuat desa Pakraman, melalui aliran
ekonomi yang dibawa oleh pariwisata, yang disalurkan kepada lembaga-lembaga
tradisional oleh pelaku pariwisata. Noronha (1979: 201-201) mengatakan:

“… the income gained from a tourist performance and sale of crafts is


channeled back to strengthen the religious and temporal bonds that are source of
strength for the Balinese: the Banjar and the village temples”.

Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Bali secara dinamis dan kreatif


telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi untuk
melakuakn ‘metamorphosis’. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas
manusia dan kebudayaan Bali sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat.
Perubahan sosial-budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan
internasionalisasi dan tradisionalisasi ini memyebabkan manusia Bali seakan-akan
melakukan ‘konversi’. Namun konversi tersebut dilakukan tetap dalam agama
Hindu dengan nuansa Bali yang kental, atau apa yang oleh Clifford Geertz (1973)
disebut sebagai internal conversion.

Internasionalisasi dan globalisasi budaya selalu menimbulkan pertanyaan


akan identitas budaya dan manusia lokal. Ada asumsi umum bahwa dalam proses
internasionalisasi dan modernisasi, masyarakat lokal akan terjepit,
termarginalisasi, dan kehilangan identitas budayanya (Lanfant, 1995).
Kenyataannya, meskipun budaya pariwisata telah menjadi budaya Bali, dan Bali
telah mengalami proses Touristfication, identitas budaya masyarakat Bali masih
tetap, kalau tidak boleh dikatakan menguat. Temuan-temuan di lapangan juga
menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat
pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah
tercerai-berai tidaklah benar. Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah
pandangan orang yang semula pesimistis terhadap kelestarian budaya Bali.
Meskipun telah lama terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas ke-
Bali-an ternyata menguat dengan semakin derasnya arus internsionalisasi.

Pembangunan pariwisata telah menyebabkan adanya proses


destructuringand restructuring dari mesia etnis, yang pada akhirnya justru
memperkuat identitas. Manusia Bali tentu tidak mau ‘dikonversi’ dalam arti yang
statis, menjadi a timeless society. Orang Bali melestarikan budayanya tidaklah
dalam artian statis, karena kebudayaan pada dasarnya adalah produk sementara
yang masih selalu berproses. Masyarakat Bali sadar bahwa mereka harus
mengadaptasi diri dengan dunia yang tengah berubah, sementara pada saat yang
sama mereka juga sadar untuk menjaga kontinyuitas budaya dan identitasnya.
Dengan cara ini, masyarakat Bali secara terus-menerus mengukir dan mengukir
kembali identitasnya, sementara benang merah kelaluan tidak diputus. Proses
internasioanalisasi, terutama yang terjadi melalui aktivitas kepariwisataan, secara
bersamaan diikuti oleh proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke
dalam, mencari identitas masa lalu, yang bisa disebut sebagai proses
‘tradisionalisasi’ atau ‘balinisasi’ orang Bali sendiri.

Hal ini sejalan juga dengan pendapat antropolog senior yang lama
melakukan penelitian di Jawa dan Bali, Clifford Geertz. Geertz mengedepankan
bahwa pelestarian tidak boleh diartikan sebagai usaha ‘membekukan’ sebuah
kebudayaan, karena kebudayaan memang selalu berubah, direkonstruksi dan
direkreasi, sebagai respons terhadap situasi yang berubah. Usaha untuk
membekukan kebudayaan atas nama keaslian atau otentisitas, justru akan
menghasilkan dekadensi. Geertz (1999: 19) menulis bahwa kebudayaan dan
peninggalan budaya:

“… is not some solid, unmoving block of objects, practices, beliefs, and


understanding… It is something that is constantly changing, constantly being
reconstructed, and recreated, in response to new circumstances and emerging
needs…”

Masyarakat Bali dalam banyak hal telah menemukan kembali berbagai


tradisi yang (konon) pernah ada, suatu proses yang oleh Hobsbawm (1983)
disebut sebagai reinvention of tradition. Tradisi-tradisi baru dimunculkan, dengan
legitimasi tradisi lama, atau ajaran susatra agama. Tradisi atau elemen budaya
baru yang ditumbuhkembangkan, bukan saja untuk kepentingan pariwisata, tetapi
(bahkan lebih sering) adalah untuk dikonsumsi masyrakat sendiri.

Contoh konkret dengan adanya pariwisata justru semakin digalakkannya


penghidupan kembali atau semakin digiatkannya pembangunan-pembnagunan
untuk mempertahankan nilai-nilai budaya. Seperti pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah, Pembangunan panggung Sendratari Ramayana Prambanan,
Pagelaran seni dan Budaya, promosi seni budaya Indonesia ke luar negeri. Bahkan
pembangunan sarana akomodasi pariwisata seperti hotel atau restoran yang secara
terang-terangan mengadopsi suasana atau kekhasan yang berakar pada nilai seni
dan budaya bangsa. Itu semua walaupun pada awalnya dititikberatkan pada
motivasi ekonomis, tetapi secara sadar atau tidak kegiatan tersebut merupakan
usaha mendorong upaya pelestarian nilai-nilai bangsa. Hal ini diperkuat dengan
pendapat Mihardjo (2000:2) bahwa salah satu alasan pariwisata sebagai sektor
andalan adalah melestarikan dan memperkaya budaya nasional.

Rencana Aksi Pariwisata Berbasis Budaya

Untuk mewujudkan program pariwisata berbasis budaya dengan lebih terkonsep,


diperlukan strategi pelaksanaan yang jelas dan berkelanjutan mengenai langkah-
langkah konkret yang harus dilakukan. strategi tersebut dituangkan dalam bentuk
rancana aksi yang melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam menyukseskan
program pariwisata berbasisi budaya ini.

a. Zonasi Pariwisata

Hal yang paling utama dalam mewujudkan kegiatan pariwisata tentu saja
menciptakan tempat atau lokasi berlangsungnya kegiatan tersebut. Dalam
membentuk lokasi wisata, pemerintah daerah yang tentu saja paling
mengenal potensi daerahnya sendiri hendaknya dapat menciptakan semacam
zonasi objek wisata yang nantinya akan dijadikan pusat pariwisata berbasis
budaya ini (tourist center). Zonasi ini dibagi ke beberapa zona lagi sesuai
dengan keadaan atau kondisi daerah yang bersangkutan. Sebagai contoh,
zona pertama ditujukan untuk wisata kuliner yang menyajikan beragai
macam makanan daerah, wisata belanja untuk memfasilitasi penjualan
produk kesenian lokal seperti kerajinan tangan dan sebagainya, serta wisata
kesenian tradisional yang menyuguhkan aneka tarian, seni peran tradisional,
seni musik, dan lain sebagainya. Zona dua diperuntukkan untuk wisata
sejarah, misalnya museum, benteng, dan bangunan peninggalan sejarah
lainnya. Selain itu zona dua juga bisa dikombinasikan dengan wisata religius
yang menyuguhkan tempat-tempat ibadah berbagai agama. Zonasi ini
bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan keadaan suatu tempat
tertentu. Konsep zonasi objek wisata ini akan menjadi pedoman dalam
mempromosikan objek wisata kepada masyarakat luas lewat berbagai media
komunikasi visual dan memudahkan pelaku pariwisata untuk
mengagendakan berbagai atraksi unggulan di setiap zonasi objek wisata.
Dengan demikian, para wisatawan akan tersebar ke berbagai objek wisata
sesuai dengan minatnya masing-masing tanpa harus menumpuk dan
terkonsetrasi di satu tempat tertentu. Zonasi objek wisata semacam itu
menjadi penting bagi wisatawan yang akan mengunjungi suatu daerah.
Dengan zonasi objek wisata seperti itu lebih memudahkan wisatawan untuk
mengunjungi objek wisata sesampainya mereka turun dari kereta api,
pesawat terbang, bus pariwisata, atau kendaraan pribadi. Mereka tidak akan
kebingungan karena memiliki panduan dalam bentuk buku objek wisata kota
Yogyakarta atau denah lokasi, sistem pertandaan yang dengan cermat dan
unik akan memandu wisatawan menuju objek wisata yang diinginkan.

b. Penyelenggaraan Cultural Event

Setelah lokasi wisata sudah didapat, maka lokasi tersebut hendaknya


dihidupkan dengan penyelenggaraan berbagai kegiatan budaya (cultural
event) seperti festival budaya, pawai kesenian, lomba-lomba dan sebagainya.
Di antara berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan, penyelenggaraan
festival atau pesta kesenian dikenal ampuh untuk menarik minat wisatawan
sekaligus melestarikan kebudayaan lokal. Contohnya adalah Pesta Kesenian
Bali (Annual Bali Festival) yang telah berlangsung selama lebih dari dua
puluh tahun. Pesta kesenian yang melibatkan rakyat banyak ini didahului
dengan festival di tingkat kabupaten dan setelah itu baru diselenggarakan di
Denpasar sebagai puncak acara. Semenjak itu muncullah beberapa kesenian
tradisional yang selama ini jarang dijumpai atau dipertunjukkan ke
masyarakat banyak. Berbagai kesenian dan tetabuhan yang hanya terdapat di
daerah-daerah tertentu saja, seperti Tek-tekan di Tabanan, Tari Guak di
Buleleng, Makepung di Kabupaten Jembrana, Bumbung Gebyok dari
Nagara dan banyak kesenian lainnya. Mengenai hal ini, Gubernur Bali, Ida
Bagus Mantra mengklaim bahwa pesta kesenian semacam ini telah
membangkitkan kembali hasrat untuk menggali kesenian rakyat yang sudah
lama hilang dalam kehidupan masyarakat Bali. Diharapkan dengan adanya
kegiatan semacam ini, maka akan merangsang kemunculan kegiatan-
kegiatan seni-budaya lainnya.

c. Pembangunan Fasilitas Penunjang

Di samping pembangunan zona wisata, pembangunan fasilitas-fasilitas


penunjang pun tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan program ini.
Wisatawan akan semakin nyaman apabila dilakukan penataan rute jalan
wisata. Selain itu disediakan pula kendaraan bermesin ataupun tidak yang
dirancang khusus untuk mengangkut wisatawan keliling lokasi wisata.
Street furniture di ruang publik sebagai wahana melepas lelah, tempat parkir
yang tertata rapi, membersihkan sampah, menata taman kota lengkap dengan
patung-patung kota yang dapat menimbulkan kesan indah, bersih, nyaman.
Semuanya itu sangat didambakan wisatawan dalam rangka mendapatkan
pengalaman dan kenangan khusus ketika mereka melancong di kawasan
tersebut.
d. Pemberdayaan Pelaku Budaya

Proses selanjutnya dari rencana aksi program ini menyangkut pelaku seni-
budaya itu sendiri. Seniman juga tidak boleh luput dari proses
pembangunan. Sebagai subjek pariwisata para seniman merupakan salah
satu kunci kesuksesan program ini karena peran mereka sangat besar dan
signifikan. Tidak hanya bertugas untuk menciptakan karya seni yang layak
untuk disuguhkan ke wisatawan, tapi juga sekaligus sebagai penjaga seni-
budaya itu sendiri agar masih berada dalam koridor kemurnian. Maksudnya
adalah, dalam pengelolaan kegiatan kepariwisataan, orang-orang yang
banyak tahu tentang seni budaya dan seni tradisional harus ikut dilibatkan.
Hal itu ditujukan untuk mencegah terjadinya perusakan nilai-nilai atau
esensi dari suatu kebudayaan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian orang-
orang yang bergerak di dalam industri pariwisata yang kadang jalan sendiri
tanpa memperhatikan diperlukannya sentuhan tangan para seniman yang
nyatanya masih banyak mengharapkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan
bidangnya. Para pelaku industri pariwisata yang ada hendaknya jangan
jangan sampai hanya “sekedar menjual saja”. Kepada mereka juga
diharapkan suatu kesadaran untuk dapat memelihara bagaimana penyajian
suatu kesenian yang pantas untuk ditunjukkan. Sangat ideal sekali kalau
pertunjukkan itu disenangi para wisatawan, tapi penyajiannya tetap pada
norma-norma yang hidup dalam kebiasaan masyarakat yang tradisional. Satu
hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk menangani seni budaya
dan kepariwisataan jangan sekali mencoba-coba dan ditangani oleh mereka
yang masih amatir. Inilah yang selama ini banyak terjadi, sehingga
menimbulkan perdebatan mengenai keaslian suatu budaya.

Mengenai masalah ini, seniman Putu Wijaya mengungkapkan bahwa


menurutnya, kesenian di Indonesia ini dianggap sebagai suatu dosa. Katanya
kesenian itu tidak berguna bagi kehidupan dan kurang mendapat perhatian
khusus. Karena itu pula lah nasib seniman seolah tidak tentu arah. Dewasa
ini, para pekerja seni dan seniman merasakan kurang adanya perlindungan
yang sungguh-sungguh membina dan memperjuangkan nasib para pencipta
kesenian. Di masa kejayaan kerajaan dahulu, para raja dan kerabat keraton
sengaja menunjuk “jhuru bharata” (koordinator penggelar) untuk
memperhatikan kehidupan para seniman maupun pujangga yang mengabdi
pada keraton. Di beberapa daerah tujuan wisata di Bali misalnya, para
seniman dalam mendukung keberhasilan industri pariwisata masih pergi ke
hotel-hotel dengan naik truk dan memperoleh upah pagelaran yang relatif
rendah. Kesan bahwa mereka masih menjadi objek bukan subjek dalam
industri pariwisata belum terhapus. Oleh karena itu, hendaknya keberadaan
para seniman ini dianggap sebagai profesional yang betul-betul dilibatkan
dalam setiap kegiatan seni budaya, dan diupah dengan layak sesuai jasa
profesional yang mereka berikan. Selain itu, untuk menghargai para
seniman, di luar negeri biasanya diadakan pemberian hadiah-hadiah kepada
mereka yang berprestasi di bidang kebudayaan atau kesenian tertentu. Di
Indonesia hal tersebut dapat diwujudkan dengan pemberian anugerah seni
budaya untuk mendorong para seniman agar dapat berkarya lebih produktif
dan kreatif lagi.

Selain perbaikan nasib seniman secara perorangan, harus juga diperhatikan


keberlangsungan hidup kelompok-kelompok kesenian yang biasanya
tergabung dalam sanggar seni tertentu. Sanggar seni merupakan sarana
pembelajaran mengenai kesenian tradisional yang sangat positif
keberadaannya dalam mengembangkan sektor pariwisata. Di Bali, setiap
desa memiliki grup kesenian sendiri yang sewaktu-waktu dapat diminta
untuk mempertunjukkan atraksinya kepada wisatawan. Ini sangat membantu
Biro-biro perjalanan untuk merencanakan acara bagi wisatawan yang akan
didatangkan ke Bali. Untuk itu, eksistensi kelompok-kelompok seni seperti
ini perlu didorong dengan memberikan bantuan bisa berupa dana atau
peralatan kesenian tertentu.

e. Promosi
Salah satu cara yang paling ampuh untuk mendatangkan wisatawan adalah
dengan berpromosi melalui berbagai media seperti televisi, internet, radio,
brosur, majalah, atau koran. Selain itu, promosi yang tak kalah efektif juga
bisa dilakukan melalui agen perjalanan dan perusahaan penerbangan.
Publikasi ke masyarakat luas merupakan salah satu aspek dimana masih
Indonesia cukup tertinggal. Bandingkan saja dengan negara tetangga
terdekat yakni Malaysia. Malaysia dengan semboyan "Truly Asia"
melakukan promosi yang gencar dan berhasil menyedot lebih dari 10 juta
wisatawan mancanegara (wisman) pada 2003 dan tahun 2005 setiap bulan
mampu mendatangkan wisman rata-rata 1,3 juta orang, sedangkan Indonesia
baru berencana mencapai angka 10 juta per tahun pada tahun 2009. Hal ini
cukup memprihatinkan mengingat Malaysia tidak memiliki potensi dasar
pariwisata sehebat Indonesia.

f. Peran Serta Stakeholder

Selain semua strategi diatas, sukses atau tidaknya program pariwisata


berbasis budaya ini tentu saja dipengaruhi oleh masyarakat umum sendiri.
Kesiapan masyarakat untuk menerima para turis yang datang kedaerahnya
akan sangat menentukan keberhasilan sektor ini. Di beberapa tempat,
komersialisasi pariwisata yang gencar merupakan gejala baru sehingga
ditakutkan masyarakat tidak sepenuhnya siap dalam berpartisipasi
menyambut para wisatawan. Ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam
memanfaatkan keuntungan ekonomis program ini merupakan salah satu
tindakan yang sangat disayangkan. Selain itu, gejala sosial budaya seperti ini
dapat menimbulkan reaksi masyarakat yang kadang-kadang menjurus ke
arah tindak kriminal yang tidak diharapkan. Kesenjangan dalam kemampuan
melihat dan memanfaatkan peluang usaha itu biasanya menimbulkan
kecemburuan sosial yang pada akhirnya mengundang pertentangan sosial
disertai kekerasan yang kurang mendukung perkembangan industri ini.
Untuk itu, diperlukan pula peran aktif pemerintah dalam hal ini Departemen
Budaya dan Pariwisata, untuk mensosialisasikan nilai-nilai baru kepada
masyarakat agar dapat berperilaku harmonis sesuai dengan pembangunan
yang akan dilakukan. Selain itu, regulasi terkait hal ini juga harus dibuat dan
diimplementasikan ke dalam masyarakat. Pada level pengawasan, pihak
kepolisian hendaknya sigap dengan segala kemungkinan pelanggaran yang
ada. Sedangkan yang tidak kalah penting dari semua hal ini tentunya
kewajiban pemerintah dalam penyediaan anggaran pariwisata yang
mencukupi.

Kegiatan pariwisata berbasis budaya sangat mungkin dilakukan di Indonesia.


Hal itu dikarenakan pengembangan pariwisata di Indonesia pada dasarnya
menggunakan konsep pariwisata budaya (cultural tourism) seperti yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2009, hanya saja belum
dilaksanakan secara merata di Indonesia. Dengan menggiatkan program ini secara
merata, maka tidak hanya keuntungan ekonomi yang didapat, tetapi yang lebih
esensisal lagi, kebudayaan tradisonal yang dapat dilestarikan. Dengan demikian,
pariwisata berbasis budaya juga menjawab permasalahan bangsa dalam hal
menjaga kulturalisme Indonesia.

B. Simpulan

Dari penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pariwisata berbasis budaya dapat mendorong masyarakat untuk melakukan


berbagai kegiatan seni budaya karena adanya motif ekonomi. Sektor
pariwisata yang telah maju dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat,
sehingga masyarakat dengan senang hati menggantungkan kehidupan
ekonominya di bidang tersebut. Ketika masyarakat sudah bergelut di
bidang seni budaya dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, maka mau
tidak mau mayarakat akan terus melakukan kegiatan seni tersebut. Dengan
demikian, berbagai produk seni budaya akan terus diparktikkan, dengan
kata lain, seni budaya tersebut akan lestari.
2. Terkait isu hilangnya keaslian seni budaya yang ditakutkan masyarakat
sebagai akibat dari pariwisata, asumsi tersebut pada dasarnya dianggap
terlalu berlebihan. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa suatu budaya
yang benar-benar asli tidak pernah ada dalam sejarah kebudayaan. Budaya
adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran
waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi
masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

3. Berbagai pendapat maupun pandangan yang menghipotesiskan hancurnya


kebudayaan lokal karena pengaruh pariwisata dapat dipatahkan dengan
berbagai kasus di Bali. Kasus Bali menunjukkan bahwa meskipun
berbagai gejala erosi kebudayaan terjadi, tetapi pariwisata lebih berperan
sebagai pelestari kebudayaan dalam arti yang luas. Bahkan pariwisata
telah terbukti menjadi wahana utama dalam pelestarian kebudayaan ini,
sekaligus menjadi pelatuk dinamika masyarakat.

4. Untuk mewujudkan program pariwisata berbasis budaya, dapat dilakukan


dengan memulai beberapa hal seperti zonasi pariwisata, penyelenggaraan
cultural event, pembangunan fasilitas penunjang, pemberdayaan pelaku
budaya, promosi, dan meningkatkan peran serta stakeholder.

C. Saran

Dalam penyelenggaraan pariwisata berbasis budaya, diperlukan dukungan


dana yang tidak sedikit. Untuk itulah, pemerintah pusat atau daerah hendaknya
menambah anggaran sektor pariwisata dalam APBN atau APBD. Selama ini
masalah utama yang menghalangi perkembangan pariwisata Indonesia adalah
pendanaan. Tidak seperti sektor lainnya (pendidikan), pemerintah tampaknya
masih sulit untuk meluluskan permintaan kenaikan anggaran sektor pariwisata.
Dengan dukungan dana yang memadai serta penanganan yang professional, maka
pariwisata dapat berkembang sehingga berdampak positif terhadap perkembangan
budaya.
Program ini hendaknya diselenggarakan secara merata oleh seluruh daerah di
Indonesia. Dengan begitu, setiap daerah tidak hanya berpeluang untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduknya, namun juga kebudayaan tradisional
dari berbagai provinsi di Indonesia dapat terjaga, sehingga kemajemukan
masyarakat Indonesia benar-benar terjaga walaupun berada di tengah-tengah arus
globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Pitana, I Gede dan Putu G. Gayatri.(2005). Sosiologi Pariwisata.

Yogyakarta: Andi.

Yoeti, Oka A.. (1996). Anatomi Pariwisata Indonesia. Bandung:


Angkasa.

Yoeti, Oka A., dkk. (1996).Pariwisata Budaya, masalah dan solusinya.


Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Yunus, R. Hamzah, dkk. (1992). Dampak Pengembangan Pariwisata


Terhadap Budaya Daerah Riau. Departemen Pnedidikan dan
Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Pembinanaan Nilai-Nilai
Budaya Daerah Riau 1991-1992.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

1. Nama Lengkap : Achmad Rhesa Saputra


2 Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 19 Oktober 1990
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Kebangsaan : Indonesia
5. Agama : Islam
6. Status Perkawinan : Belum Menikah
7. Pekerjaan : Mahasiswa
8. Alamat Rumah : Asrama Mahasiswa UI Depok
9. Nomor HP : 085268987535
10. E-mail : achmad.rhesa@yahoo.com

Riwayat Pendidikan Formal


No Tahun Institusi Jurusan/ Program Keterangan
1. 1994 – 1996 TK Bhayangkari
2. 1996 – 2002 SDN 250
3. 2002 – 2005 SMPN 38
4. 2005 – 2008 SMAN 18 IPS
5. 2008 -sekarang Univ. Indonesia S-1 Administrasi Fiskal

III. Riwayat Pendidikan Non Formal

No Tahun Institusi Keterangan


1. 1999 – 2001 Bimbel LAPAN
2. 2005 – 2006 Bimbel TEKNOS
3. 2008 Bimbel Alumni STAN
4. 2008 Bimbel Nurul Fikri
4. 2009 Nurul Fikri English Course Conversation Class
5. 2009 - sekarang LBPP LIA Conversation Class

Pelatihan dan Seminar yang Pernah Diikuti


Institusi
No Tahun Deskripsi Keterangan
Penyelenggara
1. 2007 PT. Sriwijaya Pelatihan Jurnalistik 6 Bulan
Perdana
2. 2008 HMJIA Workshop Gerakan
Ayo Menulis
3. 2008 HMJIA Seminar Dunia Kerja

4. 2009 UI-Cita Cinta Seminar Dunia Kerja

5. 2009 FE UI Tax Intercollegiate

6. 2009 HMJIA Seminar Pajak Adm


Days
7. 2009 Tanoto Foundation Writing Workshop

Pengalaman Organisasi

No Tahun Organisasi Jabatan Keterangan


Anggota divisi Kajian
2009-
1 KOSTAF dan Tim Redaksi Kostaf
sekarang
Media
2009- Paguyuban
2 Kemas UI Anggota
sekarang Kedaerahan
Pengalaman Kepanitiaan

No Tahun Nama Kegiatan Penyelenggara Posisi


Oprec Wartawan
1 2007 PT. Srwijaya Perdana Ketua Panitia
Lepass
2 2009 Try Out Kemas UI Kemas UI Staf Sponsorship
3 2009 Baksos Kemas UI Kemas UI PJ Danus
4 2009 Pensi Sumsel Kemas UI Staf Acara, MC
Welcome Maba
5 2009 Kemas UI Ketua Panitia
Kemas UI
6 2009 Kajian Pajak 2 Kostaf Staf Acara, MC
7 2009 Kajian Pajak 4 Kostaf Ketua Panitia
7 2009 Adm Days HMJIA Staf Debat
8 2009 Adm Award HMJIA Staf Dokumentasi
9 2009 Seminar Pajak Kostaf Staf Acara
10 2009 Taxplore Kostaf Staf Acara
11 2009 Bedah Kampus BEM UI Staf Sponsorship

Prestasi

Institusi
No Tahun Deskripsi Keterangan
Penyelenggara
1. 2006 Pertamina Lomba Pidato Bahasa 10 besar
Inggris tingkat Kota
Palembang
2. 2006 Kwartir Daerah Lomba Pidato Bahasa Juara 3
Sumatera Selatan Inggris tingkat Provinsi
Sumatera Selatan
3. 2008 Universitas PGRI Lomba Cepat Tangkas Juara 3
Palembang Akuntansi tingkat
SMA/SMK se-Sumatera
Selatan
4. 2008 Depdiknas Ujian Nasional tingkat Nilai tertinggi dalam
SMAN 18 UN di SMA

Pengalaman Kerja

1. Wartawan Muda Harian Umum Siwijaya Post (2007-2008)


Jabatan : Koordinator

Deskripsi Pekerjaan : Menulis halaman khusus pelajar dan remaja


di salah satu koran lokal yang terbit di
Sumatera Selatan.

Bursa Asrama UI (sekarang)

Jabatan : Cheff Business Operating (CBO)

Deskripsi Pekerjaan : Merencanakan produk-produk atau layanan


apa saja yang akan ditawarkan kepada konsumen, kemudian
mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak untuk pengadaan
berbagai produk tambahan lainnya , serta melakukan stock
opname.

Anda mungkin juga menyukai