Oleh :
Achmad Rhesa Saputra, 0806317911
Ilmu Administrasi Fiskal
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL
iii RINGKASAN
iv
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah
3
C. Gagasan Kreatif 3
D. Tujuan Penulisan
4
E. Manfaat Penulisan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Landasan Teori 5
2.2 Pendapat yang Relevan
11
BAB IV ISI 14
A. Analisis Permasalahan 14
Pariwisata sebagai langkah penyelamatan budaya bangsa
14 Manfaat Pariwisata dari Sektor Ekonomis
16 Pariwisata Merusak Budaya
18 Tidak Ada Budaya yang Asli
19 Pariwisata Memperkuat Budaya
22 Rencana Aksi Pariwisata
Berbasis Budaya 26
B. Simpulan 32
C. Saran 33
DAFTAR PUSTAKA vi
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi
Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika
seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka
berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-
bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya.
Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai
bangsa, yang dahulu dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk
yang lebih luas dengan nama globalisasi.
Apa yang dikatakan Thiong’O tentu saja dapat mengancam kekayaan budaya
yang dimiliki Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, budaya merupakan perekat
berbagai perbedaan yang ada, misalnya perbedaan agama. Sebagai contoh, di
kalangan masyarakat adat di Sulawesi Barat, adat menjadi perekat bersama dalam
menghadapi ketegangan yang lahir dari perbedaan agama, khususnya di daerah
Polmas, Sulawesi Barat, dalam kasus ketegangan antara komunitas penganut
Islam dan penganut agama Kristen. Konflik bermula ketika adat dilepaskan
sebagai ikatan kebersamaan dalam konteks kebangsaan. (Ahmad Baso : 2010 ).
Selain sebagai perekat, budaya merupakan harga diri serta jati diri bangsa yang
harus tetap lestari keberadaannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang muncul adalah
sebagai berikut:
C. Gagasan Kreatif
Dalam karya tulis ini, penulis menganalisis dua buah pendapat yang saling
bertentangan mengenai pariwisata berbasis budaya. Kemudian penulis memilih
satu pendapat yang penulis anggap valid terkait masalah ini. Selain itu penulis
juga berusaha menunjukkan langkah konkret dalam bentuk rencana aksi yang
dapat dilakukan dalam rangka menjalankan program ini.
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat Penulisan
TELAAH PUSTAKA
A. Landasan Teori
PARIWISATA
Batasan yang lebih bersifat teknis dikemukakan oleh Prof. Hunzieker dan
Prof. K. Krapf dalam tahun 1942 dimana batasanya mengatakan bahwa
kepariwisataan adalah keseluruhan gelaja-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan
dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara,
asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan
dari aktivitas yang bersifat sementara itu. Batasan ini merupakan definisi yang
diterima oleh The Assocition Internatinale des Experts Scientifique du Tourisme
(AIEST) yang berlaku sampai saat ini.
KEBUDAYAAN
1. Edward B. Taylor
4. Dr. K. Kupper
5. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh
para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan
melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua
masyarakat.
6. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap
dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup
manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai.
7. Francis Merill
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari
kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa
sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya
di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di
harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem
pendidikan dan semacam itu.
11. R. Seokmono
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun
hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.
Kesimpulan
Objek ‘daya tarik’ wisata budaya itu dapat berkisar pada beberapa hal, seperti:
kesenian (seni rupa dan segala bentuk seni pertunjukkan), tata busana, boga,
upacara adat, demonstrasi kekebalan dan komunikasi dengan alam ghaib,
lingkungan binaan, serta keterampilan-keterampilan khusus fungsional seperti
membuat alat-alat dan sebagainya).
Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis,
dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat
kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata.
Kompromi-kompromi sering harus diambil. Namun yang memerlukan hehati-
hatian lebih besar adalah dalam niatan untuk ‘mengemas’ sajian-sajian yang
bermakna religi bagi masyrkat pemiliknya. Perlu dijaga betul agr agar di suatu
sisi, tidak terjadi pelecehan terhadap praktek religi yang bersangkutan, dan di sisi
lain tidak mendorong orang ke jalan musyrik.
GLOBALISASI
Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004)
adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan
politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan
merasuk ke dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi
produk global.
Prof. Emil Salim: pencemaran seni budaya itu bergerak sesuai dengan
perkembangan dan pertambahan penduduk. Contoh: film di tahun lima puluhan
dan bandingkan dengan film Indonesia masa kini. Perubahan-perubahan unsure
kebudayaannya tampak sekali. Baik itu dari tata kehidupan masyarakatnya
maupun mode pakaian, hiasan dan sebagainya. Mengenai kemungkinan
kebudayaan asing terserap ke dalam kebudayaan kita, hal demikian adalah wajar
saja karena ada pergaulan dengan orang asing, baik karena pergaulan ekonomi,
politik atau pergaulan internasional lainnya.
Prof. Dr. Edi Sedyawati: agar kebudayaan dapat lestari dan selalu eksis, maka
upaya-upaya yang perlu dijamin kelangsungannya meliputi perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatannya.
Mohammad Husein Hutagalung: eksistensi budaya dan pariwisata adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Di salah satu sisi, budaya memiliki potensi untuk
menarik orang-orang yang akan berujung pada perkembangan sektor pariwisata.
Di sisi lain, pariwisata dapat menjaga bahkan mengembangkan kebudayaan dan
nilai-nilainya. Namun di samping itu, eksploitasi kebudayaan dapat menjadi
negatif ketika dikembangkan tanpa tanggung jawab.
Prof. Dr. S. Budhisantoro: Selama ini pariwisata hanya dilihat dari sisi
keuntungan materi saja. Pariwisata dikatakan penghasil devisa yang prospektif
yang harus dikembangkan sebagai suatu industri. Namun pengalaman mengatakan
lain, pengembangan pariwisata itu jelas dapat membahayakan pengemmbangan
kebudayaan selanjutnya. Demi mengejar dolar wisatawan, terjadi pengikisan
kehidupan beragama melalui penodaan terhadap upacara-upacara keagamaan yang
disulap menjadi barang dagangan konsumsi wisatawan.
John Naisbitt: semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin
menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal,
namun bertindak global. Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita
harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh
kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia
Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang
dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-
masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam era
globalisasi ini.
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan karyat tulis ini berdasarkan studi literatur dan metode deduktif.
BAB IV
ISI
A. Analisis Permasalahan
Budaya bangsa adalah aset nasional yang tidak terkira harganya. Di masa
globalisasi seperti sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa masyrakat kita
khususnya yang hidup di daerah perkotaan mulai meninggalkan budaya tradisonal
dan justru meniru budaya asing. Dalam menghadapi kenyataan ini perlu adanya
tindakan penyelamatan budaya bangsa, sebagai langkah yang berkelanjutan agar
kebudayaan nasional tidak punah dan Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.
Salah satu alternatif solusi dalam menjaga kebudayaan Indonesia adalah dengan
menggalakkan pariwisata berbasis budaya secara merata di seluruh daerah di
seantero negeri. Dengan adanya penggiatan kegiatan pariwisata berbasis budaya,
diharapkan akan terjadi kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sebagai
pemilik budaya untuk tetap menghidupkan budaya tradisonal tersebut. Budaya
yang berkembang di daerah tertentu dijadikan komoditi pariwisata agar dapat
menguntungkan secara eknomis sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Pada dasarnya terdapat simbosis mutualisme antara pariwasata
dengan budaya sendiri. Dengan adanya tambahan motif ekonomi dari kegiatan
pariwisata, maka masyarkat diharapkan dapat semakin terdorong untuk
menghidupkan kembali berbagai potensi budaya yang dimilikinya untuk
dipertunjukkan kepada para wisatawan.
Dari tabel di atas dapat dilihat jika atraksi budaya merupakan aspek yang
dipersepsikan denga skor tertinggi yakni 4,11. Hal ini disebabkan karena
wisatawan memang ingin mencari hal yang berbeda dengan biasanya. Dasar
pemikirannya, semua negara sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan devisa
dari sektor pariwisata. Pengadaan fasilitas bagi wisatawan dibangun seperti suatu
perlombaan. Negara yang satu ingin melebihi negara yang lain. Namun
kenyataanya apa yang mereka sajikan pada dasarnya sama. Hotel yang mereka
bangun, tempat-tempat rekreasi yang mereka ciptakan, shopping center yang
tersedia, semuanya serupa. Kalau begitu apa perbedaan suatu negara dengan
negara lain?
Disinilah pentingnya suatu “nilai plus” harus diciptakan untuk menarik lebih
banyak wisman ke dalam negeri. Nilai plus tersebut adalah “hasil seni budaya”
yang spesifik yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Dengan menonjolkan
seni budaya yang ada, tidak hanya kehidupan ekonomi masyrakat yang membaik,
tapi juga keanekaragaman budaya Indonesia dapat lestari.
Menurut Ritchie dan Zins (Chapter 19, Social and Cultural Impacts;
dalam buku Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text, hlm. 221),
ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan, yaitu:
• Bahasa (language)
Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman lebih
banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam
industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama
untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan
penelitian yang dilakuakn oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh
suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan
daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan
menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-
bangunan kuno yang tinggi nilainya.
Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara
utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami
nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan
nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu
wisatawan yang ingin menyaksikannya.
Hal senada juga terjadi pada bentuk kesenian lain. Banyak wisatawan yang
menilai bahwa tari-tarian Bali yang asli adalah tari-tarian yang secara tradisional
dipertunjukkan dalam kegiatan-kegiatan ritual, yang bukan diperuntukkan
wisatawan. Tari-tarian kreasi baru dianggap tidak asli, karena diciptakan bukan
karena dorongan religious, melainkan dorongan seni yang tidak bernafaskan
agama Hindu. Apalagi kesenian yang sengaja dipaket-paketkan untuk
dipertunjukkan kepada wisatawan.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat antropolog senior yang lama
melakukan penelitian di Jawa dan Bali, Clifford Geertz. Geertz mengedepankan
bahwa pelestarian tidak boleh diartikan sebagai usaha ‘membekukan’ sebuah
kebudayaan, karena kebudayaan memang selalu berubah, direkonstruksi dan
direkreasi, sebagai respons terhadap situasi yang berubah. Usaha untuk
membekukan kebudayaan atas nama keaslian atau otentisitas, justru akan
menghasilkan dekadensi. Geertz (1999: 19) menulis bahwa kebudayaan dan
peninggalan budaya:
a. Zonasi Pariwisata
Hal yang paling utama dalam mewujudkan kegiatan pariwisata tentu saja
menciptakan tempat atau lokasi berlangsungnya kegiatan tersebut. Dalam
membentuk lokasi wisata, pemerintah daerah yang tentu saja paling
mengenal potensi daerahnya sendiri hendaknya dapat menciptakan semacam
zonasi objek wisata yang nantinya akan dijadikan pusat pariwisata berbasis
budaya ini (tourist center). Zonasi ini dibagi ke beberapa zona lagi sesuai
dengan keadaan atau kondisi daerah yang bersangkutan. Sebagai contoh,
zona pertama ditujukan untuk wisata kuliner yang menyajikan beragai
macam makanan daerah, wisata belanja untuk memfasilitasi penjualan
produk kesenian lokal seperti kerajinan tangan dan sebagainya, serta wisata
kesenian tradisional yang menyuguhkan aneka tarian, seni peran tradisional,
seni musik, dan lain sebagainya. Zona dua diperuntukkan untuk wisata
sejarah, misalnya museum, benteng, dan bangunan peninggalan sejarah
lainnya. Selain itu zona dua juga bisa dikombinasikan dengan wisata religius
yang menyuguhkan tempat-tempat ibadah berbagai agama. Zonasi ini
bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan keadaan suatu tempat
tertentu. Konsep zonasi objek wisata ini akan menjadi pedoman dalam
mempromosikan objek wisata kepada masyarakat luas lewat berbagai media
komunikasi visual dan memudahkan pelaku pariwisata untuk
mengagendakan berbagai atraksi unggulan di setiap zonasi objek wisata.
Dengan demikian, para wisatawan akan tersebar ke berbagai objek wisata
sesuai dengan minatnya masing-masing tanpa harus menumpuk dan
terkonsetrasi di satu tempat tertentu. Zonasi objek wisata semacam itu
menjadi penting bagi wisatawan yang akan mengunjungi suatu daerah.
Dengan zonasi objek wisata seperti itu lebih memudahkan wisatawan untuk
mengunjungi objek wisata sesampainya mereka turun dari kereta api,
pesawat terbang, bus pariwisata, atau kendaraan pribadi. Mereka tidak akan
kebingungan karena memiliki panduan dalam bentuk buku objek wisata kota
Yogyakarta atau denah lokasi, sistem pertandaan yang dengan cermat dan
unik akan memandu wisatawan menuju objek wisata yang diinginkan.
Proses selanjutnya dari rencana aksi program ini menyangkut pelaku seni-
budaya itu sendiri. Seniman juga tidak boleh luput dari proses
pembangunan. Sebagai subjek pariwisata para seniman merupakan salah
satu kunci kesuksesan program ini karena peran mereka sangat besar dan
signifikan. Tidak hanya bertugas untuk menciptakan karya seni yang layak
untuk disuguhkan ke wisatawan, tapi juga sekaligus sebagai penjaga seni-
budaya itu sendiri agar masih berada dalam koridor kemurnian. Maksudnya
adalah, dalam pengelolaan kegiatan kepariwisataan, orang-orang yang
banyak tahu tentang seni budaya dan seni tradisional harus ikut dilibatkan.
Hal itu ditujukan untuk mencegah terjadinya perusakan nilai-nilai atau
esensi dari suatu kebudayaan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian orang-
orang yang bergerak di dalam industri pariwisata yang kadang jalan sendiri
tanpa memperhatikan diperlukannya sentuhan tangan para seniman yang
nyatanya masih banyak mengharapkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan
bidangnya. Para pelaku industri pariwisata yang ada hendaknya jangan
jangan sampai hanya “sekedar menjual saja”. Kepada mereka juga
diharapkan suatu kesadaran untuk dapat memelihara bagaimana penyajian
suatu kesenian yang pantas untuk ditunjukkan. Sangat ideal sekali kalau
pertunjukkan itu disenangi para wisatawan, tapi penyajiannya tetap pada
norma-norma yang hidup dalam kebiasaan masyarakat yang tradisional. Satu
hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk menangani seni budaya
dan kepariwisataan jangan sekali mencoba-coba dan ditangani oleh mereka
yang masih amatir. Inilah yang selama ini banyak terjadi, sehingga
menimbulkan perdebatan mengenai keaslian suatu budaya.
e. Promosi
Salah satu cara yang paling ampuh untuk mendatangkan wisatawan adalah
dengan berpromosi melalui berbagai media seperti televisi, internet, radio,
brosur, majalah, atau koran. Selain itu, promosi yang tak kalah efektif juga
bisa dilakukan melalui agen perjalanan dan perusahaan penerbangan.
Publikasi ke masyarakat luas merupakan salah satu aspek dimana masih
Indonesia cukup tertinggal. Bandingkan saja dengan negara tetangga
terdekat yakni Malaysia. Malaysia dengan semboyan "Truly Asia"
melakukan promosi yang gencar dan berhasil menyedot lebih dari 10 juta
wisatawan mancanegara (wisman) pada 2003 dan tahun 2005 setiap bulan
mampu mendatangkan wisman rata-rata 1,3 juta orang, sedangkan Indonesia
baru berencana mencapai angka 10 juta per tahun pada tahun 2009. Hal ini
cukup memprihatinkan mengingat Malaysia tidak memiliki potensi dasar
pariwisata sehebat Indonesia.
B. Simpulan
C. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta: Andi.
Data Pribadi
Pengalaman Organisasi
Prestasi
Institusi
No Tahun Deskripsi Keterangan
Penyelenggara
1. 2006 Pertamina Lomba Pidato Bahasa 10 besar
Inggris tingkat Kota
Palembang
2. 2006 Kwartir Daerah Lomba Pidato Bahasa Juara 3
Sumatera Selatan Inggris tingkat Provinsi
Sumatera Selatan
3. 2008 Universitas PGRI Lomba Cepat Tangkas Juara 3
Palembang Akuntansi tingkat
SMA/SMK se-Sumatera
Selatan
4. 2008 Depdiknas Ujian Nasional tingkat Nilai tertinggi dalam
SMAN 18 UN di SMA
Pengalaman Kerja