Anda di halaman 1dari 15

Folklor Bahari

PERSEPSI TENTANG LAUT SEBAGAI LANSKAP BUDAYA

NINDYO BUDI KUMORO


ANTROPOLOGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Disampaikan dalam webinar “Manusia dan Laut”


Museum Kebaharian Jakarta
23 September 2021
Folklor
Folklore is informally learned, unofficial knowledge about the world, ourselves, our communities, our beliefs, our
cultures and our traditions, that is expressed creatively through words, music, customs, actions, behaviors and
materials. It is also the interactive, dynamic process of creating, communicating, and performing as we share that
knowledge with other people (Martha C. Sims, 2005:8)

Sebagai sebuah “tradisi”, disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau standar dalam waktu yang lama (minimal dua
generasi) secara lisan (Danandjaja, 1986)

Tradisi lisan, cerita rakyat, dongeng, legenda, hikayat, atau "mitos"

• Bukan persoalan fakta atau tidak, tetapi bagaimana orang memaknai dunianya atau alam lingkungannya

• Bersifat vernakular, mengacu pada lokalitas (sosial maupun geografis) tertentu bagaimana
mempersepsikan lingkungan

• Berdimensi kreatif, artistik, dan ekspresif. Berangkat sekaligus dibedakan dari setting keseharian,
menggunakan sarana-sarana simbolik
Folklor
Memilliki “logika” dan “realitas” sendiri, agar secara efektif mencapai fungsi-fungsinya bagi komunitas
pemilik untuk:
• Survival dan adaptasi lingkungan
• Sistem proyeksi masyarakat
• Sarana Pendidikan, identitas, dll.

Folklor adalah “verbal arts”. Bentuknya menurut J. Harold Brunvand (Danandjaja, 1986):
• Folklor lisan (verbal): cerita rakyat, ungkapan tradisional, puisi, dll
• Folklor sebagian lisan (partially verbal): teater, tari, adat istiadat, ritual, nyanyian, dll.
• Folklor bukan lisan (non-verbal): kerajinan, pakaian, arsitektur, tekstil, dll.

Folklor menjadi manifestasi manusia/kelompok dalam memaknai, mempersepsikan, dan


mengkreasikan alam lingkungan maupun sosio-kultural. “The perception of environment; making a
living and the poetics of dwelling” (Ingold, 2000)
Manusia dan alam
Manusia dan alam memiliki relasi yang resiprokal yang terekspresikan dalam folklor:

1. Bagian dari alam: Mitos genesis (berasal dari gunung, dari tanah, atau berlayar dari tempat
tertentu)

2. Alam sebagai sumber penghidupan: Mitos kelimpahan, tertaklukkan, subyek pertukaran,


terpahami dan terkendalikan (familiar/intimate)

3. Alam sebagai sumber marabahaya dan penuh ketidakpastian: Mitos keangkeran, perlu dihindari,
entitas yang tidak terpahami (strange)

Lantas, mana bentang alam lingkungan yang dianggap sebagai orientasi dan sumber penghidupan, dan
mana yang dipersepsikan sebagai tempat tak terpahami?
Lanskap fisik dan budaya
Dari sudut pandang ekologi budaya, tatanan-tananan sosial budaya juga dipengaruhi oleh lanskap (bentang alam fisik/geografis)
di mana kelompok manusia tinggal. Secara sederhana, lanskap tempat tinggal manusia paling tidak dapat dibagi menjadi:

1. Dataran tinggi (Highlands) 2. Dataran rendah (Lowlands) 3. Pesisir/Laut (Coastals/marine)

asianews.it widrializa.blogspot.com indonesiamandiri.web.id

Persepsi (folklor) alam apakah sebagai (1) asal usul, (2) sumber hidup, maupun (3) dunia yang asing, sedikit banyak dipengarui
oleh sudut pandang lanskap lingkungan di mana masyarakat tinggal
Laut sebagai lanskap budaya
The sea is a dangerous and alien environment, and one in which man is poorly equipped to survive. It is a realm that man
enters only with the support of artificial devices (i.e. boats, canoes, platforms, scuba gear, or other technologies), and then
only when weather and sea conditions allow. The constant threat of storm, accident, or mechanical failure makes fishing at sea a
very dangerous occupation anywhere in the world
James M. Acheson, Anthropology of fishing (1981:276)

The most hazardous of all human enterprises known to primitive man is sailing […] But adverse wind or no wind at all, rough
weather, currents and reefs are always liable to upset his best plans and most careful preparation. […] There are therefore
always systems of superstition, of more developed ritual [and magic], associated with sailing
Bronislaw Malinowski, The role of magic and religion (1979:38)

Laut sebagai,
• Lanskap yang asing dan berbahaya
• Penuh ketidakpastian (Uncertainty)

Tetapi juga,
• Obyek natural untuk ditaklukkan (penjelajah, misalnya)
• Obyek sumber daya untuk dieksploitasi.
Folklor laut populer: Wacana keasingan dan penaklukan
1. The Flying Dutchman 2. Kraken 3. Siren/ Putri Duyung

boombastis.com sportdiver.com Steemit.com

4. Leviathan 5. Kisah Nabi Yunus 6. Nyi Roro Kidul

Uniguide.com
aalequtub.wordpress.com Krjogja.com
Sejarah transformasi pemaknaan laut di Indonesia
Sepanjang sejarah, laut pernah dominan dalam kehidupan orang-orang di Nusantara
• Austronesia “si Nenek moyang” 6000 SM, pionir kehidupan maritim maupun agraris
• Zaman penyebaran agama Hindu-Buddha & Islam
• Perdagangan pra-kolonial
• Era Kerajaan Maritim Nusantara (Sriwijaya - Majapahit - Ternate - Makassar (Gowa-Tallo))

Sejarah modern Indonesia (kolonial & pasca-kolonial) lebih cenderung menempatkan Indonesia sebagai bangsa agraris, (YY Taum, 2013)
yang berpengaruh terhadap persepsi dan penempatan lanskap kebudayaannya

• Budaya bahari "dicabut" dari nusantara tatkala kekalahan Makassar atas VOC (Perjanjian Bongaya, 1667) yang membatasi
aktivitas pelaut bumiputera seperti sebelumnya (Utomo, 2016)
• Era Kerajaan pasca Majapahit (Mataram Islam) lebih bergerak pada politik ”pedalaman” dan membentuk tatanan budaya agraris
• Tanam paksa (cultuurstelsel) Pemerintah Hindia Belanda lebih mengasingkan Jawa dan Sumatera dari kehidupan Bahari 
terkonsentrasi di sebelah timur sebagai “pinggiran”

James Scott (2012) menulis, era kolonial & pasca-kolonial menyebabkan:


• Pusat politik (dan wacana budaya) dominan di lanskap lembah (pertanian irigasi)
• Masyarakat pegunungan (dan pesisir) yang “tak terpahami” dan dimitoskan
• Reorientasi pedalaman - pusat - pinggiran
Folklor Bahari Indonesia: Laut sebagai ibu pertiwi
Secara tradisional, berbagai kelompok masyarakat di Indonesia telah dan masih menganggap laut sebagai bagian, orientasi,
dan sumber penghidupan. Laut diimajinasikan sebagai ‘ibu’ dengan segala kelembutan, kasih sayang, dan pemberi kehidupan
(YY Taum, 2013; Sunindyo, 1998)

Ina Kabuki Pulau Buru


Masyarakat Pulau Buru memiliki mitos Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar
Teluk Kayeli. Ia adalah penguasa lautan, ibu dari segala kesembuhan dan sakit

Lamalera
Orang Lamalera menyebut laut sebagai Ina Fae Belé, dan disebut sebagai
Sedo Basa Hari Lolo, atau ibunda yang maharahim, mahapengasih, yang
senantiasa memelihara anak-anaknya. Dalam nyanyian memanggil angin
dan ungkapan adat ketika menangkap ikan paus, pari, hiu, dll, laut disebut
dengan berbagai nama, Ina Lefa (Bunda Lautan), Ina Soro Budi (Ibu yang
memberi hatinya kepada anak-anaknya)
Folklor Bahari Indonesia: relasi “kekerabatan” dekat darat-laut
Putri Mandailka Sasak Lombok
Legenda Mandalika, seorang putri raja dari orang Sasak Lombok yang memilih
untuk menceburkan diri ke laut dibanding membuat perpecahan di antara
banyaknya pemuda yang ingin melamarnya. Tubuhnya menjelma menjadi cacing
warna-warni (nyale) yang dianggap memberi keberkahan bagi orang Lombok.

Legenda Putri Hijau Sumatera


Putri yang dipercaya menghuni dasar laut di sekitar Pulau Berhala. Karena
menolak lamaran Raja Aceh, ia melarikan diri memasuki sungai Deli, dan
langsung menuju ke Selat Malaka bersama adiknya. Hingga sekarang kedua kakak
beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.

Poskata.com
Folklor Bahari Indonesia: Laut medan yang terkendalikan
I La Galigo Sulawesi Selatan
I Lagaligo yang meng-gambarkan nenek moyang orang Makassar seorang
pelaut. Di dalam teks itu, Saweri-gading direpresentasikan sebagai seorang
yang diutus dewa mengarungi samudera untuk kesempurnaan yang hakiki,
yang menjadi jiwa kebudayaan maritim orang Makassar, menghubungkan
alam atas dan bawah yang mengarahkan laut sebagai kesempurnaan kehidupan
orang Makassar.

Tirto.id

Laksamana Hang Tuah Melayu


Hikayat Hang Tuah menceritakan tentang perjuangan dan kegigihan tokoh
bernama Hang Tuah atau Tun Tuah. Hang Tuah dipercaya lahir di daerah pulau
Lingga, Kepulauan Riau. Hang Tuah memiliki semangat pantang menyerah, setia,
dan dikenal sebagai pelaut yang hebat. Ia bersama kelompoknya menerjang segala
rintangan musuh-musuh dan bajak laut yang ditemui.
Bp.b;ogsop.com
Folklor Bahari Indonesia: relasi pertukaran
Petik laut
Sedekah laut, petik laut, nyadran atau larungan adalah penamaan upacara yang dilakukan
komunitas nelayan di sekitar Jawa sebagai ucap syukur atas hasil laut maupun permohonan
keselamatan dalam aktivitas melaut. Upacara ini serupa dengan sedekah bumi dalam
masyarakat petani.

Simah laut
Simah Laut merupakan upacara turun-temurun pada nelayan Sampit Kalteng, merupakan
upacara tolak bala dilaksanakan sebelum para nelayan melakukan pelayaran ke laut. Upacara
ini biasanya dilaksanakan 10 hari setelah idul Fitri. Sebelum upacara, biasanya masyarakat
melakukan pembersihan pantai. Ritual upacara berupa larung sesaji ke tengah laut dipercaya
akan mendatangkan keselamatan dan kelimpahan rejeki bagi nelayan. Belum banyak
ditemukan hasil penelitian yang memadai tentang Simah Laut ini.

Jamu Laut
Jamuan Laut masa lampau sejak jaman pra-Islam pada masyarkat Serdang Sumut, yang
mendapat pengaruh Hindu dan Budha. Ritual ini sampai sekarang masih dilaksanakan
dengan disesuaikan dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, upacara ini dianggap keramat
dan bernuansakan magis. Upacara Jamuan Laut termasuk upacara tolak bala, dengan
memberikan persembahan kepada penguasa laut yang disebut Jimbalang atau Mambang
Laut.
Tradisi Lisan Smong Pulau Simeulue Aceh: Poetics of dwelling

Pada Tsunami 2004 di Pulau Simeulue Aceh hanya tiga orang dari sekitar 70 ribu penduduknya dilaporkan meninggal. Ini karena
dianggap orang Simeulue masih mewarisi folklor "smong" dari nenek moyang. Kisah Smong tersimpan dalam salah satu budaya lokal
masyarakat Simeulue yang disebut Nafi-nafi. Smong berkisah tentang kejadian tsunami pada 1907, yang menceritakan runut kejadian
tsunami yaitu gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke darat. Kisah Smong juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan
yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit. Di samping itu perlu membekali diri
dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat
pengungsian sementara.
Penutup
1. Folklor adalah manifestasi kelompok manusia mempersepsikan alam lingkungannya secara kreatif
dan simbolik
2. Persepsi alam sebagai bagian, sumber penghidupan, ataupun marabahaya berdasarkan ‘ruang
kerja’ atau lanskap fisik tiap masyarakat
3. Laut, umumnya, dipersepsikan sebagai tempat yang terasing dan penuh bahaya terlihat pada
folklor-folklor popular di dunia (Barat)
4. Indonesia memiliki sejarah yang berlawanan dengan itu, bahwa laut dipersepsikan sebagai bagian,
orientasi, dan sumber penghidupan bagi masyarakatnya.
5. Meskipun kemudian dinamika sejarah modern Indonesia membuatnya menjadi wacana budaya
yang terpinggirkan, digantikan oleh pusat-pusat budaya agraris.
6. Kendati menjadi wacana ‘marjinal’, folklor masyarakat Indonesia tentang laut masih hidup hingga
kini, menjadi pengetahuan dan kearifan lokal Bangsa Indonesia yang sangat berguna di masa
depan. Laut menjadi ibu pertiwi, berhubungan dekat, medan yang terpahami dan terkendalikan, di
mana manusia menjalin pertukaran.
7. Ke depannya, manfaat folklor Bahari hendaknya tidak hanya untuk menambah khasanah budaya
Indonesia, tetapi juga dapat dikaji dan dikembangkan untuk berpartisipasi menjaga dan
melestarikan kekayaan maritim Indonesia.
terima kasih

Anda mungkin juga menyukai