Anda di halaman 1dari 3

1.KEADAAN GEOGRAFI NUSANTARA/ KEP.

INDONESIA: LAUT,PULAU-PULAU, IKLIM DAN MUSIM, DAN


KONDISI SUMBERDAYA

A. Pulau, Laut, dan Letak/Posisi (dengan tayangan Peta BMI)Terdiri 17.508 pulau (besar dan kecil).
Panjang Pantai 95.181 km dan2.027.087 Km2 luas wilayah darat. Luas wilayah laut: 5,8 juta km2,
terdiridari Perairan Nusantaradan Teritorial 3,1 juta km2 dan Zona EkonomiEksklusif (ZEE) 2,7 juta km2.
Batas terluar dari ZEE adalah 200 juta darigaris pantai pada titik terendah (garis dasar). Laut Indonesia
dapatmengungkapkan dalam 5 bagian : (1) Laut Cina bagian Selatan, (2)LautSulu,
(3)PerairanDalamKawasanTimurIndonesia,(4)PaparanArafura, dan (5) Bagian Perairan Samudera Hindia.
Laut Cina BagianSelatan terdiri dari 6wilayah: (1) Laut Jawa, (2) Selat Sunda, (3) SelatKarimata, (4) Selat
Gaspar, (5) Selat Bangka, dan (6)Selat Malaka.Memiliki kedalaman yang dangkal dengan dasar paparan
Sunda. DiapitBenua Asia dan Australia, berada di antara Samudera Hindia dan Pasifik.Posisi strategis
dalam hubungan internasional karena terbuka dari segala halpenjuru:
menguntungkandalammembanguninteraksi/pergaulanduniadankerjasama berbagai bidang
kehidupan.Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Tim CIDA/Bappenas(1988), pada tahun 1987 nilai
ekonomi total yang dihasilkan oleh sebelaskegiatan pembangunan (pemanfaatan) sumber daya pesisir
dan lautansebesar 36,6 triliun, atau sekitar 22% dari total produk domestik bruto.Berbagai kegiatan
pembangunan ini merupakan sumber matapekerjaanian dan kesejahteraan bagi sekitar 13,6 juta
orang,dansecaratidak langsung mendukung kegiatan ekonomi bagi sekitar 60%dari totalpenduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir. Kemudian padatahun 1990, kontribusi ekonomi kegiatan
sektor kelautan tersebutmeningkat menjadi Rp.43,3 triliun, atau sekitar 24% dari total produkdomestik
bruto, dan menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 16 jutajiwa (Dahuri, 1998).

B.Iklim dan Pola MusimBeriklim khatulistiwa (sedang). Polamusimsecaraumum: musimbarat (penghujan,


badai, dan ombak), musim timur (kemarau yang teduh),dan musim pancaroba (angin besar dan arus
kuat tidak menentu arah)yang masanya singkat di antara kedua musim utama tersebut. Padabanyak
wilayah barat dan timur Indonesia bercampur pula dengan pola-polamusim lokal yang bervariasi. Baik
pola musim yang umum maupunkhusus menentukan pula masa-masa operasinya dan pola-
polamobilitas geografi/migrasi kelompok-kelompok kerja masyarakat maritim(khususnya
pelayar/pekerja usaha transportasi laut dan nelayan).Proses pemanfaatan perbedaan suhu udara di
permukaan laut,biasanya menggunakan pusat pembangkit energi yang ditempatkan dipermukaan laut
dan dilengkapi dengan sebuah pipa panjang yangmenjulur ke arah dasar laut sehingga perbedaan suhu
mencapai sekitar200 C. Keadaan tersebut dapat terjadi pada kedalaman lebih dari 1000meter. Dengan
menggunakan pompa, udara dingin dari kedalaman dialirkankepermukaan, selanjutnya digunakan untuk
mengubah amoniak daribentuk gas menjadi cair. Amoniak cair lalu dipanaskan oleh air
hangatpermukaan sehingga menguap menjadi gas kembali. Selama prosesperubahan dari fase cair
menjadi fase gas dan gas menjadi fase cair,amoniak berputar membuat siklus yang dapat menggerakkan
turbinsehingga dapat dihasilkan daya listrik.

C. Kondisi Potensi Sumberdaya Hayati dan Nonhayati (dengantayangan Peta BMI)Terdapat tiga
ekosistem pesisir utama terbesar di dunia: hutanmangrof (ekosistem bakau), terumbu karang
(ekosistem terumbu karang)dan padang lamun (ekosistem padang lamun) yang sangat luas danberagam.
Sumberdaya ikan: berisi kurang lebih 7000 jenis yang terkandungdi perairan pesisir dan laut di
Indonesia. penyelesaiannya belumtermasuk spesis-spesis lain yang juga tergolong sumberdaya
perikanan.

2. Sejarah maritim indonesia dari masa kerajaan maritim nusantara hingga masa indonesia merdeka

Sejarah maritim sangat erat kaitannya dengan peristiwa yang terjadi di lautan. Hal ini berkaitan
dengan pemahaman kemaritiman yang bersandar pada perspektif bentang laut (seascape) yang
menempatkan laut sebagai fokus kajian. Selain itu, peristiwa yang terjadi di lautan cenderung
menggambarkan peristiwa besar yang memiliki pengaruh dalam skala luas. Namun di balik itu semua,
laut terintegrasi dengan bentang perairan lainnya, yaitu persungaian. Sejak periode Hindu-Buddha
di Nusantara, sungai menempati posisi strategis yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
penunjang aktivitas pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Sriwijaya memanfaatkan sungai dalam
pendistribusian komoditas dagangnya: lada, kapur barus, damar, dan emas yang berada di wilayah hulu
ke wilayah pesisir hingga kemudian ke pelabuhan di segala penjuru Asia Tenggara. Kerajaan
Majapahit yang berkembang pasca-Kerajaan Sriwijaya juga tidak jauh berbeda, dengan menempatkan
laut dan sungai (perairan) sebagai bagian dari aktivitas pelayaran dan perdagangan. Pentingnya
transportasi laut dan sungai pada zaman Majapahit bisa diterima secara akal sehat mengingat
bahwa wilayah Majapahit khususnya daerah di sekitar ibukota merupakan hutan pegunungan
dengan sungai-sungai besar. Sungai Berantas yang berada dalam kekuasaan Majapahit dapat
dilayari oleh kapal-kapal pada masa itu. Kerajaan-kerajaan pada masa Hindu-Buddha di Nusantara
memiliki kesadaran bahwa sungai sebagai bentuk rupa bumi dapat dimanfaatkan sebaik mungkin
dalam mendukung aktivitasnya. Fungsi sungai pada abad 15-17 M pun tidak mengalami banyak
perubahan. Anthony Reid menerangkan bahwa sungai pada masa kurun niaga dikategorikan
sebagai jalur utama, sejajar dengan jalur laut dan darat. Meski

Menjadi jalur penting pelayaran dan perdagangan, sungai rawan akan tindakan kriminal. Dea
diberlakukan di banyak tempat di sepanjang jalan dan jalan air, perampokan bahkan merupakan bahaya
yang lebih besar dibandingkan di laut, dan peperangan atau persaingan politik dapat mengakibatkan
jalan arteri perdagangan yang alami tidak dapat digunakan. Sungai sebagai lautan memang
dikategorikan sebagai jalur alami yang berbeda dengan jalur darat yang diidentik dengan jalan yang
dibangun oleh pengusaha daerah berwenang.

Nelayan dan pelayar Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan sejak dahulu dikenal meluas di nusantara
sebagai pelaut ulung yang berani menggembala jauh ke perairan kawasan Timur, Selatan dan barat
Indonesia serta berbulan-bulan kemudian kembali lagi ke negerinya tersebut. Kepandaian membuat
perahu dan sikap keberanian berlayar telah menjadi etos kemaritiman pelaut Bugis Makassar di samping
pelaut-pelaut mandar (Sulawesi Barat ), Buton, Madura pelaut Bugis Makassar, khususnya nelayan, pada
umumnya berasal dari daerah-daerah pesisir pantai Sulawesi Selatan dan pulau-pulau di sekitar
terbentang dari Luwuk, Wajo ,Bone, Sinjai, Bulukumba di bagian timur (berhadapan dengan teluk Bone),
dan banteng ,Jeneponto ,takalar, Gowa, kota Makassar ,Maros, Pankep ( pangkajenne
kepulauan ),Barru,hingga kota Parepare dan Pinrang dibagian barat pulau ( berhadapan selat Makassar ).
Di antara semua penduduk desa-desa nelayan pesisir dan pulau-pulau tersebut nelayan Bajoe ( Bone ),
pulau sembilan , lappa,Babaha (Sinjai ) , Galesong (Takalar), dan ketiga Pulau Barrang Lompo, Barrang
caddi,dan Kodingereng ( Kota Makassar ) yang dikenal sebagai pelaut pengembara jarak jauh yang
berani hingga sekarang. Mereka ini masing-masing cenderung terspesialisasi pada penangkapan jenis-
jenis ikan dan biota laut tertentu. Demikian dikenal tiga kategori nelayan pengembara yang hebat yakni

1 ) nelayan penyelam dari Pulau sembilan ,Barrang Lompok ,Barrang caddi,dan Kodingareng yang
mencari teripang dan karang (terutama siput mutiara ).

2 ) nelayan pancing tongkol ( termasuk ikan cakalang dan tuna ) dari Bajoe,Lappa,dan Babana;dan

3) nelayan torani dari Galesong yang menangkap ikan terbang dan mengumpulkan telurnya.
Mengenai rute-rute, tempat dan tujuan pelayaran lintas perairan provinsi dan daerah penangkapan
ikan dari masing-masing kategori nelayan pengembara Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan dapat
kita lihat pada data di bawah ini. 1) Nelayan ikan terbang dan pencari telur ikan dari Galesong (Kab.
Takalar) sejak beberapa dasawarsa memperluas wilayah penangkapan dari Selat Makassar ke Laut
Flores, Laut Banda, terus ke perairan Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, hingga perairan-
perairan Biak, Fak-Fak, dan Mrauke (Irian). 2) Nelayan pancing tongkol dari Babana dan Lappa (Kab.
Sinjai) mula-mula beroperasi di Teluk Bone (wilayah perairan sendiri), kemudian memperluas
wilayah penangkapan ke Laut Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Maluku. Bahkan sejak
tahun 1998 kebanyakan nelayan Sinjai tersebut sudah memasuki perairan-perairan Nusa Tenggara
Barat (NTB), Bali, dan Pacitan (Jawa Timur) hingga Cilacap (Jawa Tengah) yang ganas arus dan
ombaknya untuk menangkap tongkol, cakalang, dan tuna. 3) Kelompok-kelompok nelayan penyelam
dari Pulau Sembilan (Kab. Sinjai), Pulau Barranglompo dan Pulau Kodingareng (Kota Makassar)
dikenal paling berani mengembara selama berbulan-bulan ke berbagai wilayah perairan karang
Nusantara yang kaya dengan jenis-jenis sumber daya perikanan bernilai ekonomi pasar ekspor
seperti teripang, kerang-kerangan, dan tumbuhan laut (akar bahar dan rotan laut). Dalam
pengembaraan ke Kawasan Timur Indonesia, mereka mendatangi perairan pesisir Maluku Tengah dan
Maluku Tenggara, Biak dan Merauke. Ke arah barat, mereka mendatangi perairan pantai pulau-pulau
dalam wilayah Kalimantan Selatan, kemudian menyeberang ke Sumatera untuk menyelam di perairan
pantai pulau-pulau Nias, Sibolga,dan Mentawai wilayah Sumatra Utara dan Barat.

Ke arah selatan, kelompok-kelompok nelayan penyelam dari Pulau sembilan ( kab.Sinjai ). Pulau Barrang
Lompo dan pulau Kodingareng ( kota Makassar ) mendapatkan perairan Nusa tenggara Timur ( NTT ),
Nusa Tenggara Barat ( NTB ),dan Bali. Bahkan awal periode 1990-an, cukup banyak kelompok nelayan
penyelam sampai di beberapa lokasi perairan Pantai Utara dan Barat Australia. Menurut cerita nelayan,
bilamana kapal-kapal penyelam di Darwin Australia belum penuh dengan tangkapan, sebagai kelompok
penyelam menuju ke perairan Pantai Selatan Papua New Guinea untuk menambah tangkapannya, baru
kembali ke Makassar (Lamper.2016 ).

Anda mungkin juga menyukai