Anda di halaman 1dari 17

Mengenal Suku Bangsa Minahasa

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan suku-suku dengan budayanya masingmasing. Sebagai anak-anak bangsa, kita perlu mengetahui dan mengenal setiap suku dan budaya
yang ada. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Minahasa di pulau Sulawesi. Untuk tujuan
itulah maka tulisan ini saya sajikan untuk memberikan sedikit gambaran tentang budaya suku
Minahasa yang berdiam di Sulawesi Utara. Saya berusaha untuk memberikan data itu dengan
merujuk pada etnografi Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
hlm.341-387). Untuk mendapatkan bahan-bahan yang disajikan ini, saya menggunakan metode
tinjauan kepustakaan.
Ucapan terima kasih saya tujukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tulisan ini. Saya pun merasa bahwa apa yang disajikan di dalam tulisan ini masih
jauh dari sempurna. Untuk itu saya sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran demi
menyempurnakan tulisan ini. Semoga apa yang disajikan oleh dalam tulisan ini bisa berguna bagi
kita semua khususnya pembaca blog ini untuk mengenal dan memahami suku Minahasa.

I.

ETNOGRAFI SUKU MINAHASA


1.1 Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
a. Lokasi
Minahasa terletak di bagian timur-laut jazirah Sulawesi Utara1[1], di antara 0 derajat 51 dan
1 derajat 51 40 lintang Utara dan 124 derajat 18 40 dan 125 derajat 21 30 bujur Timur. Luas
Minahasa 5273 Km, sedangkan luas wilayah pulau-pulau sekitarnya 169 Km 2[2]. Daerah
Minahasa termasuk juga dengan beberapa pulau kecil di bagian Utara, seperti pulau Manado

1[1] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan,


2007) hlm 143.
2[2] Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara (Jakarta: Depdikbud, 1983) hlm
113.

Tua, Bunaken, Siladen, dan Naen3[3]. Tetangga-tetangga Minahasa ialah Sangir Talaud di bagian
Utara dan Bolaang Mongondow di bagian selatan4[4].
b. Lingkungan alam
Kawasan Minahasa berupa daerah vulkanik muda. Sifat-sifat khasnya ialah pelbagai tepi
gunung yang curam, diselingi oleh sungai-sungai kecil yang mengering sesudah mengalir cepat
dan singkat ke laut. Di Minahasa terdapat empat gunung tinggi yang penting, yaitu Kalabat di
Utara, Lokon dan Mahawu di tengah, dan Soputan di Selatan. Selain juga ada beberapa gunung
lain, yakni gunung Dua Saudara, Masarang, Tampusu, Manimporok, Lolombulan, Lengkoan, dan
pegunungan Lembean. Sungai-sungai yang terdapat di Minahasa, antara lain sungai Tondano,
Ranoyapo, Poigar, dan sebagainya. Di tengah Minahasa terdapat suatu dataran tinggi (700m)
dengan danau Tondano di tengahnya. Di daerah itu dan di wilayah-wilayah datar lainnya
ditanami padi pada wilayah yang beririgasi, jagung di tebing-tebing gunung beserta sayur-mayur,
kelapa di sepanjang pantai dan pohon cengkeh di wilayah yang lebih tinggi. Iklim Minahasa
tropis dan basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000 sampai 4.000 mm. Dalam satu tahun
terdapat dua musim, yakni musim hujan yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai Maret
dan musim panas dari bulan April sampai September5[5].
c.

Demografi
Orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang),
orang Minahasa, dan juga Kawanua6[6]. Masyarakat asli Minahasa terbagi ke dalam 8 sub-etnik

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

atau suku bangsa, yakni:


Tonsea; terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa.
Tombulu; terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano.
Tontemboan/Tompakewa; terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa.
Toulour; terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano.
Tonsawang; terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa.
Pasan atau Ratahan; terdapat di bagian Tenggara Minahasa.
Ponosakan; di bagian Tenggara Minahasa.
3[3] Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tonaas; Jilid 1: Mawanua (Jakarta: Cahaya
Pineleng, 2007) hlm 11.
4[4] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 143.
5[5] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 10-11.
6[6] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 143.

8. Bantik; terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota Manado.
Pola perkampungan desa di Minahasa bersifat menetap, mengelompok, dan padat. Kelompok
rumah-rumah dalam desa memanjang mengikuti jalan raya 7[7]. Rumah tradisional berbentuk
panggung dengan tinggi 5-10 meter, dengan maksud untuk menghindari gangguan binatang buas
dan gangguan musuh, misalnya perampok-perampok yang datang dari luar daerah seperti dari
kepulauan Mindanauw, orang Tidore, dari Maluku, dan orang Bajo/Wajo8[8].
1.2 Asal Mula dan Sejarah
Sejak tahun 1970-an muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri
tentang yang manakah budaya asli mereka 9[9]. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan
jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lilimut. Penduduk Minahasa
baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak memperlihatkan lagi unsur-unsur budaya asli
seperti dalam suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan sejarah
yang cepat sejak perjumpaan dengan orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan
kolonial Belanda di abad ke-19. Masuknya kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah
dimulai pada abad ke-16 dengan kedatangan orang Spanyol yang kemudian digantikan oleh
Belanda setelah kalah perang pada tahun 1660. Pengaruh kehadiran orang Spanyol yang bertahan
hampir seabad di Minahasa masih tampak hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada
beberapa kata yang tak lain ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo). Selain itu, pakaian yang
dianggap orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung kurengkeng dan saraun di Tondano) tak
lain adalah pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan masuknya bangsa Spanyol, masuk pula
unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh Pater Diego de Magelhaens dan
kemudian oleh misionaris lainnya. Penginjilan oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh
para pendeta Protestan akibat peralihan kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675,
pendeta Montanus mengadakan penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G Schwars dan J.C
Riedel pada tahun 1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur
7[7] Ibid., hlm 147.
8[8] Depdikbud, Op. Cit. hlm 115; bdk. N. Graafland, Minahasa; Negeri, Rakyat, dan
Budayanya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991) hlm 3.
9[9] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 1.

kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara berpakaian, sistem
pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan, kesehatan,

peralatan, pengangkutan, dan

sebagainya10[10].
Proses perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan
masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi daerah ini. Dahulu
kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung padi), lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu)
tetapi kemudian kedua nama ini menghilang. Kini daerah ini dikenal dengan Minahasa11[11]
(dipersatukan). Nama Minahasa pertama kali muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789
dan lambat laun diterima sebagai nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an muncul suatu julukan
yaitu Bumi Nyiur Melambai, dan lagi pada tahun 1990-an Tanah Toar dan Limumuut12[12].
1.3 Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang
dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini
adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari sub-sub etnik
Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di daerah perkotaan, orang
memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa.
Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah
kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung
dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya
Minahasa13[13].
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik
suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang,
Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan
10[10] Depdikbud, Op. Cit., hlm 124-125.
11[11] Kata dasarnya asa, satu, tetapi sering dilafalkan esa. Kemudian ditambah
prefiks maha, terbentuklah mahasa yang artinya menyatukan atau disatukan.
Dengan sisipan in menjadi Minahasa yang artinya dijadikan satu. Bdk. N.
Graafland, Op. Cit., hlm 9-10.
12[12] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 1.
13[13] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 143.

bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu
Proto-Minahasa14[14]. Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan
bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu
dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini
jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu
tidak lagi menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor
dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum15[15].
1.4 Sistem Teknologi16[16]
Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi dalam setiap suku bangsa pun semakin
berkembang. Di Minahasa, sama seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sistem teknologi
dan penggunaan alat-alat tradisional sudah semakin menghilang diganti dengan alat-alat modern
buatan pabrik. Namun, dalam bagian ini penulis berusaha memasukkan daftar alat-alat
tradisional yang dahulu dipakai oleh masyarakat suku Minahasa atau mungkin juga masih
dikenal atau digunakan oleh masyarakat Minahasa dewasa ini di tempat-tempat tertentu. Alat-alat
tersebut mulai dari alat-alat rumah tangga sampai alat-alat yang digunakan untuk bekerja dan
a.

berperang.
Alat-alat rumah tangga: masih sering dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi
beras/padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng),
ramporan (dodika/tempat memasak), tampayang (tempayan), mauseu/nuuseu/naaweyen/sincom
(tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar),

patekelan/panteran/koi (tempat tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).


b. Alat-alat pertanian: beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko
(bajak), sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/tamako
c.

(kapak).
Alat-alat perburuan: alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain
tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam
jerat), dan sinapang (senapan).
14[14] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 29.
15[15] Ibid., hlm 32.
16[16] Depdikbud, Op. Cit., hlm 134-137.

d. Alat-alat perikanan: alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai
nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari
giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang
khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala),
sesambe (berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang
telah dianyam untuk membungkus ikan.
e. Alat-alat peternakan: alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak
terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat
f.

tersebut antara lain: lontang tempat makanan babi, roreongan atau sangkar ayam.
Alat-alat kerajinan: alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini
merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari
luar (yang berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat
pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat
dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari

kayu), sarong peda (sarung parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
g. Alat-alat transportasi: alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara
h.

lain roda sapi, bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
Alat-alat peperangan, yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam
berperang, antara lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor
(tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang

i.

(dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
Alat-alat untuk menyimpan, antara lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk
menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hampir tiga liter, terbuat dari bambu),
gantang (volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan makanan, terbuat
dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat dapur).

1.5 Sistem Mata Pencaharian


Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini,
yakni:
a. Berburu/meramu
Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian
pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak lama
masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi kehidupan mereka.
Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi

rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu
ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan
sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
b. Pertanian
Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa dalam arti bahwa
pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi masyarakat.
Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat dengan tanamantanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain,
yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan metode
dan teknologi modern17[17]. Tanah pertanian sawah atau ladang di Minahasa dimiliki baik
oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian
maupun secara bersama (kalekeran) yang digarap secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat menetap dan
ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buahc.

buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan rempah-rempah.


Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam
masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang mendirikan
Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa18[18]. Selain itu, juga ada peralihan
dari teknologi tradisional dalam bidang perikanan ke dalam teknologi modern yang membuat
usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan motorisasi perahu penangkap ikan. Sama
seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir pantai
mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah dalam dalam
memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertelaga, dengan mendirikan lembaga usaha
penangkapan dan pengolahan ikan cakalang19[19]. Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap
antara lain, tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan
batu, dan kura-kura (tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke

17[17] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 151.


18[18] Depdikbud, Op. Cit., hlm 129.
19[19] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 152; bdk. Ibid., hlm 130.

pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke
daerah-daerah lain di luar Minahasa20[20].
d. Peternakan
Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat
Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi, ayam, bebek,
kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak
(belante) di beberapa daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam
bidang pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.
e.

Kerajinan
Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan itu
berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan,
rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames), dan bambu kecil yang disebut bulu tui. Terdapat
juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot
bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan penduduk sampai ke
pelosok-pelosok Minahasa.

1.6 Sistem Kemasyarakatan


Kelompok kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga
batih, yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur). Sanggawu dapat berupa pasangan
suami istri sendiri, atau beserta anak, baik anak kandung maupun anak angkat. Terbentuknya
sanggawu dimulai dari pernikahan antara seorang wanita dan pria yang pada umumnya bukan
hasil penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang bebas menentukan jodohnya,
asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan darah. Sesudah menikah pun mereka
bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara neolokal (tumampas) di mana mereka tinggal
di suatu tempat yang baru, terpisah dari kerabat istri maupun suami. Namun sebelum mempunyai
rumah sendiri, adakalanya mereka tinggal di sekitar kerabat suami atau istri. Dengan tinggal
berdampingan dengan keluarga batih dari kerabat atau orang tua, terbentuk suatu keluarga luas,
yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga batih, baik dalam satu rumah maupun satu
pekarangan.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan
oleh prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip keturunan bilateral.
20[20] Depdikbud, Op. Cit., hlm 130.

Dalam bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini disebut taranak (famili), yang dapat
dimengerti sebagai sebuah klen kecil. Setiap taranak memiliki kepala yang disebut tua unta
ranak. Identitas satu taranak dilihat dari nama famili atau disebut fam. Nama famili ini biasanya
diambil dari nama famili suami tanpa perubahan prinsip bilateral. Hal ini diperkuat dengan
adanya kenyataan penulisan fam suami dan isteri bersama-sama pada papan nama yang
ditempelkan di depan rumah21[21]. Hal yang menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa,
ialah di bidang warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa
bidang ini sering timbul persaingan antar taranak dan kerjasama dalam satu taranak. Beberapa
istilah yang digunakan untuk menyapa anggota famili dalam masyarakat Minahasa, yakni: Opu
(kakek dari ayah atau ibu), Omu (nenek dari ayah atau ibu), Opa/Tek (ayah dari ibu/ayah),
Oma/Nek (ibu dari ayah/ibu), Papa/Papi/Pa (ayah), Mama/Mami/Ma (ibu), Om/Mom (paman),
Tante (bibi/tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak lelaki)22[22].
Desa (Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah orang yang semuanya
disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan pembangunan desa, terdapat juga
orang-orang yang membantu hukumtua yang biasa disebut tua-tua kampung. Mereka itu terdiri
dari pemimpin-pemimpin agama setempat, guru-guru, mantan hukumtua, pemimpin-pemimpin
kecil/RT dalam desa (kepala jaga), meweteng (pembantu kepala jaga), juru tulis, dan sejumlah
pensiunan yang ada di desa23[23].
Dalam menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan,
pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas, masyarakat Minahasa
menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerjasama yang didasarkan
pada prinsip resiprositas. Kegiatan kerjasama dan gotong royong ini disebut dengan mapalus.
Bantuan yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, baik tenaga maupun barang-barang atau
uang. Bantuan tersebut harus disadari oleh orang yang menerimanya dan diberikan balasannya,

21[21] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 156.


22[22] Depdikbud, Op. Cit., hlm 158-159.
23[23] Ibid., hlm 163.

jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang tidak baik dan tidak akan menerima bantuan lagi
dari siapapun24[24].
Masyarakat Minahasa umumnya memiliki suatu kesadaran akan kesatuan tempat asal
seperti sekampung/sekecamatan/sedistrik dan juga berdasarkan kekerabatan/famili yang
terwujud dalam kelompok-kelompok sosial seperti perkumpulan-perkumpulan, persatuanpersatuan, dan kerukunan yang terdapat di kota Manado maupun di daerah lain di luar Minahasa.
Kerukunan seperti ini biasa disebut pakasaan, yang dahulu sebenarnya berarti wilayah kesatuan
adat yang sama. Tetapi kini perkumpulan-perkumpulan pakasaan ini tidak lagi mendasarkan
kesatuan sosial mereka menurut wilayah-wilayah pakasaan atau distrik dahulu25[25].
Perkawinan dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang tua,
sehingga pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam oleh pihak
orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan pertemuan, yakni pada
saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus. Bila seorang pemuda sudah menemukan
jodohnya, ia berterus-terang kepada orang tuanya. Jika disetujui, orang tua kemudian mengambil
seorang perantara (rereoan/pabusean) untuk menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan
mengatasnamakan orang tua pemuda kepada pihak orang tua perempuan. Bila disetujui, upacara
berlanjut pada penentuan hari pengantaran mas kawin yang dikenal dengan antar harta/mali
pakeang/mehe roko. Upacara itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan tanggal
pernikahan, jumlah undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi, dan sebagainya.
Kemudian barulah dilangsungkan upacara perkawinan yang biasanya diadakan di gereja dan
melalui pemerintah (catatan sipil). Di samping itu, masih ada juga kawin baku piara yang tidak
melalui catatan sipil atau agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang tua dan
keterbatasan ekonomi26[26].
1.7 Sistem Pengetahuan27[27]

24[24] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 156.


25[25] Ibid., hlm 158.
26[26] Depdikbud, Op. Cit., hlm 161-162.
27[27] Ibid., hlm 148-155.

Sistem pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa


bagian, yakni:
a. Alam fauna; adanya kepercayaan terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan ular. Ada
dua macam burung yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru endo, kemekeke,
totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan (lowas, keeke rondor),
tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga wowos), tanda tidak menyenangkan
(mangalo/mangoro), dan tanda yang menakutkan atau beralamat tidak baik (keke). Burung
malam (wara wengi kembaluan) dapat bersuara merdu tanda menyenangkan (manguni rendai),
suara hampir merdu dan putus-putus tanda tidak mengganggu perasaan (imbuang), suara parau
tanda membimbangkan (paapian), dan bunyi panjang serta keras (kiik) yang bertanda
menakutkan jika terdengar dari arah depan atau kanan pendengar. Di samping itu, ada juga tanda
dari ular, misalnya ular yang merayap dari barat ke timur dan ular yang mengangkat kepala.
Tanda yang lainnya ialah tanda dari empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam,
b.

sapi, dll) yang dapat meramalkan masa depan.


Alam flora; pengetahuan tentang alam flora dapat terlihat dari bermacam-macam bahan
makanan masyarakat Minahasa yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak bahan-bahan
obat pula yang diperoleh dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu, buahbuahan, rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya, obat malaria dibuat dari
sejenis akar yang disebut riis (tali pahit), goraka (jahe) sebagai obat batuk, obat sakit perut dan

penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur) sebagai obat demam bagi anak-anak.
c. Tubuh manusia; pengetahuan tentang tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian yakni yang
menyangkut perbuatan dan yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh. Pengetahuan itu
lebih bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya karena akan menimbulkan

akibat tersendiri. Contohnya:


jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota keluarga
lekas terjadi; maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam gampang mendapat

luka.
Jangan suka tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran darah

tidak terganggu.
Bila ada kematian di desa, dilarang ke ladang/sawah, jika tidak diindahkan akan mati lemas;
sebenarnya adat yang berlaku di Minahasa bila ada peristiwa kematian, setiap orang wajib
memberikan bantuan, yang berarti tidak seorangpun yang boleh keluar dari desa.

Mata kiri bergerak, artinya akan mendapat surat atau akan segera bertemu dengan saudara yang
berada jauh. Sebaliknya, mata kanan bergerak berarti akan mendapat berita buruk atau akan

menangis nanti.
Telapak tangan kiri gatal artinya akan mendapat untung atau uang. Jika telapak tangan kanan

yang gatal, tanda akan mengeluarkan uang.


d. Ada juga kepercayaan rakyat Minahasa tentang mimpi, antara lain: mimpi gigi copot, alamat
seorang dari keluarga dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat rejeki; mimpi
e.

mendapat uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.


Pengetahuan tentang alam, misalnya bila awan di langit kelihatan berpetak-petak, tandanya
banyak ikan atau juga terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran segerombolan lebah
yang terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi kemarau yang panjang, dan
bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum, alamat musim kemarau panjang telah

mulai.
f. Pengetahuan tentang waktu; masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang waktu dengan
berpatokan pada matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai timbul berarti jam 6
pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6 sore. Ayam berkokok tengah
malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan tanda sudah hampir siang. Para
petani di sawah mendengar suatu binatang bernama konkoriang sebagai pertanda mereka harus
segera pulang sebab waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat
dari dua botol yang diikat sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol
lain. Waktu selama pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya dalam
mapalus).
1.8 Sistem Religi
Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli
a.

masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.


Kepercayaan asli masyarakat Minahasa
Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara
adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup
individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun dalam bentuk roh-roh
leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari, yang baik maupun yang jahat.
Orang Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo
Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala

isinya. Sesudah dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema28[28]. Rupanya Karema
merupakan salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti mitra, teman (ka-) yang
dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)29[29].
Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong manusia
yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang diberikan mereka.
Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang bersangkutan mengalami bencana,
kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga
Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri
dan berjudi30[30]. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu),
Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah,
pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan31[31].
Selain itu, orang Minahasa juga percaya akan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh
leluhur, hantu-hantu, dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Bentuk makhluk halus itu bermacammacam, yakni: mukur (arwah dari orang yang telah meninggal tetapi masih berada di sekitar
keluarganya yang masih hidup), puntianak (arwah wanita yang mati dalam keadaan hamil atau
melahirkan dan suka mengganggu orang yang masih hidup), setang mengiung-ngiung (sama
dengan puntianak tetapi khusus bagi kaum pria saja), pok-pok atau suanggi (sebangsa drakula
yang suka menghisap darah manusia yang masih hidup), panunggu (setan yang menempati
tempat-tempat tertentu), jin (sama dengan panunggu tetapi selalu berkeliaran), dan lalu/lulu
(sebangsa setan yang menghuni hutan)32[32].
Masyarakat suku Minahasa juga memiliki kepercayaan bahwa ada bagian-bagian tubuh,
benda-benda, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta ucapan manusia (sumpah dan kutuk) yang
memiliki kekuatan sakti. Konsep kejiwaan bagi orang Minahasa tidak dibedakan dengan konsep
roh. Unsur kejiwaan dalam hidup manusia ialah ingatan/gegenang, perasaan/pemendam, dan
28[28] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 159.
29[29] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 127; bdk. Depdikbud, Op. Cit., hlm 141.
30[30] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 160.
31[31] Depdikbud, Op. Cit., hlm 141.
32[32] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 141-143.

kekuatan/keketer. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara-upacara keagamaan


pribumi disebut walian atau tonaas. Mereka berfungsi sebagai media untuk mendapatkan
kekuatan sakti dari opo-opo dan juga mengobati orang sakit dengan cara tradisional33[33].
b. Agama-agama wahyu dalam masyarakat Minahasa
Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga masih
menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan
sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan
membentuk sebuah sinkretisme. Hal ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan,
dan perilaku keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi
mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama Kristen.
Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah.
Namun, di samping itu tentu terjadi juga beberapa ketidaksesuaian persepsi emic dan etic atas
sinkretisme tersebut34[34].
Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah Protestan, Katolik,
Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa.
Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari populasi penduduk35[35].
1.9 Kesenian
Berikut adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.
Tarian perang yang disebut tari cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan tari Spanyol yang
telah mengalami perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke Minahasa. Berupa gerakangerakan perang; menantang, mengejar dan menghindari musuh dengan gerakan ke kiri serta ke
belakang atau dengan lompatan menyerang musuh. Tarian ini diperagakan dalam berbagai
kesempatan, seperti penyambutan tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan pesta-pesta

33[33] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm 160-161.


34[34] Ibid., hlm 163.
35[35] Paul Richard Renwarin, Op. Cit., hlm 35.

adat36[36]. Selain itu, ada juga tarian lain yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi

(makanberu), tarian naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan)37[37].
Kesusasteraan suci masyarakat Minahasa dikenal dengan istilah masambo (meminta doa).
Masambo memiliki perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak lain
adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga, memberkati,
memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa dijumpai pada bidang pertanian,
perkawinan, naik rumah baru, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga
mengandung nasehat-nasehat atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman

hidup. Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama tertentu38[38].


Ada juga berbagai ungkapan, pepatah,simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh masyarakat
suku Minahasa, terutama oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa. Misalnya, Sa
lumampang, lumampang yo makauner; arti harafiahnya: kalau berjalan, berjalanlah ke dalam
(tengah) atau bila masuk jangan setengah-setengah, melainkan masuklah ke dalam.
Pengertiannya, bila melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah setengah-setengah melainkan
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh39[39]. Selain itu masih berbagai pepatah dan ungkapan
lain. Simbol yang ada dalam masyarakat Minahasa, misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di
kepala melambangkan kesatriaan dan keberanian, sayap bulu burung manguni (burung hantu)
yang diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan parang dan perisai

sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah air40[40].


Dalam bentuk pakaian atau tenunan, ada dua jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar
adalah kadu/wau, yaitu kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut
juga dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai karung untuk
mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang terbuat dari kapas dari pohon
yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan halus, tetapi hasil tenunannya cenderung
36[36] N. Graafland, Op. Cit., hlm 28.
37[37] Depdikbud, Op. Cit., hlm 146.
38[38] Ibid., hlm 143-144.
39[39] Ibid., hlm 164.
40[40] Ibid., hlm 167.

kasar. Biasa digunakan sebagai sarung dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama 41[41].
Para wanita Minahasa juga membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai
ukuran, terbuat dari daun silar dengan berbagai warna yang mencolok42[42]. Sayangnya, kini
berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah hilang dari kehidupan masyarakat Minahasa
yang mulai terhanyut oleh arus kehidupan modern.
II.

PENUTUP
Setiap suku di suatu daerah pasti memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Ciri
ini membedakan satu suku dengan suku yang lainnya. Hal yang sama juga terlihat pada suku
Minahasa. Dari hasil pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa suku Minahasa memiliki
kekayaan etnografi yang bernilai tinggi. Semuanya nampak jelas dalam berbagai segi kehidupan
masyarakatnya, misalnya dalam bidang pertanian. Sejak dulu masyarakat Minahasa sudah
mengenal cara berkebun yang sangat maju. Hal ini terbukti lewat cara pembuatan bedeng-bedeng
yang dilengkapi dengan parit-parit di pinggirnya untuk mempermudah irigasi. Hal lain juga bisa
terlihat dari cara mereka membuat rumah yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk
kompleks pemukiman yang rapi.
Namun, ketika berhadapan dengan arus modernisasi, perubahan terjadi dalam hampir
seluruh aspek kehidupan. Perubahan yang dimaksud menyebabkan terjadinya asimilasi,
inkulturasi dan konfrontasi dengan budaya setempat. Jika dilihat secara sepintas maka kehidupan
suku Minahasa yang sekarang sudah mulai berbeda dari kehidupan beberapa generasi suku
Minahasa terdahulu. Meskipun demikian, ada tradisi-tradisi tertentu yang masih dilaksanakan
dan dipertahankan keasliannya.
BIBLIOGRAFI

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta:
Depdikbud.
Graafland N. 1991. Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya, (terjemahan Lucy R. Montolalu).
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
41[41] N. Graafland, Op. Cit., hlm 188.
42[42] Ibid., hlm 184.

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cetakan ke-22.
Renwarin, Paul Richard. 2007. Matuari Wo Tonaas; Jilid 1: Mawanua. Jakarta: Cahaya Pineleng.

Anda mungkin juga menyukai