Anda di halaman 1dari 17

KEARIFAN LINGKUNGAN SUKU BAJO DALAM

PEMANFAATAN PESISIR DAN LAUT SECARA


BERKELANJUTAN

Tugas Mata Kuliah Coastal Conservation


Indra Fardhani
NPM : 250120130511

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan


Universitas Padjajaran
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku Bajo merupakan suku yang sering disebut dengan suku laut karena bergantung pada
laut untuk pemenuhan kehidupannya sehari-hari (Baskara dan Astuti, 2011). Bahkan dulu,
hampir seluruh kehidupannya dihabiskan di atas perahu yang terus mengarungi lautan. Suku
Bajo menyebar secara luas. Sebagaimana layaknya kebudayaan lainnya, Suku Bajo juga
memiliki sistem etika dan kebudayaan sendiri. Sistem tersebut menjadi pedoman hidup mereka.
Sistem tersebut mengarahkan kehidupan keseharian mereka dari generasi ke generasi.
Suku Bajo banyak tersebar di kepulauan Nusantara baik Indonesia, Filipina, hingga
Malaysia dan Brunei Darussalam. Dulu mereka menghabiskan masa hidupnya di atas perahu dan
berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Kini, Suku Bajo telah menetap di kawasan pesisir,
namun rumahnya harus tetap berada di sisi bagian laut, bukan di sisi bagian darat.
Meskipun Suku Bajo terpisah secara geografis, namun terdapat kemiripan aturan adat, budaya,
dan sistem nilai yang berlaku. Sehingga Suku Bajo dapat digolongkan sebagai satu etnis terpisah
yang memilki asal keturunan yang sama (Anwar, 2006 dalam Baskara dan Astuti, 2011).
Budaya mereka mencakup berbagai aturan yang dihasilkan dari pengalaman dan spiritualitas
mereka dengan kehidupan mereka yang bergantung sepenuhnya pada alam. Sistem etika, adat,
dan budaya ini menarik untuk dikaji karena terbukti mampu membuat masyarakat Bajo bertahan
dan hidup selaras dengan kawasan pesisir dan lautan yang menjadi penghidupannya. Suku Bajo
memiliki kearifan dalam menjaga dan memanfaatkan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Tulisan ini akan mencoba membahas megenai berbagai kearifan lokal Suku Bajo di berbagai
tempat terkait pemanfatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana kearifan lokal masyarakat Suku bajo
terkait pemanfaatan sumberdaya di pesisir dan laut secara berkelanjutan?
Agar lebih jelas dan terarah, penelitian ini perlu dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana ketergantungan masyarakat Suku bajo terkait pemanfaatan sumberdaya di
pesisir?

2. Bagaimana kearifan lokal masyarakat Suku bajo terkait pemanfaatan sumberdaya di


laut?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi ketergantungan masyarakat Suku bajo terkait pemanfaatan
sumberdaya di pesisir.
2. Mengkaji kearifan lokal masyarakat Suku bajo terkait pemanfaatan sumberdaya di
laut.
1.3.2 Manfaat
Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi untuk mengetahui tentang
kearifan lokal Suku Bajo. Selain itu, bagi peneliti lain, dapat menjadi sumber data atau
pembanding penelitian sejenis.

BAB II
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO
DALAM MENGELOLA WILAYAH PESISIR DAN LAUT
2.1 Kearifan Lokal Masyarakat terkait Lingkungan
Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara
umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami merupakan gagasan gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial
(sekarang Kementerian Sosial) kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka
(Departemen Sosial RI, 2006). Dalam pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan
setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam
konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or
local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas
kebudayaan (cultural identity) (Makmur, 2011). Kearifan lokal merupakan salah satu warisan
dari nenek moyang, warisan tersebut bisa berupa tata nilai kehidupan yang menyatu dalam
bentuk religi, budaya ataupun adat istiadat (Basuni, 2012).
Keberadaan kearifan lokal ini bukan tanpa fungsi. Kearifan lokal sangat banyak fungsinya.
Seperti yang dituliskan Sartini (2006), bahwa fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral.
8. Bermakna politik,

kearifan lokal yang terkait dengan kebudayaan, memiliki arti penting untuk menjaga
keberlanjutan kebudayaan, sekaligus agar selalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi, di tengahtengah modernisasi yang istilahnya saat ini lebih akrab dikenal sebagai globalisasi. Yang dalam
kenyataannya, globalisasi itu dapat menggeser nilai-nilai budaya lokal oleh nilai budaya asing
yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, baik yang hidup di
perkotaan maupun perdesaan (Puslitbangbud, 2011).
Pelestarian kearifan lokal dengan sendirinya akan dapat melestarikan lingkungan
perdesaan. Karena, nilai-nilai kearifan lokal tersebut akan menjadikan masyarakat memiliki
karakter kuat sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di lingkungannya. Selain itu, desadesa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi akan menjaga kelestarian kawasan
konservasi karena biasanya kawasan tersebut erat kaitannya dengan nilai-nilai kearifan lokal
yang dianut. Kegiatan konservasi di suatu wilayah sebaiknya berasal dari kesadaran masyarakat
yang

berada di wilayah

yang

bersangkutan. Kesadaran akan pentingnya

menjaga

keanekaragaman hayati sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia
melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan diarahkan untuk
kepentingan jangka panjang (Aulia & Dharmawan, 2010). Peranan kearifan lokal dalam
kelestarian lingkungan perdesaan dapat kita temukan contoh kasusnya pada kampung-kampung
adat seperti Baduy, Kampung Kuta, Kampung Naga, dsb. Di daerah tersebut, lingkungan
perdesaan dan hutan yang berbatasan langsung sangat terjaga kelestariannya, masyarakat dapat
memanfaatkan hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya namun tetap dapat menjaga
kelestarian dari hutan tersebut karena terikat oleh nilai-nilai kearifan lokal.
2.2 Masyarakat Suku Bajo
Suku Bajo merupakan suku yang pada awalnya hidup di atas perahu yang selalu berada di
lautan. Perahu yang digunakan disebut Leppa atau Soppe (Baskara dan Astuti, 2013) atau bido
(Suyuti, 2011). Asal usul orang Bajo yang misterius kemungkinkan sekali dari Zulu (Filipina),
Johor (Malaysia), dan daerah Sabah, Kalimantan Utara (Malaysia). Suku Bajo hidup berpindahpindah bergerak secara berkelompok menuju tempat yang berbeda menurut pilihan lokasi
penangkapan ikan. Laut dijadikan sebagai sumber kehidupan (panamamie ma di lao). Mereka
mempunyai prinsip bahwa pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare yang berarti
memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke darat (Nasruddin, 1996)

atau dengan kata lain merenggut kehidupannya. Bahkan kepala mereka akan pusing jika tidak
mendengar suara ombak.
Bajo merupakan suatu konsep yang diberikan oleh suku bangsa lain. Orang Bajo sendiri
menyebut dirinya sebagai 'sama', sedangkan orang lain (bukan Bajo) disebutnya sebagai 'bagai'.
Pengertian sama mengandung makna kesamaan bahasa, tradisi, kebiasaan, dan hidup di atas laut.
Sedangkan pengertian bagai mengandung makna berbagai suku bangsa yang mendiami daratan.
Orang Bajo biasanya susah untuk menyatakan dirinya sebagai orang Bajo kepada orang lain.
Akan tetapi setelah lawan berinteraksinya menyatakan hal-hal positif tentang orang Bajo, maka
barulah mengemukakan hal yang sebenarnya tentang orang Bajo (Tahara, 2011).
Masyarakat Bajo memiliki mitos jika Sang Dewata membuat lautan untuk orang-orang
Bajo. Terdapat konsep Sama dapu ma di laok (laut milik orang Bajo) artinya lingkungan darat
diperuntukkan bagi orang darat (Zacot, 1979 dalam Suyuti, 2011).
Karena kemajuan zaman dan kebutuhan ekonomi, kini sebagian besar Suku Bajo di
berbagai wilayah telah menetap. Meskipun demikian, mereka masih menetap di pesisir di bagian
atas laut, bukan di daratan. Pola pemukiman menetap komunitas Bajo di tepi pantai dan pulaupulau, sebetulnya merupakan sebuah perkembangan mencolok dari pola pemukiman asli di atas
perahu tipe-tipe vinta dan bido, yang berpindah-pindah dengan mobilitas tinggi dari satu tempat
ke tempat-tempat lainnya menurut kehendak penghuninya. Dalam pergaulan mereka harus
menguasai bahasa daerah setempat, bahkan lebih jauh lagi menikah dengan orang etnis setempat,
menjadi pegawai negeri. Kasus-kasus dinamika kehidupan seperti ini ditemui di daerah Luwu,
Selayar, daerah Kolaka, dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka yang sudah jauh berinteraksi
dengan masyarakat setempat, menguasai bahasa lokal, dan sudah beranak bercucu mengaku
sebagai orang Bugis, Makassar atau Buton. Dalam kepustakaan antropologi, strategi bertahan
hidup seperti ini disebut 'ethnic marker' (Lampe, 2011).
Interaksi sosial orang Bajo dengan masyarakat di sekitarnya sangat intens. Orang Bajo
dikenal mudah beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, dan akan selalu berusaha menuturkan
bahasa setempat. Oleh karena itu, orang Bajo sangat fasih berbahasa Bugis, Buton, Kaledupa dan
sebagainya. Dalam jaringan perdagangan, orang Bajo mengembangkan hubungan ekonomi
dengan orang-orang yang berada di sekitar tempat mereka menetap (Tahara, 2011).
Istilah atau sebutan Bajo, Orang Bajo, atau Suku Bangsa Bajo lebih dikenal di kawasan
Indonesia bagian Timur, yaitu suatu kesatuan sosial atau kelompok masyarakat yang dapat

ditemukan di kepulauan dan perairan laut Sulawesi Selatan (selat Makassar, teluk Bone, Bajoe),
Sulawesi bagian Utara (Kimabajo, pulau Nain, Torosiaje), Sulawesi bagian Tengah dan Timur
(teluk Tomini, Kepulauan Togian dan Banggai), Sulawesi Tenggara (seperti, Lasolo, Tinanggea,
Pulau Saponda, Tiworo Kepulauan (Tikep), Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia), Pasarwajo,
Mawasangka, serta wilayah Kolaka, Pomala, Watubangga, Wolo, Lasusua, Pakue); Kalimantan
Timur (sekitar Bontang, termasuk Sabah Timur dan kepulauan Sulu); Nusa Tenggara Timur
(Alor, Kupang, dan Flores dan sekitarnya); Nusa Tenggara Barat (Bungin); dan Maluku Utara
(Bacan). Di wilayah Indonesia bagian Barat (seperti Riau), kelompok masyarakat seperti suku
Bajo disebut Rakyat Laut, Orang Laut, atau Suku Laut. Sementara di Sabah Malaysia, Brunei
Darussalam dan Philipina, serta orang-orang Portugis dan para peneliti orang-orang yang
mendiami pulau-pulau kecil, hidup dalam perahu dan/atau seminomaden di laut dalam wilayah
Asia Tenggara banyak menggunakan sebutan Orang Bajau, Suku Asli, Sama-Bajau, Sama
Difaut, Bajau Laut, orang Samai, atau Samai Bajau Laut.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ingin menjawab
pertanyaan melalui analisis terhadap hubungan antara variabel (Best, 1982: 162). Penelitian jenis
ini paling baik digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan (Kravitz, 2010). Penelitian ini
dilakukan dengan studi literatur dengan menggunakan data-data dari berbagai penelitian
sebelumnya yang terkait.
3.2 Definisi Operasional
1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal di dalam penelitian ini adalah kearifan lokal pada masyarakat Suku Bajo
di berbagai wilayah yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut.
2. Sumber daya alam
Sumber daya alam di dalam penelitian ini adalah sumber daya alam di pesisir dan laut
yang menunjang kehidupan masyarakat Suku Bajo.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui dokumen-dokumen
penelitian sebelumnya. Data dikumpulkan dengan dari berbagai penelitian sebelumnya melalui
studi literatur. Studi literatur merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun
dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.
3.4 Teknik Analisis
Analisis dari berbagai data yang digunakan di dalam penelitian ini dilakukan secara
deskriptif. Data berupa pembahasan dari berbagai penelitian sebelumnya diuraikan berupa
deskripsi hingga diperoleh hasil.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Ketergantungan masyarakat Suku Bajo terkait pemanfaatan sumberdaya di pesisir
Ketergantungan masyarakat Suku Bajo di berbagai tempat terkait pemanfaatan sumberdaya
di pesisir pantai memiliki ciri yang hampir sama. Pada umumnya mereka hidup sebagaimana
moyangnya yaitu hidup dari hasil laut. Selain kepala keluarga, anak yang sudah remaja
berkewajiban membantu orang tua yang bekerja sebagai nelayan. Sedangkan peran ibu rumah
tangga selain membantu suami menjual tangkapan hasil lautnya ke pasar, membimbing dan
mendidik anak-anaknya dalam mengajarkan tentang kearifan lokal, kejujuran, tatakrama, sopan
santun, penanaman nilai-nilai agama dan tanggung jawab, terutama kepada anak yang masih usia
balita dan remaja. Contoh cara pemanfaatan sumberdaya, adat dan organisasi masyarakat yang
terkait akan dijelaskan di dalam beberapa contoh kasus pada masyarakat Suku Bajo yang
berbeda di bawah ini.
a. Suku Bajo di Teluk Bone, contoh kelompok nelayan tradisional Suku Bajo
Suku Bajo di Teluk Bone masih banyak yang bergantung pada aktifitas nelayan yaitu
mencari ikan (Hasman, 2009). Luas seluruh wilayah Desa bajo meliputi areal seluas 5,58
km2. Mata pencaharian penduduk yang paling banyak adalah sebagai nelayan. Hal
tersebut dikarenakan bagi Suku Bajo, sebagai nelayan mereka dapat menikmati hasilnya
dengan segera.
Sebagai nelayan mereka mengenal tiga lokasi penangkapan ikan, yaitu di perairan dalam,
di gugusan karang, dan di pantai. Mereka menggunakan berbagai peralatan tradisional
yang dibuat sesuai lokasi penangkapan. Bagi nelayan perairan dalam, peralatan yang
digunakan untuk menangkap ikan berupa panah, tombak, dan pancing. Bagi nelayan
yang mencari ikan di gugusan karang selain menggunakan panah dan tombak, mereka
juga menggunakan alat yang disebut bunre.

b. Pola perkampungan menetap: fenomena umum komunitas Bajo di Sulawesi


Selatan

Berdasarkan hasil penelitian yang diungkapkan Lampe (2011) bahwa di Sulawesi


Selatan, khususnya Desa Bajoe Bone, Pulau Sembilan Sinjai, dan beberapa tempat di
Selayar (Appa' Tana, Jampea, Kayuadi, Bonerate, Kawasan Taka Bonerate, dan lainlain),
komunitas-komunitas Bajo pada umumnya telah memiliki kampung atau desa induk
permanen. Bahkan sudah ada beberapa keluarga mendapatkan lahan perumahan yang
letaknya hingga beberapa ratus meter dari bibir pantai. Karena mampu beradaptasi
fisik/alam dan sosial budaya di darat sehingga sebagian di antaranya bisa berkebun kecilkecilan, beternak (memelihara unggas beberapa ekor), menjual bahan kebutuhan pokok
sehari-hari. Dalam pergaulan mereka harus menguasai bahasa daerah setempat, bahkan
lebih jauh lagi, mereka menikah dengan orang etnis setempat, hingga menjadi pegawai
negeri. Mata pencaharian komunitas Bajo di daerah daerah tersebut kini tidak terbatas
pada kegiatan nelayan semata.
Kasus-kasus dinamika kehidupan seperti ini ditemui di daerah Luwu, Selayar, daerah
Kolaka, dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka yang sudah jauh berinteraksi dengan
masyarakat setempat, menguasai bahasa lokal, dan sudah beranak bercucu mengaku
sebagai orang Bugis, Makassar atau Buton.
Meskipun demikian, tetap saja masih ada beberapa desa Bajo yang melakukan migrasi
musiman ke dan tinggal beberapa bulan pada musim timur di beberapa pulau karang
seperti Pulau Tarupa Kecil, Pulau Tinabo Bungin Belle dan Pasitallu Barat untuk
mendekati daerah penangkapan ikan (fishing grounds).
c. Budidaya laut di Batanglampe, Pulau Sembilan.
Beberapa kelompok keluarga nelayan Bajo kini tidak hanya melakukan ekstraksi atau
penangkapan ikan saja. Nelayan Bajo di Pulau Sembilan (Sinjai) telah mencoba
budidaya rumput laut, pembesaran bibit lobster dan kerang (japing, mutiara) dalam
keramba sejak beberapa tahun sejak tahun 1995 (Lampe, 2011).
Usaha budidaya di Pulau Sembilan tersebut sebetulnya diupayakan sebagai usaha
alternatif nelayan dari aktivitas utama berupa menangkap ikan, yang dari hari ke hari
hasilnya semakin merosot akibat dari penangkapan berlebih dan kerusakan habitat
terumbu karang. Meskipun belum lama dicoba oleh sebagian komunitas nelayan, namun
praktik budidaya laut telah terbukti menunjukkan tanda-tanda dampak positifnya baik
dalam segi ekonomi maupun pemulihan kerusakan ekosistem terumbu karang yang
disebabkan perilaku nelayan pengguna bahan peledak dan bius beracun.

Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas, terlihat bahwa Suku Bajo beradaptasi dengan
perubahan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memanfaatkan sumber
daya alam, Suku Bajo masih menerapkan cara-cara tradisional yang ramah lingkungan dan
terbukti mampu memenuhi kebutuhan subsistennya. Namun, Suku bajo juga ternyata tidak anti
terhadap hal-hal baru. Mereka beradaptasi dengan kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya
lain di luar cara-cara tradisionalnya.
4.1.2 Kearifan lokal masyarakat Suku Bajo terkait pemanfaatan sumberdaya di laut
Suku Bajo memiliki nilai-nilai dan norma yang mengatur kehidupan mereka. Kearifan
lokal tersebut membuat Suku Bajo mampu bertahan hingga sekarang. Kearifan dan pengetahuan
lokal tersebut merupakan hasil dari proses yang sangat panjang dari generasi ke generasi.
Beberapa kearifan lokal Suku Bajo dalam memperlakukan lingkungannya dapat dilihat pada
contoh di bawah ini.
Suku Bajo memiliki kegiatan yang dinamakan Bapongka atau biasa juga disebut babangi.
Bapongka merupakan istilah untuk kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulan
dengan perahu berukuran kurang lebih 4 x 2 meter yang disebut Leppa dengan mengikutsertakan
anak istri (Alwiah dan Utina, 2013).
Selama Bapongka terdapat suatu kearifan yang sangat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan
perairan yaitu berupa larangan atau pamali untuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Tidak boleh membuang air bekas cucian beras,


Arang kayu bekas memasak,
Ampas kopi,
Air cabe,
Air jahe,
Kulit jeruk, dan
Abu dapur.

Suku bajo dari sejak jaman dahulu sudah mulai memiliki pemahaman jika membuang
sampah dapat mencemari lingkungan. Meskipun, sampah yang dibuang merupakan sampah
organik dan tidak terlalu memberikan dampak negatif bagi perairan, namun nilai-nilai tersebut
perlu dilestarikan dan mungkin direvitalisasi dengan penguatan dan penambahan pemahaman
agar larangan membuang limbah berlaku tidak hanya kepada ketujuh benda yang telah
disebutkan di atas, namun juga terhadap seluruh limbah dari produk modern yang dibawa ketika
Bapongka.

Selain larangan dalam membuang tujuh jenis limbah ketika yang telah disebutkan pada poin
sebelumnya, terdapat pamali lain yang ternyata juga memiliki nilai kelestarian lingkungan.
Pamali tersebut adalah larangan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil dan memakannya.
Mereka hanya boleh mengkonsumsi ikan yang memiliki ukuran besar atau layak panen.
Norma lain yang berlaku adalah menghormati laut. Suku Bajo sangat menghormati laut
karena merupakan sumber penghidupannya. Bagi Suku bajo pamali untuk mengucapkan katakata yang tidak pantas atau mengumpat di laut. hal tersebut menunjukkan betapa Suku Bajo
sangat menghargai laut.
Suku Bajo sangat takut melanggar pamali. Mereka beranggapan akan mendatangkan
malapetaka dan musibah apabila melanggar pamali. Malapetaka atau musibah tersebut dapat
datang dalam berbagai bentuk seperti tidak memperoleh ikan, badai, ombak besar, dsb.
4. 2. Pembahasan
Suku Bajo beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dalam memanfaatkan sumber daya alam, Suku Bajo masih menerapkan cara-cara
tradisional yang ramah lingkungan dan terbukti mampu memenuhi kebutuhan subsistennya.
Mereka masih menghargai berbagai arahan dari nenek moyangnya. Namun, Suku bajo tidak anti
terhadap hal-hal baru. Mereka beradaptasi dengan kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya
lain di luar cara-cara tradisionalnya.

Gambar 1 Rumah Suku Bajo di Wakatobi (sumber : Suyuti, 2011)

Hal yang menarik adalah kini beberapa komunitas Suku Bajo tidak tergantung penuh pada
mencari ikan saja. Mereka kini sudah ada yang memiliki mata pencaharian di darat, atau
memiliki lokasi yang tetap di laut untuk memperoleh sumberdaya. Pergeseran tersebut
disebabkan terutama oleh interaksi antara Suku Bajo dengan berbagai etnis yang ditemuinya.
Suku Bajo kini tidak hanya melakukan penangkapan tetapi mulai melakukan budidaya. Hal ini
tentunya berdampak positif bagi lingkungan dan keberlanjutan hidup dari Suku Bajo sendiri.
Melalui budidaya, diharapkan Suku Bajo dapat meningkatkan perekonomiannya sehingga
meningkatkan taraf hidup terutama kesehatan dan pendidikannya.
Sementara itu, terkait kearifan lokal, dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Pengertian tentang kearifan lokal tersebut sesuai dengan konsep aturan hidup Suku Bajo dengan
Bapongka dan Pamali-nya. Bapongka merupakan kegiatan mereka untuk memenuhi kebutuhan
subsistennya, sementara pamali menjadi rambu-rambu pelaksanaannya. Meskipun kini kegiatan
Bapongka sudah tidak sesulit dahulu karena kini Suku Bajo pun telah menerapkan teknologi
seperti motor tempel ketika melaut.
Kaitan antara pamali dan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat Suku Bajo terbukti
telah membuat mereka mampu bertahan. Sebagai suku laut nomaden (sea nomads), Suku Bajo
merupakan etnis yang sukses menyebar di lautan nusantara. Konsep kearifan lokal mereka yang
berupa larangan sebetulnya bukan membatasi kehidupan mereka, namun justru memandu
kehidupan mereka agar tetap lestari. Kelestarian alam tempat mereka mencari penghidupan tentu
akan berdampak baik bagi kehidupan mereka.
Konsep pamali sangat berperan dalam mencegah kerusakan lautan oleh kegiatan Suku
Bajo. Moyang Suku Bajo telah memikirkan hal-hal tersebut, meskipun tentu saja masih dengan
sangat sederhana. Suku Bajo harus menjaga kondisi dan keberlanjutan dari lautnya. Jika laut
senantiasa berada dalam kondisi yang baik, tentu hal tersebut akan menjamin kehidupan mereka.
Sebaliknya, jika kondisi lautan rusak, sumber penghidupannya pun berada dalam bahaya. Tanpa
disadari, dengan mentaati aturan atau pamali, kelestarian ekosistem laut dan pesisir akan terjaga.
Dengan demikian secara tidak langsung Suku Bajo sudah melakukan upaya pelestarian
ekosistem laut dan pesisir.

Lebih dari itu, konsep aturan pamali bagi Suku Bajo sudah bukan hanya soal urusan
duniawi. Hal tersebut merupakan bagian dari kosmologi mereka. Konsep tersebut merupakan
jalan hidup, nilai-nilai, dan keyakinan spiritual.
Implikasi dari nilai-nilai konservasi lingkungan ternyata selama ini telah bersemayam di
dalam konsekuensi logis dari kosep pamali Suku Bajo. Sedangkan konsekuensi non logis dari
pamali tentu harus kita hargai sebagai nilai spiritual dari Suku Bajo. Oleh karena itu perlu
adanya upaya untuk memberikan pemahaman bahwa konsep pamali memiliki nilai-nilai
pendidikan bagi pelestarian ekosistem laut dan pesisir, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
hasil tangkapan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Suku Bajo memiliki kearifan lokal untuk memelihara lingkungan pesisir dan laut dalam
memanfaatkan sumberdaya alam. Karena Suku Bajo adalah orang yang hidup di laut, mereka
harus menjaga dan merawat laut sebagai sumber mata pencaharian, dan secara umum sebagai
lingkungan hidup.
Kearifan lokal Suku Bajo diantaranya adalah konsep pamali yaitu larangan membuang
limbah tertentu ke laut dan larangan menangkap ikan yang masih belum memiliki ukuran
dewasa. Konsep pamali bukan hanya merupakan mekanisme kearifan lokal untuk menjaga
lingkungan, namun, bagi Suku Bajo konsep tersebut merupakan jalan hidup, kosmologi, dan
kepercayaan spritual Suku Bajo.
Tanpa disadari, dengan menaati aturan atau pamali, kelestarian ekosistem laut dan pesisir
akan terjaga. Dengan demikian secara tidak langsung Suku Bajo sudah melakukan upaya
pelestarian ekosistem laut dan pesisir.
5.2 Saran
Saran yang saya ajukan adalah, untuk keperluan konservasi lingkungan laut di manapun,
sebaiknya menggunakan kearifan lokal sebagai salah satu strategi sukses. Kearifan lokal yang
berlaku di kawasan pesisir dapat digunakan dan direvitalisasi lagi agar nilai-nilai positifnya dapat
dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Alwiah & Ramli Utina. (2013). Bapongka : Studi Nilai Pendidikan Pelestarian Ekosistem laut
dan Pesisir pada Masyarakat Bajo. [Online]. Tersedia: http://repository.ung.ac.id/ [20
Oktober 2014]
Baskara, Benny & Oce Astuti. (2011). The Pamali of Wakatobi Bajo and its Role for Marine
Conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs, 1(2), [Online]. Tersedia : http://coastalunhas.com/incres/data/68863483a175a6bf9c7411bd5f2c0439.pdf [ 20 Oktober 2014]
Best, Jhon W. (1982). Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.
Hasman, Fahrur Rozi. (2009). Kekerabatan Masyarakat Bajou. Medan : Fak. Sastra Universitas
Sumatera Utara. [Online]. Tersedia : http://repository.usu.ac.id [20 oktober 2014]
Kravitz,

Len.

(2010).

Understand

Researches

[Online].

Tersedia:

http://www.unm.edu/~lkravitz/Article%20folder/understandres.html. [21 Oktober 2014]


Lampe, Munsi. (2011). Dinamika Kelembagaan Sosial Ekonomi Orang Bajo. Jagad Bahari
Nusantara. [Online]. Tersedia : http://centerformunawareducation.files.wordpress.com [20
Oktober 2014]
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. (2011). Buku Kearifan Lokal di Tengah
Modernisasi. Jakarta : Kemenbudpar.
Suyuti, Nasruddin. (2011). Interaksi Orang Bajo dan Orang Bugis: dalam Konteks Kearifan
Lokal-Global di Desa Sulaho, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Jagad Bahari
Nusantara. [Online]. Tersedia : http://centerformunawareducation.files.wordpress.com [20
Oktober 2014]
Tahara, Tasrifin. (2011). Politik Identitas Orang Bajo. Jagad Bahari Nusantara. [Online].
Tersedia : http://centerformunawareducation.files.wordpress.com [20 Oktober 2014]

Anda mungkin juga menyukai