Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan.
Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau
menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke
negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah.
Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang
memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau
sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis,
suku Makassar, suku Mandar. Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia
(terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar
mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku lain
Penduduk asli wakatobi adalah Suku Bajo, yang tersebar di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
dengan jumlah penduduknya 23,37%, berada di Kecamatan Wangi-Wangi 19,05%, berada di
Kecamatan Kaledupa 17,86% berada di Kecamatan Tomia dan 15,01% berada di Kecamatan
Binongko. Suku Bajo di Wakatobi mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yang sudah
menjadi turun temurun nenek moyang mereka. Bagi Suku Bajo, laut adalah IBU bagi mereka.
Suku bajo di sana masih sangat khas dengan tradisional yang masih diwariskan oleh nenek
moyang mereka. Salah satunya adalah dengan menjaga lautan dan tidak merusak flora dan
fauna disekitarnya. Bagi para wisatawan, Wakatobi adalah surga laut yang penuh dengan
pesona yang begitu indah.
Penduduknya juga sangat ramah tamah dalam menyambut tamu (para wisatawan) yang
berkunjung ke Wakatobi dengan ritual penyambutan yang masih khas.
Orang nomor satu di Suku Bajo adalah presiden, bukan hanya negara saja yang memiliki
presiden, Suku Bajo pun memilikinya. Adalah Abdul Manan, asli putra Bajo dari Sulawesi
Tenggara. Diperkirakan dialah satu-satunya Suku Bajo Indonesia yang telah menyandang gelar
S2.
Pada awalnya, sang ibu berpendapat lepas SD Manan sebaiknya bergabung dengan kapal
Australia menangkap ikan paus. Akan tetapi, untungnya sang ayah mendukung keinginannya
untuk sekolah. Pada 1976, dia merantau ke Bau Bau melanjutkan SMP hingga SMA. Kemudian
mendapat beasiswa ke perguruan tinggi negeri di Kendari. Lepas itu dapat beasiswa lagi, S2 di
Thailand, jurusan manajemen tropika.
Berbicara tentang Presiden suku Bajo, ada kisah tersendiri. Beberapa tahun lalu Manan
mendengar ada seorang datuk dari Malaysia mengunjungi suku Bajo di Sulawesi. Dia meminta
kontak, kemudian saling email.
Dari situ dilanjutkan dengan pertemuan, yang akhirnya memunculkan ide membuat semacam
persatuan orang Bajo sedunia. Mengingat Suku Bajo ini sudah diakui PBB sebagai suku
mandiri.
Maka, pada awal 2007 berdirilah perkumpulan suku Bajo internasional. Hingga saat ini
anggotanya baru ndonesia, Malaysia, dan Philipina. Abdul Manan merupakan Presiden Suku
Bajo pertama. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan suku Bajo dimana
pun berada.
Sejarah Suku Bajo
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku
Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah
disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga,
ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan
kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di
atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar
Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebut dirinya sebagai suku Same. Sedangkan
mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.
Nama “Bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut.
Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman
dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai
suku Bajo. Artinya adalah suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan
menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap
disamaratakan sebagai suku Bajo. Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik
berkepanjangan.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “Bajo” sebagai perompak atau
bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak
semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga
kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya,
perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan
kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-
orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal
kata “bajo”. Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang
masih bermukim di banyak lokasi yang tersebar di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung,
maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu
saja. Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo
boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku
Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para
ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan
suku Bajo. Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, suku Bajo atau Bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan
hidupnya di laut. “Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut,” ujar Lapian.
Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan
suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi
ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data
akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi
sejarah riwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor,
Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone, Sulawesi Selatan.
Namun, menurut Dr. Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah
suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena
hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Digambarkan dalam buku
Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku
Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat dari
kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
Ada beberapa versi yang bercerita tentang sejarah Suku Bajo. Konon nenek moyang Suku Bajo
berasal dari Johor, Malaysia. Alkisah, dahulu kala ada seorang puteri kerajaan Johor yang
hilang entah kemana. Kemudian sang Raja memerintahkan segenap warganya untuk mencari
keberadaan sang puteri. Maka warga pun mencari sang puteri, bukan hanya ke wilayah Johor,
melainkan hingga ke wilayah Sulawesi.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa sang puteri lebih memilih untuk menetap di Sulawesi.
Beberapa warga yang mencari puteri pun lebih memilih untuk tidak kembali ke Johor
dan menetap di Sulawesi. Pada akhirnya sang puteri pun menikah dengan raja Bugis yang
tersohor dan menempatkan warganya yang berasal dari Johor di sebuah kampung bernama
Bajo. Maka, hingga saat ini dikenal dengan Suku Bajo.
Suku Bajo mendapatkan julukan sea nomands, artinya adalah hidup di laut dan tidak menetap
di suatu tempat. Bagi Suku Bajo, laut menjadi andalan satu-satunya, karena dari mulai hidup,
tempat tinggal, hingga mencari kehidupan dilakukannya dengan berinteraksi dengan laut. Suku
Bajo yang tinggal di daratan pun tak jauh-jauh dari laut.
Melaut merupakan pekerjaan yang dijalani hampir seluruh masyarakat Suku Bajo. Awalnya,
mereka menggunakan cara apa saja untuk mendapat ikan. Mulai dari bom hingga racun. Dahulu
nelayan Suku Bajo bekerja dengan bos Philipina menggunakan bom untuk menangkap ikan.
Mereka diajarkan bagaimana cara merakit dan menggunakan bom yang digunakan untuk
menangkap ikan. Hingga akhirnya mereka pun lebih memilih untuk bekerja sendiri, karena
penghasilan tidak sebanding dengan resiko.
Penangkapan ikan dengan bom biasanya dilakukan dalam kelompok. Yang paling berbahaya
bila bertemu dengan kelompok lain. Pasalnya, setiap kelompok dibekali senjata, sehingga
sering terjadi baku tembak di antara mereka.
Suku Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri. Dengan banyaknya saling interaksi yang
dilakukan Suku Bajo menjadikan mereka tersebar di berbagai daerah di tanah air. Di Lombok
misalnya, Suku Bajo banyak ditemui di Labuhan Haji, Lombok Timur dan di Sumbawa banyak
didapati di Pulau Moyo. Di Bali, Suku Bajo terdapat di Singaraja dan Denpasar. Di Jawa Timur,
Suku Bajo banyak tinggal di Kepulauan Kengean, Sumenep, Madura. Mereka hidup bersama
warga setempat, yaitu Bugis dan Madura.
Suku Bajo kebanyakan ditemui di Singaraja dan Denpasar atau kawasan pantai membaur
dengan masyarakat Bali dan Bugis.
Nusa Tenggara Barat
Suku Bajo di pulau Lombok ditemui di sebuah kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok
Timur. Sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka banyak dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya,
serta kawasan Bima di belahan timur Sumbawa.
Nusa Tenggara Timur
Di Pulau Flores Suku Bajo dapat dijumpai di kawasan pesisir, mulai dari Kabupaten Manggarai
Barat hingga Flores Timur. Di sana ada kota bernama Labuhan Bajo yang diambil dari nama
Suku Bajo. Pemukiman mereka di Nusa Tenggara Timur antara lain di Lembata yakni di
wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba. Di Pulau Adonara, yaitu di
Meko, Sagu dan Waiwerang. Sedangkan sisanya bermukim di Pulau Solor, Alor dan Timor,
terutama Timor Barat. Mereka telah bermukim di sana sejak ratusan tahun silam dan hidup
rukun dengan penduduk setempat. Di Maumere Suku Bajo berpusat di Pulau Parumaan.
Setelah gempa tahun 1992 Suku Bajo tersebar ke beberapa tempat seperti Nangahale, Wuring,
Nangahure. Suku Bajo juga banyak dijumpai di kawasan sekitar Pulau Komodo dan Rinca.
Gorontalo
di Gorontalo, Suku Bajo tersebar di sepanjang pesisir Teluk Tomini, dan terpusat di wilayah
Kabupaten Boalemo dan Gorontalo.
Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah Suku Bajo banyak ditemui di kepulauan Togian di Teluk Tomini, Tojo
Una-Una, Kepulauan Banggai. Selain itu Suku Bajo dimungkinkan dijumpai di pesisir
Kabupaten Toli-Toli, Parigi Moutong dan Poso juga banyak dijumpai Suku Bajo.
Sulawesi Tenggara
Suku Bajo terdapat di pesisir Konawe dan Kolaka sebagai pulau utama. Di Pulau Muna, Desa
Bangko, Kecamatan Baginti yang konon sudah ada sejak abad ke-16, Pulau Kabaena, Pulau
Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko.
Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan Suku Bajo terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Suku Bajo
banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam. Selain itu
orang Bajo juga banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Kalimantan Timur, Maluku, dan
Papua. Suku Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis
atau Makassar, juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara. Sedangkan orang Bajo di
Sumbawa cenderung mengambil adat Bugis, bahkan seringkali mengidentifikasi dirinya
sebagai orang Bugis atau Buton di beberapa daerah. Meskipun telah ratusan tahun tinggal
bersama penduduk lokal yang beragama Katolik atau Kristen di Nusa Tenggara Timur, Suku
Bajo tetap sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah satu-
satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. Menjaga kekayaan laut adalah salah sifat yang
diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka mampu menyesuaikan diri dengan
ganasnya lautan.
© WWF-Indonesia, 2010
Kehidupan masyarakat ini juga sempat diangkat dalam film berjudul "The Mirror Never Lies"
yang dibintangi oleh Atikah Hasiholan. Meskipun tinggal di laut, mereka tidak merasa kurang
dengan orang-orang yang menetap di darat.
Sampan merupakan modal utama mereka mencari nafkah. Misalnya saja untuk menangkap
ikan, mengambil pasir yang bisa dijadikan batako, hingga sebagai alat transportasi. Mau
menjadi suku Bajo "sementara"? Datang saja ke desa Sama Bahari yang menjadi tempat
shooting film Mirror Never Lies, di dekat Pulau Kaledupa. Dengan harga Rp 25.000 - 30.000,
Anda dapat menyewa sampan mereka dan merasakan bagaimana serunya menjadi manusia
perahu.
Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepatutnya kita bangga dengan adanya Suku Bajo.
Karena hal tersebut membuktikan keanekaragaman budaya, bahasa, serta adat istiadat. Juga
dengan adanya warga Bajo yang menetap di Sikka, yang hingga saat ini masih
mempertahankan adat dan kepercayaan dari nenek moyang mereka, di samping makin
berkembangnya modernitas di Indonesia. Patut disyukuri, kebudayaan yang sudah sepatutnya
dijaga dan dipelihara agar tidak punah dimakan usia, dan agar tidak diakui oleh negara lain.
Karena itu adalah salah satu keanekaragaman budaya Bangsa Indonesia. Buka hanya itu, Suku
Bajo juga turut menjaga dan melestarikan wisata bahari di Indonesia, khususnya Wakatobi.