Anda di halaman 1dari 10

SUKU BAJO

Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan.
Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau
menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke
negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah.
Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang
memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau
sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis,
suku Makassar, suku Mandar. Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia
(terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar
mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku lain

KOMUNITAS – Suku Bajo


Suku Bajo adalah suku yang memiliki rumah dan tinggal di atas air. Suku ini banyak ditemui
di Wakatobi. Wakatobi merupakan singkatan dari empat pulau, yakni Pulau Wangi-wangi,
Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Wakatobi dulu adalah Kepulauan Tukang
Besi yang sekarang telah berubah nama menjadi Pulau Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Pulau
ini sangat terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Sekarang Pulau Wakatobi telah manjadi
"Taman Laut Nasional". Seiring berjalannya waktu, beberapa Suku Bajo juga ada yang tinggal
di daratan, meskipun karena sedikit paksaan dari pemerintah.
Suku Bajo di Wakatobi
Mendengar kata Wakatobi membuat imajinasi kita akan pesona bawah lautnya yang sangat
eksotis dan sangat indah dengan terumbu karang yang masih alami, hamparan pantai yang
begitu menyejukkan mata. Tak heran jika sekarang pulau ini sudah menjadi taman wisata laut
nasional. Bahkan wisata taman laut Wakatobi sudah semakin banyak dikunjungi wisatawan
dan sudah mulai di lirik oleh banyak media. Wakatobi adalah sebuah kabupaten di Sulawesi
Tenggara. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi. Bentuk wilayahnya adalah berupa
kepulauan.

Penduduk asli wakatobi adalah Suku Bajo, yang tersebar di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
dengan jumlah penduduknya 23,37%, berada di Kecamatan Wangi-Wangi 19,05%, berada di
Kecamatan Kaledupa 17,86% berada di Kecamatan Tomia dan 15,01% berada di Kecamatan
Binongko. Suku Bajo di Wakatobi mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan yang sudah
menjadi turun temurun nenek moyang mereka. Bagi Suku Bajo, laut adalah IBU bagi mereka.
Suku bajo di sana masih sangat khas dengan tradisional yang masih diwariskan oleh nenek
moyang mereka. Salah satunya adalah dengan menjaga lautan dan tidak merusak flora dan
fauna disekitarnya. Bagi para wisatawan, Wakatobi adalah surga laut yang penuh dengan
pesona yang begitu indah.
Penduduknya juga sangat ramah tamah dalam menyambut tamu (para wisatawan) yang
berkunjung ke Wakatobi dengan ritual penyambutan yang masih khas.
Orang nomor satu di Suku Bajo adalah presiden, bukan hanya negara saja yang memiliki
presiden, Suku Bajo pun memilikinya. Adalah Abdul Manan, asli putra Bajo dari Sulawesi
Tenggara. Diperkirakan dialah satu-satunya Suku Bajo Indonesia yang telah menyandang gelar
S2.
Pada awalnya, sang ibu berpendapat lepas SD Manan sebaiknya bergabung dengan kapal
Australia menangkap ikan paus. Akan tetapi, untungnya sang ayah mendukung keinginannya
untuk sekolah. Pada 1976, dia merantau ke Bau Bau melanjutkan SMP hingga SMA. Kemudian
mendapat beasiswa ke perguruan tinggi negeri di Kendari. Lepas itu dapat beasiswa lagi, S2 di
Thailand, jurusan manajemen tropika.
Berbicara tentang Presiden suku Bajo, ada kisah tersendiri. Beberapa tahun lalu Manan
mendengar ada seorang datuk dari Malaysia mengunjungi suku Bajo di Sulawesi. Dia meminta
kontak, kemudian saling email.
Dari situ dilanjutkan dengan pertemuan, yang akhirnya memunculkan ide membuat semacam
persatuan orang Bajo sedunia. Mengingat Suku Bajo ini sudah diakui PBB sebagai suku
mandiri.
Maka, pada awal 2007 berdirilah perkumpulan suku Bajo internasional. Hingga saat ini
anggotanya baru ndonesia, Malaysia, dan Philipina. Abdul Manan merupakan Presiden Suku
Bajo pertama. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan suku Bajo dimana
pun berada.
Sejarah Suku Bajo
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku
Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah
disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga,
ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan
kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di
atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar
Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebut dirinya sebagai suku Same. Sedangkan
mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.
Nama “Bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut.
Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman
dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai
suku Bajo. Artinya adalah suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan
menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap
disamaratakan sebagai suku Bajo. Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik
berkepanjangan.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “Bajo” sebagai perompak atau
bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak
semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga
kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya,
perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan
kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-
orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal
kata “bajo”. Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang
masih bermukim di banyak lokasi yang tersebar di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung,
maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu
saja. Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo
boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku
Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para
ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan
suku Bajo. Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, suku Bajo atau Bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan
hidupnya di laut. “Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut,” ujar Lapian.

Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan
suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi
ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data
akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi
sejarah riwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor,
Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone, Sulawesi Selatan.
Namun, menurut Dr. Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah
suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena
hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Digambarkan dalam buku
Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku
Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat dari
kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
Ada beberapa versi yang bercerita tentang sejarah Suku Bajo. Konon nenek moyang Suku Bajo
berasal dari Johor, Malaysia. Alkisah, dahulu kala ada seorang puteri kerajaan Johor yang
hilang entah kemana. Kemudian sang Raja memerintahkan segenap warganya untuk mencari
keberadaan sang puteri. Maka warga pun mencari sang puteri, bukan hanya ke wilayah Johor,
melainkan hingga ke wilayah Sulawesi.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa sang puteri lebih memilih untuk menetap di Sulawesi.
Beberapa warga yang mencari puteri pun lebih memilih untuk tidak kembali ke Johor
dan menetap di Sulawesi. Pada akhirnya sang puteri pun menikah dengan raja Bugis yang
tersohor dan menempatkan warganya yang berasal dari Johor di sebuah kampung bernama
Bajo. Maka, hingga saat ini dikenal dengan Suku Bajo.
Suku Bajo mendapatkan julukan sea nomands, artinya adalah hidup di laut dan tidak menetap
di suatu tempat. Bagi Suku Bajo, laut menjadi andalan satu-satunya, karena dari mulai hidup,
tempat tinggal, hingga mencari kehidupan dilakukannya dengan berinteraksi dengan laut. Suku
Bajo yang tinggal di daratan pun tak jauh-jauh dari laut.
Melaut merupakan pekerjaan yang dijalani hampir seluruh masyarakat Suku Bajo. Awalnya,
mereka menggunakan cara apa saja untuk mendapat ikan. Mulai dari bom hingga racun. Dahulu
nelayan Suku Bajo bekerja dengan bos Philipina menggunakan bom untuk menangkap ikan.
Mereka diajarkan bagaimana cara merakit dan menggunakan bom yang digunakan untuk
menangkap ikan. Hingga akhirnya mereka pun lebih memilih untuk bekerja sendiri, karena
penghasilan tidak sebanding dengan resiko.
Penangkapan ikan dengan bom biasanya dilakukan dalam kelompok. Yang paling berbahaya
bila bertemu dengan kelompok lain. Pasalnya, setiap kelompok dibekali senjata, sehingga
sering terjadi baku tembak di antara mereka.
Suku Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri. Dengan banyaknya saling interaksi yang
dilakukan Suku Bajo menjadikan mereka tersebar di berbagai daerah di tanah air. Di Lombok
misalnya, Suku Bajo banyak ditemui di Labuhan Haji, Lombok Timur dan di Sumbawa banyak
didapati di Pulau Moyo. Di Bali, Suku Bajo terdapat di Singaraja dan Denpasar. Di Jawa Timur,
Suku Bajo banyak tinggal di Kepulauan Kengean, Sumenep, Madura. Mereka hidup bersama
warga setempat, yaitu Bugis dan Madura.

Persebaran Suku Bajo di Nusantara


Suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan
perkampungan mereka pun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, juga sebagai tempat
mereka mencari penghidupan.
Laut bagi mereka adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan. Suku Bajo ini pun
menyebar ke segala penjuru wilayah nusantara semenjak abad ke-16 hingga sekitar 40 hingga
50 tahun silam dan perpindahan terakhir terjadi di berbagai wilayah di Nusa Teggara Timur.
Di berbagai tempat, Suku Bajo banyak yang akhirnya menetap, baik dengan inisiatif sendiri
ataupun karena adanya paksaan pemerintah. Namun tempat tinggalnya pun tidak pernah jauh
dari laut. Sesuai dengan sifatnya yang nomaden, maka masyarakat Suku Bajo tersebar di
berbagai daerah. Mereka membangun pemukiman-pemukiman baru di berbagai penjuru
Indonesia. Berikut sebagian dari tempat bermukimnya Suku Bajo yang ada di Indonesia.
Jawa Timur
Suku Bajo banyak terdapat di Kepulauan Kangean, Sumenep. Umumnya mereka tinggal di
Pulau Sapeken, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Paliat dan pulau-pulau sekitarnya.
Mereka tinggal bersama dengan suku Madura dan Bugis.
Bali

Suku Bajo kebanyakan ditemui di Singaraja dan Denpasar atau kawasan pantai membaur
dengan masyarakat Bali dan Bugis.
Nusa Tenggara Barat
Suku Bajo di pulau Lombok ditemui di sebuah kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok
Timur. Sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka banyak dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya,
serta kawasan Bima di belahan timur Sumbawa.
Nusa Tenggara Timur
Di Pulau Flores Suku Bajo dapat dijumpai di kawasan pesisir, mulai dari Kabupaten Manggarai
Barat hingga Flores Timur. Di sana ada kota bernama Labuhan Bajo yang diambil dari nama
Suku Bajo. Pemukiman mereka di Nusa Tenggara Timur antara lain di Lembata yakni di
wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba. Di Pulau Adonara, yaitu di
Meko, Sagu dan Waiwerang. Sedangkan sisanya bermukim di Pulau Solor, Alor dan Timor,
terutama Timor Barat. Mereka telah bermukim di sana sejak ratusan tahun silam dan hidup
rukun dengan penduduk setempat. Di Maumere Suku Bajo berpusat di Pulau Parumaan.
Setelah gempa tahun 1992 Suku Bajo tersebar ke beberapa tempat seperti Nangahale, Wuring,
Nangahure. Suku Bajo juga banyak dijumpai di kawasan sekitar Pulau Komodo dan Rinca.
Gorontalo

di Gorontalo, Suku Bajo tersebar di sepanjang pesisir Teluk Tomini, dan terpusat di wilayah
Kabupaten Boalemo dan Gorontalo.
Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah Suku Bajo banyak ditemui di kepulauan Togian di Teluk Tomini, Tojo
Una-Una, Kepulauan Banggai. Selain itu Suku Bajo dimungkinkan dijumpai di pesisir
Kabupaten Toli-Toli, Parigi Moutong dan Poso juga banyak dijumpai Suku Bajo.
Sulawesi Tenggara
Suku Bajo terdapat di pesisir Konawe dan Kolaka sebagai pulau utama. Di Pulau Muna, Desa
Bangko, Kecamatan Baginti yang konon sudah ada sejak abad ke-16, Pulau Kabaena, Pulau
Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko.

Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan Suku Bajo terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Suku Bajo
banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam. Selain itu
orang Bajo juga banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Kalimantan Timur, Maluku, dan
Papua. Suku Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis
atau Makassar, juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara. Sedangkan orang Bajo di
Sumbawa cenderung mengambil adat Bugis, bahkan seringkali mengidentifikasi dirinya
sebagai orang Bugis atau Buton di beberapa daerah. Meskipun telah ratusan tahun tinggal
bersama penduduk lokal yang beragama Katolik atau Kristen di Nusa Tenggara Timur, Suku
Bajo tetap sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah satu-
satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. Menjaga kekayaan laut adalah salah sifat yang
diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka mampu menyesuaikan diri dengan
ganasnya lautan.

Keunikan Suku Bajo


Suku Bajo sangat kaya akan keunikan. Di antara keunikannya adalah, Suku Bajo menjadikan
perahu atau sampan sebagai tempat tinggal sekaligus alat transportasi utama. Lebih dari itu,
sampan juga digunakan sebagai tempat untuk mencari nafkah, yaitu dengan menjual hasil
tangkapan laut yang merupakan mata pencaharian utama Suku Bajo.
Selain sampan, kaum Ibu di Suku Bajo juga memiliki kerajinan kain tenun tradisional sebagai
kegiatan ekonomi mereka. Kain ledja dan kasopa ditenun dengan alat-alat tradisional dengan
berbagai motif khas Suku Bajo. Suku Bajo lebih percaya kepada kearifan lokal dari pada
instrumen-instrumen modern yang berkembang masif di luar kebudayaan laut Suku Bajo di
Wakatobi.
Dalam hal menangkap ikan, masyarakat Bajo sangat adaptif dengan lingkungan, seperti
menjaga terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, bertelur dan tempat makan ikan.
Masyarakat Bajo pun memilik kesadaran konservasi cukup baik, seperti terlihat dari adanya
larangan taboo, yaitu larangan menangkap teripang yang berdiri karena diyakini sebagai raja
teripang, setelah teripang rebah nelayan baru diizinkan untuk menangkap teripang disekitarnya.
Secara ilmiah, teripang berdiri tersebut dalam keadaan bertelur, sehingga secara tidak disadari
masyarakat Bajo menjaga keberlanjutan sumberdaya teripang. Kearifan masyarakat Bajo
dalam pengelolaan sumberdaya laut juga terlihat dalam kegiatan penangkapan ikan karang
hanya pada musim angin timur.
Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. Hal ini memberi
perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang dihubungkan oleh laut, bukan
dipisahkan.
Berikut adalah beberapa fakta mengenai Suku Bajo, menurut data WWF Indonesia.
 Suku Bajo adalah suku pengembara laut. Mereka kerap kali disebut juga sebagai Suku Bajau.
 Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. Hal ini memberi
perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang dihubungkan oleh laut, bukan
dipisahkan.
 Suku Bajo tersebar di berbagai Negara sesuai karakternya yang nomaden.
 Alat transportasi yang lazim digunakan oleh Suku Bajo adalah kapal dan sampan.
 Sebelum dunia mengenal istilah The World Coral Triangle, Suku Bajo telah terlebih dulu
menandai seluas wilayah di area tersebut sekaligus menjaganya sebagai daerah yang memiliki
kekayaan alam tak ternilai. Suku Bajo dan The Coral Triangle adalah kesatuan yang tak
terpisahkan.
 Suku Bajo memiliki banyak sekali ritual adat. Salah satunya adalah upacara Sangal yang
dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka
akan melepas spesies yang populasinya tengah menurun di saat bersamaan. Misalnya: melepas
penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dan lain-lain.
 Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil hasil laut. Mereka selalu
memilih dan mengambil ikan yang usianya sudah matang dan membiarkan ikan-ikan yang
masih kecil dan muda untuk tumbuh dewasa. Mereka juga tidak mengambil jenis ikan tertentu
yang tengah memasuki siklus musim kawin maupun bertelur untuk menjaga keseimbangan
populasi dan regenerasi spesies tersebut.
 Dalam tradisi Suku Bajo dan Wakatobi, terdapat perpaduan adat dalam upacara “Pangindaan
Ma Kaca” dan “Pangindaan Ma pinah” yang artinya: “Mencari dalam Kaca” dan “Mencari
degan daun Pinang”. Upacara ini kerap dilakukan untuk mencari jawaban atas banyak hal.
Misalnya untuk mencari orang yang hilang di tengah lautan. Jawaban dapat terlihat dari
gelembung-gelembung air yang bergejolak.
 Motto yang sering didengar di kalangan Suku Bajo adalah “Di lao' denakangKu” yang berarti
“Lautan adalah Saudaraku”. Oleh karenanya, lautan adalah tempatku hidup, mencari nafkah,
serta mengadu dalam suka maupun duka yang selalu menyediakan kebutuhan hajat hidupku.
 Sebutan yang lazim digunakan oleh Suku Bajo untuk menyapa paman adalah Puto, sedangkan
tante atau bibi kerap disapa sebagai Aya.
 Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak, antara lain: kurangnya akses menuju
pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi,
kemiskinan, kelaparan, dan diskriminasi di beberapa lokasi tertentu.
 Selain itu, perubahan alam pun menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh suku
pengembara laut ini.
 Jumlah Suku Bajo di Indonesia cukup banyak, antara lain di Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Jawa Timur.
 Peta penyebaran Suku Bajo di Asia Tenggara adalah sbb:

© WWF-Indonesia, 2010

Kehidupan masyarakat ini juga sempat diangkat dalam film berjudul "The Mirror Never Lies"
yang dibintangi oleh Atikah Hasiholan. Meskipun tinggal di laut, mereka tidak merasa kurang
dengan orang-orang yang menetap di darat.
Sampan merupakan modal utama mereka mencari nafkah. Misalnya saja untuk menangkap
ikan, mengambil pasir yang bisa dijadikan batako, hingga sebagai alat transportasi. Mau
menjadi suku Bajo "sementara"? Datang saja ke desa Sama Bahari yang menjadi tempat
shooting film Mirror Never Lies, di dekat Pulau Kaledupa. Dengan harga Rp 25.000 - 30.000,
Anda dapat menyewa sampan mereka dan merasakan bagaimana serunya menjadi manusia
perahu.

Keislaman Suku Bajo


Suku Bajo dikenal sebagai suku yang keyakinan Islamnya kuat. Meskipun banyak Suku Bajo
yang menetap di seantero Nusantara, bahkan hidup berdampingan dengan masyarakat
beragama Keristen, Katolik dan agama lainnya, namun Suku Bajo tetap taat menganut agama
Islam hingga saat ini, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya agama yang menjadi ciri khas
suku ini.
Kebudayaan Islam telah berkembang pesat di Kecamatan Sikka. Menurut catatan sejarah,
warga asal Sulawesi Selatan ini menginjakkan kakinya di Geliting pada abad ke-18. Menurut
Imam Masjid Al-Mujahidin Haji Firdaus Bakuasong, yang pertama yang menyebarkan Islam
di tempat tersebut adalah tiga orang yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Perkembangan Islam saat itu juga didukung dengan kerjasama dengan raja di wilayah tersebut
yakni Raja Nai.
Ketiganya adalah Mahmud, Hasan dan Husein. Ketiganya menggunakan perahu layar untuk
mengungsi setelah Gunung Tambora di NTB meletus tahun 1885. Ternyata ketiga orang
tersebut berasal dari Gowa dan Bajo Sulawesi Selatan. Setelah itu warga dari Bajo, Gowa dan
Bone mulai berdatangan di tempat tersebut.
Selain itu, warga Gowa juga mayoritas beragama Islam. ‘Gowan’ adalah sebutan bagi warga
Gowa yang beragama muslim.
Salah satu bukti sejarah peninggalan pendatang pertama adalah Masjid Al-Mujahidin yang
terletak di Pasar Geliting. Tidak diketahui persis kapan masjid tersebut dibangun. Tidak tertulis
jelas namun masjid ini dibangun sejak awal kedatangan penduduk asal Bima dan Sulawesi
Selatan. Awalnya, masjid itu hanyalah Mushola atau Langgar.
Namun, awal abad ke-19 dibangun masjid dengan ukuran yang besar di tempat yang sama.
Masjid yang diberi nama Al-Mujahidin ini menjadi pusat untuk penganut muslim di Geliting
dan sekitarnya hingga ke Nangahale, yaitu sekitar 10 kilometer dari Geliting.
Kini masjid yang dibangun di atas lahan sekitar seperempat hektar ini menjadi salah satu masjid
bersejarah di Sikka. Seiring perkembangan peradaban Islam, kemudian dibangun masjid-
masjid baru di Geliting dan daerah sekitarnya hingga ke Nangahale.
Hingga saat ini peradaban Islam masih mendiami wilayah pesisir utara Kabupaten Sikka mulai
Nangahale hingga Ndete di Magepanda. Karena kuatnya pengaruh budaya suku-suku dari
Sulawesi Selatan maka sebagian besar penganut Islam di Sikka bermata pencaharian sebagai
nelayan dan pedagang.
Beberapa tahun lalu juga telah ada penelitian mengenai agama yang dianut oleh Suku Bajo,
dan hasilnya menyatakan bahwa seluruh masyarakat Bajo di tempat penelitian menganut
agama Islam (September 1995). Wilayahnya pun terlihat lengang di hari Jum’at, karena laki-
laki dewasa dan remaja putra berada di masjid untuk melaksanakan Shalat Jum’at. Masyarakat
Suku Bajo setempat juga dikenal taat agama dan selalu melaksanakan ibadah shalat lima waktu.
Masyarakat Bajo taat melaksanakan ibadah shalat dan ibadah lainnya, itu menunjukkan
ketaatan mereka dalam pelaksanaan syari’at agama Islam yang dianutnya. Namun di lain sisi
warga masyarakat Suku Bajo masih tetap percaya kepada makhluk-makhluk gaib dan kekuatan
sakti (supernatural power) yang konon kabarnya sangat menentukan keselamatan diri maupun
perolehan rezeki bagi pakkaja (nelayan). Selain itu mereka juga masih meyakini adanya mitos-
mitos, seperti adanya pengngorong sappa atau penjaga karang. Yang bertempat tinggal
digugusan-gugusan karang dari seluruh gugusan karang di sekitar lokasi penangkapan Samoa
dan Lamasia dan tabu mendekatinya.
Sisi keunikan lain dari Suku Bajo adalah cara berkhitannya. Lazimnya khitan dilakukan oleh
seorang dokter atau perawat dan menggunakan peralatan medis yang lengkap. Anak laki-laki
Suku Bajo di Kecamatan Soropia, khitan dilaksanakan tanpa dokter atau perawat. Laki-laki
Suku Bajo di Kecamatan Soropia justru harus merasakan sakitnya khitanan tanpa tenaga
ataupun peralatan medis. Bukan karena pulau ini terisolasi sehingga tidak ada pelayanan
kesehatan. Tapi semata-semata karena budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh
masyarakat Bajo di pulau yang sudah mulai mengalami abrasi ini.
Di sana kita tidak akan menemukan peralatan-peralatan kesehatan, plester, apalagi obat untuk
mengurangi rasa sakit. Yang ada hanya pahat yang berfungsi untuk menggantikan gunting, dua
buah hansaplast sebagai pengganti plester, palu-palu yang terbuat dari kayu, dan balok
berukuran yang digunakan sebagai alas ketika proses khitanan berlangsung. Kelihatannya
peralatan yang digunakan memang sangat sederhana, tapi tentu saja sedikit menakutkan bagi
anak-anak yang akan dikhitan.
Sebelum proses khitanan berlangsung, seorang pemuka adat yang akan melakukan khitanan
terlebih dulu berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua peralatan yang
akan digunakan dikumpul dan diletakkan menjadi satu dihadapan pemuka adat untuk
dibacakan doa.
Selain itu ada ritual yang tidak boleh ketinggalan, yaitu memukul gendang. Pemukulan
gendang tersebut tidak boleh dihentikan hingga proses khitan selesai. Hal ini diyakini dapat
mengurangi rasa sakit pada anak yang dikhitan.
Meskipun proses dan peralatan yang digunakan adalah tradisional, namun proses
penyembuhannya lebih cepat dari pada yang menggunakan tenaga medis.

Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepatutnya kita bangga dengan adanya Suku Bajo.
Karena hal tersebut membuktikan keanekaragaman budaya, bahasa, serta adat istiadat. Juga
dengan adanya warga Bajo yang menetap di Sikka, yang hingga saat ini masih
mempertahankan adat dan kepercayaan dari nenek moyang mereka, di samping makin
berkembangnya modernitas di Indonesia. Patut disyukuri, kebudayaan yang sudah sepatutnya
dijaga dan dipelihara agar tidak punah dimakan usia, dan agar tidak diakui oleh negara lain.
Karena itu adalah salah satu keanekaragaman budaya Bangsa Indonesia. Buka hanya itu, Suku
Bajo juga turut menjaga dan melestarikan wisata bahari di Indonesia, khususnya Wakatobi.

Anda mungkin juga menyukai