KATA PENGANTAR........................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 POINT-POINT DALAM ARSITEKTUR JAWA..............................................................................2
2.2 TIPE-TIPE RUMAH ARSITEKTUR JAWA ...................................................................................3
2.3 KOMPOSISI DAN LINGKUNGAN RUMAH TEMPAT TINGGAL .....................................18
2.3.1 KAWERUH GRIYA....................................................................................................21
III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN .............................................................................................................24
nusantaraknowledge.blogspot.com
ii
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (kejawen) sering dianggap oleh kalangan lain
sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitive, walaupun sebenarnya
karena faham-fahjam itulah mereka kemudian dikatakan mempunyai sifat-sifat khusus.
nusantaraknowledge.blogspot.com
Hubungan antara sesama manusia didasarkan pada dua motif , hubungan antara
kawula lan Gusti (Hamba dan Majikan) dan hubungan yang nantinya akan menyebut dirinya
dengan ingsun (saya untuk kaum bangsawan). Hubungan manusia dengan alam sekitarnya
didasarkan pada anggapan bahwa eksistensi (Hidup) dalam kosmos alam raya dipandang sebagai
suatu yang tersususn teratur secara hierarki.
Kehidupan manusia dalam lingkungan budaya Jawa pada dasarnya dinyatakan dengan
berlandaskan pada empat areal atau lingkup keyakinan yaitu, kepercayaan, ikatan sosial,
ekspresi pribadi (kepribadian), dan permasalahan (makna). Keempat hal; tersbut akan
berpengaruh terhadappola piker, prbuatan, dan karyanya. Dalam karya , di dalanya berlaku pula
keberadaan lingkungan buatan atau tempat tinggal atau rumah tinggal atau karya arsitektur
sebagai bagian dari kehidupan budaya.
1.2 Tujuan
Untuk lebih memahami unsur-unsur tradisional yang terkandung pada bangunan-bangunan
modern khususnya arsitektur Jawa.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa sajakah point-point dalam arsitektur Jawa?
2. Apa saja tipe rumah pada arsitektur Jawa?
3. Apa sajakah komposisi arsitektur tradisional Jawa?
1.4 Tinjauan Pustaka
Perolehan atau pengumpulan data adalah berdasarkan pencarian data dan contoh bangunan
lewat literatur ataupun internet.
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
BAB II
P EMBAHASAN
a)
b)
c)
d)
e)
f)
nusantaraknowledge.blogspot.com
Landasan pembangunan kebudayaan tidak tampak dengan jelas dalam rumusan kinerja
pembangunan. Selain itu kehidupan dalam system adat jawa tidak lagi berpengaruh aktif dalam
dalam tiap-tiap aspek dalam kehidupan social.ekonomi dan kebudayaan.
Gmb. 1 omah
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
2.2 Tipe Rumah Arsitektur Jawa
Di dalam masyarakat Jawa, baik sebagai sentana, abdi maupun kawula dalem, walaupun
tidak tertulis, secara tradisional tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap pranatapranata sosial masyarakat. Misalnya tata aturan sopan santun, tingkah laku, gaya hidup, tata cara
pergaulan dan rumah tempat tinggal pun termasuk dalam aturan tersebut dan dibuat secara
nusantaraknowledge.blogspot.com
hierarkis.
Dalam interaksi sosial, misalnya kawula dalem sering merasa sulit untuk dapat bergaul
secara bebas dan langsung dengan sentana atau abdi dalem tingkat tinggi. Di lain pihak para
sentana dan abdi dalem tersebut sering bertindak mempertinggi diri dan menjaga ketertiban
stratifikasi sosial secara ketat.
Dalam suasana kehidupan feodal, sebagai raja, misalnya tidak dbenarkan membangun
rumah tempat tinggal (dhatulaya, istana) dengan menggunakan bangun sinom mangkurat untuk
Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau joglo atau kampung tetapi sebaliknya menggunakan
bangun sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau joglo hanyalah untuk
bangunan pelengkap saja, misalnya untuk kantor, pertemuan, perlengkapan, paseban dan
sejenisnya. Bagi golongan ningrat (bangsawan sentana dalem) dan abdi dalem derajat tertentu
berhak membuat rumah tempat tingga; dengan bentuk limasan, sinom, ataupun joglo. Sedangkan
untuk bangunan pelengkap boleh membuat bangun rumah yang lain yang tingkatannya lebih
rendah, misalnya daragepak, sethong, kalabang nyander, dan sebagianya (Narpawandawa,
1935:91-94).
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
Aturan tersebut didasarkan pada kedudukan sosial pemiliknya yang merupakan simbol
ststus bagi pemiliknya golongan raja, jogiswara, abdi dalem dan sentana dalem termasuk strata
atas. Golongan ini dianggap sebagai golongan penguasa dan bahkan suci, maka bangunan
bangunan rumah tempatnya harus meniru bangunan suci; tinggi (seperti gunung suci); besar
(seperti dunia yang luas);bersekat-sekat seperti candi, pura atu bangunan suci lainnya (ada
tempat-tempat yang profan, sakral dan paling sakral). Bentuk bangunan rumah dikompleks istana
nusantaraknowledge.blogspot.com
(dhatulaya) dalam batas-batas tertentu boleh dicontoh oleh para sentana dan abdi dalem, tetapi
Kita ketahui bahwa bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yaitu: panggung
pe, kampung, limasan, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya, jenis tersebut
berkembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat Jawa, hanya bangunan dasarnya masih
tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut (Narpawandawa, 1937-1938).
nusantaraknowledge.blogspot.com
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan ukuran, kondisi perawatan
rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah, yang
dikaitkan dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya
rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah, ukuran dan bengunan rumah yang akan dibuat,
dan sebagainya. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan
membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu bensa-benda tertentu yang disajikan
untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha
pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan
kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah adat
Jawa sebagai berikut.
Bangunan model/bentuk Panggung dalam perkembangannya terdapat bangunan
Panggung Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet, Empyak
Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung berkembang
nusantaraknowledge.blogspot.com
menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang Nyander,
Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere Gancet Semar
Tinnadhu,
Cere Gancet
Semar
Pinondhong,
dan
sebagainya.
Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan,
Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan,
Apitan, Pacul Gowang, Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar
Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung Rangka Usuk
Ngambang, dan sebagainya. Dari perkembangan bangunan rumah Joglo terdapatlah bangunan
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
rumah Joglo, Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jampongan,
Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan sebagainya. Dari
jenis tajug dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug (biasa untuk rumah
ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug lambang gantung, tajug
semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambnag
gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya (Narpawandawa 1936-1936).
nusantaraknowledge.blogspot.com
Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk
musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau binatang ternak (kandang,
gedhongan, kombong), untuk alat-alat (gudang) dan sebagainya (Gatut Murdiatmo, 1979/1980;
Koentjaraningrat, 1971; almanak Narpawandawa, 1935-1938; Sugiyanto Dakung, 1982/1982;
Radjiman, 1986.
Joglo
Rumah Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini
disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal
daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa
rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya
diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang
terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah joglo digunakan oleh segenap
lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan dan kantorkantor.
Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah
bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga
membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan
perlu diperbaiki.
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh,
terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan
seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus
memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya
secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu
kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan
nusantaraknowledge.blogspot.com
sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya
Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini
mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar
bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas
makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman
perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar
tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi.
apitan, joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo
wantah apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat.
2009
nusantaraknowledge.blogspot.com
Arsitektur Nusantara-Jawa
1.Pendopo
Pendopo merupakan bangunan terdepan dari rumah joglo yang berfungsi sebagai tempat
menerima tamu atau tempat mengadakan upacara-upacara adat. Pada umumnya pendopo
selalu terbuka atau tidak diberi dinding penutup. Kalaupun memakai penutup, maka yang
digunakan adalah dinding dari kayu yang mudah dibuka atau gebyok. Secara filosofis, hal ini
menggambarkan adanya prinsip keterbukaan yang dianut oleh tuan rumah.
2.Sentong
Bagian ini pada prinsipnya digunakan sebagai tempat tidur. Tetapi sebelum orang tua
menikahkan anaknya, maka pintu sentong akan selalu tertutup atau terkunci. Sentong baru
dibuka atau dipakai untuk tidur setelah anaknya dinikahkan. Sentong ini terbagi menjadi tiga
yaitu:
Sentong Tengen ( Kanan )
Sentong Tengen dipergunakan sebagai tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah
dinikahkan.
Sentong kiwo ( Kiri)
Sentong ini merupakan tempat tidur bagi anak perempuan yang telah dinikahkan.
Sentong Tengah
Sentong Tengah disebut juga Petanen, Pasren, Pedaringan atau Krobongan. Sentong
ini dianggap sakral dan digunakan untuk pemujaan. Masyarakat Jawa yang mayoritas
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
nusantaraknowledge.blogspot.com
3.Gandok
Gandok merupakan bangunan yang terletak di samping (pavilium). Biasanya menempel
dengan bangunan bagian belakang. Arah membujur gandok melintang pada rumah belakang.
Gandok berfungsi sebagai tempat penyimpanan perabot dapur, ruang makan dan terkadang
berfungsi sebagai dapur.
4.Pringgitan
Pringgitan merupakan bangunan yang biasanya terletak di antara pendopo dan dalem.
Bangunan ini dipakai untuk pementasan wayang/ ringgit.
5.Kuncung
Kuncung adalah bangunan yang terletak di samping atau depan pendopo yang berfungsi
sebagai tempat bersantai misalnya minum teh atau membaca koran.
6. Pawon
Pawon merupakan bagaian dari suatu rumah joglo yang dipergunakan sebagai tempat untuk
memasak.
Rumah Panggangpe
Rumah panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan
merupakan bentuk bangunan dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan pertama
yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan.
Ciri-ciri dari rumah tradisional jawa bentuk panggang pe adalah sebagai berikut :
10
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
1. Panggang Pe Pokok
2. Panggang Pe Trajumas
3. Panggang Pe Empyak Setangkep
4. Panggang Pe Gedhang Selirang
5. Panggang Pe Gedhang Setangkep
6. Panggang Pe Cere Gancet
7. Panggang Pe bentuk kios
8. Panggang Pe Kodokan (jengki)
9. Panggang Pe Barengan
10. Panggang Pe Cere Gancet
nusantaraknowledge.blogspot.com
Rumah Kampung
Rumah bentuk Kampung adalah rumah dengan denah empat persegi panjang, bertiang
empat dengan dua buah atap persegi panjang pada sisi samping atas ditutup dengan tutup
11
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
keyong. Rumah ini kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang jawa menyebutnya
desa. Kampung berarti desa. Pada masa lalu rumah bentuk kampung merupakan tempat
tinggal yang paling banyak ditemukan. Sehingga ada sebagian masyarakat yang berpendapat
bahwa rumah kampung sebagian besar dimiliki oleh orang-orang desa yang kemampuan
finansial/ ekonominya berada di bawah.
nusantaraknowledge.blogspot.com
12
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
nusantaraknowledge.blogspot.com
13
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
Rumah Tajug
nusantaraknowledge.blogspot.com
Rumah Tajuk tidak dipakai sebagai rumah tinggal, melainkan dipakai sebagai rumah
ibadah. Ciri-ciri rumah Tajuk adalah pada langgar tanpa pananggap berkeliling serta payonnya
gathuk (bertemu-beradu). Rumah ini mempunyai denah bujursangkar, dan bentuk inilah yang
masih mempertahankan bentuk aslinya hingga sekarang.
14
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
10.Tajug Ceblokan
Adalah Tajug yang tiangnya tertanam dalam tanah, atapnya teplok yaitu tidak memakai tiang
bentung kecualai atap pengapit memakai lambangsari.
11.Tajug Mangkurat
Adalah rumah yang memakai tumpangsari, uleng, tiang bentung dan lambangsari.
Rumah Limasan
nusantaraknowledge.blogspot.com
Rumah Limasan merupakan salah satu bentuk rumah tradisional jawa yang
dipergunakan sebagai tempat tinggal, khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa
daerah di Jawa barat serta pesisir pantai utara dan selatan.
15
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
nusantaraknowledge.blogspot.com
Selain dari Kontruksi utamanya yang terbuat dari kayu, konstruksi dinding pengisi juga
terbuat dari lembaran kayu solid dengan bukaan-bukaan jendela yang juga terbuat dari
kayu.
16
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
nusantaraknowledge.blogspot.com
17
nusantaraknowledge.blogspot.com
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
Yang dimaksudkan dengan komposisi rumah ialah susunan dan pengaturan cetak
bangunan lain terhadap bangunan rumah tempat tinggal (induk). Sedangkan yang dimaksud
dengan lingkungan di sini ialah rumah tempat tinggal dan rumah-rumah kelengkapan dengan tata
susunannya dalam suatu rumah tangga sebuah keluarga
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri dari
beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur,
istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan
lain dai keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhapa, terletak di depan
rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah buri) digunakan
untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan.
Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang
bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Dalam pertunjukan
tersebut tamu laki-laki ditempatkan di pendapa, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah
belakang. Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa, misalnya
Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.
18
2009
nusantaraknowledge.blogspot.com
Arsitektur Nusantara-Jawa
Bagi warga masyarakat umum (kawula dalem) yang mampu, disamping bangunan rumah
tersebut, tempat tinggalnya (rumah) masih dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung,
tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan
Pringgitan. Letaknya agak berjauhan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang
(omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri
atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang
terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang, untuk tempat binatang
ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar
disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda
disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang
diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas. Gedhongan biasanya
menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di
sebelah kiri agak jauh dari pendhapa.
19
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping
kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk
markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya.
Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil
ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian
pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya
nusantaraknowledge.blogspot.com
untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa.
Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.
Demikian sedikit variasi bangun rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga. Hal
tersebut sangat bergantung pada kemampuan keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat
tinggal orang Jawa adala rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan),
lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya.
Besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat menurut selera serta harus diingat status sosial
pemiliknya didalam masyarakat.
Gmb. 14 Joglo
20
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
2.3.1 KAWRUH GRIYA
Di sekitar pergantian dari abad 19 ke abad 20 sejumlah naskah yang berkenaan dengan
arsitektur Jawa telah dihadirkan dalam bentuk tulisan tangan. Naskah-naskah yang berragam itu
memiliki
Gmb. 16 Interior
nusantaraknowledge.blogspot.com
judul naskah yang juga berbeda-beda, namun di kalangan pengkaji arsitektur Jawa dikenal secara
Masyarakat Jawa disusun atas dasar kedudukan sosial, teritorial, komunal, dan religius.
Dasar tersebut dalam proses pembentukan masyarakat Jawa akan terpancar dalam ciri-ciri dasar
masyarakat Jawa yang tetap mereka pertahankan dan mereka lestarikan keberadaannya dalam
wujud pandangan dunia orang Jawa. Pandangan dunia dimaksudkan sebagai keseluruhan
keyakina deskriptif tentang kenyataan suatu kesatuan antara alam, masyarakat, dan alam gaib,
yang daripadaNya manusia memberi suatu struktur yang bermakna bagi pengalamannya. Bagi
orang Jawa, baik sebagai individual maupun anggota masyarakat, realita itu tidak dibagi-bagi
secara terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sam lain, melainkan ia dilihat sebagai satu
kesatuan yang menyeluruh.
21
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
Bagi orang jawa dunia masyarakat dan dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati bukanlah tiga bidang
yang berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan
merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak membedakan antara
sikap religius atau tidak religius dan interaksi-interaksi sosial religius, tetapi tetapi ketiganya
merupakan penjabaran manusia Jawa tentang sikapnya terhadap alam, seperti halnya sikap alam
nusantaraknowledge.blogspot.com
yang sekaligus mempunyai relevansi sosial. Di sini antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada
Tolok ukur anti pandangan dunia orang Jawa adalah nilai pragmatisme atau kemanfaatannya
untuk mencapai keadaan senang, tenteram dan seimbang lahir dan batin antara dunia sini dengan
dunia sana. Oleh karena itu, apabila kita membicarakan pandangan dunia orang Jawa tidak
terbatas pada bidang agama, kepercayaan dan mitos, melainkan juga sistem pertanian, perayaan
pameran, kehidupan keluarga Jawa, seni dan budaya Jawa, sistem tempat tinggal dan lingkungan
tempat tinggal mereka.
Dari Kawruh Griya-Slamet Soeparno (G-Sla)
Bangunan "regol" (gapura), asalnya dari kata "rigol" juga "parigolan", dimaksudkan
sebagai pengetrapan tata-krama/tata-susila antara muda kepada tua, antara kecil kepada yang
besar. "Parigolan" adalah batas pemberhentian dari kendaraan, atau membuka/menutup payung,
topi, atau turunnya dari pendapa ke "regol". Hormat kepada tamu lebih tua atau tinggi
derajat/pang-katnya. Turunnya dari tempat atau kendaraan itu diumpamakan "rigol" (rigol =
jatuh). Adapun "dapur" dalam bahasa Jawa adalah "pawon". Bangunan dapur atau "pawon" ini
disebut karena penggunaannya "pawon" atau dapur adalah tempat memasak. Untuk memasak ini
mempergunakan kayu bakar, maka dengan sendirinya akan terdapat "abu" yang dalam bahasa
Jawa "awu". "Paawon" atau "pawon" artinya tempat "awu" (tempat abu) lalu disebut "pawon"
yang dalam bahasa Indonesia "dapur". "GANDHOK"; Bangunan yang berhubung- an tritisnya
(overstek) dengan bangunan belakang. Jadi "gandhok' artinya "gan- dheng", tetapi bangunannya
sendiri juga mempunyai nama menurut modelnya. "LUMBUNG"; mengambil kata dari burungburung yang terbang bergerom- bolan, dalam bahasa Jawa disebut "alalumbungan". Jadi
mengatur padi dalam lumbung itu juga bergerombol ditumpuk/ disusun bulat ke atas. Pada
22
Arsitektur Nusantara-Jawa
2009
umumnya bangunan lumbung itu dengan model "taju" dengan beratap kampung, jadi
dihubungkan memakai "tutup keyong", pada bagian bawah (lantai berongga). "KANDHANG",
disebabkan alat-alatnya dengan palang-palang atau dari bahasa Jawa "kahadhang-hadhang"
(dihalang- halangi). "GEDHOGAN" atau gedhogag", atau "gedhugag". "Gedhogan" adalah
kandang kuda. Kepercayaan orang, kuda adalah binatang piaraan yang paling berharga sendiri,
atau "gegedhug"nya binatang piaraan. "Gegedhug" berarti paling tinggi, paling atas dan bagi
nusantaraknowledge.blogspot.com
orang pandai adalah "empu". Kuda disebut juga "turangga" atau "turaga", "satu-raga". Pada
waktu per- tempuran dengan musuh tidak usah dikendalikan, diibaratkan "raganya" sudah
bersatu dalam suka dan duka. "Kuda", atau "jaran" dalam bahasa Jawa, bahasa halusnya adalah
"kapal", ini berasal dari kata "kaapal" (sudah diapalkan/diketahui). Dari K-Sla terlihat bahwa
penerjemah me- ngalami kesulitan untuk mengindonesiakan `griya' yang mengawali bangunanbangunan `griya-regol, griya gandhok, griya pawon' dan seterusnya. Dari Kawruh Griya
berbahasa Jawa menjadi jelas bahwa `griya' dan `omah' tidak dapat dengan segera dimengerti
dan diindone- siakan atau diterjemahkan menjadi `rumah'. Griya atau omah memang di satu sisi
dapat dimengerti sebagai rumah, tapi di sisi yang lain tidak dapat dimengerti sebagai rumah.
Dalam wilayah bahasa Jawa baru, kata `griya' dan `omah' adalah sama artinya,
hanya\penggunaannya yang berbeda. Kata griya menunjuk pada tingkatan atau tataran krama
sedangkan kata omah digunakan dalam tingkatan atau tataran krama-ngoko.
Kawruh Griya ditegaskan bahwa sebutan- sebutan itu harus dengan tepat digunakan bagi
pengukuran jenis bangunan, bukan digunakan untuk membuat tipe atap tertentu. Membangun
rumah tinggal, lalu bagaikan menanam pohon; sedangkan membuat atap adalah bagaikan
menghadirkan hiasan kepala. Keadaan ini pulalah yang mungkin menjadi penyebab mengapa
redaksi Kawruh Griya terkelompokkan ke dalam dua redaksi utama. Redaksi pertama adalah
yang meletakkan penjelasan sebutan hitungan dalam pasal yang menerangkan tentang
pengukuran kerangka utama bangunan (tiang-utama/sakaguru dan balok/blandar); sedangkan
pada redaksi kedua menempatkannya pada penghitungan banyaknya usuk atap bangunan. Kalau
pada redaksi terdahulu dipakai anggapan di mana membangun rumah adalah bagaikan menanam
pohon; maka dalam redaksi kedua penekanannya adalah membangun atap itu adalah bagaikan
membuat dan memasangkan hiasan kepala.
23
2009
Arsitektur Nusantara-Jawa
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
nusantaraknowledge.blogspot.com
Rumah tradisional jawa merupakan salah satu kekayaan arsitektur nusantara yang patut
dilestarikan. Rumah ini digolongkan menjadi 5 bagian yaitu, panggangpe, limasan, joglo, tajug,
dan kampung. Masing-masing rumah memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan status sosial kepemilikan dan kedudukan pemiliknya dalam lingkungan masyarakat.
Tiap-tiap rumah diatas juga memiliki jenis-jenis rumah yang beraneka ragam pula. Bentuk fisik
dari rumah adat jawa ini sangatlah sederhana dengan bentuk serupa yaitu bujursangkar, dan
dengan atap berbentuk limasan. Selain itu, rumah ini juga terdiri dari saka-saka yang
menopangnya.
Tempat
: Kampus Sudirman
Keterangan
Banyaknya bentuk rumah merupakan variasi dari bentuk dasar atau bentuk awal. Rumahrumah tradisional yang megah adalah variasi yang mewah dari variasi bentuk asal dengan atau
tanpa penerapan arsitektur asing. Sebagia contoh yang memiliki rumah mewah adalah mereka
yang memiliki jabatan dalam masyarakat biasanya adalah yang berkedudukan sebagai pemimpin.
Rumah mereka banyak dihiasi oleh ornamen. Contoh-contoh lain yang dianggap sebagai rumah
tradisional yang megah adalah kraton Jogja dan Solo karena disitulah dipandang adanya
penerusan hidup sejak jaman mataram. Dalam bentuknya yang sekarang keempat kraton yang
ada di Jawa sudah banyak terkena pengaruh Barat.
24
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya
sehingga paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Paper ini berjudul ARSITEKTUR NUSANTARA-JAWA yang disusun untuk memenuhi
salah satu persyaratan dalam rangka mengikuti Mata Kuliah Arsitektur Nusantara
petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dan dosen pembimbing.
nusantaraknowledge.blogspot.com
Dalam penyusunan paper ini, Penulis banyak memperoleh bimbingan dan petunjuk-
Penulis menyadari bahwa dalam paper ini masih terdapat kekurangan dan diharapkan
adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga paper ini bisa memberikan sumbangan
ilmiah bagi dunia Arsitektur terutama bidang Arsitektur Jawa dan berguna bagi masyarakat.
Terima kasih.