1. Pengenalan
Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara,
terutama difokuskan di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera
Utara, Indonesia. Kajian tertumpu kepada eksistensi dan fungsi sosiobudaya, dengan pendekatan-
pendekatan antropologi. Adapun maksud eksistensi di dalam makalah ini mencakup: etnografi, teknologi,
dan organisasi. Sementara di sisi lain, yang dimaksud kajian fungsional adalah sejauh apa songket
digunakan dan berfungsi dalam kebudayaan masyarakat Melayu Batubara.
Songket adalah satu artefak dalam budaya yang berperanan sebagai salah satu jatidiri orang
Melayu. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai songket agar ia dapat menjadi rujukan oleh
masyarakat Melayu secara umum. Pentingnya kajian ini juga didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat
Melayu Batubara dipandang kuat dalam mengekspresikan budaya songket di kawasan Sumatera, bahkan
Dunia Melayu.
Pakaian bisanya berfungsi menutupi badan, yang menuruti norma-norma sosial. Adakalanya agama
menganjurkan bagaimana adab dan sopan santun berpakaian. Selain itu, dalam pakaian terwujud nilai-nilai
keindahan dan etika masyarakat yang mendukungnya. Pakaian ini difungsikan dalam berbagai aktivitas
adat-istiadat, misalnya dalam upacara nikah kawin, sunat Rasul, mengabsahkan pemimpin (sultan, tuan
kadhi, ketua kampung dan lainnya). Demikian pula yang terjadi dalam budaya masyarakat Melayu Desa
Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang
menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.
Di Sumatera Utara, keberadaan budaya tenunan songket dalam sistem pembelajarannya berbeda
dengan kawasan-kawasan Melayu, dan memiliki ciri-ciri khas budaya setempat. Sistem pembelajaran dari
satu generasi ke generasi lain dilakukan secara terbuka, oleh siapa saja dan dari etnik apa saja. Songket
tidak dimonopoli oleh keluarga bangsawan Melayu. Penenun songket juga menurut pengamatan lapangan,
tidak banyak dilakukan oleh kerabat bangsawan Melayu, lebih banyak dilakukan oleh masyarakat awam.
Belajar dilakukan menurut tradisi lisan, artinya seorang calon penenun datang melihat ke rumah gurunya
dan kemudian langsung melakukannya, tidak disertai dengan petunjuk-petunjuk ajar melalui buku atau
media sejenis lainnya.
Pembelajaran songket di Batubara, sudah dimulai oleh para penyongket sejak usia 10 tahun.
Diajarkan kepada generasi muda, sebagai penapis generasi tua, agar kebudayaan ini terus kekal. Anak-anak
perempuan Melayu yang berusia sekolah ini diajari menenun songket yang relatif sederhana seperti
pembuatan kain selendang. Ciri ini menjadi sesuatu yang khas ada di Batubara, bahwa untuk mengekalkan
budaya songket mereka telah memikirkannya untuk secara terbuka diajarkan dan sejak usia belia lagi
menenun songket. Bahkan di tinkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas
(SMA) di kawasan Batubara memasukkan muatan lokalnya pelajaran menenun songket.
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperdulikan
keberadaan tenunan songket di Batubara. Pemerintah memberikan bantuan keuangan dari bank dan juga
Tabungan Sosial Pensiunan Pegawai negeri (Taspen). Kelompok perajin songket Yusra milik Ibu Hajjah
Ratna misalnya mendapat bantuan kredit lunak dari pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia dan Taspen
(Tabungan Pensiunan Nasional). Kepedulian Pemerintah Indonesia ini, menjadi ciri khas pula bagi
perkembangan songket di Batubara.
Selain itu, ciri khas lainnya, di Sumatera Utara, ada dua kebudayaan yang menghasilkan kain tenun,
yaitu budaya songket Batubara dan ulos dalam budaya Batak. Dalam realitasnya, kedua kawasan ini juga
saling mempengaruhi bentuk dan gaya tenunan songket, serta memiliki berbagai kesamaan dasr dalam
tenunan ini, yang membuktikan bahwa mereka satu budaya dan satu rumpun. Motif-motif songket ada
yang dibuat di dalam ulos. Atau pembuat ulos di Tanah Batak ada pula yang menenun songket, baik dari
Batubara dan terutama Palembang. Dalam kebudayaan Batak Toba ini, songket Melayu (terutama yang
berasal dari Palembang) memiliki nilai sosial yang tinggi. Mereka menganggap bahwa songket Palembang
itu baik kualitasnya, dan mencerminkan tingkat sosial yang memakainya, karena harganya relatif mahal
dibandingkan ulos. Oleh karena itu, maka banyak penenun ulos ini kemudian menenun songket Palembang
dan songket Batubara untuk konsumsi orang-orang Batak Toba sendiri (wawncra dengan Amudi Pasaribu,
Maret 2006). Hubungan antara budaya ulos Batak dan songket Melayu di Sumatera Utara ini, dapat pula
hakaman 1
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
dilihat melalui penggunaan songket yang meluas. Songket selain digunakan dalam berbagai upacara
tradisional Melayu, juga digunakan oleh masyarakat Karo, Batak Toba, dan Simalungun, terutama saat
mereka melaksanakan upacara perkawinan (baik menurut agama Islam maupun Kristen). Songket
dipandang memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi dan menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi para
pemakaianya .
Begitu juga masyarakat Mandailing-Angkola yang sebahagian besar beragama Islam, dan biasanya
di Batubara ini telah memelayukan diri, maka songket yang menjadi kegemaran mereka adalah
menggabungkan konsep-konsep abit dalam budaya Mandailing-Angkola dan songket Melayu. Mereka
biasanya suka menggunakan warna merah dan hitam, sebagai warna dasar abit, dalam memesan songket.
Kemudian menyukai motif-motif yang berbentuk garis seperti siku keluang, pucuk betikam, dan pucuk
rebung--bukan motif garis lengkung. Motif ini mendekati bentuk motif-motif abit Mandailing-Angkola.
Ciri khas budaya songket dan ulos di Sumatera Utara, adalah menggunakan tiga jenis alat tenunan.
Yang pertama adalah okik, yang digunakan dalam tradisi songket Melayu Batubara di Sumatera Utara. Alat
tenun ini, secara struktural sama dengan yang terdapat di Semenanjung Malaysia. Begitu juga dengan
proses pembuatan songket, dan istilah-istilah yang digunakan banyak memiliki kesamaan dengan di
Semananjung Malaysia. Persamaan lainnya adalah penggunaan jenis-jenis motif songket, yang sama antara
kawasan Batubara dengan Semenanjung Malaysia. Ini membuktikan bahwa Batubara adalah sebagai salah
satu daerah kebudayaan Melayu. Sementara kawasan Dunia Melayu sendiri merentasi beberapa negara di
kawasan ini.
Alat tenun yang kedua adalah partonunan, yaitu alat tenun yang digunakan oleh masyarakat Batak
Toba untuk menghasilkan ulos. Bedanya dengan okik, alat partonunan ini dilakukan sambil duduk selepoh,
bukan di tempat duduk seperti okik. Alat partonunan ini, bagaimana pun memiliki unsur dan teknik yang
hampir sama dengan okik. Misalnya dari segi istilah, pada okik ada istilah balero dalam partonunan ada
belira, pada okik ada papan penggulung pada partonunan ada pamapan. Namun ditemui juga ciri-ciri khas
partonunan yang berbeda dengan okik. Alat partonunan ini digunakan untuk menenun ulos di kawasan
Batak Toba, seperti di Tomok, Tarutung, dan Parapat. Alat ini dipandang sebagai alat tenun tradisional
Batak Toba.
Alat tenun yang ketiga adalah alat tenun bukan mesin (ATBM). Alat tenun ini berasal dari Jawa.
Alat tenun ini merupakan bagian dari program pemerintah Indonesia untuk dipergunakan menenun kain
tradisional di seluruh Indonesia. Pemerintah melalui departemen perindustrian dan perdagangan
menyebarkan alat tenunan ini ke semua kawasan di Indonesia, yang uangnya diambil dari departemen
berkenaan. Ibu Hajjah Ratna juga memperoleh sumbangan alat tenun bukan mesin ini. Namun seperti yang
dikemukakan Ibu Hajjah Ratna, alat tenun ini mahal harganya (satu unit Rp 5.000.000,-/lima juta rupiah).
Bandingkan dengan satu okik hanya berharga Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupah). Dari pengamatan
peneliti di lapangan, para penenun songket lebih memilih alat okik, dibandingkan dengan alat tenun bukan
mesin seperti yang digalakkan dan dianjurkan oleh pemerintah Indonesia. Begitu juga dalam kebudayaan
Batak Toba, mereka lebih memilih menggunakan alat partonunan dibandingkan dengan menggunakan alat
tenun bukan mesin. Alasan utama adalah faktor budaya, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang telah turun-
temurun mereka warisi, dan alasan kedua adalah harga alat tenun bukan mesin yang lebih mahal.
Namun demikian, di kawasan Sumatera Utara, ada pula yang menggunakan alat tenun bukan mesin
ini, yaitu di kawasan budaya Karo dan Dairi, tepatnya di Kota Kabanjahe. Bagaimanapun keberadaan alat
tenun ini tak lepas dari peranan Bapak S. Tambun, S.Teks. Ia adalah lulusan Institut Teknologi Tekstil di
Bandung tahun 1995. Dengan demikian, ada juga yang lebih menyenangi alat tenun bukan mesin. Alasan
mereka adalah bahan tenunan yang dihasilkan lebih berkualitas, dan akurasi tenunan lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan alat tenun tradisional, okik atau partonunan. Alat tenun bukan mesin
ini, bagi yang menggunakannya boleh menurunkan harga satu unitnya dengan cara membuatnya sendiri,
tidak mengimpornya dari Jawa.
Dalam konteks budaya songket Batubara, peneliti masih menemukan motif naga berjuang.1 Motif
ini menurut penjelasan para informan telah lama tidak digunakan dalam tradisi songket Batubara.
Kemungkinan besar adalah bahwa agama Islam tidak membenarkan motif-motif berbentuk hewan atau
manusia. Motif naga berjuang ini memberikan bukti masih adanya artefak dalam bentuk motif songket
yang berasal dari masa pra-Islam. Bagaimanapun, temuan ini dapat mengungkapkan bagaimana orang
Melayu membuat motif pada masa itu, dan bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
1
Menurut pendapat Bapak Johan Hanafiah dari Palembang, motif sejenis ini, yaitu naga bersaung, memang
masih disebut-sebut para penyongket di kawasan Sumatera Selatan, namun wujudnya sudah tak dapat dilacak lagi
(temubual Maret 2006).
hakaman 2
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Gambar 3:Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang Diprogramkan Oleh Pemerintah Indonesia
untuk Menenun Tenun Tradisional Seluruh Indonesia Termasuk di Kabanjahe Karo
Di Riau, menurut Tenas Efendy (2004:38) dijumpai juga motif haiwan-haiwan melata. Di
antaranya adalah: ular-ularan, ular melingkar, ular tidur, naga-nagaan, naga bersabung, naga berjuang, naga
bertangkup, dan sebagainya. Namun gambar visual dari naga berjuang ini memang tidak lagi dijumpai
untuk tenunan Melayu.
Menurut penjelasan Hajjah Ratna, motif naga bejuang ini, kemungkinan besar berasal dari era
Melayu pra-Islam, karena oleh agama Islam bentuk manusia dan haiwan memanglah dilarang.2 Motif ini
2 Menurut Tenas Effendy (2004:34) motif-motif yang banyak dipakai dalam budaya tenunan Melayu adalah motif atau corak tumbuhan.
Hal ini tejadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam, sehingga motif hewan dikhawatirkan menjurus kepada hal-hal yang berbau
keberhalaan. Menurut Engku Ibrahim Ismail dan Abdul Ghani Shamsuddin (1992:33) Islam mengharamkan patung di dalam rumah untuk
perhiasan dan lainnya, karena Malaikat akan menjauhi rumah itu. Sabda Rasulullah yang artinya: “Dari Muslim beliau berkata: ‘Sewaktu kami
bersama-sama Masruq dalam rumah Yasar bin Nuamir, ia melihat pada beranda rumah itu patung, maka kata Masruq: ‘Saya dengar ‘Abd Allah
berkata, saya dengar Rasulullah bersabda: ‘bahwasanya manusia yang paling keras seksaannya di akhirat adalah pembuat-pembuat patung.”
hakaman 3
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
berasal dari haiwan ular naga, yang dimitoskan menjadi haiwan perkasa penguasa samudera, yang
melahirkan corak naga berjuang, naga bersabung, dan lain-lain—yang mencerminkan sifat keperkasaan
haiwan yang dimaksud (Tenas Effendy 2004:39-40).
Gambar 6: Pusat Pembinaan Tenun Songket oleh Pemerintah Republik Indonesia di Desa Pahang, Batubara
3 Tentang wilayah budaya Melayu ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan: (1) Tengku Luckman Sinar (1994); (2) Ismail Hussein (1984);
(3) Mohd Anis Md Nor (1990:66-67); (4) J. C. van Eerde (1920:17-20) dan (5) C. Lekkerkerker (1916:119).
hakaman 4
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Provinsi Sumatera Utara terdiri dari delapan etnik setempat: (1) Melayu, (2) Batak Toba, (3)
Mandailing-Angkola, (4) Simalungun, (5) Karo, (6) Pakpak-Dairi, (7) Pesisir Barat, dan (8) Nias. Selain
itu ditambah pula oleh etnik pendatang seperti: Jawa, Sunda, Minangkabau, Aceh, Banjar, Tamil,
Benggali, Tionghoa, dan Eropa (Usman Pelly 1994).
Etnik Melayu ini dalam konteks kebijakannya menghadapi kontinuitas dan perubahan
kebudayaan, menggunakan empat klasifikasi adat: (1) adat yang sebenarnya adat, yaitu hukum alam yang
secara tabi’i harus terjadi menurut waktu dan ruang--jika dikurangi merusak, jika dilebihi mubazir.
Selanjutnya (2) adat yang diadatkan, yaitu adat yang berasal dari musyawarah dan mufakat
masyarakatnya,4 yang dipercayakan kepada pemimpinnya. Kemudian (3) adat yang teradat, yaitu
kebiasaan-kebiasaan yang lama kelamaan atau tiba-tiba menjadi adat. Yang terakhir (4) adat istiadat, yaitu
adat yang merupakan kumpulan dari berbagai kebiasaan, dan cenderung diertikan sebagai upacara-
upacara khusus (Lah Husni 1986:206-211).
Adapun masyarakat Sumatera Utara, biasanya dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia
dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo,
Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari
Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil,
Benggali dan Eropah. Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara
pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh
pemerintah Indonesia.
Di Indonesia, etnik Melayu mendiami daerah Tamiang di Daerah Istimewa Aceh, Pesisir Timur
Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sumatera adalah salah satu pulau
besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3,000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah
sebesar 473,606 kilometer (Fisher 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang
membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera
adalah pulau di sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6o LU sampai 6˚ LS secara latitudinal dan
95˚ sampai 110˚ BT secara longitudinal (Whitington 1963:203).
Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan
pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah
di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit
Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima
Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan
perikanan (Whitington 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-
Mongoloid (Fisher 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-
Polinesia (Howell 1973:80-81).
Pada masa lampau, beberapa sistem klasifikasi regional dipergunakan untuk membagi wilayah
secara etnik. Provinsi Sumatera Utara misalnya pada zaman Belanda terdiri dari dua wilayah yaitu
Sumatera Timur dan Tapanuli. Namun Sumatera Timur mencakup daerah Aceh Timur (Whitington
1963:203). Daerah budaya Melayu Sumatera Utara yang menjadi fokus studi ini, berkaitan dengan
daerah Sumatera Timur. Dalam konteks perdagangan dunia, Sumatera Timur sangat terkenal, mempunyai
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumatera Timur mempunyai beberapa perkebunan, menghasilkan
minyak bumi, dan menjadi daerah sumber devisa yang penting di Indonesia. Perdagangan dan perikanan
menjadi bidang ekonomi yang sangat penting di Pesisir Timur Sumatera Utara ini Daerah Sumatera
Timur ini awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan Simalungun.
Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo,
Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano. Di Pesisir
Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim disebut Sumatera Timur, etnik Melayu
mendiami wilayah yang meliputi empat Kabupaten, yaitu: Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Asahan,
dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur
ini berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan ditambah sultan-sultan
yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Kualuh.
Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-
batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2)
4 Masyarakat (society) adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identiti bersama. Lihat Koentjaraningrat (1974:11). Menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang
dimaksud masyarakat adalah: "... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are
operative,"--yang ertinya: "kelompok manusia yang terbesar, yang secara umum memiliki adat istiadat, tradisi, sikap, dan rasa bersatu, yang
merupakan kesatuan tingkah laku mereka." Lebih jauh lihat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (1954:139).
hakaman 5
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan
daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli (Volker 1928:192-193). Luasnya
94.583 km² atau sekitar 20 % dari luas pulau Sumatera (Pelzer 1985:31). Di antara daerah Aceh di utara
serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur.
Sejak dekad 1950-an Sumatera Timur berubah namanya menjadi Provinsi Sumatera Utara, yang di
dalamnya terdiri dari Afdeeling Sumatera Timur dan Afdeeling Tapanuli. Sehingga ketika berada dalam
Sumatera Timur, etnik tempatannya hanya tiga yaitu Melayu, Simalungun dan Karo. Sementara ketika
menjadi Provinsi Sumatera Utara, bertambahlah luas wilayah dan etnik tempatannya, ditambah banyaknya
migrasi orang-orang Nusantara dan dunia ke Sumatera Utara. Semua hal ini berpengaruh kepada budaya
songket Batubara.
Kabupaten Batubara baru terbentuk dari proses pemekaran wilayah Kabupaten Asahan. Secara
hukum kabupaten baru ini disyahkan dengan terbitnya Undang-udang Nomor 5 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Batubara dan telah dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007, Nomor 7 tambahan lembaran negara Republik Idonesia Nomor 4681 (Waspada 2007:18).
Kemudian sebagaimana telah diatur dalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Asahan Nomor 24/K/DPRD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Asahan Pasal 46 ayat (4) Pengganti
anggota DPRD antar waktu tidak dilaksanakan, apabila masa jabatan anggota yang diganti kurang dari
empat bulan masa jabatan anggota dewan (Waspada 2007:18).
. Kabupaten Batubara telah terbentuk tanggal 15 Juni 2007 ini, dengan Pejabat Bupati, Drs.
H. Sofyan Nasution, M.M. yang dilantik Gubenur atas nama Menteri Dalam Negeri. Pelantikan ini
sekali gus sebagai dirasmikannya Kabupaten Batubara dengan Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 131.12.225 tahun 2007. Kemudian sejak Juli 2008 Drs. H.
Sofyan Nasution, M.M, telah masuk dalam masa pensiun. Ia digantikan oleh Drs. Syaiful Syafri,
M.M. pada bulan Juli sebagai Pejabat Semenetara (Pjs.) Bupati Batubara. Tanggal 23 Desember
2008 ini, tugas dari Bupati Batubara akan segera berakhir. Ia akan digantikan oleh Orang Kaya
Arya Zulkarnain yang memenangi pilihan raya bupati pada bulan Oktober 2008 yang lalu dalam
masa jabatan 2008-2011.
Secara geografi, wilayah Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, meliputi tujuh
kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Seibalai, (2) Kecamatan Tanjung Tiram, (3) Kecamatan Talawi, (4)
Kecamatan Limapuluh, (5) Kecamatan Airputih, (6) Kecamatan Seisuka, dan (7) Kecamatan Medangderas.
Kawasan ini memiliki potensi sumber daya alam semulajadi dan sumber daya manusia. Kawasan Batubara
ini memiliki luas 92,220 hektar, berada pada ketinggian antara 0-80 meter di atas permukaan laut, dengan
temperatur udara antara 23 sampai 27 derajat celcius. Batubara memiliki 98 desa dan 7 kelurahan, salah
satu di antaranya adalah Desa Padang Genting yang menjadi fokus kajian ini (sumber data: kantor Desa
Padang Genting, 2006).
Secara geografi, Batubara terletak antara batas-batas sebagai berikut: (1) sebelah Timur dengan
Kecamatan Meranti dan Air Joman Asahan; (2) sebelah Barat dengan Kabupaten Serdang Bedagai, (3)
sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun; dan (4) sebelah Utara dengan Selat Melaka. Secara
geografi terletak antara 2-3 darjah Lintang Utara dan 99.1-99.7 darjah Bujur Timur (sumber data: kantor
Desa Padang Genting, 2006).
Daerahnya termasuk kawasan pesisir pantai dan dataran rendah beriklim tropis, sehingga cukup
potensial dikembangkan sebagai kawasan pertanian, perkebunan, pariwisata, dan industri, serta pelbagai
bidang jasa lainnya. Jumlah penduduk Batubara mencapai sekitar 336.000 orang lebih. Sebahagian besar
adalah petani yaitu sebesar 32,5%. Kemudian buruh perkebunan 18%, nelayan 17,5%, sisanya 32 % buruh
bangunan, pengrajin, pedagang, karyawan, dan berbagai mata pencaharian lainnya. Khusus di Desa Padang
Genting mayoritas adalah nelayan (sumber data: kantor Desa Padang Genting, 2006).
Dari berbagai sumber sejarah dan keterangan para informan, wilayah Batubara secara
administratif, lebih lama tidak bersatu dengan Asahan. Baik pada zaman kerajaan maupun penjajahan.
Namun setelah Indonesia merdeka kedua afdeling ini disatukan dalam satu kabupaten Asahan. Menurut
sejarah yang ada, wilayah Batubara telah dihuni penduduk sejak 1720 M (Luckman Sinar 1988). Ketika ini
ada lima suku penduduk yang mendiami wilayah Batubara, yaitu suku: Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir,
Lima Puluh, dan Boga. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang Datuk sekaligus memimpin wilayah
tertentu (Sahril 2006).
Dilihat dari nama-nama wilayah kesukuan di Batubara, memperlihatkan keeratan hubungannya
dengan wilayah Pagarruyung Minangkabau. Hal ini memperkuat pendapat masyarakatnya, bahwa mereka
dulu sebahagian hijrah dari wilayah Minangkabau. Namun sesampainya di Batubara ini mereka
mengamalkan adat Melayu dan disebut sebagai masyarakat Melayu Batubara. Namun demikian sebilangan
hakaman 6
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
masyarakat Melayu Batubara ini ada pula yang berasal dari Aceh dan Batak. Mereka ini kemudian bergaul
dan membentuk budaya Melayu Batubara (wawancara dengan Haji Yusufuddin, Januari 2006). Para Datuk
tunduk pada kerajaan Siak Sri Inderapura di Riau dan Johor di Tanah Melayu. Karena wilayah ini
merupakan bagian dari Kerajaan Siak yang tunduk pada Johor. Yang mengangkat Datuk pada lima wilayah
Kedatukan itu adalah Raja Siak. Untuk mewakili kepentingan Kerajaan Siak sekaligus mengepalai Datuk-
datuk.
Berbagai versi menceritakan asal mula nama Batubara. Nama Batubara sendiri sudah tercantum
dalam literatur di abad ke-16 dengan istilah Batubahara. Dari laporan seorang utusan pemerintahan Inggris
di Penang yang berkunjung ke Batubara tahun 1823, menyatakan bahwa di hulu sungai Batubara ketika itu
terdapat sebuah bangunan batu yang tidak tercatat tanggal pembangunannya. Bangunan ini empat persegi.
Di salah satu sudutnya ada tiang sangat tinggi. Pada dindingnya terdapat lukisan manusia. Mungkin dari
bangunan inilah kawasan ini disebut sebagai Batubahara yang kemudian menjadi Batubara. Terdapat pula
catatan kolonial Belanda masuk ke Sumatera Timur tahun 1862 ketika wilayah Pagurawan dan Tanjong
(kawasan Indrapura sekarang) di bawah kekuasaan Datuk Limapuluh (Wawancara dengan Dwi Widayati
Juni 2007).
Pada tahun 1885 Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Batubara dengan
membayar ganti rugi pada Kerajaan Siak. Sejak ini dimulailah penjajahan Belanda di Batubara. Pada masa
penjajahan, wilayah Batubara merupakan salah satu afdeeling (kabupaten) dari lima afdeeling yang ada di
Sumatera Timur yang beribukota Medan. Kelima afdeling itu adalah Deli yang langsung di bawah residen
Medan, afdeling Batubara yang berkedudukan di Labuhanruku, afdeeling Asahan di Tanjungbalai,
Labuhanbatu di Labuhanbatu dan afdeeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis (Sahril 2006:23).
Berdasarkan sejarah sejak dahulu Asahan dan Batubara baik kerajaan maupun afdeling adalah dua
daerah tetangga terpisah kekuasaannya. Bukan dua daerah yang disatukan. Wajar saja kalau masyarakat
Batubara saat ini meminta sejajar dengan bekas afdeling lainnya, memiliki otonomi tersendiri terpisah dari
Asahan, sebagaimana terjadi sejak zaman dahulu.
Pada zaman kemerdekaan yaitu mulai tahun 1945, wilayah Batubara menjadi satu Kewedanaan
yang membawahi lima kecamatan, yaitu: Talawi, Tanjungtiram, Limapuluh, Airputih, dan Medangderas.
Kemudian istilah kewedanaan itu pun dihapus. Hanya tinggal nama lima kecamatan itu menyatu dengan
Kabupaten Asahan.
Pada awal era reformasi yaitu tahun 1998, warga Batubara kembali mengupayakan terwujudnya
Kabupaten Batubara. Sudah sekitar enam tahun perjuangan di era reformasi, namun hingga 2006 belum
terwujud. Jika dibandingkan upaya pemekaran kabupaten lain, boleh dikatakan pemekaran Kabupaten
Asahan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Pro dan kontra sesama warga Batubara pun
tak terelakkan. Sudah dapat dibaca, yang kontra adalah pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan di
Pemerintahan Kabupaten Asahan yang beribukota Kisaran. Apalagi ketika pada masa jabatannya pertama
2000-2005, Bupati Asahan, Drs. Risuddin ketika itu cukup kuat melakukan penekanan terhadap pihak-pihak
yang mendukung pemekaran (Sahril 2006:23). Namun pada masa jabatan kedua terlihat sedikit mencair,
sehingga pihak-pihak yang tadinya kontra mulai terlihat mendukung kembali berdirinya Kabupaten
Batubara. Beberapa desa di wilayah Batubara yang sempat menyatakan menolak bergabung dengan
Kabupaten Batubara, kini hanya tinggal dua desa saja yang masih menolaknya selebihnya setuju (Sahril
2006:23).
Demikian sekilas tentang aspek politik Asahan dan Batubara yang terus mengalami proses hingga
sekarang ini. Selanjutnya kita kaji bagaimana sejarah migrasi masyarakat Toba, Simalungun, Karo,
Mandailing, dan Minangkabau ke Batubara.
Migrasi suku Batak dan Minangkabau ke pesisir timur Sumatera Utara memberi dampak terhadap
kebudayaan di daerah Asahan termasuk Batubara, yang merupakan daerah penghasil utama songket Melayu
di kawasan ini. Pembahasan mengenai sejarah Batubara, Kabupaten Asahan, dan Kota Tanjungbalai, tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena daerah-daerah ini mempunyai latar belakang sejarah
yang saling berkaitan, yang tercakup dalam sejarah Asahan, Batubara, dan Tanjungbalai. Tanjungbalai
pernah menjadi ibu kota Asahan sejak tahun 1934 yang dipindahkan dari Rantau Panjang. Pada tahun 1933
Asahan diperintah oleh Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmatsyah, sebagai sultan kesebelas Negeri Asahan
(Meuraxa 1973:187-201). Etnik Melayu di Asahan merupakan percampuran dari etnik Melayu setempat
ditambah dengan suku Batak Toba, Simalungun, Karo, dan Mandailing. Empat suku terkahir ini sering pula
disebut dengan Batak. Sementara suku Minangkabau yang juga mempunyai sumbangan dalam bahasa dan
kain tenun songket terutama di daerah Batubara. Diperkirakan mereka datang lebih belakangan
dibanding empat suku seperti disebut di atas.
Adanya bukti-bukti sejarah hubungan antara Pagarruyung dengan Batubara ini, dipertegas lagi
dengan adanya nama-nama kawasan di Batubara yang juga terdapat di wilayah budaya Minangkabau,
hakaman 7
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
misalnya nama Lima Puluh (di Minangkabau disebut Lima Puluh Koto), Lima Laras, Tanah Datar (di
Minangkabau dialeknya Tanah Data), Pesisir (di Minangkabau adalah wilayah Pasisie di bagian pesisir
Minangkabau sebelah baratnya) dan lain-lainnya. Namun demikian ada juga yang berhubungan dengan
semenanjung Malaysia, seperti Kampung Pahang, Kampung Perak, dan lainnya. Kemudian kita telisik
sejarah Batubara secara khusus.
hakaman 8
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Para nelayan di Desa Padang Genting dapat dibagi kepada dua kategori menurut kawasan
tangkapan ikan, yaitu nelayan pantai dan nelayan laut dalam. Menurut konsep mereka, nelayan pantai
yaitu nelayan yang menangkap ikan di kawasan perairan laut paling kurang satu sampai lima kilometer dari
tepi pantai. Nelayan-nelayan pantai lazimnya menggunakan alat-alat penangkap ikan seperti: jaring tancap,
jaring apolo, ambai, langgai layang, bubu, sondong, tangkul kepiting dan pancing rawai dan pancing
bambu. Berdasarkan jenis alat menangkap ikan yang digunakan oleh para nelayan pantai ini, dapat
dikatakan bahwa mereka tergolong kepada nelayan yang menggunakan teknologi tradisional Melayu.
Manakala nelayan laut dalam terdiri dari mereka yang menangkap ikan di kawasan perairan yang jaraknya
dari tepi pantai melebihi batas lima kilometer. Para nelayan ini bekerja pada unit perikanan pukat jerut
yang mayoritas adalah milik tauke-tauke China yang berpangkalan di Tanjung Tiram. Jumlah nelayan laut
dalam di Desa Padang Genting ini tidak begitu ramai yaitu sekitar 12 % dari semua nelayan. Nelayan laut
dalam tersebut bekerja sebagai tauke (ketua/pemilik sebuah kelompok nelayan) atau awak-awak (pekerja).
Umumnya mereka ini adalah anak-anak muda yang memiliki motivasi tinggi, mahir, dan bertenaga.
4. Songket Batubara
Mengenai songket di Batubara, berasaskan sumber tertulis yang bertajuk Mission to the East Coast
of Sumatera 1823, yang ditulis Anderson, diperkirakan sudah ada pada tahun tersebut. Anderson adalah
seorang utusan Inggeris mengunjungi Sumatera Timur, termasuk Batubara. Ia mencatat semua kegiatannya
selama berkunjung di kawasan ini, mulai 30 Desember 1822 sampai 5 April 1823. Seperti yang
dikemukannya dalam bahagian pendahuluan, misi beliau ini adalah memperluas perniagaan Inggris, dan
mengenal hasil-hasil perrdagangan dari kawasan Sumatera Timur.
Anderson berkunjung ke Asahan dan Batubara pada 20 Februari sampai 9 Maret 1823.
Rombongannya diiringi oleh utusan Kerajaan Deli yaitu Syahbandar Ahmud. Anderson banyak
hakaman 9
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
menceritakan mengenai berbagai aspek yang dilihatnya saat kunjungan itu. Misalnya nama-nama tempat di
Asahan, gambaran umum etnik Melayu dan Batak Toba, berbagai pohon seperti pohon: kelapa, opium,
buah pisang, nenas, dan juga ternak seperti kambing, lembu, kuda, dan lain-lainnya.
Pada tanggal 22 Februari 1823, ia berkunjung ke Batubara dan ia mendeskripsikan keberadaan
pakaian masyarakat Melayu di kawasan ini seperti berikut ini.
22 February.—Went to the Bindahara’s by appoinments, in expectation of meeting all the chiefs, who
ad been summoned by Sri Maharaja Lela meet me; but this being Friday, the Mussulman Sunday, they did not
come down. They however sent messages to prepare us their arrival next day. Employed collecing and
purchasing all the different sorts of cloths, of which there is an infinite variety. They manufacture silk and cotton
cloths, the former principally beautiful tartan patterns, and some splendidly wrought with gold thread. These
manufactures consume large quantity of raw silk. I purchased one of the looms, with beautiful tartan sarong half
finished in it. My raugtsman made a correct drawin of all their spinning and weaving apparatus, and other objects
of interst or novelty. Although they manufactures such a variety of cloths, they prefer wearing of European
chintzes, and the corse coast and Bengal cloths, principally on account of their comparative cheapness
(Anderson 1977:116).
Dari kutipan di atas dijelaskan oleh John Anderson bahwa saat itu orang Melayu di Batubara telah
mengenakan pakaian yang khas, yang bahannya terbuat dari sutera dan kapas, dengan pola-pola berbentuk
kotak yang indah. Beberapa di antaranya dengan baik dibuat dari benang emas. Pakaian buatan mereka ini
sebahagian besar terdiri dari bahan benang sutera yang kasar. Mereka juga memakai sarung. Pakaian
orang Melayu Batubara ini memeperlihatkan gaya pakaian Eropa dan Benggali.
Di dekade kedua abad ke-19 ini, masyarakat Melayu Batubara telah mengenal benang emas, benang
sutera, dan benang kapas, yang memperlihatkan bahwa mereka telah berhubungan dengan budaya-budaya
luar, yang memproduksi benang-benang tersebut. Maka besar pula kemungkinanya bahwa masyarakat
Melayu Batubara kemudian membuat songket dan kain yang digunakan untuk pelbagai kepentingan
mereka.
Dalam perkembangan masa, masyarakat Melayu Batubara memproduksi kain-kain termasuk
songket untuk kepentingan adat yang digunakan dalam upacara tertentu. Motif-motif bercorak tumbuhan
dan hewan masih dapat lagi dilacak hingga ke hari ini. Menurut pendapat para informan, mereka mewarisi
tradisi pembuatan songket ini sejak zaman-berzaman. Kemungkinan besar budaya songket ini dalam
kebudayaan masyarakat Melayu Batubara sudah melintasi masa selama lebih dari dua abad, jika menurut
sejarah yang ada (wawancara dengan Ibu Hajjah Ratna 20 Januari 2008).
Masyarakat Melayu Batubara melintasi zaman sejarahnya sejak awal hingga pengaruh Hindu-
Budha di abad pertama sampai ke-13. Selepas itu Islam muncul dikawasan ini di era Kerajaan Haru, yang
kemudian diteruskan ke dalam Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kotapinang, Kualuh, dan
Merbau. Kemudian Belanda menaklukkan kesultanan-kesultanan Islam tersebut, dan menguasai kawasan
Sumatera Timur. Kemudian Belanda terusir dari Indonesia, termasuk Batubara d tahun 1942, dan masuklah
tentara Jepun ke Sumatera Timur (Luckman Sinar 1986). Menurut penjelasan para informan, tenunan
songket terus dijalankan dalam situasi politik tersebut, baik masa Belanda dan Kesultanan, maupun
seterusnya ketika Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang ini.
Sementara penelitian ini penulis lakukan di masa-masa awal abad ke-21, tepatnya tahun 2004-2008.
Dengan masa yang pendek ini, penulis belum dapat menyimpulkan aspek sejarah songket Batubara, baru
sekedar menyinggungnya saja. Selama penelitian ini dilaksanakan, maka penulis dapat mendeskripsikan
pelbagai aspek am mengenai budaya songket Batubara.
Yang paling khas, songket Batubara hidup terus menuruti perkembangan zaman, karena songket
sangat fungsional dalam kebudayaan Melayu di kawasan ini. Batubara sendiri merupakan pusat industri
songket di Sumatera Utara. Songket selalu menjadi bahagian penting dalam upacara-upacara adat Melayu
seperti: nikah kawin, khitanan, menyambut tetamu, menghantar dan menyambut jamaah haji, dan lain-
lainnya. Selain itu, songket juga digunakan oleh etnik-etnik seperti Karo, Batak Toba, Simalungun,
Mandailing, Minangkabau, Jawa dan lainnya yng ada di Sumatera Utara. Songket dipandang sebagai kain
yang memiliki lambang-lambang kekuatan budaya, mengintegrsikan antara sesama rumpun Melayu, gengsi
sosial, dan lain-lainnya.
Budaya songket ini, sangat jelas dilakukan oleh sebahagian besar kaum wanita, yang sesuai dengan
konsep pemberdayaan wanita dalam konsep pemerintahan dan kebudayaan di Indonesia. Perempuan di
Indonesia sejak awal mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Pergerakan perempuan untuk
menjadi mitra (bukan kesetaraan) dengan pria sudah dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika
sejak kurun abad ke-19 lagi. Dengan demikian, peranan perempuan oleh dilakukan melalui kebudayaan
hakaman 10
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
songket di Batubara ini. Perempuan di Indonesia dalam koneks ini dipandang membantu ekonomi
keluarga menuju keluarga yang sejahtera, seperti yang selalu diharapkan oleh pemerintah Indonesia.
Sistem organisasi songket menurut sistem organisasi tradisional Melayu, yang berasas pada
kekeluargaan. Walau songket dapat dijadikan mata pencaharian utama, namun mumnya mereka
menganggap bahwa bekerja membuat songket adalah bahagian dari kerja sambilan, artinya di luar
pekerjaan utama. Organisasi yang dikelola biasnya terdiri dari ketua pengrajin sekaligus pemilik modal
dan para penenun yang jumlahnya berkisar antara 20 hingga 80-an anggota. Mereka diberi upah menurut
lembaran songket yang dihasilkan dan tingkat kerumitan membuat songket.
Para pengusaha songket umumnya terdiri dari kaum perempuan, yang bertindak sebagai ketua
kelompok (tauke) dan sekali gus juga sebagai penata motif-motif dan pengembangannya. Para penenun
songket ada yang menenun di rumah ketua kelompok, dan ada juga yang menenun di rumahnya sendiri
sambil membawa alat songket okik di rumahnya. Menyongket dilakukan di waktu luang. Secara
tradisional, dahulu kala (sampai tahun 1960-an) menyongket mestilah dilakukan di siang hari, tak
dibenarkan menyongket di malam hari, mungkin karena alasan keamanan, sulitnya penerangan atau yang
lainnya (wawancara dengan Ibu Hjjah Ratna 20 Januari 2008).
Produksi songket langsung dibeli di rumah-rumah ketua kelompok. Namun ada juga yang dijual ke
pusat-pusat perekonomian di Sumatera Utara, terutama Medan. Songket ini diproduksi menurut selera
pasar juga, baik warna, kualitas benang (satu, dua, tiga), benang katun, sutera atau emas, maupun yang lain-
lainnya. Songket yang mahal akan memberikan dampak dan gengsi sosial, yang mengenakannya dianggap
memiliki tingkat sosioekonomi yang relatif lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Adapun berdasarkan
penelitian lapangan, harga-harga songket Melayu Batubara ini, yang termurah adalah Rp 75.000.
Kemudian harga kualitas sedang adalah Rp 300.000. Sampi harga yang termahal yaitu songket dari benang
sutera harganya adalah Rp 2.500.000.
Sejak tahun 2007 lalu, para perajin songket Batubara juga menerima pesanan songket dari Moria
Gereja Batak Karo Protestan. Mereka memproduksi secara massal karena permintaan gereja ini yang relatif
banyak. Songket utuk gereja ini harganya adalah Rp 75.000. Termasuk kelompok tenunan songket Yusra
mendapat pesanan tersebut. Ini membuktikan bahwa rumpun Melayu (Karo) tersebut menganggap bahwa
sogket Melayu juga menjadi miliknya, karena antara masyarakat Melayu dan Karo sejak awal juga memiliki
hubungan kultural yang rapat dan mereka dahulunya satu dalam kerajaan Haru (lihat Tengku Luckman
Sinar 1986). Selain itu gereja Moria Gereja Batak Karo Protestan mengajarkan konsep inkulturasi, yaitu
menyerap semua kebudayaan dunia dalam konteks kepentingan gereja.
Hal yang menarik lainnya dalam budaya songket di Batubara ini, adalah terciptanya lagu Pantun
Berisi karya Hajjah Nurasiah Jamil, seorang tokoh nasyid di Sumatera Utara, berdasarkan keberadaan
tenunan songket. Lagu ini diciptakannya pada tahun 1972, selepas ia berkunjung ke Batubara, melihat
orang-orang Melayu di Batubara menenun songket (selengkapnya lihat Notasi 1).
4.1 Teknologi
Seperti telah diuraikan dalam Bab I, menurut Noresah Noresah Baharom dkk. dalam Kamus Dewan
Edisi Ketiga (2002:1397), teknologi memiliki arti: (a) aktivitas atau kajian yang menggunakan pengetahuan
sains untuk tujuan praktis dalam industri, pertanian, perobatan, perniagaan, dan lain-lain sains gunaan,
misalnya kalimat: Universiti Malaya memainkan peranan yang penting untuk melahirkan pakar-pakar
teknologi kita; (b) kaedah atau proses menangani sesuatu masalah teknikal; teknologi tinggi adalah
teknologi yang berasas kajian saintifik termaju seperti penggunaan peralatan elektronik yang canggih.
Teknologi itu adalah penerapan pengetahuan saintifik kepada tujuan praktis dalam kehidupan manusia, atau
dalam kata lain adalah untuk perubahan dan penggunaan persekitaran manusia. Dalam tulisan ini yang
dimaksud adalah teknologi pembuatan songket, yaitu penerapan etnosains Melayu dalam membuat kain
songket, untuk tujuan kehidupan masyarakat Melayu terutama dalam berbusana menurut norma-norma dan
sistem nilai sosial.
Teknologi pembuatan songket menurut uraian di atas dapat dikategorikan sebagai teknologi industri
manufaktur, yaitu teknologi pembuatan pakaian. Teknologi ini muncul dan berkembang dalam kehidupan
manusia karena keperluan manusia akan menutupi tubuh, lebih lanjut menjaga diri dari cuaca alam sekitar.
Selain itu juga diperlukan untuk menerapkan norma-norma sosial, bahwa manusia dalam kehiduannya
mestilah bepakaian. Kemudian fungsi teknologi pakaian ini adalah untuk keperluan estetika dalam
kehidupan manusia, bahwa dengan berpakaian manusia menjaga norma sosial dan sekaligus
mengaplikasikan rasa keidahannya terhadap penampilan tubuh. Berikut akan diuraikan tempat pembuatan
songket.
hakaman 11
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Notasi 1: Cuplikan Lagu Pantun Berisi yang Menggambarkan Budaya Songket Batubara
5 Ibu Hajjah Ratna binti Haji Abdul Thalib adalah seorang informan kunci bagi peneliti. Alamat rumah dan sekali gus tempat pebuatan
songketnya adalah di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Umurnya saat
dilakukan penyeldikan ini adalah 50 tahun. Ia berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain beliau di Desa Padang Genting dan
kawasan Batubara lainnya, terdapat juga beberapa pengusaha (peniaga) songket. Oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia, teknologi industri
seperti yang mereka lakukan ini sering dikategorikan sebagai industri rumah tangga (home industry).
6 Para pekerja ini kesemuanya berjenis kelamin perempuan. Mereka terdiri dari anak-anak sekolah, yaitu umumnya Sekolah Mengah
Atas (SMA) dan sedarjah lainnya seperti Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ada juga para wanita ibu-ibu rumah
tangga atau gadis-gadis di desa ini. Umumnya pekerjaan menenun songket adalah kerja sambilan, di samping keja utamanya dalam konteks
mata pencaharian dan ekonomi masyarakat di Batubara.
hakaman 12
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Alat ini sebagian besar terbuat dari kayu dan papan. Adapun jenis-jenis kayu yang digunakan
adalah kayu apa saja, yang sering diistilahkan sebagai kayu sembarang, atau kayu sempengan. Namun
7 Sukiman ini adalah bersuku Jawa, yang lahir dan dibesarkan di Provinsi Sumatera Utara. Isterinya yaitu Siti Asmah bersuku Melayu.
Mereka sejak dari kecil memang tinggal di Desa Padang Genting Batubara. Orang-orang Jawa yang dilahirkan di Sumatera Utara disebut
dengan Pujakesuma, akronim dari Putra Jawa kelahiran Sumatera. Di antara masyarakat Jawa ini banyak yang kemudian mendukung
kebudayaan Melayu dan menganggap dirinya juga sebagai bagian dari masyarakat Melayu. Masyarakat Jawa yang terdapat di Desa Padang
Genting ini merupakan keturunan dari masyarakat Jawa Deli yang pada masa penjajahan Belanda sejak abad ke-18 didatangkan dari Jawa yang
umumnya dipekerjakan di kebun-kebun teh, karet, dan kelapa sawit yang dibangun oleh Belanda. Mereka juga disebut Jawa Kontrak (Jakon),
karena melakukan kontrak kerja dengan Belanda (akte verklaring). Kemudian selepas kemerdekaan terus berlaku migrasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia atau atas keinginan dan usaha sendiri yang disebut dengan transmigrasi swakarsa.
hakaman 13
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
untuk menjaga kualitas kayu, biasanya kumpulan penenun songket Ibu Ratna ini memilih kayu-kayu yang
baik kualitasnya seperti kayu meranti, merbau, durian ,dan sejenisnya. Kayu-kayu ini dibeli di toko-toko
kayu yang ada di ibu kota kecamatan Tanjung Tiram. Kedai kayu itu selalu disebut dengan panglong, yang
umumnya diusahakan dan diurus oleh orang-orang atau taukeh China.
Uang awal untuk mengadakan okik ini, boleh dibagi 50% oleh Ibu Ratna atau penuh ditanggung
oleh Bapak Sukiman dan Tajuddin. Itu tergantung dari kesepakatan mereka. Secara struktural, okik ini
terdiri dari bahagian-bahagian seperti berikut: gorub, karab, belero, belebas, papan pungguhan, cucak,
sumbi, poso, tinjak, turak, dan rahat.
Secara umum fungsi okik adalah untuk merentang benang, melintang benang, memadatkan tenunan,
membuat lapisan benang tenunan. Selengkapnya okik itu dapat dilihat pada Gambar 10.
hakaman 14
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
4.1.3 Benang
Bahan lain untuk tenuan songket adalah benang kapas (cotton). Di Desa Padang Genting, benang
diimpor dari ibukota Indonesia Jakarta. Adapun merek yang umum digunakan adalah benang yang
diproduksi oleh P.T. Bentang Mutiara Tunggal Perkasa Cap Kapal. Menurut penjelasan Ibu Ratna, setiap
minggunya ia menghabiskan dua kodi benang. Agak berbeda dengan yang ada pada budaya Batak, yang
umumnya mencelup benang untuk pewarnaan, maka di desa ini, mereka tidak lazim melakukan pewarnaan,
mereka langsung membeli benang dengan warna-warna yang sesuai dengan keperluan untuk menenun.
Sejak dekad awal 2000-an ini, ada upaya pengembangan kualitas songket, dan sesuai dengan
perkembangan permintaan pasar. Khususnya pada kelompok Ibu Ratna, ia menenun songket yang bahan
dasarnya terbuat dari benang sutera. Benang ini boleh didapatkannya dari seorang pengusaha ternak ulat
sutera yang menghasilkan benang sutera, tempatnya di Kota Tanjungmorawa, Kabupaten Deli Serdang,
masih di kawasan Provinsi Sumatera Utara. Namun menurut penjelasan Ibu Ratna, harga songket yang
terbuat dari sutera ini relatif mahal, karena benang sutera juga mahal. Selain itu, bagi para muslim, lelaki
tidak diperbolehkan memakai bahan-bahan sutera, sehingga peminatnya umumnya adalah ibu-ibu pejabat
(elite), yang umumnya adalah orang kaya harta. Pembuatan songket sutera ini adalah disesuaikan saja
dengan permintaan yang ada.
Gambar 13: Beberapa Jenama Benang untuk Bahan Asas Songket Batubara
Gambar 14:
Songket yang Terbuat dari Sutera
hakaman 15
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Gambar 15: Posisi Benang Loseng Sejajar dengan Arah Pandang Penyongket
Gambar 16: Posisi Benang Pakan Melintang dengan Arah Pandang Penyongket
hakaman 16
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Gambar 17: Teknik Memungut Motif dari Sejubilang
hakaman 17
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
hakaman 18
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Pada penelitian akhir, penulis menemukan sumber-sumber motif yang dipercayai telah berusia lebih
dari seratus tahun. Motif ini disimpan oleh Ibu Salbiah. Penulis berusaha ingin bertemu dengannya, namun
tidak berhasil. Oleh karena itu, peneliti meminta bantuan Ibu Ratna untuk mendapatkan sumber motif
songket yang disulam di selembar kain. Motif-motif itu berupa hewan dan tumbuhan. Motif hewan
berbentuk dua naga yang saling berhadapan dengan menggunakan warna hitam, merah, dan biru. Selain itu
juga dijumpai motif hewan pelanduk dan harimau. Menurut penjelasan Ibu Ratna motif-motif hewan ini
tidak lazim digunakan dalam budaya songket Melayu Batubara sejak ia kecil lagi. Menurutnya Ibu Salbiah
mewarisi motif-motif ini dari oyangnya. Karena mendapat warisan itu, ketika penulis pinjam, Ibu Salbiah
melalui Ibu Ratna mengatakan: “Jangan sampai hilang kain motif ini, karena bagi saya itu adalah warisan
yang tak ternilaikan harganya. Tak mungkin engkau bisa menggantinya dengan uang berapa pun nilainya.”
Berikut ini diperturunkan motif-motif hewan yang terdapat di Desa Padang Genting yang dianggap
telah berusia lebih dari seratus tahun.
Gambar 27: Sumber Motif (Sejubilang) Kuna yang Diturunkan kepada Ibu Salbiah
Penjelasan:
Motif ini berbentuk sulaman, dan selanjutnya diturunkan ke dalam motif-motif songket, motif di atas sebahagian besar merupakan
mimesis tumbuh-tumbuhan.
hakaman 19
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Mulai bulan Januari 2008, berasaskan strukur songket dan motif-motif songket yang ada di
Batubara, seorang pendisain tenunan tradisional Karo, yaitu Bapak S. Tambun, mulai memproduksi
songket, yang ditujukan bagi masyarakat Karo secara luas. Bentuk songket yang didisainnya menggunakan
kepala kain dan ujung kain. Namun demikian, kain songket Karo ini menggunakan motif yang khas, yang
disebut dengan pengretret, yang didasari oleh bentuk ketupat. Menurut penjelasan S. Tambun, ia
mengambil bentuk songket dari Batubara, karena merasa bahasa antara budaya Karo dan Melayu adalah
satu induk besar. Kemudian dalam pakaian tradisi Karo selama ini menggunakan kain songket Melayu
ditambah kain adatnya seperti bulang, buka buluh, sarung Karo, dan lainnya. Ia menjelaskan sebagai
berikut.
Saya sebagai warga masyarakat Karo, yang selama ini berkaya di bidang kain tenunan tradisional
Karo, memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan dan membina kain dan pakaian Karo. Saya melihat
bahwa orang-orang Karo sejak lama lagi telah menggunakan kain songket dalam pakaian tradisinya, terutama
untuk acara perkawinan. Orang Karo selama ini memakai songket Melayu. Oleh karena itu, kami mencoba
menciptakan kain songket yang khas Karo, berdasarkan bentuk songket Melayu. Bagaimanapun antara orang
Melayu dan orang Karo adalah satu rumpun yang sama dalam masa kerajaan Haru dahulu kala. Jadi rujukan
kami adalah kepada saudara terdekat yaitu orang Melayu (wawancara dengan S. Tambun 12 Februari 2008).
Gambar 28: Kain Songket Karo yang Baru Didisasin oleh S.Tambun
Penjelasan:
Songket Pertama Karo yang didisasin oleh S. Tambun, yang terinpirasi oleh songket Melayu, dengan
menggunakan motif-motif tradisi Karo.
hakaman 20
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
langsung melalui cara melihat dan mempraktikkanya secara langsung.8 Para pekerja baru ini biasanya
menenun songket di rumah Ibu Ratna terlebih dahulu. Setelah dianggap mahir ia dibagi okik dan
diperkenankan menenun di rumahnya masing-masing.
Umumya setiap penenun songket dapat menyelesaikan sehelai kain songket selama empat sampai
enam hari. Dilakukan selama empat sampai enam jam seharinya. Upah yang diberikan juga menurut berapa
helai songket yang dapat ia hasilkan. Selain itu tingat kesulitan menenun juga dibedakan antara benang
satu, dua dan tiga. Songket benang satu adalah yang paling sulit dikerjakan oleh para penenun, sedangkan
songket benang tiga adalah yang paling mudah dilakukan oleh para penenun songket.
(b) Tahap kedua adalah mengani, yaitu aktivitas menarik benang dengan diluruskan menurut
bentuk yang hendak dicapai. Proses berikutnya adalah penyediaan benang dengan menggunakan alat
pengani yang terdiri dari pemidang peleting dan bingkai pembuat lonseng.
8Di Malaysia menurut Norwani Mohd. Nawawi pembelajaran penenunan songket diturunkan secara rahasia dari satu
generasi ke generasi yang lain oleh penenun yang mahir. Penenun ini hanya menyampaikan pengetahuan dan kemahiran
menenun kepad anak-anak dan cucu-cicit mereka yang berminat saja. Kemahiran mereka dalam menenun dapat dilihat dari kain-
kain songket lama yang mempunyai latar belakang teknik ikat bercorak halus yang dipanggil bunga cuai. Kain songket ini sukar
didapati sekarang. Ia hanya bisa didapati di berbagai museum seperti Muzium Negara, Kala Lumpur, dan Muzium Pitt River di
Oxford Egland (Norwani Mohd Nawawi 2002:31).
hakaman 21
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Gambar 30: Mengani
(c) Tahap ketiga adalah menggulung benang ke papan gulung dan direntang menurut bentuk
papan gulung tersebut. Setelah proses mengani selasai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah benang
lonseng dikeluarkan dari kepala anian dengan cara memasukkan dua batang kayu bolero melalui benang
yang bersilang. Dengan cara ini kayu bolero dapat mengasingkan dua kumpulan benang yang berangka
genap dan ganjil. Kemudian dua kayu bolero itu dilipat serta disatukan dan diletakkan di atas dua
pancang kayu yang khas, yaitu tempat penggulung loseng. Pada ujung benang loseng yang bertentangan
dua kayu silinder yang disebut anak kayu, dimasukkan melalui benang loseng bersilang pada bahagian
belakang. Di antara dua anak kayu ini dimasukkan sebilah papan gulung dan benang loseng yang
berkeadaan tegang dan disebarkan secara merata. Untuk melilit benang lonseng, dua orang perlu
memegang papan gulung (pungguhan) serta anak kayu yang menjadi sebahagian dari papan lonseng.
Dengan secara perlahan dan cermat keduanya berjalan ke arah tempat pemegang benang lonseng serta
menggulung benang ini.
(d) Tahap keempat adalah menyosoh, yaitu menggulungnya ke papan karab. Benang yang telah
digulung di papan gulung selanjutnya di cara bahagian ujungnya digulungkan pula kepada karab yang ada
di pangkal okik. Kemudian benang-benang ini diregangkan secara menyilang. Kemudian setelah
diperolehi ketegangan tertentu maka papan pungguhan benang lonseng dimasukkan ke bahagian cucak.
(e) Tahap kelima adalah memasukkan sisir, yaitu memasukkan benang lonseng ke dalam gigi sisir
atau sikat, sebelum dipasang ke alat tenun okik. Gigi sisir dibuat dari lidi-lidi halus dari pokok buluh atau
kayu. Menyosoh benang biasanya dilakukan dua orang penenun yang duduk di atas lantai, saling
hakaman 22
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
berhadapan, di tengahnya diletakkan benang, dua kayu bolero dan gigi sisir. Seorang penenun
menyusurkan pengait benang melalui celah-celah gigi sisir. Selepas itu, benang-benang ini disangkutkan
ke pengait dan dikeluarkan berpasangan oleh penenun yang duduk bertentangan. Setiap pasangan benang
dimasukkan ke anak kayu agar tidak kusut.
(f) Tahap keenam adalah menaikkan ke okik.
(g) Tahap ketujuh memungut dan merancang motif apa yang akan disongket, yang tentu saja
menurutkan jalur benang.
(h) Tahap kelapan adalah menenun songket dengan cara mengarahkan benang dengan torak ke kiri
dan kanan, kemudian diketatkan dengan tinjak yang ditekan dengan kedua telapak kaki di bagian bawah
penyongket. Demikian sekilas proses pembuatan songket di Batubara ini.
Menyongket ini akan memakan waktu yang lebih lama dengan menggunakan benang satu.
Sedangkan benang dua dan tiga lebih memakan waktu yang lebih pendek. Namun para pelanggan
umumnya memesan benang satu dan dua. Selepas disongket dan selesai maka pada bagian tepi songket
harus ditutup. Setelah selesai songket lalu dilipat dengan rapi dan kemudian dipajang di lemari Ibu Ratna
yang ada di rumah bahagian depan ruang rumahnya.
5. Organisasi
Pada bagian ini akan dikaji mengenai organisasi kumpulan penenun songket Batubara, dengan
fokus pada kelompok Yusra di Desa Padang Genting. Kajian mengenai organisasi ini meliputi aspek:
organisasi sosial, pengembangan organisasi, faktor kemampuan dan keluarga, sistem pengurusan keuangan,
keterlibatan pemerintah, peranan perempuan dan laki-laki, sistem upah dan borongan.
Organisasi penenun songket di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara,
dapat dikategorikan sebagai organisasi bisnis, karena organisasi ini terbentuk berasaskan kepentingan
bisnis. Namun selain itu organisasi ini juga memiliki unsur-unsur sosial, seperti hubungan kekerabatan dan
silaturrahmi.
Menurut Noresah Baharom dkk. dalam Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:948) organisasi adalah
kesatuan atau susunan dan lainnya yang terdiri dari bahagian-bahagian (orang dan lain-lain) dalam sesuatu
pertubuhan (perkumpulan, perbadanan, dan lain-lain) untuk tujuan-tujuan tertentu (kepentingan bersama
dan sebagainya). Tenaga kerja atau tenaga pekerja pula adalah orang yang bekerja, mengerjakan sesuatu.
Tenaga pekerja ini kadang-kadang disebut pula dengan kakitangan.
Organisasi bisnis adalah sebuah entitas yang dibentuk untuk tujuan komersial. Organisasi
semacam ini biasanya dibentuk menurut hukum yang berlaku. Dalam konteks organisasi penenun songket,
meskipun tujuanya bisnis, namun aspek sosial lain seperti kekerabatan dan kekeluargaan juga muncul.
Mereka juga tidak mendasarkan aktivitas menurut hukum bisnis yang berlaku di Indonesia, mereka tidak
mendaftarkannya kepada pengacara. Sehingga organisasi ini juga bersifat tradisional.
Di kawasan Sumatera Utara, budaya tenunan songket yang paling terkenal adalah di Batubara,
khususnya Desa Panjang. Di kawasan ini terdapat kelompok-kelompok penenun songket, yang biasanya
dipimpin oleh seseorang yang relatif punya pengalaman dan modal yang memadai. Para pemimpin
penenun songket ini biasanya mengasuh sekitar 40-60 anggota. Di Desa Padang Genting ini, pemimpin
penenun songket adalah Ibu Hj. Ratna, Ibu Asmah, Pak Sahib, dan Ibu Zuraidah.
Mereka menubuhkan kumpulan pengrajin songket Batubara secara informal. Tujuannya adalah
agar tidak terjadi persaingan secara tidak sehat, dan agar harga songket terkawal dan tidak turun yang
mereka istilahkan dengan banting harga.9 Biasanya secara diam-diam, persaingan ini terjadi dengan
berbagai cara. Di antaranya adalah menurunkan harga songket secara diam-diam, agar tidak diketahui
pesaingnya. Cara lainnya adalah menarik pembeli melalui penjelasan bahwa songketnya yang berkualitas
baik, kelompok lain tidak baik.
Namun demikian, di antara kelompk-kelompok penenun songket ini terjadi juga persaingan sehat,
seperti pengembangan motif dan penjagaan kualitas tenunan songket secara besama-sama, terutama diawasi
oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) di bawah arahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan
(Deperindag).10 Banyaknya para pelanggan dan pembeli yang berkunjung dan membeli songket menjadi
9Dalam kebudayan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, istilah banting harga ini adalah menurunkan harga jual di
bawah rata-rata harga biasanya. Tujuan utamanya adalah agar para pembeli membeli barangannya karena harganya yang murah,
dan sekali gus menutup kemungkinan peniaga pesaing untuk mengambil pelanggan. Namun bagaimanapun proses banting harga
ini sebenarnya boleh merusakkan aktivitas ekonomi dan menimbulkan suasana bisnis yang tidak sehat.
10Departemen Perindustrian dan Perdagangan adalah sebuah departemen dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia, yang mengurusi bidang industri dan perniagaan. Departemen ini biasanya dikepalai oleh seorang menteri perindustrian
dan perdagangan. Di tingkat provinsi biasanya dibentuk dewan kerajinan nasional yang mengurus bidang kerajinan (seperti
kerajinan tangan, industri rumah tangga, industri tenunan, industri songket, industri batik, dan lainnya). Dewan kerajinan nasional
hakaman 23
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
indikator keberhasilan masing-masing kumpulan. Di antara para penenun songket boleh saja berpindah
kepada pimpinan yang manapun, namun ini jarang terjadi.
Penelitian ini difokuskan kepada kelompok Ibu Ratna, yang dalam reklamenya, adalah sebagai
Pengrajin “Yusra”, menjual dan menerima tempahan kain tenun Batubara, Hj. Ratna (pengusaha), nomor
handphone 081361346814, alamat rumah: Desa Panjang/Padang Genting No. 003, Kecamatan Talawi,
Kabupaten Batubara, telefon: (0623)451470. Di rumah Ibu Ratna sendiri, reklame ini dibuat dalam papan
iklan, yang diletakkan di sisi depan bagian atap rumahnya. Adapun kata-kata yang terdapat pada papan
iklan tersebut adalah: “Yusra” menjual dan menerima tempahan kain tenun Batubara, alamat: Padang
Genting 003, telepon: (0623)451470, Batubara Kecamatan Talawi.” Tujuan dari papan ini adalah
untuk iklan dan menandakannya sebagai tempat kegiatan menenun songket dan tempat penjualan songket.
Organisasi penenun atau pengrajin songket di Desa Padang Genting terbentuk karena adanya
permintaan pasar terhadap songket. Akhirnya muncullah para penenun yang diurus oleh para pimpinan atau
pengusaha penenun songket. Kumpulan atau organisasi ini sistemnya tetap yaitu adanya pimpinan yang
menyediakan bahan dan modal untuk berlangsungnya usaha, ditambah para anggota yang mendapatkan
alat-alat dan upah yang sistemnya juga telah ada. Artinya alat-alat disediakan oleh pimpinan penenun, para
penenun tinggal menenun dan diupah berdasarkan jumlah lembaran tenunan yang mampu ia buat, yang
biasanya dihantar dua minggu sekali ke rumah Ibu Hajjah Ratna. Orang-orang yang ada di dalamnya boleh
saja berganti-ganti, tetapi sistemnya tetap bertahan.
Adapun pekerja penenun yang dibawahi Ibu Ratna sebahagian besar yaitu wanita-wanita Melayu
yang berusia remaja. Kegiatan ini bagi remaja umumnya dilakukan sebagai kerja sambilan yaitu pengisi
waktu luang. Yang dimaksud dengan pengisi waktu luang adalah setiap penenun biasanya memiliki kerja
utama seperti sebagai buruh di perkebunan sawit, sebagai petani sawah baik di sawahnya sendiri atau buruh
tani di sawah orang lain, sebagai buruh pabrik dan lainnya. Atau ada pula di kalangan pekerja remaja ini
yang masih bersekolah, umumnya SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas).
Di masa waktu luang, selepas bekerja atau sekolah maka ia memiliki waktu luang. Masa inilah ia bekerja
menenun songket.
Sistem pengupahan didasarkan pada jumlah songket yang dihasilkan. Setiap satu lembar songket
yang dihasilkan, mereka menerima upah yang berkisar antara Rp. 25.000 sampai Rp. 50.000, yang
tergantung dari tingkat kesulitannya. Tingkat kesulitan bagi para pekerja terutama adalah dalam menenun
menggunakan benang satu, dua, atau tiga. Benang satu dipandang sebagai yang paling sulit ditenun
kemudian diikuti benang dua, dan yang paling mudah adalah benang tiga. Umumnya para pembeli selalu
memilih tenunan benang dua atau satu. Benang satu dianggap sulit karena hanya selapis dan kedua-dua
sisi sama kualitasnya, sedangkan benang dua dan tiga cukup sekali atau dua kali tenun saja.
Sepanjang pengalaman saya dalam melakukan aktivitas songket ini, dimulai tahun 1971 sebagai pemimpin
Yusra, maka saya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada. Saya dan anggota-anggota
harus menuruti pangsa pasar yang ada, artinya saya harus memupuk hubungan dengan para pelanggan dan
pembeli. Kami harus melayani mereka bentuk songket seperti apa yang dikehendaki. Namun di samping itu
kami juga harus memiliki identitas songket-songket11 kami yang berasas kepada kreativitas saya sebagai
pemimpin penenun dibantu oleh para anggota yang berasas dari tradisi songket Batubara (wawancara penulis
dengan Ibu Ratna 12 Februari 2006).
ini juga selalu melakukan pameran industri kerajinan ke mancanegara atau dalam negeri, untuk merangsang pertumbuhan
ekonomi nasional melalui industri kerajinan.
11Yang dimaksud identitas songket-songket oleh Ibu Ratna ini adalah bahwa ia memiliki ciri-ciri tenunan terutama motif,
warna, dan kualitas songket yang membedakannya dengan para kumpulan-kumpulan songket yang lain di Batubara. Namun hasil
karya songket mereka semuanya berasas kepada motif-motif yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.
hakaman 24
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Dalam mengembangkan organisasi ini pula kebijaksanaan dari para pemimpin kelompok penenun
songket menjadi sebuah keharusan. Artinya setiap pemimpin penenun songket harus pandai-pandai melihat
perubahan-perubahan ekonomi terutama di wilayah Sumatera Utara, untuk dapat mempertahankan
kumpulannya. Seorang pemimpin penenun songket harus menjalin hubungan bisnis dengan berbagai
kalangan masyarakat, termasuk para pemimpin daerah kecamatan atau kabupaten, bahkan provinsi, agar
nama kelmpok itu dikenal luas. Selain itu, pemimpin kumpulan penenun songket ini menentukan harga
produksi dan harga jual, menghitungnya agar diperoleh keuntungan atau laba, dan menyehatkan jalannya
organisasi bisnis ini. Bagi para pelanggan tetap, seorang pemimpin kumpulan songket harus
memperhatikan hubungan bisnis jauh ke depan, seperti boleh menghutang dahulu, memberikan diskon yang
pantas dan teknik-teknik pendekatan lainnya.
Perkembangan organisasi juga selalu dipengaruhi oleh faktor eksternal ekonomi makro, mikro, dan
internal. Faktor eksternal ekonomi makro yang dimaksud adalah seperti fluktuasi nilai tukar mata uang,
krisis ekonomi dunia, perdagangan bebas dan dampaknya, dan lain-lain. Faktor ekonomi mikro,
lingkupnya adalah secara nasional. Sedangkan faktor-faktor internal, adalah masalah yang dihadapi oleh
kumpulan penenun songket itu sendiri. Menurut keterangan Ibu Ratna, selama ia melakukan usaha songket
ini, yaitu sejak dekade 1970-an sampai sekarang ini, ia mengalami pasang surut perekonomian usahanya
tersebut. Keadaaan yang dirasakannya paling berat adalah ini disebabkan oleh peristiwa krisis moneter
internasional tahun 1997, yang juga melanda Indonesia. Pada saat itu, nilai rupiah yang awalnya hanyalah
Rp 2400.oo-an per dolar Amerika Serikat jatuh sampai ke level Rp 15.000,oo- dan per dolar Amerika
Serikat. Akibatnya benang-benang tenun yang diimpor dari Jepang sangatlah mahal harganya, yang
biasanya satu tungkul berharga Rp 5.000 menjadi Rp 15.000, sehingga keuntungan sedikit saja yang
diperoleh. Ibu Ratna menjelaskan hal ini seperti kutipan yang dituturkan berikut ini.
Dalam pengalaman hidup saya sebagai pengelola kelompok penenun songket Yusra ini tahun
1970-an, maka masa-masa paling sulit adalah terjadi ketika masa krisis moneter (krismon)
melanda Indonesia. Kami harus memciutkan atau mempersempit tenaga kerja yang awalnya
berkisar 50 orang menjadi sekitar 20 orang saja. Hal ini saya lakukan untuk menjaga agar
usaha ini terus berjalan. Namun akhirnya berkat ridha Allah, sejak tahun 2000-an usaha ini
sudah pulih kembali seperti sedia kala, bahkan sampai saat ini anggota penenun songket kami
mencapai 63 orang dan ini saya perkirakan akan berkembang lagi (wawancara penulis
dengan Ibu Ratna 10 Desember 2005).
Dengan demikian pengembangan organisasi songket ini menuruti perkembangan ekonomi dunia
yang terjadi di Indonesia dan dunia. Selain itu faktor penting lainnya dalam mengelola organisasi para
penenun songket adalah faktor keluarga. Artinya kelompok penenun songket selalu memilih keluarganya
untuk ikut berpartisipasi sebagai penenun dalam sesebuah kumpulan penenun songket, seperti yang
dilakukan oleh Ibu Ratna.
hakaman 25
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Selain faktor keluarga atau kerabat dalam mengembangkan organisasi penenun songket, Ibu Ratna
juga memilih beberapa faktor lain seperti faktor kemahiran12 bekerja dan moralitas. Faktor moralitas ini
dipentingkannya, karena bagaimanapun ia akan mendukung perkembangan kumpulan ini. Rasa menjadi
satu dalam sebuah organisasi perlu dibina sejak awal, agar organisasi berjalan lancar. Apabila ia mendapati
para anggota yang melakukan khianat, dusta dan penipuan, Ibu Ratna tak segan-segan memecat mereka dan
menggantikannya dengan yang baru. Namun tetap dengan pertimbangan yang matang dan dengan
musyawarah terbatas. Dalam sejarah ia memimpin kumpulan Yusra ini, baru dua kali saja ia melakukan hal
tersebut, karena secara garis besar budaya orang-orang Melayu di kawasan ini menjaga baik hubungan tadi
dan saling bahu-membahu dalam mengurus organisasi.
Selain faktor moralitas, pilihan lain adalah kemahiran bekerja, artinya setiap penenun haruslah
menjaga kualitas yang diinginkan oleh para pelanggan kain songket. Para penenun tidak dibenarkan
melakukan sesuka hatinya. Bahkan Ibu Ratna terus memberikan dorongan agar para pekerjanya menenun
dengan sebaik-baiknya dan kalau boleh bekerja dalam masa yang cepat sesuai dengan keinginan para
pembeli. Kemahiran ini juga menurut beliau tergantung dari individu-individu yang bekerja. Ada yang
lambat tetapi hasil tenunanya rapi dan berkualitas. Ada pula yang bekerja cepat dan hasil tenunannya
berkualitas. Namun ada yang bekerja cepat tetapi tenunannya tak berkualitas. Itulah masalah-masalah
pekerja yang dialami oleh Ibu Ratna, tetapi faktor kemahiran ini bukanlah faktor utama ia menerima para
pengrajin songket.
12
Yang dimaksud kecekapan dalam hal ini termasuk hal-hal seperti: kemahiran, keterampilan, kreativiti,
dalam menenun songket. Faktor kecekapan ini boleh diperoleh dari latihan-latiahan, belajar terus-menerus, tidak
pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehinya. Akhirnya mengarah kepada profesionalisasi pekerjaaan dan
kerjaya.
13
Upah minimum regional (UMR) adalah sebuah keputusan bersama antara pengusaha dan pekerja dalam
sistem organisasi perusahaan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Upah minimum regional ini adalah
ditentukan berasaskan kepada pemerintah daerah provinsi atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
dan mesyuarat antara pihak pengusaha dan tenaga kerja (buruh). Di Sumatera Utara upah minimun regional saat
awal dilakukan penelitian ini adalah Rp 760.000,oo.
hakaman 26
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
anak lelakinya bergiat sebagai penenun songket, kecuali beberapa bidang seperti menjadi ketua atau
pengusaha, sebagai penyalur atau pemasar songket, dan sebagai pembuat alat tenun okik.
Untuk menjaga agar kegiatan songket ini terus berkekalan, kami melakukan pendidikan atau
pengajaran kepada para penyongket generasi muda. Mereka kami cari dan kami bina di
kumpulan kami ini. Kami pun permisi kepada kedua orang tuanya agar tidak terjadi apa-apa di
kemudian hari. Alhamdulillah sampai saat ini usaha kami terus berkembang dan terus diminati
generasi muda, baik mereka yang masih sekolah ataupun yang sudah tamat. Bahkan beberapa
hakaman 27
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
di antara mereka mengumpulkan duit dan kemudian melakukan sekolah kursus keterampilan
menjadi mandiri sebagai penjahit atau membuat usaha songket sendiri (wawancara peneliti
dengan Ibu Ratna 11 Desember 2005).
Demikian uraian mengenai keberadaan organisasi songket yang ada di Desa Padang Genting, yang pada
prinsipnya mereka mendasarkan pola organisasi secara tradisional dan mampu menghadapi cabaran
ekonomi global.
6. Guna Songket
Bahagian ini akan mengkaji mengenai guna dan fungsi songket dalam kebudayaan Melayu.
Namun sebelumnya akan dikaji terlebih dahulu kedudukan pakaian dalam budaya Melayu. Pemakaian
songket biasanya disertai dengan perlengkapan-perlengkapan lainnya, seperti: kopiah, subang, geliya,
kerabu, rantai, gelang, selipar (selop), dan lain-lain.
hakaman 28
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
kaki. Konsep-konsep, aktivitas, dan artifak budaya tersebut menjadi bagian dari budaya tenunan songket,
termasuk di Batubara. Berikutnya kita kaji budaya tenunan songket Batubara.
Selain digunakan untuk busana pengantin Melayu, di Sumatera Utara songket juga digunakan untuk
pakaaian pengantin etnik Karo, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola, dan lainnya. Dalam
kebudayaan Karo menurut penjelasan dari Perikuten Tarigan (wawancara 11 Januari 2008), terdiri dari
pakaian pengantin perempuan dan pakaian pengantin laki-laki. Pakaian pengantin perempuan terdiri dari:
(a) tutup kepala, (b) baju kebaya, yang pada bahagian bahu sampai dada dilapisi kain songket dan selendang
khas Karo yang disebut uis gara, (c) kain, yang terdiri dari tiga lapisan, yang pertama songket, kedua kain
uis Karo, dan ketiga kain samping Karo). Disertai dengan perhiasan-perhiasannya. Sementara pakaian
pengantin lelaki Karo terdiri dari: (a) tutup kepala, (b) baju kemeja dengan dasi (tie), dibalut jas Eropa,
yang kemudian dibalut kembali dengan songket Melayu, (b) celana (seluar) panjang. Dilengkapi dengan
perhiasan-perhiasan.
Gambar 32: Pakaian Pengantin Melayu Sumatera Timur Menggunakan Bahan Songket
]
Penggunaan songket untuk pakaian pengantin tradisional Karo, ini menurut penjelasan informan
adalah bahwa songket dipandang memiliki nilai yang relatif tinggi di kalangan masyarakat Karo, Batak
Toba, Simalungun dan lainnya. Songket ini digunakan bersamaan dengan pakaian tradisional mereka.
Songket Melayu ini menjadi lambang status sosial. Songket Melayu dianggap berharga relatif mahal dan
kualitasnya baik. Selain itu, songket juga dianggap sebagai milik bersama antara rumpun Melayu di
nusantara ini Etnik-etnik di Sumatera memandang bahwa songket juga milik mereka, karena orang Melayu
adalah saudara satu rumpun dan budaya.
hakaman 29
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Salah satu guna songket adalah untuk kain sesamping, yang biasanya dipakai untuk lelaki. Kain
sesamping ini melengkapi pakaian tradisional Melayu untuk lelaki, yaitu baju cekak musang atau gunting
China, serta celana (seluar), disertai dengan sepatu atau kasut. Kain sesamping ini di Sumatera Utara pada
masa sekarang sangat umum dibentuk dengan menggunakan simpul yang dipandang memiliki nilai seni
tersendiri. Umumnya simpul tersebut dibentuk menyeruapi kelopak bunga.
7 Fungsi Songket
Selain penggunaan, maka secara nyata songket juga memiliki sumbangan fungsi yang lebih dalam
pada kebudayaan Melayu. Fungsi ini akan memberikan konsistensi internal ke dalam budaya Melayu,
yang akhirnya dapat mencapai kekekalan budaya Melayu. Artinya songket memiliki fungsi untuk
memberikan identiti khas bagi kebudayaan Melayu, dan akhirnya menjaga stabiliti kebudayaan Melayu.
Dalam pandangan penulis, fungsi-fungsi yang disumbangkan oleh budaya tenunan songket itu adalah
seperti yang akan diuraikan berikut ini.
hakaman 30
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
kepala kain di sebelah samping, maka ia adalah seorang bekas isteri atau janda. Dengan demikian songket
mengungkapkan nilai-nilai khasnya identitas dalam budaya Melayu.
Nilai-nilai lainnya yang wujud dalam songket adalah unsur kesopanan senantiasa dipelihara oleh
masyarakat Melayu. Songket sebagai bahagian dari kesopanan berbusana dalam konteks budaya Melayu.
Songket secara asasi menutup bahagian-bahagian aurat yang dianjurkan oleh agama Islam, yaitu seluruh
bahagian tubuh perempuan kecuali dua telapak tangan dan wajah, serta bagi lelaki adalah mulai dari perut
hingga kedua lutut kaki. Manakala dalam pakaian Melayu pula selain nilai-nilai menutup aurat, juga
ditambah dengan penutup kepala yang disebut sebagai destar maupun songkok bagi lelaki, kemudian kain
sesamping, baju dan seluar, serta kasut. Bagi perempuan pula dipakaikan sebagai kebaya atau gunting
China, atau juga busana muslim yang menutupi sebahagian besar tubuh. Ini menandakan sebagai
pengungkap nilai-nilai kesopanan.
Pantun di atas memberikan pengertian bahwa suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-
Angkola dan Pakpak-Dairi) yang awalnya beragama animisme atau Kristen, ketika masuk dan beralih
menukarkan agamanya kepada agama Islam ia disebut dengan masuk Melayu.
Ketika seorang yang bukan beragama Islam kemudian masuk Islam, dan menjadi Melayu. Maka ia
akan menuruti adat-istiadat Melayu, termasuk berbusana Melayu dalam konteks tertentu. Dengan ia
memakai busana Melayu yang di antaranya menggunakan songket, maka ia dianggap sebagai bahagian dari
masyarakat Melayu, dan menjadi bahagian masyarakat Islam sekali gus.
Pada budaya masyarakat Batubara, yang sebahagian nenek moyangnya adalah keturunan
masyarakat Batak, maka berbagai unsur kebudayaan Batak masih diteruskan, namun dengan asas utamanya
Melayu Islam. Bagi mereka yang telah beragama Islam, maka selalu menyatakan dan dianggap dirinya
sebagai orang Melayu di kawasan ini.
Masyarakat Batak yang telah menjadi Melayu ini, menurut penjelasan Ibu Ratna (wawancara 15
Januari 2006) suka memilih warna hitam dan merah untuk songket. Warna ini adalah warna yang paling
utama dalam budaya Batak. Dengan memakai songket yang berwarna kombinasi hitam dan putih ini maka
fungsinya adalah menunjukkan integrasi dan masuknya seseorang Batak menjadi Melayu Islam.
14
Wahana integrasi yang dimaksud adalah timbulnya rasa kebersamaan, rasa kesepunyaan, rasa
kesepemilikan dan rasa kesatuan dalam budaya. Selain itu dalam tunjuk ajar Melayu dikemukakan bahwa setiap
orang Melau wajib menjaga turai atau susunan sosial masyarakat Melayu, yang menjadi kesatuan dalam menjalani
kehidupan ini. Mnusia adalah makhluk sosial yang berkebudayaan.
hakaman 31
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Identitas Melayu ini diperkuat dengan ciri utama songket seperti bentuk, corak, motif, simpul atau
lipatan, warna, penggunaan, dan lain-lainnya. Melalui songket itulah sebahagian identitas Melayu mereka
pertahankan. Sebagai contoh, di kawasan Batubara, warna hijau pucuk pisang (hijau pupus) disebut
dengan warna Melayu, yang maknanya merujuk kepada identitas kemelayuan yang sangat kuat. Motif-
motif yang digunakan dalam songket juga mengisyaratkan makna-makna kemelayuan, yang penuh dengan
nilai-nilai. Motif pucuk rebung misalnya adalah tanda orang tahu dirinya dan hidup menjadi payung
keseluruh lingkungannya.
hakaman 32
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
memperkokoh jati dirinya di masa kini dan depan. Demikian pula yang terjadi dalam budaya songket
Batubara dalam konteks manusia yang menggunakan dan memfungsikannya.
Songket digunakan dalam berbagai aktivitas pada kebudayaan Melayu. Aktivitas itu terutamanya
berkaitan erat dengan adat. Bahwa masyarakat Melayu di Batubara memiliki empat stratifikasi adat, yaitu:
(a) adat yang sebenar adat, sebagai hukum Allah terhadap alam yang sifatnya mutlak; (b) adat yang
diadatkan, yaitu sistem kepimpinan dalam budaya Melayu; (c) adat yang teradat yaitu kebiasaan-kebiasaan
yang lama-lama diangkat dan dijadikan adat; serta (d) adat-istiadat yaitu bermakna upacara-upacara dalam
budaya Melayu.
Mengenai perlu dan harusnya memakai songket dalam budaya Melayu ini ditegaskan oleh Ibu
Ratna seperti berikut ini.
Penggunaan songket dalam berbagai kegiatan budaya Melayu biasanya selalu berkaitan erat dengan
adat yang dipergunakan. Misalnya saja orang Melayu, Jawa, atau Batak, jika ia menggunakan adat Melayu,
maka setiap orang yang terlibat harus menggunakan busana Melayu, termasuk di dalamnya menggunakan
songket. Dalam upacara ini songket dianggap sebagai suatu kewajiban meskipun tak ada peraturan yang tertulis
tentang hal itu. Yang penting upacara yang memakai adat Melayu, orang-orang yang terlibat di dalamnya harus
pula memakai busana Melayu, dan inti dari busana Melayu itu adalah songket. Pada saat sekarang ini di
Batubara penggunaan songket untuk kegiatan upacara terutama adalah dalam upacara perkahwinan adat-istiadat
Melayu, yang lainnya adalah untuk pesta khitanan, khatam Qur’an; melepas lancang; jamu sukut dan lain-lainnya
(Wawancara penulis dengan Ibu Ratna tanggal 6 Jun 2006)
Songket digunakan dalam berbagai aktivitas dalam budaya Melayu, terutama yang berkaitan
dengan adat-istiadat Melayu. Di antara aktivitas yang mengharuskan masyarakat Melayu menggunakan
songket di antaranya adalah pada:
(a) upacara perkawinan, yang terdiri dari pelbagai tahap dari merisik hingga ke pelaminan dan mandi
bedimbar;
(b) upacara sunat Rasul, yang dilakukan menurut norma-norma yang ada dalam kebudayaan Melayu;
(c) upacara menabalkan anak, yaitu sebuah upacara memberikan anak nama yang biasanya disertai
dengan akikah yang dianjurkan dalam agama Islam;
(d) upacara naik haji, yang terdiri dari melepas haji dan menyambut haji yang baru pulang dari tanah
suci Mekkah;
(e) upacara musabaqah tilawatil Qur’an yang dilakukan dalam berbagai peringkat wilayah, seperti
peringkat kabupaten, provinsi, dan nasional;
(f) upacara khatam Qur’an bagi para murid yang baru saja menamatkan mengaji Al-Qur’an;
(g) upacara melepas lancang atau jamu laut, yaitu suatu aktivitas masyarakat Melayu sebagai
ungkapan untuk membersihkan kampung dari marabahaya, seperti penyakit atau bencana alam;
(h) upacara gebuk, yaitu suatu aktivitas untuk mengubat penyakit yang diderita seseorang karena
puaka yang diturunkan oleh orang tua atau leluhurnya;
(i) upacara-upacara lainnya yang berkaitan dengan budaya Melayu, seperti pembukaan dan penutupan
Pekan Budaya Melayu, menyambut tetamu kehormat; dan banyak lagi upacara yang lainnya.
8. Kesimpulan
Hasil penelitian tentang keberadaan pembuatan tenunan songket dalam kebudayaan Melayu Batubara
adalah sebagai berikut. Songket Melayu Batubara di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri umum dan khusus
dalam konteks Dunia Melayu. Ciri-ciri umumnya adalah secara konseptual, aktivitas dan dalam bentuk
artefak adalah memiliki kesamaan–kesamaan dengan budaya songket di kawasan Melayu lainnya, seperti
yang ada di Semenanjung Malaysia (Terengganu, Kelantan, Pahang, Kedah, dan lainnya), juga di Riau,
Palembang, atau Borneo. Kesamaan-kesamaan itu boleh dilihat melalui ide yang terkandung di dalam
songket, motif-motif, warna, dan lainnya. Begitu juga dengan aktivitas membuat songket dengan
menggunakan teknologi yang sama yaitu menggunakan alat yang disebut kik atau okik.
Ciri khas atau perbedaan kebudayaan songket Batubara dengan kawasan lainnya adalah, bahwa
sesuai dengan lingkungannya, songket atau kain tenunan tradisional di Sumatera Utara menggunakan tiga
jenis alat, yaitu: okik untuk songket, partonunan untuk ulos, uis dan abit Batak, serta alat tenun bukan
mesin (ATBM) seperti yang disarankan pemerintah Indonesia. Ciri khas lainnya bahwa tenunan songket
Batubara selain digunakan oleh masyarakat Melayu, ia juga digunakan oleh etnik Karo, Batak Toba,
Simalungun dan lainnya yang di Sumatera Utara dan dipandang memiliki nilai-nilai kultural yang tinggi.
Songket Melayu juga digunakan sebagai asas untuk rekabentuk songket Karo dalam perkembangan
terakhir. Pelatihan atau belajar songket Batubara bersifat terbuka, yaitu boleh dilakukan oleh siapa saja,
hakaman 33
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
tidak terbatas pada golongan sosial tertentu saja. Selain itu masih ditemui motif naga berjuang yang
diperkirakan telah berusia ratusan tahun di kawasan ini.
Berdasarkan teknologi yang dipergunakan, sebahagian besar teknologi songket di Batubara ini
menggunakan teknologi tradisonal, yaitu dengan menggunakan alat tenun okik. Okik ini terdiri dari bagian-
bagian: gorub, karab, belero, belebas, papan pungguhan, cucak, sumbi, poso, tinjak, turak dan rahat.
Sementara unsur-unsur seperti benang dan pewarnaan benang diadopsi dari teknologi modern. Benang
diimpor dari Jepang melalui Jakarta.
Organisasi kelompok songket juga dilakukan menuruti sistem manajemen tradisonal, yang berbasis
pada aspek manajemen kekeluargaan—yang dibina berasaskan hubungan saling memiliki dan menjadi satu
keluarga besar. Organisasi ini dipimpin oleh seseorang yang dianggap memiliki keahlian mengorganisasi
dan sekaligus bertindak sebagai pemodal, dan juga menentukan pemasaran, dan mengontrol kualitas
songket yang dihasilkan. Sistem induk semang ini memungkinkan untuk mengembangkan usahanya selaras
dengan permintaan pasar yang berkembang dari zaman ke zaman.
Guna songket secara fisik adalah untuk baju, kain samping, sarung, selendang, bantal, bag, dompet
dan lainnya. Fungsi sosisobudaya songket di antaranya menurut penyelidik adalah untuk penjaga
kontinuitas dan stabilitas budaya Melayu, juga sebagai wahana integrasi dan masuknya seorang menjadi
Melayu, penguat identitas Melayu, sebagai penunjuk strata sosial dan sebagai ungkapan rasa cinta serta
pelbagai fungsi lainnya. Dalam kenyataannya, fungsi songket dalam kebudayaan Melayu Batubara yang
terutama adalah pada upacara yang bersifat sukacita, misalnya pada upacara perkawinan.
Akktivitas yang melibatkan penggunaan songket di antaranya adalah upacara perkawinan, sunat
Rasul, manabalkan, mengakikahkan dan menuruntanahkan anak, upacara melepas dan menyambut haji,
upacara musabaqah tilawatil Qur’an, khatam Qur’an, melepas lancang atau jamu laut, upacara gebuk dan
lainnya.
Kesimpulan-kesimpulan lain dari penelitian ini adalah seperti yang diperturunkan berikut ini. (1)
Sistem pembelajaran songket di Batubara sifatnya sangat terbuka, yaitu semua orang yang ingin belajar
songket diperkenankan, tidak bersifat rahsia sesama keluarga atau kelompok saja. (2) Di Batubara tidak
dipergunakan teknik pencelupan warna, karena warna yang dikehendaki bisa didapat dari warna-warna
benang yang dibeli dari Jakara. Namun di kawasan Karo dan Batak Toba telah dikenal pencelupan warna,
baik dengan teknologi tradisional maupun modern. (3) Dalam konteks etnisitas Melayu di Batubara, para
etnik yang telah masuk menjadi Melayu masih lagi mengekalkan prinsip warna yang berasal dari suku
nenek moyangnya, misalnya orang Mandailing-Angkola dan Batak Toba lebih banyak memilih warna
merah dan hitam untuk warna songketnya. (4) Songket di kawasan ini juga mencerminkan strata sosial
orang yang menggunakannya. Orang-orang kaya biasanya memakai songket yang berkualitas dan berharga
relatif mahal. Sementara kelas sosial menengah sosial ke bawah menggunakan songket sesuai dengan
kemampuan ekonominya. Sehingga songket yang diproduksi ada yang berharga relatif murah, sedang,
sampai yang berharga mahal. (5) Dalam rangka menjaga lestarinya songket, maka pemerintah kabupaten
Batubara menetapkan bahwa songket Batubara dijadikan souvenir (cendera mata) dan juga menjadi
bahagian dari dunia pariwisata di kawasan ini. (6) Songket Batubara menjadi salah satu pusat identitas
tenunan Melayu yang mewakili seluruh kawasan Melayu di Sumatera Utara dan Dunia Melayu pada
umumnya.
Bibliografi
Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd. Nefi Imran (penyelenggara), 2004. Busana Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka, Biro
Sosiobudaya Dunia Melayu Dunia Islam.
Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd Nefi Imran (penyelenggara), 2004. Busana Melayu Serumpun. Melaka: Institut Seni Malaysia
Melaka (ISMMA).
Andaya, Barbara Watson, 1987. The Cloth Trade in Jambi and Palembang During the 17th and 18th Centuries. New York: t.p.
Anderson, John, 1971. Mission to The East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.
Atlas Indonesia, 2005. Jakarta: Jembatan.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Terjemahan Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana,
Barney, 1989. Strategic Factor Markets: Expectations, Luck and Business Strategy. London: Management Science.
Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Hand Book of Qualitative Research. London: Sage Publication.
Erna Damayanti, 2000. Sejarah Pertumbuhan Kain Songket Palembang. Palembang: Skripsi Fakultas Adab IAIN.
Fisher, C.A. 1977. “Indonesia: Physical and Social Geography.“ The Far East and Australasian 1977-78: A Survey and Directory of
Asia and Pacific. London: Europe Publications Ltd.
Eerde, J.C. van, 1920. De Volken van Nederlansch-Indie. Amsterdam: Mij Elsevier.
Gillin, J.L dan J.P. Gillin, 1954. For A Science of Social Man. New York: McMillan.
Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 1994. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss
Hall, D.G.E., 1988. Sejaah Asia Tenggara. (Terjemahan Soewarsa).. Surabaya: Usaha Nasional.
Hamka, 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
hakaman 34
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Harsya W. Bachtiar, 1991. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat
(Koentjaraningrat ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hasbullah Ma’ruf, 1977. Naskah Cara-cara Nikah-Kawin Adat Melayu Sumatera Timur. Medan.
Haviland, William A. 1988. Antropologi. (Terjemahan R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga.
Haziyah Hussin, 2003. “Peranan Songket dalam Perkahwinan Melayu: Golongan . Istana dan Rakyat Biasa.” Jurnal Arkeologi
Malaysia. Bil. 17, Oktober 2003.
Haziyah Hussin, 2006. Motif Alam dalam Batik dan Songket Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Heri Junaidi, 1995. Kerjasama Usaha Seni Tekstil Songket di Palembang. Palembang: Skripsi Fakultas Syariah IAIN Raden
Fatah.
Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knoft.
Herman, V.J., 1990. Seni Ragam Hias pada Kain Tenun. Mataram: Deparemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1984. Sociology, edisi kelapan. Michigan McGraw-Hill. Terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1993. Sosiologi. (Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari). Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld and Nicolson.
Ismail Husein, 1984. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kasim Ahmad (penyelenggara), 1966. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kiagus Zainal Arifin, 2006. Songket Palembang: Indahnya Tradisi Ditenun Sepenuh Hati. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1980a. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaraningrat, 1980b. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1980c. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Lah Husni, 1977. Butir-butir Adat Melayu Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.
Lauer, Robert. H. 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, terj. Alimandan
Lekkerkerker, C., 1916. Land en Volk van Sumatra. Den Hag: J.B. Wolters.
Lorimer, Lawrence T. dkk. (eds.), 1991. Encyclopedia of Knowledge. Danbury, Connecticut: Grolier Incorporated.
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” Teori Antropologi. Koentjaraningrat (penyelenggara). Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Marckwardt, Albert H. dkk. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary. Chichago: J.G. Ferguson Publishing Company.
Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to a National Performance Tradition. (disertasi Ph.D.).
Michigan: The University of Michigan.
Mohd Yusof Md Nor (penyelenggara), 1984. Salasilah Melayu Bugis. Putra Jaya: Fajar Bakti.
Muhammad Takari dan Fadlin dkk., 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia Kultura.
Nelson P.A., C. Treichler dan L. Grossberg, 1992. “Cultural Studies.” Cultural Studies. C.Treichler Nelson P.A. dan L. Grossberg
(eds.). New York: Rouledge.
Norwani Mohd. Nawawi, 2002. Songket Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Sentuhan Sutra Mengawal Songket Batubara, Waspada, p. 22.
Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Songket Batubara Melintasi Generasi Ketiga, Waspada, p. 22.
hakaman 35
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara
Steward, Julian H., 1976. Theory of Culture Change: the Methodology of Multilinear Evolution. London: University of Illinois Press.
Suwati Kartiwa, 1996. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Syed Alwi Sheikh Al-Hadi, 1986. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pelajaran Malaysia.
Tenas Effendy dkk., 2004. Corak dan Ragi: Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
bekerjasama dengan Penerbit AdiCita.
Tengku Luckman Sinar, 1986. Sari Sejarah Serdang. Medan.
Tengku Luckman Sinar, 1980. Ragam Hias Melayu Sumatera Timur. Medan: Perwira.
Tengku Luckman Sinar, 1994. Jati Diri Melayu. Medan: Majelis Adat dan Budaya Melayu Indonesia.
Tengku Muhammad Lah Husni, 1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
T.O. Ihromi, 1981. Pokok-pokok Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Aksara.
Umar Junus, 1984. Sejarah Melayu Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar Bakti.
Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Volker, 1928. Van Oerbosch tot Cultuurgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging
Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Wanda Warning dan Michael Gaworski, 1970. The World Indonesia Textiles. Tokyo: Kodansha International Ltd.
Withington, W.A., 1963. “The Distribution of Population in Sumatra, Indonesia, 1961.” The Journal of Tropical Geography, 17.
Zainal Abididin Borhan dkk. (penyelenggara), 1990. Adat-istiadat Melayu Melaka. Kuala Lumpur: Institut Kajian Sejarah dan
Patriotisme Malaysia, Kerajaan Negeri Melaka dan Akademi Pengajian Melayu.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama: Hajjah Ratna binti Abdul Thalib, Umur: 49 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket Yusra, Alamat rumah:
Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonsia.
2. Nama: Zuraidah binti Abdullah, Umur: 42 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket, Alamat rumah: Desa Padang
Genting, Dusun IV, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
3. Nama: Asmah binti Aiyub, Umur: 47 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket, Alamat rumah: Desa Padang Genting,
Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
4. Nama: Wan Sahib bin Wan Adnan, Umur: 52 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket, Alamat rumah : Desa Padang
Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
5. Nama: Suhaimi bin Tajuddin, Umur: 38 tahun, Pekerjaan: Sekretaris Desa Padang Genting, Alamat rumah : Desa Padang
Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
6. Nama: H. Yusufuddin bin Noer, Umur: 51 tahun, Pekerjaan: Polis Pengaman Laut Indonesia, Alamat rumah: Desa Padang
Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
7. Nama: Tengku Syahdan bin Tengku Abdul Aziz, Umur: 74 tahun, Pekerjaan: Ketua Telangkai Sumatera Utara, Alamat rumah:
Jalan Yos Sudarso, Medan Glugur, Indonesia
8. Nama: Encik Tairani binti Suhaimi, Umur: 71 tahun, Pekerjaan: bidan pengantin, Alamat rumah: Desa Batang Kuis Pekan,
Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
hakaman 36