Anda di halaman 1dari 3

Essai potensi desa

Oleh : Ully Via Hermawati

Sebuah desa yang letaknya berada dipinggiran kota, lebih tepatnya Desa Tuliskriyo
Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. Desa yang jalan utamanya jalan provinsi, apabila
berpergian ke kota sebelah seperti Tulungagung, Trenggalek, dan Jawa Tengah pasti
melewati desa ini. Sisi yang berbatasan langsung dengan sungai brantas. Terletak tepat di
sebelah utara Jembatan dua arah yaitu Jembatan Kademangan. Desa yang memiliki peran
penting sebagai penghubung Blitar Selatan dan Blitar Utara. Desa ini tidak terlalu luas,
terdiri dari 4 dusun yaitu Dusun Tuliskriyo (Krajan), Dusun Nglegok, Dusun Sukowinangun,
dan Dusun Boro. Terletak di ujung selatan dari Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
Letaknya yang pinggiran kota, masyarakat di desa ini memiliki kehidupan yang cukup
modern.

Desa Tuliskriyo ini dipimpin oleh bapak Mashuri S.pdi selaku kepala desa Tuliskriyo
kecamatan Sanankulon kabupaten Blitar yang baru dilantik Januari 2020 kemarin. Bapak
Mashuri memiliki banyak program kerja yaitu revitalisasi pemukiman, juga berfokus pada
pemberdayaan masyarakat. “Untuk pembangunan fisik, kami fokuskan di saluran untuk
pertanian, Infrastruktur jalan untuk memperlancar perekonomian, khususnya masyarakat
petani, sedangkan untuk penataan pemukiman kami fokuskan untuk pembangunan rumah
bagi masyarakat yang kurang mampu dan jambanisasi,” ujarnya.

Ditemani dua kakak sepupu dan bude saya, berkeliling pagi hari di desa ini. Maklum, saya
bukan asli sini. Bertanya-tanya kepada bude saya ini dulu tempat apa ini rumah siapa, serta
bertanya sejarah desa ini. Kata bude, dahulu pada akhir perang Diponegoro. Banyak
pengikut Diponegoro yang mengungsi ke Jawa Timur dan membabat atau mendirikan desa-
desa. Salah satu tokoh perang Diponegoro bernama mbah Pari yang mengungsi hingga ke
desa Tuliskriyo saat ini. Saat rombongan bermaksud mendirikan desa, mereka menemukan
batu tulis seperti prasasti. Keberadaan batu tulis tersebut diabadikan menjadi nama desa
Tuliskriyo. Batu tulis ini disimpan di halaman kantor desa Tuliskriyo.

Desaku ini memiliki salah satu peninggalan sejarah, yaitu Arca Dewa Ganesha, tepatnya di
Dusun Boro. Arca ini cukup memiliki banyak sejarah, dulunya arca ini tidak terletak di Dusun
Boro. Menurut Juru kunci dari arca tersebut, arca ini berasal dari desa Jimbe yang letaknya
tak jauh juga dari Desa Tuliskriyo. Konon setelah dipindahkan ke aloon-aloon Blitar, tiba-tiba
secara misterius arca ini menghilang dan berpindah di Dusun Boro.

Bentuk arca ini cukup unik, dari depan terpahat nampak seperti wujud Ganesha seperti
pada umumnya. Namun dari belakang terpahat nampak seperti Mahakala yang
menyeramkan. Ukuran arca ini cukup besar, panjang 107 cm, lebar 110 cm, dan tinggi 168
cm. ganesha adalah anak dari Siwa dan Parwati. Secara umum Ganesha dikenal sebagai
Dewa ilmu pengetahuan. Hal ini digambarkan dengan belalainya yang menghisab isi
mangkuk, ibarat orang yang selalu haus akan ilmu. Ganesha juga disebut dewa penghalau
rintangan. Oleh karena itu, banyak ditemukan di perempatan jalan, tempat-tempat angker
dan di pinggiran sungai.

Di dusun boro ini tepatnya di pinggir jalan raya, terdapat ruko-ruko atau kios yang dimiliki
oleh pemerintah desa. Ruko-ruko ini disewakan kepada penyewa. Terdapat kurang lebih 10
ruko yang berjejeran rapih menghadap ke timur. Letaknya yang strategis, dengan tempat
parkir yang cukup luas, dan letaknya di pinggir jalan raya jalan utama provinsi, membuat
bisnis sewa ruko ini menjadi banyak konsumen. Tepat di belakang ruko-ruko, terdapat
hamparan sawah yang sangat luas. Kabarnya, sawah-sawah ini akan diubah menjadi
pemandian atau tempat wisata kolam renang. Potensinya sangat tinggi, karena letaknya
yang strategis dan terdapat aliran sungai yang cukup memadai untuk dijadikan wisata
pemandian.

Setelah menyusuri Dusun Boro, beralih ke Dusun Tuliskriyo atau Krajan. Dusun ini bisa
dikatakan sebagai pusat dari Desa ini. Karena letak dari kantor Desa Tuliskriyo berada di
Dusun ini. Dusun Tuliskriyo ini terletak di sebelah utara paling timur, berbatasan langsung
dengan Gapura perbatasan antara Kota dan Kabupaten Blitar. Di Dusun ini terdapat
Madrasah Diniyah. Di sore hari, banyak anak mengaji di TPQ Al-Furqon dan di malam hari.
Anak didik di madrsah ini cukup banyak karena cukup memiliki “nama” yang terkenal.
Banyak lulusan dari madrasah ini yang menjadi ulama atau tokoh desa. Karena anak
didiknya juga terdapat dari luar daerah.

Rumahku terletak di dusun ini. Sambil berjaln-jalan kami melihat pemandangan sawah yang
cukup asri. Kita menyusuri sawah dan melihat terdapat pabrik daur ulang plastic. Pabriknya
cukup luas, dan karyawannya pun memperkerjakan warga sekitar. Di sebelah barat pabrik
tersebut terdapat dua kolam ikan yang cukup luas. Setelah aku tamati ternyata terdapat
ikan koi di dalamnya. Namun sayang, kolam ini tidak cukup terawat, sehingga banyak ikan
yang terapung atau mati. Di area persawahan, terdapat berbagai macam tanaman, ada padi,
jeruk, tomat, kangkung, belimbing, cabai, sawi, dan lain-lain. Dusun ini memiliki potensi
yang cukup baik juga di bidang pertanian.

Setelah menyusuri area persawahan, kita melanjutkan jalan-jalan pagi kita ke dusun
Nglegok. Sebelum menyusuri dusun Nglegok, kita melewati salah satu rumah warga yang
budidaya jamur tiram. Sambil beristirahat di kali cilik depan rumah warga tersebut, kami
duduk-duduk di pinggiran kali dan menyelonjorkan kaki karena telah melakukan perjalanan
yang lumayan jauh dengan berjalan kaki. Setelah beristirahat kurang lebih 15 menit, kami
melanjutkan jalan-jalan kami ke Dusun Nglegok.

Dusun Nglegok, terdapat wisaa religi karena adanya makam dari salah satu habib. Habib
achmad alwi as-segaf pendakwah Islam asal Hadramaut, Yaman, ini masih memiliki garis
keturunan Nabi Muhammad SAW, ke-34 melalui Syayidina Husain. Saat masih hidup dikenal
sangat dermawan, dan sarana dakwahnya adalah berdagang sambil membawa dokar.
Sebelum menikah di Desa Tuliskriyo, Kecamatan Sanankulon, Habib Achmad, telah menikah
di Surakarta dan dikaruniai empat putri dan seorang putra.

Kedatangannya di wilayah Blitar, karena pesan Habib Munir, kerabat yang lebih dulu tinggal
dan menikahi Bu Pir, perempuan Desa Tuliskriyo, dan kemudian kembali ke tanah
kelahirannya di Hadramaut, Yaman. Habib Achmad mendapatkan amanat agar mendatangi
Desa Tuliskriyo, untuk menemui seorang anak Habib Munir, yakni Umi Khulsum dan
akhirnya diperistri, namun tidak dikaruniai anak. Habib Achmad wafat pada 1951 dan
dimakamkan di belakang Masjid Riyadhlotus Sholikin, di Desa Tuliskriyo. Haul Habib Achmad
biasanya diagendakan setiap akhir Syawal, selain itu setiap Kamis Kliwon malam Jumat Legi,
juga digelar tahlilan dan salawatan bersama.

Makam ini dapat dijadikan tempat wisata religi, seharusnya pemerintah desa lebih
memaksimalkan pariwisata yang ada di Desa ini. Kerana potensinya yang cukup bagus dan
memadai.

Anda mungkin juga menyukai