Anda di halaman 1dari 5

Menelusuri Jejak Wayah Kaki di Kabupaten Banyumas

Dari luar, rumah Monoto Dharmo (33) tampak tidak jauh berbeda dengan rumah warga lain di Desa Klinting Kecamatan Somagede kabupaten Banyumas. Namun begitu memasuki ruang tamu, suasana pun sedikit berubah. Beragam hiasan bernuansa Hindu

mengiasi dinding-dindingnya, mulai dari lukisan hingga poster-poster. Bahkan pria berkulit sawo masak ini pun menghias pintu ruang tengahnya dengan lambang omkara. Lambang suci simbol trimurti dalam ajaran Hindu. Minoto memang merupakan salah satu warga penganut Agama Hindu di Desa Klinting. Desa ini merupakan desa dengan konsentrasi umat Hindu terbesar di Kabupaten Banyumas. Menurut data monografi Desa Klinting 2008, umat Hindu di desa ini tercatat sebanyak 123 jiwa. Dari populasi sebanyak itu, sebagian besar bertempat tinggal di Dusun Wanasara, dusun yang dipimpin Minoto. Desa Klinting merupakan desa yang terletak di salah satu puncak Gunung Kendeng. Untuk menuju desa ini, harus melewati jalan berkelok dan naik turun. Hijaunya hutan dan perkebunan di kanan kiri jalan menyejukkan siapapun yang memandangnya. sejuknya udara pegunungan, membuat suasana desa terasa begitu asri. Sebenarnya Hindu di sini masih baru Mbak, baru masuk tahun 1987. Sebelumnya sebagian masyarakat menganut wayah kaki, terang ayah dua anak ini. Ditambah

Wayah Kaki di Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru, hanya ada lima agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu dan Budha. Sementara itu, Indonesia memiliki keyakinan dan kepercayaan yang begitu beragam. Hampir setiap daerah dan suku di

Indonesia memiliki sistem kepercayaan tersendiri. Batak dengan kepercayaan parmalim, Kaharingan di Kalimantan, dan masyarakat Jawa dengan Kejawen. Sikap pemerintah yang hanya mengakui lima agama besar sebagai agama resmi pemerintah, membuat para penganut kepercayaan lokal kewalahan. Mereka akan mengalami

kesulitan untuk memenuhi hak sebagai warga negara. Pemerintah menganjurkan mereka untuk berpayung pada salah satu agama resmi, jika ingin hak mereka sebagai warga negara terpenuhi. Umat Hindu di Desa Klinting merupakan salah satu masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan tersebut. Sebelum memeluk agama Hindu, sebagian masyarakat Desa Klinting merupakan penghayat kepercayaan wayah kaki. Wayah kaki merupakan salah satu dari sekian banyak aliran kejawen di tanah Jawa. Kepercayaan ini berpusat di Desa Karang Cengis, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Para penganutnya biasa mengadakan persembahyangan atau persemedian di Gunung Srandil setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Wayah kaki berasal dari bahasa jawa, yang jika diterjemahkan secara harafiah berarti cucu kakek. Kakek dalam kepercayaan mereka maksudnya adalah Eyang Semar sebagai Sang Pepunden1. Oleh karena itu para penghayat wayah kaki seringkali menyebut Semar sebagai Pepunden atau Kaki. Sedangkan para penghayatnya menyebut diri mereka sebagai wayah atau cucu dari Semar. Dalam ajaran wayah kaki, Semar itu bukan cuma tokoh pewayangan. Semar benarbenar dianggap pernah ada dan telah meninggal. Sampai saat ini makamnya masih ada di Gunung Srandil dan terawat dengan baik. Makamnya dikeramatkan sekali, tutur Minoto.

Perpindahan Agama Ketika pemerintah menghimbau masyarakat agar memeluk salah satu agama resmi, para penganut wayah kaki pun langsung merespon. Mereka mengadakan persembahyangan bersama di Gunung Srandil pada tanggal 7 Maret 1987. Para penghayat memohon petunjuk pada Sang Pepunden agar diberi jalan keluar yang terbaik. Menurut Sawirejda (67), sesepuh umat Hindu Desa Klinting, peserta sembahyang datang dari berbagai pelosok kota. Peserta kebanyakan berasal dari daerah sekitar Kabupaten Cilacap, seperti Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Kebumen. Ranameja (almarhum) merupakan salah satu peserta dari Banyumas. Ia merupakan sesepuh desa yang sangat disegani.

Leluhur atau yang dianggap sesepuh sebuah masyarakat. dikeramatkan.

Mereka sangat dihormati bahkan seringkali

Wekdal menika almarhum Pak Rana memperoleh wangsit saking Kaki. Terosipun sedaya penganut wayah kaki supados mengayom terhadap Agama Hindu untuk memperoleh ketenteraman batin. (Waktu itu saat bersembahyang almarhum Pak Rana memperoleh wangsit dari Kaki Semar . Katanya seluruh penganut wayah kaki agar berpayung pada Agama Hindu untuk memperoleh ketenteraman batin, terang Sawiredja dalam bahasa Indonesia bercampur Jawa. Kakek yang bekerja sebagai pengambil nira kelapa ini dahulu sangat dekat dengan almarhum Ranameja. Apalagi mereka sama-sama didapuk sebagai orang yang dituakan atau sesepuh desa. Almarhum Ranameja atau yang biasa disapa Pak Rana, adalah tokoh yang sangat dihargai di Desa Klinting. Ia merupakan sesepuh wayah kaki di Desa kecil tersebut. Oleh sebab itu, ketika beliau menghimbau masyarakat agar beralih pada Agama Hindu, masyarakat desa dengan cepat mengikuti. Apalagi Agama Hindu dianggap paling sesuai dan memiliki banyak kemiripan dengan ajaran mereka sebelumnya. Ketika para penganut wayah kaki merasa telah mantap untuk memeluk Hindu, pihak PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) akhirnya mengadakan pensudian. demikian, mereka pun resmi memeluk Agama Hindu. Dua tahun setelah Hindu memasuki Desa Klinting, Ranameja merasa sudah seharusnya desa tersebut memiliki pura sendiri. Akhirnya sebelum wafat beliau mewakafkan sebidang tanah untuk dibangun sebuah pura. Pura tersebut kemudian diberi nama Pura Pedaleman Giri Kendeng, dan merupakan pura pertama di Kabupaten banyumas. Saking kersane Pak Rana niku dipunparingi jeneng Pura Giri Kendeng. Nanging saking sesepuh wayah kaki Binangun, supados dipuntambahi kene luwes. dipuntambahi Pedaleman, amargi wonten pedaleman. Dados Dengan

Pura Pedaleman Giri Kendeng.

(Menurut kehendak Pak Rana itu diberi nama Pura Giri kendeng. Namun dari sesepuh wayah kaki Binangun, supaya ditambah agar luwes. Jadi ditambah Pedaleman, karena letaknya yang dipedalaman. Pura Pedaleman Giri Kendeng). Sawiredja menerangkan dengan lancar.

Jejak Wayah Kaki Meskipun telah menganut Hindu, bukan berarti masyarakat Desa Klinting tidak menyisakan ajaran mereka sebelumnya. Jika para pemeluk Hindu di Bali ataupun Lombok

memiliki Sanggah Pamerajan sebagai tempat ibadah keluarga, maka umat Hindu di Klinting memiliki pesucen. terletak di dalam. Di rumah Minoto, pesucen terletak di ruang tengah. Pesucen di rumah Minoto Berbeda dengan sanggah yang terletak di halaman rumah, pesucen

merupakan sebuah ruang kecil tempat ia dan keluarganya bersembahyang. Di ruangan itu hanya terdapat sebuah meja tempat meletakkan sesaji, dan tikar sebagai alas duduk. Sebuah patung Ganesha diletakkan di meja, berdampingan dengan sesaji. Keharuman dupa dan kemenyan semerbak hingga ke luar ruangan. bebanten pun tampak sangat lengkap di dalam pesucen. Sesaji atau

Rupanya setiap malam Selasa

Kliwon dan Jumat kliwon, masyarakat Hindu di desa itu memang meletakkan sesaji yang lebih lengkap dari biasanya. Dupa dan kemenyan yang dibakarpun akan lebih banyak. Sebenarnya kalau ngasih sajen lebih lengkap setiap Selasa kliwon dan Jumat Kliwon itu kebiasaan wayah kaki Mbak. Pesucen itu juga peninggalan wayah kaki. Dulu waktu masyarakat desa masih memeluk wayah kaki, kita sembahyangnya di pesucen. Biarpun sekarang sudah memeluk Hindu, tapi tempat sembahyang tidak diganti. berdoanya yang beda, ungkap Minoto. Lebih jauh lagi, Kepala Dusun ini menerangkan bahwa kebiasaan wayah kaki memang tidak benar-benar ditinggalkan masyarakat. Sebagian dari mereka masih Hanya cara

menyambangi Gunung Srandil di hari tertentu untuk bersembahyang. Pada Pura Pedaleman Giri Kendeng, kita juga masih dapat melihat jejak wayah kaki. Di belakang pintu masuk madya mandala (halaman tengah pura), terdapat arca Semar, Sang Pepunden wayah kaki. Di utama mandala (halaman inti pura) juga terdapat sebuah candi yang bernama panglurah. Candi atau pelinggih panglurah merupakan satu dari tiga candi di utama mandala. Panglurah diartikan sebagai pamong lurah. Pamong lurah yang dimaksud adalah Semar. Jadi selain menghuni madya mandala yang terletak di bawah, semar juga disimbolkan di utama mandala yang terletak di atas. Secara filosofis, mereka ingin

menunjukkan bahwa Semar bisa berada di atas, bisa juga di bawah. Sebagaimana tokoh Semar dalam pewayangan yang merakyat sekaligus dihormati semua kalangan. Masyarakat Hindu Desa Klinting memang memiliki cara sendiri dalam beribadah. Namun perbedaan tersebut tidak dianggap masalah bagi mereka. Umat Hindu memiliki

prinsip desa kala patra. Semua disesuaikan dengan adat, situasi serta kondisi setempat. Bagi mereka, ada keindahan tersendiri dalam setiap perbedaan. (Titik yulianti).

Anda mungkin juga menyukai