Anda di halaman 1dari 8

Asal-Usul Desa Sindanghaji

Dikisahkan perkiraan pada abad XVII, di masa perkembangan Agama


Islam di Tatar Jawa Dwipa terutama di Kerajaan Cirebon, berangkatlah para
pembawa dan penyebar ajaran Agama Islam menuju tatar kulon Cirebon (Wilayah
Barat Cirebon). Rombongan pengembara itu terdiri dari 15 orang, dan dalam
perkembangan selanjutnya merekalah yang mewarnai tata kehidupan sosial,
agama, budaya, dan adat istiadat masyarakat Desa Sindanghaji dan sekitarnya
pada masa itu. Adapun para pengembara itu adalah :

1. Buyut Pernata kusuma

2. Buyut Sura Menggala

3. Buyut Sangkin

4. Buyut Simah

5. Buyut Kimbar

6. Buyut Kinayu

7. Buyut Samidin

8. Buyut Jati

9. Buyut Amal

10. Buyut Natasari

11. Buyut Girang panganten

12. Buyut Matang haji

13. Buyut Rangga Kamasan

14. Buyut Kedut

15. Buyut Babut


Para pengembara memasuki wilayah barat Cirebon yang pada waktu itu
sebagian besar daerahnya masih berupa hutan belantara, masih jarang
penduduknya. Mereka beristirahat, membabat hutan untuk dijadikan tempat
tinggal yang pada perkembangan selanjutnya menjadi pemukiman dan lahan
bercocok tanam. Para pengembara itu diperkirakan bermukim di tempat yang
berbeda tapi tidak terlalu jauh. Asumsi ini berdasarkan bukti-bukti, bahwa
makam para pengembara di atas terletak di tempat / desa yang berbeda.

Dalam perjalanan pengembaraan mereka, sampailah pada sebuah hutan.


Salah seorang pengembara yang bernama Buyut Matanghaji memprakarsai
pembabatan dan pembukaan hutan itu, karena beliau merasa tempat itu layak
untuk dijadikan tempat istirahat bahkan pemukiman yang nyaman. Tanahnya
subur, dekat sungai dan terdapat mata air. Maka pada perkembangan mayarakat
selanjutnya tempat tersebut dinamakan “Sindanghaji”, berasal dari dua kata
“sindang” (bhs.sunda) artinya mampir atau istirahat, dan “haji” nama pendek
dari Buyut Matanghaji. Demikian ceritera dari beberapa sumber, se-kilas
kronologis kenapa tempat tersebut dinamai Sindanghaji.

Dalam catatan yang merupakan arsip berharga yang disimpan di kantor Desa
Sindanghaji Wilayah Sindanghaji dalam kepemimpinan Demang Eon mengalami
kemajuan yang pesat. Pusat Pemerintahan diberi nama Dayeuh (bhs.sunda) yang
berarti pusat pemerintahan, lokasinya antara Dukuh Bak dan Dusun Tegalmerak
sekarang. Hal ini diperkuat dengan adanya tempat yang dinamai Sawah Alun.
“Alun” (bhs.sunda) artinya suatu lapangan atau lahan yang berada di sekitar pusat
pemerintahan. Lokasinya berada sekitar 500 meter arah utara dari Pusat
Pemerintahan Desa Sindanghaji saat ini. Bukti lainnya adanya suatu tempat
yang dinamai Telar Dayeuh. Telar dari kata “tetelar” (bhs.Sunda) artinya tegalan,
“dayeuh” (bhs.sunda) artinya pusat pemerintahan. Lokasinya sekitar satu
kilometer ke arah utara dari sawah alun. Masa kepemimpinannya berakhir pada
tahun 1814, sedangkan tidak ada catatan yang menyatakan kapan awal
Pemerintahan Demang Eon, dan tidak ada bukti juga keterangan kalau Demang
Eon dimakamkan di Desa Sindanghaji.
Lokasi makam para pengembara dari Cirebon itu diantaranya: Buyut Pernata
Kusuma dimakamkan di bagian timur – selatan Desa Patuanan, yaitu tetangga
Desa Sindanghaji sebelah timur. Buyut Suramenggala, dimakamkan di
perbatasan Desa Patuanan dan Desa Nanggerang. Menurut letak geografisnya
separoh Wilayah Desa Patuanan Bagian Selatan dan Bagian Timur berbatasan
dengan Desa Nanggerang. Buyut Sangkin, dimakamkan di Kampung
Cikawah,ujung timur dan selatan Desa Sindanghaji yang berbatasan dengan Desa
Parakan. Buyut Simah dimakamkan di lokasi yang sama dengan Buyut Pernata
Kusuma. Buyut Winayu dimakamkan di Dukuh Duwur, wilayah Desa Patuanan
bagian tengah perbatasan Sindanghaji. Buyut Jati dimakamkan di Dukuh Luhur
Desa Patuanan, sekitar limaratus meter ke arah utara dari letak makam Buyut
Winayu. Buyut Girang Panganten, Buyut Rangga Kamasan terletak di
Pemakaman Kabuyutan yang terletak di Desa Sindanghaji tapi agak terpisah dari
komplek pemakaman umum. Buyut Rangga Kamasan terletak di Pemakaman
(astana) Hulu Dayeuh yang sekarang menjadi wilayah Desa Tarikolot. Dalam
keterangan selanjutnya dijelaskan, bahwa Desa Tarikolot merupakan pemekaran
dari Desa Sindanghaji pada tahun 1901 dimasa kepemimpinan Haji Mansur
(1880-1919).

Melihat letak pemakaman para pengembara penyebar ajaran Agama Islam


yang berasal dari Kerajaan Cirebon, ternyata berada di Wilayah Sindanghaji dan
Wilayah Patuanan, diyakini bahwa pada jaman itu Desa Sindanghaji dan Desa
Patuanan merupakan sentral penyebaran ajaran Islam. Ada satu keyakinan di
kalangan dan generasi masyarakat tertentu, bahwa beberapa bukti makam yang
ada di wilayah ini seperti Buyut Jati dan beberapa tokoh lainnya, itu hanya
merupakan petilasan (bekas tinggal dan istirahat), sedangkan makam aslinya ada
di tempat lain. .

Dalam perkembangan selanjutnya sindanghaji dijadikan nama desa dengan


Kepala Desanya Kuwu Boja (1814-1844). Kuwu Boja memimpin Desa
Sindanghaji kurang lebih selama 30 tahun. Desa Sindanghaji yang tercatat dalam
sejarah adalah memindahkan Pusat Pemerintahan/ Kantor Pemerintahan dari
Tegalmerak ke lokasi yang posisinya ada di tengah-tengah Wilayah Sindanghaji,
yaitu tanah milik beliau. Tidak ada keterangan beliau kapan wafat, tapi beberapa
narasumber dan penulis menyimpulkan akhir kepemimpinan Kuwu Boja itulah
akhir hayatnya, karena pada jaman itu rakyat begitu hormat pada pemimpinnya.
Kuwu Boja yang biasa disebut Embah Boja wafat tahun 1844 dimakamkan di
Pemakaman Kabuyutan.

Tampuk pimpinan pemerintahan Desa Sindanghaji selanjutnya dipegang oleh


H. Kodir (1844-1879), beliau wafat pada tahun 1879 dan dimakamkan di
Pemakaman Kabuyutan. Asripudin (1879-1880), beliau menjabat Kuwu
Sindanghaji selama satu tahun. Haji Mansur (1880-1919), selama kurang lebih 39
tahun beliau memegang tampuk pimpinan. Pada tahun 1901, dimasa
kepemimpinan Haji Mansur karena jumlah warga Desa Sindanghaji melebihi
batas dalam aturan kependudukan pada jaman itu, juga wilayahnya terlalu luas,
maka Desa Sindanghaji dimekarkan (dipecah) menjadi dua desa. Desa yang baru
diberi nama Tarikolot (Desa Tarikolot). Haji Mansur diperkirakan wafat tahun
1919 dan dimakamkan di Belakang Mesjid Jami Sindanghaji.

Kuwu Warsita yang biasa dipanggil Kuwu Repas, memegang tampuk


kepemimpinan sebagai Kuwu Sindanghaji, dari tahun 1919-1923. Beliau
mengakhiri jabatannya karena meninggal dunia pada tahun 1923. Dari tahun 1923
– 1925 Kuwu Sindanghaji dijabat oleh Bapak Sayi. Dimasa kepemimpinannya
Kuwu Warsita/Kuwu Repas merintis dan memprakarsai upaya pembangunan
Jembatan Cikamangi. Jembatan Cikamangi ini menghubungkan langsung Desa
Sindanghaji dan Desa Patuanan, juga sebagai sarana pendistribusian hasil
pertanian ke Pasar Leuwimunding bukan saja dari Desa Sindanghaji, tetapi juga
dari Desa Tarikolot, Waringin dan Weragati.

Dari tahun 1925-1947, selama duapuluh dua tahun tampuk kepemimpinan


Desa Sindanghaji dipegang oleh Kuwu Ali, yang kadang masyarakat
memanggilnya dengan sebutan Kuwu Gorobag. Pada masa kepemimpinan beliau
dapat dibangun Mesjid Jami yang sekarang diberi nama Mesjid Jami AL-
ISHLAH. Beliau juga membangun senderan saluran air skunder Ciwayang. Beliau
wafat diperkirakan tahun 1947, dan dimakamkan di Dukuh Balong yang pada
perkembangan selanjutnya komplek itu menjadi pemakaman umum.
Dari tahun 1947-1965, sekitar delapan belas tahun Kuwu Sapdari memegang
tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji. Cita-cita mulia ini direalisasikan
dengan membangun Gedung Sekolah SD Sindanghaji I yang dahulu dinamai
Bangunan Gotong Royong Desa Sindanghaji. Selain membangun sarana
pendidikan sebagai salah satu wadah untuk mencerdaskan bangsa, Kuwu Sapdari
juga membangun saluran irigasi sebagai upaya mempermudah penyaluran air
untuk lahan yang letaknya jauh dari saluran sekunder.

Kuwu Sapdari salah seorang narasumber dalam penyusunan Sejarah Desa


Sindanghaji ini, dan beliaulah satu-satunya mantan kuwu di Sindanghaji yang
sempat menyaksikan, memantau, dan merasakan masa kepemimpinan empat
orang Kuwu/Kepala Desa di masa berikutnya. Beliau kerap diminta saran dan
nasihat oleh kuwu-kuwu/kepala desa berikutnya hingga dia tutup usia pada tahun
2007. Beliau dimakamkan di Makam Pagambuhan.

Penggganti pemegang jabatan kuwu dari tahun 1965-1967 adalah Kertiker


Ucin, pada waktu itu pembangunan mengalami hambatan karena gejolak politik
hingga terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI.

Kuwu Atori memimpin Desa Sindanghaji dari tahun 1967-1980. Seorang


TNI bekas pejuang di masa kemerdekaan. Di masa pemerintahannya, dibangun
SD Ciputri yang selanjutnya berubah nama menjadi SD Sindanghaji III. Dengan
dibangunnya SD Ciputri, putra-putri Desa Sindanghaji bagian tengah sampai
ujung selatan yang meliputi Dukuh Balong, Reumagabug, Cikawah Kidul,
Cikawah Wetan, Dkh. Deog, Mindana, Karangbikas, bahkan Dukuh Dawuan yang
termasuk wilayah Desa Tarikolot yang posisinya dekat dengan SD Ciputri bisa
sekolah di sana karena jarak tempuhnya lebih dekat. SD Ciputri yang dibangun di
era orde baru akrab ditelinga masyarakat pada masa itu dengan sebutan SD Inpres.
Beliau mengakhiri tampuk kepemimpinan sesuai dengan Undang-Undang no.5
tahun 1979, yang menegaskan bahwa masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun.
Kuwu Atori dimakamkan di Makam Kebon Buah Lebak Cidongke yang
merupakan Makam Keluarga.
Berdasarkan hasil Pemilihan Kepala Desa yang demokratis, Sutrisno
mendapat amanah dari masyarakat untuk memegang tampuk pimpinan
Pemerintahan Desa Sindanghaji sejak tahun 1980. Beliau bersama masyarakatnya
berhasil membangun sarana Pendidikan Agama Islam Madrasah Diniyah di alun-
alun Bale Desa Sindanghaji dan di Dusun masyarakatnya merehab balai desa,
mengaspal jalan desa, memperbaiki irigasi dan membangun Pesantren Darul
Falah.

Dimasa pemerintahannya beliau membangun SD Sindanghaji di wilayah


Sindanghaji bagian utara sepaket juga dengan lapangan olah raganya, yang dalam
perkembangan selanjutnya dinamai SD Sindanghaji II di daerah Telar Dayeuh.

Beliau membagi-bagi Desa Sindanghaji dibagi menjadi enam Rukun Warga


(RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT). Dengan upaya seperti ini peran serta
masyarakat dalam pembangunan desa lebih aktif dan efisien. Sebagai polo up dari
kebijakan pemerintahan, yaitu pembagian wilayah Desa Sindanghaji menjadi
beberapa Rukun Warga, Sutrisno merintis pembangunan Kantor RW (Balai
Pertemuan), bersama masyarakatnya beliau membangun tiga Balai Pertemuan
(Kantor RW) yang terletak di Dukuh Deog (RW.02), di Dukuh Balong (RW.03),
di Dukuh Bak (RW.04). Pembangunan kantor pertemuan disesuaikan dengan
kebutuhan, makanya di wilayah RW.05 dan RW.06 tidak dibangun kantor
pertemuan, karena

Beliau atas persetujuan LKMD membuat Peraturan Desa tentang iuran desa
yang disebut Padi Adat Desa. Sutrisno menjadi kuwu selama dua periode, dan dua
tahun sebagai Pejabat Kepala Desa. Kepemimpinan beliau berakhir tahun 1998.
Kuwu Sutrisno meninggal pada tahun 2011 dan dimakamkan di pemakaman yang
sama dengan pamannya Kuwu Atori..

Kosma memimpin Desa Sindanghaji dari tahun 1998 – 2008, selama


sepuluh tahun. Diawali dengan menyelesaikan rehab Bale Desa beliau
menunjukkan kesungguhan misi-visinya. Sebagai jawabannya beliau membangun
Jalan Lingkar Wilayah antar RW sekaligus pengaspalannya. Beliau juga
membuka jalan alternative Dk.Bak-Cikareo. Beliaupun merehab ketiga Gedung
Sekolah Dasar dan dua Gedung Madrasah Diniyyah yang ada di Desa
Sindanghaji.

Terhitung mulai tanggal 24 Desember 2008 tampuk kepemimpinan Desa


Sindanghaji dipegang oleh Neni Karnaeni. Srikandi Sindanghaji. Dalam
memegang tampuk kepemimpinannya beliau membangun Gedung TK Tresnasari
II, sebagai jawaban kerinduan masyarakat Ciputri dan sekitarnya untuk memiliki
gedung Taman Kanak-Kanak. Beliau juga melakukan rehab ringan terhadap
kedua Gedung MD, memfasilitasi rehabilitas ketiga bangunan Sekolah Dasar, dan
memfasilitasi pembangunan mushola di RW 02 Dukuh Mindana atau yang biasa
disebut Lembur Cikawah Wetan.

Selain beliau melakukan penyenderan, pengerasan dan dan pengaspalan


Jalan Lintas Bubulak-Kepuh-Jaha-Cikareo. Beliau juga melakukan penyenderan
Jalan Karang Bikas – Deog, Deog – Cikawah Wetan, Jalan Pintas Dukuh Bak-
Lapangan Bola SD Sindanghaji I, dan Jalan Pinggir Timur Bejun. Hingga masa
pemerintahan beliau berakhir pada tahun 2015. Yang selanjutnya pemerintahan
dijabat oleh Bapak Awit Saefudin hingga sekarang.

Nara Sumber: Bapak Awit Saefudin (Kepala Desa Sindanghaji)

Anda mungkin juga menyukai