Anda di halaman 1dari 14

Perang Puputan Bayu Di Blambangan Pada 1771

Anggit Gita Sasmita1

Abstrak : Perang besar yang terjadi di Bayu merupakan


perang bersejarah yang paling bermakna sekaligus
penting dalam tonggak lahirnya sebuah kabupaten di
wilayah ujung paling timur pulau Jawa yaitu Kabupaten
Banyuwangi. Peperangan ini yang merenggut banyak
korban antara pihak Belanda dengan pejuang-pejuang
Blambangan. Kegigihan pejuang Blambangan yang
heroik, patriotik untuk merebut bumi Blambangan dari
tangan penjajah mencapai puncaknya pada tanggal 18
Desember 1771 dan terjadilah perang Puputan Bayu
sebagai peperangan yang terkejam sepanjang sejarah
perang di Indonesia. Hingga kolonialisme menyerah dan
lahirlah Banyuwangi sebagai daerah yang bebas dari
penjajahan.
Kata kunci : Peperangan, Puputan Bayu, Pejuang
Blambangan, Belanda, Banyuwangi.

Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik. Dalam arti sempit, adalah
kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan antara dua atau lebih
kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Peperangan ataupun perebutan kekuasaan pada masa sebelum revormasi sangatlah
wajar dan sering terjadi. Seringkali tejadi peperangan melawan kolonialisme
hingga nyawapun menjadi taruhannya demi mepertahankan bumi pertiwi dari
tangan penjajah. Perang Puputan Bayu adalah peperangan yang terjadi di
Blambangan wilayah paling ujung timur di Pulau Jawa, yang saat ini bernama
Banyuwangi. Perang ini terjadi antara pasukan Belanda VOC dengan pejuang-
pejuang Blambangan pada tahun 1771 - 1772 di daerah Bayu, yang sekarang
daerah ini masuk daerah kecamatan Songgon. Mayoritas penduduknya adalah
suku osing yang mempunyai bahasa khas yaitu bahasa osing. Bahasa ini berbeda
dengan Banyuwangi bagian barat yang mayoritas berbahasa jawa biasa.

1
Mahasiswa jurusan Sejrah UM angkatan 2010

14
Foto 1. Peta Wilayah Blambangan pada tahun 1596-1774

Kejadian ini berawal ketika rakyat Blambangan merasa tertekan atas


pemerintahan yang di pimpin oleh kerajaan Bali, dan ingin mendapat kebebasan
atas tekanan-tekanan dari Bali. Kemudian rakyat Blambangan mendengar berita
bahwa kekuasaan di Blambagan akan diambil alih oleh pihak Balanda melalui
VOC. Dari sini rakyat Blambangan mulai mempunyai harapan baru, mereka
berfikir bahwa dengan adanya pemimpin baru maka diharapkan akan terjadi
perubahan-perubahan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya berbeda dengan
apa yang mereka bayangkan. Kejadiannya bertambah buruk. VOC menindas,
memperbudak mereka. Sehingga memicu peperangan dan pemberontakkan yang
dilakukan oleh rakyat Blambangan.

Peperangan ini merupakan perang terkejam yang pernah terjadi sepanjang


sejarah Indonesia. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa ini merupakan
peperangan yang sangat menegangkan, paling kejam, dan paling banyak
memakan korban jiwa. Dari semua peperangan yang pernah di lakukan oleh
Belanda atau VOC di manapun di Indonesia, peperangan di Blambanganlah yang
paling kejam (Lekkerkerker, 1923 : 1056).

Bisa di bayangkan pada waktu itu Blambangan dengan jumlah penduduk


yang relativ sedikit harus melawan Belanda yang mempunyai pasukan dari mana-
mana seperti dari laskar Madura. Persenjataan untuk melawan penjajahpun bisa

14
dibayangkan pasti relatif sederhana dan kalah saing dengan persenjataan dari
pihak Belanda. Namun pada perkembanganya pejuang-pejuang Blambangan
membuktikan bahwa mereka mampu melawan kolonialisme dan mempertahankan
bumi Blambangan dengan darah-darah mereka. Hal ini sangat patut menjadi
kebanggan bagi kita semua.

Metode penelitian

Untuk mendasari pembahasan yang ada pada artikel ini, dilakukan


observasi, wawancara dan kajian pustaka secara mendalam agar penyampaian dari
materi mengenai artikel Perang Puputan Bayu Di Blambangan dapat diterima
dengan baik dan benar. Data yang di analisis menggunakan teknik diskriptif
kualitatif.

Pembahasan Dan Hasil Penelitian

Penyebab Terjadinya Perang Puputan Bayu

Ada beberapa Penyebab terjadinya peperangan ini. Bermula ketika pada


tahun1743, secara sepihak terjadi perjanjian yang di lakukan oleh Sunan Paku
Buono II dengan pihak Belanda atau VOC yaitu gubernur Jendral Van Imhoff di
Surakarta (Sundoro, 2008 : 19). Mereka melakukan sebuah perjanjian tanpa
sepengetahuan dan persetujuan dari Blambangan. Perjanjian itu berisi bahwa Paku
Buono II sebagai penguasa Mataram pada saat itu melepaskan haknya di Jawa
bagian timur yang dimulai dari Pasuruhan.

Sementara itu penyerahan tanah pesisir bagian timur yang di laukukan


oleh Paku Buono II kepada VOC mendapatkan kompensasi berupa pembayaran
sewa tanah sebesar 20 real setiap tahun. Dengan kata lain Blambangan merupakan
tanah yang dikomersilkan oleh Kerajaan Mataram khususnya penguasa pada
waktu itu yakni Paku Buono II. Namun di kalangan keraton sendiri merasa bahwa
keputusan yang di ambil oleh Paku Buono itu sangat di sayangkan dan
menimbulakan keresahan karena daerah pesisir merupakan bagian penting dari
sebuah kerajaan, karena pesisir memiliki potensi-potensi yang penting bagi
kerajaan (Lekkerkerker, 1923 : 106).

14
Dari perjanjian tersebut berarti Blambangan sudah berada di bawah
kekuasaan kolonialisme Belanda ataupun VOC. Namun VOC disini tidak
langsung melakukan ekspansi ataupun mengotak-atik wilayah tersebut, melainkan
VOC mempunyai fikiran lain dengan menjadikan Blambangan sebagai “barang
simpanan” yang baru akan dikelola sewaktu-waktu dan kapan saja ketika
waktunya dibutuhkan.

Sebelum Belanda datang ke daerah ini, Blambangan sudah di kuasai oleh


kerajaan Menguwi dengan penguasanya yaitu Gusti Kuta Bedha dan Gusti Ketut
Dewa Kababakan (Sundoro, 2008 : 20). Terlihat dari nama-nama penguasa
tersebut bahwa Blambangan sebelumnya di kuasai oleh kerajaan Bali. Memang
Bali sendiri merupakan kerajaan yang wilayahnya berdekatan dengan
Blambangan. Letaknya hanya dipisahkan oleh lautan yaitu Selat Bali.

Masuknya pengaruh Islam di Jawa pada abad XVIII yang pada saat itu
berpengaruh adalah Kerajaan Mataram Islam, membuat kerajaan Bali khawatir
akan Blambangan yang merupakan benteng terkhir di Jawa yang dapat di
pengaruhi oleh kedatangan Islam. Sebab jika Blambangan hancur dan dapat di
kuasai oleh Islam maka pengaruh Mataram akan lebih mudah masuk dan
mempengaruhi wilayah-wilayah dari kerajaan Bali. Sehingga pada waktu itu
kerajaan Bali berusaha keras melakukan ekspansi-ekspansi wilayah kekuasaannya
hingga Nusa Penida, Lombok, Sumba bagian timur, serta menguasai seluruh
Blambangan Bagian Barat. Maksud dari semua ini adalah jika sewaktu-waktu
Mataram menyerang Bali maka Kerajaan Bali masih mempunyai wilayah untuk
melarikan diri dari kejaran musuh (Sundoro, 2008 : 23) .

Faktor lain yang memicu meledaknya perang Puputan Bayu adalah, ketika
VOC baru menyadari bahwa Blambangan merupakan wilayah yang berpotensi
untuk di lakukanya eksploitasi yang akan memberikan keuntungan terhadap
Belanda khususnya VOC. Hal ini di kuatkan oleh kedatangan Bangsa Inggris ke
Blambangan. Setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan
mendirikan kantor-kantor daganganya (yang saat ini menjadi kompleks
Inggrisan), pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi yang pada saat itu
bernama Titra Ganda, Tirta Arum (Ali, 2002 : 18).

14
Sebenarnya sejak lama orang Inggris telah melakukan perdagangan di
Ulupampang mengadakan kerja sama dengan kerajaan Menguwi yang
berpengaruh di Blambangan pada waktu itu. Blambangan dengan konsensi
memberikan izin kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang.
Kedatangan Inggris di Blambangan ini bersamaan dengan di temukkannya benua
Australia oleh pelaut-pelaut Inggris yang berjiwa Pertualang dan pengarung lautan
pada abad ke XVIII.

Entah kenapa Belanda baru menyadarinya belakangan, mungkin Belanda


terlalu sibuk mengurusi wilayah kekuasaannya yang lain yang lebih
menguntungkan. Namun Pada saat itulah Belanda mulai melirik dan tidak lagi
menjadikan Blambangan sebagai wilayah simpanan lagi. Kegiatan perdagangan
yanga dilakuakan Inggris mulai mencemaskan bagi VOC, di tambah lagi
keamanan yang kacau di jalur tepi Laut Jawa yang menjadi jalan utama perdangan
VOC. Benar saat itu VOC merasa sangat tergangu oleh kedatangan bangsa
Inggris. Hal inilah yang mendorong gubernur VOC Johanes Vos yang berada di
Semarang mengeluarkan perintah pada tanggal 12 Agustus 1766 agar melakukan
patroli di selat Bali dan sekitarnya (Ali, 2008 : 21).

Pemerintah Belanda mempunyai inisiatif lain untuk menghentikan


perdagangan yang di lakukan Inggris, yakni pemerintah Belanda yang ada di
Batavia memutuskan untuk menangkap kapal-kapal dagang Inggris, karena
dengan di tangkapnya kapal-kapal mereka otomatis mereka tidak bisa melakukan
aktivitas perdagangan. Sebab moda transportasi pada saat itu yang cukup berperan
adalah kapal. Namun pada saat itu banyak juga pasukan-pasukan Belanda yang
menggunakan jalur darat. Belanda juga mengambil elemen-elemen lain yang
tidak disukai serta tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah
yang di anggap miliknya.

Keadaan inilah yang dirasa sangat genting dan tidak terkendalikan di


wilayah Blambangan, maka menjadikan VOC pada tahun 1766 mengirimkan
ekspedisi besar-besaran ke daerah Blambangan di bawah pimpinan Erdwin
Blanke, yang terdiri dari serdadu-serdadu eropa, 3000 laskar Madura, dan
Pasuruan (Ali, 2002 : 22). Dapat dilihat dari jumlah dan dukungan yang di

14
peroleh, Belanda memang pada waktu itu sangat berpengaruh sehingga
mempunyai pasukan-pasukan yang siap tempur bahkan penduduk pribumipun ikut
serta membantu Belanda. Entah pengaruh apa yang telah diberikan oleh Belanda
sehingga rakyat pribumi mau-maunya menyerang ataupun melawan saudara
sendiri.

Belanda mengirimkan keperluan-keperluan ekspedisi seperti 25 kapal


besar dan beberapa kapal-kapal yang berukuran kecil. Pada tanggal 20 februiari
1767 ekspedisi Belanda dimulai. Mereka mulai bergerak dan berkumpul terlebih
dahulu di pelabuhan Kuanyar tepatnya yaitu di Madura. Mereka singgah untuk
mepersiapkan kebutuhan peralatan yang di perlukan ketika ekspedisi di mulai ke
Blambangan. Seminggu kemudian pada tanggal 27 Februari 1767 Belanda mulai
mengerakkan layarnya ke daerah Panarukan dan berhasil mendudukinya dan
disana mereka mendirikan benteng pertahanan bagi Balanda.

Pasukan inti dari ekspedisi ke Blambangan ini dipimpin oleh Letnan


Erdwijn Balnke dari Semarang. Pasukan ini mulai bergerak melalui jalur darat
sepanjang pantai pada tanggal 1 Maret 1767 menuju daerah yang direncanakan
sejak awal yakni Blambangan. Setelah menempuh perjalan yang cukup lama
yakni 22 hari, akhirnya Belanda sampai juga di Banyualit yang masuk wilayah
Blambangan. Belanda mulai melakukan hal-hal yang membuat penduduk
Blambangan merasa terusik dan merasa tidak nyaman atas kedatangan mereka.
Mulailah pertikaian-pertikaian kecil, Hingga pada akhirnya hal inilah yang
menyulut terjadinya pertempuran Puputan Bayu di Bayu yang sekarang masuk
Kecamatan Songgon.

Puputan Bayu Sebagi Perang Terkejam Sepanjang Sejarah

Menurut Bahasa osing, bahasa khas yang dimiliki oleh suku osing
Banyuwangi, Puput mempunyai arti Habis, jika Puputan berarti Habis-habisan,
sedangkan Perang Puputan Bayu berarti perang habis – habisan di daerah Bayu.
Seperti yang di jelaskan sebelumnya bahwa Bayu merupakan suatu tempat yang
ada di Blambangan pada waktu itu, namun daerah ini sekarang berganti nama

14
menjadi sebuah Kecamatan Songgon yang masuk pada wilayah administrative
dari Banyuwangi.

Setelah VOC atau Belanda mendarat dan dapat menduduki Banyualit pada
tahun 1767. Kemudian wilayah – wilayah lain yang ada di Blambangan, seperti
Ulu Pangoang dan Lateng yang sekarang menjadi sebuah kecamatan yang
bernama Rogojampi. Kemudian di tambah lagi gagalnya serangan yang dilakukan
oleh rakyat-rakyat Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger (yang
merupakan putera Wong Agung Wilis) terhadap benteng-benteng bentukan
Belanda yang ada di Banyualit.

Sebenarnya pemberontakaan yang terjadi di Blambangan telah dilakukan


semenjak kedatangan Belanda di Blambangan. Peperang pertama yang sangat
dasyat dilakukan oleh Wong Agung Wilis yang merupakan pejuang tangguh dari
Blambangan yang berusaha keras untuk melawan kolonialisme. Hingga terjadilah
perang pertama yang dinamakan perang Wilis yang di mulai pada 21 Maret 1767
dan berakhir pada tanggal 18 Mei 1768.

Hal ini merupakan perang semesta di Blambangan melawan kaum


penjajah, yaitu kompeni Belanda. Belanda disini dibantu oleh lascar Madura yang
ikut menggempur Blambangan hingga hancur. Sekalipun perlawanan yang
dilakukan oleh Wong Agung Wilis tidak berhasil mengalahkan VOC namun
semangat juang dan kepemimpinnanya yang begitu kharismatik telah mengilhami
para pejuang untuk tetap melawan keberadaan Belanda yang ada di Blambangan
(Arifin, 2008 : 47).

Semenjak kekalahan tersebut Blambangan dikuasai oleh Belanda melalui


tangan VOC mereka mulai membentuk kekuasaan yang sewenag-wenang dengan
sistem kekerasan yang pastinya akan sangat merugikan dan menyengsarakan
rakyat Blambangan pada waktu itu. Mereka melakukan eksploitasi terhadap
potensi-potensi yang ada di Blambangan, kemudian melakukan kekejaman
terhadap penduduk lokal. Melalui sistem dan kekuasaan VOC pada waktu itu
mereka memiliki kekuatan untuk menghancurkan berbagai perlawanan yang di
lakukan rakyat Blambangan. Seperti sistem pada masa orde baru, VOC juga

14
sebenarnya telah membuat system rezim otoriter demi kepentingan politik dan
ekonominya.

Dengan sistem diatas pasti akan mampu menekan penduduk yang ada dan
pastilah akan tunduk sehingga segala bidang dapat di monopoli dengan mudah
oleh VOC. Saat itu VOC masuk ke dalam urusan politik dengan semangat
berdagang. Hal ini bermula pada nafsu monopoli. Keberhasilan monopoli dagang
yang telah dilakukan VOC kemudian dilanjutkan dengan melakukan ekspansi.
Mereka memanjakan penguasa penguasa lokal pada waktu itu dengan tujuan
kenyamanan ekonomi, utamanya untuk berperang dan meluaskan kekuasaan
menghadapi rival-rivalnya.

Cara-cara yang dilakukan VOC pada saat itu menciptakan jurang pemisah
antara kehidupan penguasa dengan rakyat, untuk kepentingan ekonominya
Belanda melakukan strategi Devide Et Empera. Mereka menebar bibit konflik
untuk mensukseskan VOC sebagai organisasi perdagangan milik hindia Belanda.
Strategi ini dapat mempengaruhi beberapa penguasa yang mulai menaruh percaya
atas muslihat yang di lakukan VOC, ketika pangeran Danuningrat mulai
memerintah Blambangan ia meminta pada penguasa Belanda untuk mengusir dan
mengakhiri pengaruh kekuasaan Bali di tanah Blambangan
(Sundoro ; 2008: 24).

Maka mulalilah praktik-prakti sistem yang paling mengerikan terjadi yang


di lakukan oleh Belanda terhadap rakyat-rakyat Blambangan pada waktu itu.
Berbagai kekejaman VOC di wilayah Blambangan telah ditunjukkan oleh Mayor
Colmond yang menggantikan Coop a Groen. Sebagai komandan tertinggi VOC di
Blambangan (Sundoro, 2008 : 24). Ia merupakakan sosok penjajah yang memiliki
sifat dan watak yang sangat keras dan tegas.

Tindakan – tidakanya itu telah membuat dasar bagi timbulnya peritiwa-


peristiwa yang mengerikan yang akan mengancam keselamatan negeri ini pada
tahun-tahun 1771 dan 1772. Dari tindakan yang di lakukan Colmond ini terjadilah
kesengsaraan dimana-mana. Rakyat Blambangan hidup dalam tekanan-tekanan
baik secara sosial maupun ekonomi.

14
Van Wikkerman bercerita dan sesungguhnya dokumen-dokumen resmi
telah membenarkan bahwa Colmond mengirimkan patroli-patroli ke seluruh
negeri ini untuk menyita semua beras-beras dan bahan makanan lainnya dan
pengakutnya sekaligus. Apabila tidak di angkut maka dia menyuruh
membakarnya. Pada musim hujan berikutnya dia memerintah penduduk lokal
untuk menanami sawah-sawah itu kembali, dengan perintah yang memaksa,
Setelah mereka panen maka panenyapun harus di berikan pada VOC
( Ali, 2002 : 2 ).

Kekejaman juga dilakukan oleh para penguasa VOC terhadap wanita


pribumi, terhadap gadis, janda, bahkan istri orang. Mereka melakukan pelecehan-
pelecehan yang sangat tidak manusiawi. Dari kekejaman di atas dapat
dibayangkan penduduk Blambangan berada dalam tekanan dan bahkan kelaparan
yang amat sangat. Kebutuhan pokok yang dapat menghidupi merekapun di
rampas oleh pihak Belanda melalui tangan VOC. Namun hal ini hanyalah satu
dari berberapa kekejaman yang telah dilakukan oleh Balanda di Blambangan.
Selain itu Colmond menyuruh rakyat bekerja keras untuk membangun dan
memperkuat benteng VOC yang ada di Ulupangpang dan Kuta Lateng.

Mereka juga memerintahkan rakyat Blambangan membuat jalan-jalan


yang di peruntukkan demi kepentingan Belanda semata. Membersihkan
pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulu Pangpang, kemudian
membuat penagkis air di Gunung Ikan untuk pengawasaan atas gerak gerik yang
di lakukan oleh orang-orang Bali. Tetapi ironinya, pengorbanan yang dilakkukan
oleh rakyat Blambangan tidak di imbangi dengan imbalan berupa makanan.
Belanda tidak menyediakan makanan bagi mereka. Kesengsaraan, kelaparan, serta
kekurangan yang kemudian menimbulkan penyakit dan berakhir pada kematian
yang sangat tinggi. Banyak dari rakyat yang tidak tahan atas perlakuan Belanda
kepada mereka dan akibatnya banyak rakyat Blambangan yang melarikan diri dan
bersembunyi ke hutan ( Lakkerkerker, 1923 : 1054-1055 ).

Penetrasi VOC semakin berat ketika keadaan di Blambangan bertambah


parah dengan dikeluarkannya perintah bahwa setiap lurah harus menyerahkan dua
ekor kerbau, selain itu VOC juga menuntut penyerahan uang sebesar 3,5 gulden

14
kepada setiap kepala keluarga yang harus diserahkan pada akhir tahun. Hal ini
dirasa sangat memberatkan rakyat Blambangan sebab di tenggah sedikitnya waktu
untuk ke ladang dan sawah karena kewajiban mereka untuk kerja paksa dan
itupun tanpa memperoleh upah dan makan.

Tindakan Belanda yang sewenag-wenang dan kejam menyebabkan


kebencian rakyat dimana-mana. Hingga pada tanggal 18 Desember 1771 yang
merupakan puncak dari apa yang dikatakan oleh Belanda sendiri sebagi “De
Dramatische Vernieting Van Het Compagniesleger“. Pejuang-pejuang
Blambangan melakukan serangan umum secara “Puputan” atau dalam bahasa
Indonesia perang secara habis-habisan terhadap benteng pertahanan musuh.

Para prajurit Blambangan maju ke medan perang secara serentak dengan


berteriak-teriak histeris untuk membangun semangat juang mereka dan
meruntuhkan semangat musuh, dengan membawa senjata apa adanya seperti
keris, golok, pedang, tombak, dan senjata api yang mereka peroleh dari hasil
rampasan dari tentara VOC atau yang di dapat dari orang-orang Inggris yang telah
membuka kantor dagangnya di Tirtaganda. Pangeran Repeg (Jagapati) memimpin
peperangan ini, ia selalu berada di garis depan untuk menyerang. Namun ia gugur
dalam pertempuran akibat luka-luka dalam perang Puputan Bayu ini. Dalam
peperangan ini pasukan VOC benar-benar di hancur luluhkan. Sebagian dari
mereka digiring ke parit-parit jebakan yang telah sengaja dibuat oleh pejuang-
pejuang Blambangan untuk menjebak para penjajah kemudian menghujaminnya
dengan senjata dari atas.

Van Schaar, yang merupakan komandan pasukan VOC, Letnan Kornet


Tinned dan tak terhitung banyaknya tentara Belanda lainnya yang terbunuh dalam
peperangan tersebut. Kepala Van Schaar dipotong, kemudian ditancapkan pada
ujung tombak dan diarak keliling desa-desa. Sebagi akibat perang Puputan
tersebut. Untuk sementara menunggu bantuan tenaga dan amunisi, VOC bertindak
defensive, dengan berusaha menutup jalan keluar dan kedalam Blambangan, baik
di darat maupun di Selat Bali. Kepala Schophoff diperintahkan oleh atasanya Van
Den Burgh, agar memperlakukan rakyat Blambangan dengan lemah lebut (Ali,
2002 : 6). Hal Ini merupakan salah satu strategi dari pihak Belanda untuk

14
melakukan serangan-serangan yang akan mengejutkan masyarakat Blambangan
saat itu.

Benar pada tanggal 11 Oktober 1772 Bayu digempur habis-habisan


dengan tembakan-tembakan meriam oleh Belanda. Heinrich dengan 1.500
pasukannya menerobos dan meyerang benteng Bayu dari sayap kiri. Setelah
melalui pertempuran sengit akhirnya Bayu dapat direbut VOC. Namun peristiwa
ini hanya merenggut sedikit korban, karena sebagian dari pejuang Bayu telah
sempat menyingkir ke hutan. Pejuang pejuang Bayu yang tertangkap
diperintahkan oleh Heinrich untuk dibunuh.

Kemudian kepalanya dipotong dan digantung – gantungkan di pohon-


pohon atau ditancap-tancapkan di tonggak pagar di sepanjang jalan desa. Dari
jumlah 2.505 orang yang merupakan sisa dari pejuang-pejuang Bayu laki-laki
maupun perempuan di tawan dan di bawa ke Ulu Pangpang, atas perintah
Schophoff. Tidak sedikit yang di hukum mati dengan menengelamkan mereka
menggunakan pemberat batu ke laut, ada yang di siksa, dirajam, dan sebagian di
buang ke Surabaya atau Batavia untuk dijadikan sebagi budak (Ali, 2002 : 7).

Itulah akhir dari sebuah peperangan habis-habisan yang sangat mengerikan


yang telah merenggut ribuan bahkan puluhan ribu korban. Baik dari pihak musuh
dan terutama dari pihak rakyat Blambangan. Dan inilah gambaran tragis dari
taktik “Devide Et Impera” Belanda terhadap rakyat Blambangan.

Akibat Dari Perang Puputan Bayu

Dampak – dampak yang di timbulkan dari perang puputan bayu ini


bermacam-macam, dari yang mulai dampak kecil hingga yang besar. Akibat besar
dari meledaknya perang Puputan Bayu adalah lahirnya sebuah kabupaten yakni
Banyuwangi, dengan tanggal penetapanya yaitu 18 Desember 1771. Menurut data
sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan tanggal 18 Desember 1771
merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang kiranya patut untuk dianggkat
sebagai hari jadi Banyuwangi.

14
Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu sebenarnya sudah ada
peristiwa lain yang mendahuluinnya, yang juga heroik dan patriotik, yaitu
peristiwa penyerangan pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger
(Putra Wong agung Wilis) ke benteng VOC di banyuali pada tahun 1768. Namun
sayang peristiwa ini tidak tercatat secara lengkap pertanggalanya. Selain itu
terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut pejuang Blambangan kalah total.
Pada kejadiaan ini pangeran Puger gugur melawan VOC, sedangkan ayahnya
yakni Wong Agung Wilis setelah Lateng di hancurkan kemudian ia terluka dan di
tanggkap kemudian diasingkan dibuang ke Pulau Banda.

Akibat lain yang sangat tragis yang juga sangat merugikan rakyat
Blambangan adalah peperangan di Bayu ini telah memakan korban tidak kurang
60.000 rakyat Blambangan yang gugur, hilang, ataupun yang menyingkir ke hutan
untuk menyelamatkan diri dari VOC. Tampaknya jumlah dari korban ini dirasa
begitu besar, sebab jika dilihat dari jumlah penduduk Blambangan pada waktu itu
di seluruh daerah Blambangan berjumlah 65.000 orang (Anderson, 1982 ; 75-76).
Untuk merebut Blambangan khususnya untuk perang Bayu ini VOC sendiri telah
menghabiskan delapan ton emas yang merupakan pukulan telak terhadap
keuangan VOC pada waktu itu.

Heroisme Pejuang Blambangan Yang Terlupakan

Perang Puputan Bayu seperti halnya perang kemerdekaan 17 Agustus


1945 telah memberikan pelajaran kepada kita semua sebagai penerus pejuang-
pejuang yang telah gugur membela negeri ini, bahwa betapa mahalnya arti sebuah
kemerdekaan bagi suatu bangsa. yang seringkali harus direbut dan dipertahankan
dengan cara apapun yang ada pada kita. Harta, benda, keluarga, bahkan jiwa dan
darahpun direlakan demi nusa tercinta.

Ini pula yang di tunjukkan oleh para pejuang-pejuang Blambangan untuk


menghadapi VOC pada perang Puputan Bayu tahun 1771 hingga 1772 yang
hampir menghabiskan penduduk Blambangan. Namun ironisnya sejarah ini nyaris
tidak di ketahui oleh pemuda pemudi asli Banyuwangi. Setelah saya melakukan
wawancara dengan lima narasumber hanya dua dari mereka yang mengetahui apa

14
itu puputan bayu, dan jawaban itupun tidak mendetail. Sedangkan ketiga
narasumber saya memberikan keterangan bahwa mereka tidak mengerti apa yang
di maksud dengan perang Puputan Bayu dan malah berbalik tanya kepada saya.

Dari keterangan - keterangan narasumber, banyak dari mereka yang


memberikan keterangan yang kurang mengenai perang Puputan bayu. Ironi
memang bila mendengarnya, pejuang - pejuang yang habis-habisan membela
Blambangan tempat mereka tinggal tapi mereka tidak mengetahui kejadian itu.
Esensi penting bagi kita yaitu memulihkan kesadaran bahwa Blambangan juga
pernah menunjukkan ketangguhannya melawan Imperialisme yang ingin
menguasai bumi Blambangan. Hal ini perlu dikenalkan pada generasi muda tanah
air guna menumbuhkan rasa patriotik pada setiap insan muda.

Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbanggalah kita
kepada Indonesia, karena kita Blambangan telah menunjukkan dalam sejarah
bahwa kita bukanlah rakyat Blambangan yang gampangan untuk menyerahkan
kemerdekaan dan harga diri kita pada penjajah. Semoga penerus pejuang
Blambangan selalu tetap mengenal, mengenang dan menjadikan suri tauladan atas
peristiwa Perang Puputan Bayu yang Heroik Patriotik.

14
Daftar Rujukan

Arifin, Burhan Edy. 2008. Wong Agung Wilis Pahlawan (1767-1780)

Blambangan. Banyuwangi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Banyuwangi

Anderson, Benedict R. 1982. Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan kebudayaan

Jawa. Prisma

Ali, Hasan. 2002. Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi

Banyuwangi. Banyuwangi : Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

Lekkerkerker, C. 1926. Balambangan Indische Gids II

Sundoro, Hadi Moh. 2008. Pangeran Rempeg Jagapati Pahlawan Perjuangan di

Tanah Blambangan. Banyuwangi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab,

Banyuwangi

14

Anda mungkin juga menyukai