Anda di halaman 1dari 18

UJIAN AKHIR SEMESTER

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara)

Dosen Pengampu:
Drs. Sumarjono, M.Si.

KELAS C

Oleh:
Tersita Diah Margaret (180210302117)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS JEMBER

2020
Soal:

1. Deskripsikan proses kedatangan bangsa-bangsa barat di kawasan Asia Tenggara


2. Bagaimana pengaruh kedatangan bangsa-bangsa barat terhadap berbagai kehidupan
bangsa-bangsa Asia Tenggara?
3. Jelaskan proses penjajahan bangsa-bangsa barat terhadap bangsa-bangsa Asia Tenggara

Jawaban :

1. Jatuhnya Konstantinopel (1453) ketangan Turki Usmani menyebabkan terputusnya jalur


perdagangan di Laut Tengah antara Eropa dan Asia Barat Bangsa Eropa kemudian beralih
ke daerah Timur untuk mencari rempah-rempah, komoditi yang paling disukai dandihargai
mahal di Eropa (Badri Yatim, 2014:174). Selain itu, sejak abad ke-15 hingga 17, Bangsa
Eropa mengalami sebuah gerakan budaya yang disebut Renaissance. Kegiatan intelektual
mendapatkan perhatian khusus sehingga para pemikir dan petualang bermunculan. Atas
restu penguasa Spanyol, Christopher Columbus melakukan pelayaran dan sampai di Benua
Amerika pada tahun1492. Sementara itu, pada tahun 1498 Vasco de Gama berhasil
menemukan jalan ke Timurmelalui Tanjung Harapan. Kedua penjelajahan tersebut
mengilhami para penguasa Eropalainnya untuk mencari kejayaan di belahan dunia lain.
Meletusnya Revolusi Industri (1750-1850) turut mendorong terjadinya
kolonialisme.Bangsa Eropa berlomba-lomba melakukan perluasan daerah-daerah sebagai
tempat pemasaran hasil industri, mencari bahan mentah, penanaman modal, dan
mendapatkantenaga buruh yang murah.Selain itu, dibukanya terusan Suez membuat jalur
perdagangan Eropa bergeraksangat cepat. Terusan Suez yang dibangun atas praksara
insinyur Perancis yang bernamaFerdinand Vicomte de Lesseps dan diresmikan pada tahun
1869 ini menghubungkan Eropa dan Asia tanpa mengelilingi Afrika, melainkan langsung
melewati Mesir dan melintasiselatan Asia. Kemudahan tersebut menjadi faktor pendukung
pelayaran kapal-kapal Bangsa Eropa ke Asia Tenggara.
2. Pengaruh Kedatangan Bangsa Eropa di Asia Tenggara
Portugis telah dilukiskan oleh Sir Hugh Clifford, seperti merangkak ke Asia dengan
semangat perampokan yang terbuka, Melawan orang-orang Muslim, stempel perang
salibnya lebih mendorong daripada membatasi sikap kekejaman dan ketidak 28 tetapan
mereka (Hall, 1988:219). Bahkan ahli-ahli sejarah mereka sendiri malu akan tindakan-
tindakan kriminil mereka di Maluku, di mana para pribumi dipaksa untuk menentang cara-
cara perdagangan mereka yang tidak adil itu. Dan meskipun pendetapendeta dan biarawan-
biarawan berlipat ganda jumlahnya di daerah-daerah yang dikuasai mereka, mereka
missionaris-missionaris yang tidak berguna karena ulah para pedagang dan perompak-
perompak mereka itu. Itu benar-benar rupanya menjadi thema Peregrinacam, Mendes
Pinto, yang bagi semua detail kecermatan yang dapat dipersoalkan memberikan gambaran
authentik yang luar biasa dari kegiatan orangorang Portugis dalam pertengahan abad XVI.
Lagi pula biaya gerakan militer dan kegerejaannya lebih daripada keuntungan yang didapat
dari usaha perdagangan mereka. "Lihat Portugis", tulis Sir Thomas Roe, duta Inggris di
Istana Mughal tahun 1613. "Sebagai ganti daripada semua pendudukan mereka yang indah
mereka memerlukan untuk pemeliharaan pasukan mereka bahkan garnizun mereka
hanyalah suatu yang sedang-sedang saja". bijaksanaan Alburquerque dalam mendirikan
benteng-benteng dan menegakkan kekuasaan atas raja-raja peribumi yang dijalankan
merupakan sebab utama keruntuhan mereka. Mereka bertindak lebih merupakan sebagai
penakluk daripada pedagang, dan ketika kekacauan intem dan ketidakdisiplinan timbul
sebagaimana terjadi sebelum pertengahan abad XVI, terjadilah kekorupsian umum. Terlalu
besar potensi de Brito dan Tabao, semuanya ingin membuat keuntungan dan segera pulang
sementara segala sesuatunya berjalan baik. Unie Sepanyo Portugal, jika bukan merupakan
sebab utama keruntuhannya, mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang serius bagi Portu-
gis, karena musuh Sepanyol menjadi musuhnya, dan dalam serangan mereka atasnya
dibantu rakyat dan raja-raja peribumi yang telah belajar dari pengalaman yang lebih baik
untuk membenci mereka. Di Asia Tenggara mengalami kemiskinan dengan datangnya
orang-orang Eropa untuk berdagang di pusat-pusat kota perdagangan yang menggunakan
kekuatan militer. Banyak kota-kota perdagangan jatuh ke tangan Eropa, kota-kota besar 29
terbuka yang paling maju adalah yang pertama menjadi korban serangan militer Eropa.
Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M (Jamaluddin, 2015:305). Spanyol
melancarkan serangan terhadap Brunei 1578 M. yang menutup kemungkinan negara itu
untuk melanjutkan peranan sebagai pusat perdagangan di Borneo dan Filipina. Dengan
kondisi yang demikian itu, negara-negara kota (city state) Asia Tenggara mengambil sikap
yang lebih defensif dalam menghadapi serangan militer itu. Beberapa kota yang lebih kuat
di pulau Jawa, terutama yang di pesisir utara pulau Jawa, membangun tembok-tembok dari
batu-bata. Sementara beberapa negara seperti, Johor dan Sulu menyikapi ancaman tersebut
dengan cara-cara tradisional, yaitu dengan memindahkan ibu kota ke pedalaman, yang
bukan hanya menjauhkan mereka dari penjarahan armada Eropa, tetapi juga telah
menjauhkan diri dari sistem perdagangan yang selama ini telah menghidupkan mereka.
Reaksi lain adalah munculnya perlawanan-perlawanan dari beberapa kerajaan terhadap
cara-cara yang digunakan Eropa untuk menguasai perdagangan dengan kekuatan militer.
Kondisi ini diperparah lagi dengan kehadiran Belanda yang memonopoli perdagangan,
yang juga dengan kekuatan militer. Menjelang tahun 1622 M. Sekitar 83 kapal Belanda
yang melayari perairan Asia Tenggara semuanya digunakan secara sangat efektif sebagai
kapal perang sekaligus sebagai kapal dagang. Kota-kota kapitalis paling progresif di Eropa
bergabung membentuk instrumen yang sangat efektif melindasi cikal bakal kapitalis yang
tumbuh di Asia Tengara. Belanda pada beberapa dasawarsa awal mengajukan penawaran
kepada para penguasa pribumi, bahwa VOC akan memborong semua lada atau rempah-
rempah, dengan syarat saudagar-saudagar Asia dan Eropa yang merupakan saingannya
tidak boleh membeli hasil-hasil bumi tersebut. Ternyata cara-cara yang digunakan ini tidak
efektif di beberapa tempat, misalnya di Banda, karena dikuasai oleh para saudagar muslim
kaya. 30 Dengan berbagai alasan dan pertimbangan akhirnya Belanda menggunakan
kekuatan militernya untuk memonopoli perdagangan. Banda ditaklukkan setelah melalui
pertempuran sengit. Empat puluh lima orang kaya tersebut kemudian dibunuh, delapan
ratus penduduk Banda dikirim ke Batavia sebagai budak dan ribuan lainnya dibiarkan
kelaparan di pedalaman pulau (Jamaludin 2015:305). Ini adalah yang menjadi korban
Belanda yang pertama. Di Ambon dan Maluku Utara perang dilancarkan oleh Belanda
terhadap orang-orang Spanyol dan Islam untuk memperebutkan pusat penghasil rempah-
rempah, dan akhirnya pengurangan seluruh rempah-rempah kecuali yang dikendalikan
Belanda memastikan bahwa berkah memiliki tanaman dagang yang merupakan permintaan
dunia pada pertengahan abad ke-17 menjadi penyebab azab sengsara. Fenomena
perniagaan maritim serupa di Asia Tenggara berubah menjadi suram seiring dengan
kedatangan armada-armada agresif dari Eropa, khususnya Belanda. Oleh karena itu Jepang
lebih memilih untuk melakukan Isolasionisme total, Jepang menutup diri dari perdagangan
luar negeri dan melarang warganya pergi keluar negeri atau membangun kapal-kapal
berukuran besar.
3. Kedatangan bangsa-bangsa barat ke Asia Tenggara sejak sekitar abad ke-15. Kemudian
mereka melakukan imperialisme dan kolonialisme di Kawasan ini sejaka abad ke-18,
bangsa-bangsa barat mulai memegang kendali perdagangan Internasional di Asia. Di era
ini sebagian besar negara-negara Asia Tenggara 4 menghadapi berbagai krisis, kurang
mampu menggagalkan penetrasi Eropa yang lebih intensif menjadikan oleh kekuatan
militer, teknologi, dan ekonomi yang dihasilkan oleh revolusi industri. Dan kapitalisme di
Barat mendorong suatu pencarian tanpa akhir untuk memperoleh sumber daya baru untuk
dieksploitasi dan dipasarkan barang-barang industry (Lockard, 2009:93). Terdapat enam
negara Barat yang ingin menguasai menjajah di Kawasan Asia Tenggara. Berikut ini
bangsa-bangsa Barat yang pernah menguasai Kawasan Asia Tenggara:
a. Portugis
Portugis adalah orang Eropa pertama yang memperoleh pos terdepan di Asia. Pada
abad ke-16 mereka mendirikan pos-pos perdagangan dan pos-pos kolonial di tempat-
tempat yang berbeda seperti Goa di India, Melaka di Malaysia, Ambon dan Timor di
Indonesia, dan Makau di Cina. Portugis memiliki dampak paling kecil di Asia
Tenggara. Mereka merebut Malaka pada tahun 1511, menahannya sampai Belanda
merebutnya pada tahun 1641. Jika tidak, mereka hanya memelihara sebagian kecil
wilayah di pulau Timor, sebelah tenggara Bali (Church, 2009: 43-46).
b. Spanyol
Spanyol memerintah Filipina dari penaklukan Cebu pada 1565 dan Manila pada 1571
sampai kekalahannya dalam Perang Spanyol-Amerika pada 1898.
c. Belanda
Kolonialisme Belanda jatuh ke dalam dua periode. yang pertama, yaitu V.O.C., atau
Dutch East India Company, berlangsung dari 1605 hingga 1799. The V.O.C. memiliki
sedikit minat dalam administrasi territorial, Perhatian utamanya adalah
memaksimalkan keuntungan melalui monopoli perdagangan. VOC bergerak cepat
untuk mendirikan pos perdagangan di India, Ceylon, Taiwan, dan China, mencari
produk ‗‗ the Orient ‘. Target utama adalah Kepulauan Rempahrempah, yang sekarang
bernama Sulawesi dan Maluku di Indonesia bagian timur. VOC pertama kali terlibat di
kepulauan Indonesia melalui perdagangan dengan kerajaan setempat, tetapi
keinginannya untuk memonopoli perdagangan rempahrempah ke Eropa dengan cepat
menyebabkannya mengusir Portugis dari Ambon dan kemudian menghancurkan
kerajaan setempat (Church, 2009: 43-46). 5 Pada tahun 1619, VOC melancarkan
serangan ke Jayakarta, yang saat itu merupakan benteng utama dan kota dagang
kerajaan Jawa Barat, Bantan, tempat VOC berdagang secara damai selama beberapa
tahun. Sepanjang abad ke-17 dan ke-18 berperilaku seperti kerajaan lokal, menciptakan
dan menghancurkan aliansi dengan kerajaan saingan untuk berperang melawan musuh-
musuhnya dan berdagang secara luas baik di dalam kepulauan maupun dengan Cina,
India dan Eropa (Church, 2009: 43-46). Belanda rezim kolonial memusatkan
eksploitasi ekonominya pada dua yang paling pulau-pulau berpenduduk padat dan
subur, Jawa dan Sumatra. Pada 1830 Belanda administrator memperkenalkan apa yang
mereka sebut Sistem Budidaya, yang memaksa orang Jawa menanam gula, komoditas
berharga, dengan beras tanah. Pemerintah menetapkan harga tetap untuk membayar
petani, bahkan jika dunia harga tinggi. Penjajah Belanda dan kolaborator mereka
makmur kebijakan kolonial, tetapi banyak petani akhirnya menjadi miskin. Belanda
menggantikan Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870-an dengan kebijakan perusahaan
bebas, yang menyambut investasi asing dan banyak lagi Perkebunan milik Barat
(Lockard, 2009: 93-94). Melalui abad ke 19, pemerintah Hindia Belanda secara
bertahap memperluas kontrolnya atas Sumatra dan Indonesia bagian timur. kerajaan
Aceh yang kuat pada 1911 koloni itu lengkap. Belanda sering berbicara tentang 300
tahun mereka di Hindia Belanda, tetapi, bagi sebagian besar orang di kepulauan itu,
penggabungan ke Hindia Belanda terjadi menjelang akhir abad ke-19 atau pada dekade
pertama abad ke-20. Kebanggaan lokal, loyalitas politik, budaya dan pribadi daerah
dan rasa sejarah lokal tetap kuat ketika Jepang menghancurkan kekaisaran Belanda
pada tahun 1941. Pada awal abad ke-20 Belanda telah menciptakan Hindia Belanda
sebagai negara terpusat, dengan kekuasaan terkonsentrasi di ibukota, Batavia, birokrasi
yang efisien dan layanan polisi dan militer yang mampu mempertahankan kontrol
sosial (Church, 2009: 43-46). Kondisi kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia
perkotaan terus memburuk dari tahun 1920-an hingga 1970-an. Belanda
memperkenalkan pendidikan Barat untuk menyediakan tenaga kerja terampil yang
dibutuhkan oleh ekonomi kolonial yang berkembang. Belanda digunakan sebagai
media 6 pengajaran oleh sekolah-sekolah terbaik, yang darinya menyebabkan
pekerjaan administrasi yang dibayar lebih baik atau kemungkinan memasuki
universitas di Belanda atau sekolah kedokteran dan hukum di koloni. Tetapi masuk ke
sekolahsekolah ini sangat sulit dan, di samping segelintir orang yang mendapat
beasiswa, pada praktiknya terbatas pada anak-anak elit adat atau pejabat pemerintah.
Lebih mudah untuk mendapatkan sedikit pendidikan di sekolah-sekolah di mana media
pengajarannya adalah bahasa sehari-hari. Meski begitu, pada akhir masa kolonial
Belanda, tingkat pendidikan di Indonesia lebih rendah dari koloni Eropa lainnya di
Asia, kecuali koloni Portugis di Timor Timur (Church, 2009: 43-46).
d. Inggris Inggris menjadi kekuatan Eropa terkuat, terima kasih untuk kepemimpinannya
dari Revolusi Industri. Mencari sumber untuk barang untuk dijual di Cina serta
pangkalan angkatan laut di Samudera Hindia Timur, British East India Company
membeli Pulau Penang, di lepas Pulau Malaya pantai barat laut, dari sultan Melayu
yang kekurangan uang pada 1786. Penang dengan cepat menjadi pelabuhan
perdagangan bebas utama untuk produk-produk Barat dan India serta untuk komoditas
lokal seperti timah, lada, dan rempah-rempah. Lingkungan setempat Populasi Melayu
segera kalah jumlah oleh Cina, India, dan Arab imigran yang datang untuk berdagang
dan bekerja (Lockard, 2009: 97-116). Pada tahun 1819 agen Inggris, Sir Thomas
Stamford Raffles, memanfaatkan lokal kerusuhan politik untuk mengakuisisi Pulau
Singapura yang jarang penduduknya di ujung Semenanjung Melayu. Raffles khawatir
dengan meningkatnya kekuatan Belanda dan menulis bahwa tindakannya mematahkan
mantra tak terkalahkan Belanda, dengan Belanda tidak lagi menjadi penguasa eksklusif
dunia Melayu. Pelabuhan indah dan lokasi strategis di ujung selatan Melaka Selat, titik
tengah pengiriman antara Cina dan India, dengan cepat dibuat Singapura adalah pusat
bagi dorongan regional Inggris dan sumber yang hebat keuntungan. Singapura
menyambut imigran Cina, dan pulau itu menjadi pangkalan utama untuk kegiatan
ekonomi Cina di Asia Tenggara (Lockard, 2009: 97-116). Ketidakstabilan sosial dan
politik adalah hal biasa di beberapa negara bagian Melayu. Dengan ekspor timah yang
terancam, para pengusaha Eropa di Selat 7 Malaka Tuan-tuan menekan kadang-kadang
enggan pemerintah Inggris untuk mengambil lebih peran aktif di negara-negara
Melayu. Para pejabat Inggris sudah khawatir tentang ancaman yang dirasakan dari
musuh Jerman, Prancis, dan Belanda. Pada 1870-an pejabat lokal Inggris mulai
melakukan intervensi di berbagai Melayu kesultanan, membangun pengaruh politik.
Mereka menggunakan pendirian ketertiban dan keamanan sebagai alasan mereka untuk
intervensi, tetapi ini ditutup-tutupi kebutuhan negara perdagangan industrialisasi untuk
sumber daya dan pasar (Lockard, 2009: 97-116). Pada tahun 1909 Inggris telah
mencapai formal atau kontrol informal atas sembilan kesultanan, termasuk beberapa
negara bagian utara diperoleh dari Siam. Berbagai negara menyimpan identitas terpisah
mereka, tetapi mereka semakin terintegrasi dengan Pemukiman Selat untuk
membentuk British Malaya. Dengan mempertahankan para sultan dan aristokrasi
Melayu sebagai pemimpin simbolis negara mereka, Inggris melanjutkan gagasan itu
Orang-orang Melayu menduduki posisi istimewa di koloni itu (Lockard, 2009: 97-116).
Sementara itu Inggris mempertahankan kendali mereka atas koloni oleh mengatur
berbagai komunitas melalui pemimpin mereka sendiri: aristopara pemimpin Melayu,
pedagang Cina yang kaya, dan perdagangan India kota ers dan profesional. Kebijakan
ini memperlakukan kelompok etnis utama sebagai komunitas yang terpisah mengubah
mereka menjadi tiga etnis yang terpisah blok — Melayu, Cina, dan India — dengan
konsekuensi mendalam untuk persatuan nasional dan sosial. Para intelektual Melayu
menjadi semakin kuatir bahwa imigran Cina mungkin membanjiri budaya Melayu
(Lockard, 2009: 97-116). Inggris juga memperluas kekuatan mereka ke sepertiga utara
Kalimantan. neo, kebanyakan dihuni oleh Muslim Melayu di sepanjang pantai dan
animisme orang-orang bukit di pedalaman. Pada tahun 1841 seorang petualang bahasa
Inggris yang kaya, James Brooke, campur tangan dalam pemberontakan oleh orang
Melayu lokal di Sarawak melawan Kesultanan Brunei, yang mengklaim kepemilikan
daerah tersebut. Brooke menjadi Rajah (Gubernur) Sarawak, berbasis di Kuching, dan
ia dilantik 100 tahun memerintah oleh keluarga Inggris. Raja pertama, James Brooke,
harus mempertahankan pemerintahannya terhadap pemukiman penambangan Cina
yang digunakan untuk otonomi dan, lebih penting 8 lagi, melawan Ibans, sebuah
interior orang banyak ditakuti sebagai pejuang dan pemburu kepala yang telah lama
menentang pemerintah pesisir (Lockard, 2009: 97-116). Orang Ibans, penganut
animisme yang mendasari perekonomiannya pergeseran penanaman padi, dianeksasi
hanya setelah militer berdarah kampanye. Meskipun aneksasi kekerasan ini, Brookes
melihat diri mereka sendiri, dan sebagian besar memerintah, karena otokrat yang baik
hati mengklaim melindungi lokal orang-orang dari perubahan yang terlalu cepat.
Sarawak menjadi negara merdeka di bawah perlindungan Inggris, tetapi hubungan
Brookes 'dengan Inggris dan Belanda tetangga sering tegang. Brookes memperluas
perbatasan negara dengan memperoleh wilayah dari penurunan Brunei dan
pembangunan oped basis ekonomi dengan mendorong imigrasi dan uang tunai Cina
tanaman-tanaman (Lockard, 2009: 97-116). Sementara itu, di Kalimantan Utara,
sebuah perusahaan swasta Inggris, the Chartered Company, mengambil alih wilayah
yang pernah diperintah oleh Brunei dan Thailand kesultanan Sulu di Filipina Selatan.
Perusahaan memerintah Inggris ish Borneo Utara, hari ini dikenal sebagai Sabah,
sebagai protektorat dari Inggris 1881 hingga 1941, mengoperasikan negara untuk
kepentingan kepemilikan saham Inggrisers. Perkebunan milik Barat menanam karet
dan tembakau. Brunei, sekali kekuatan utama di wilayah tersebut, menjadi protektorat
dan tepung Inggris ished setelah penemuan cadangan minyak besar pada tahun 1920
(Lockard, 2009: 97- 116). Inggris menaklukkan Burma, berperang tiga Perang Anglo-
Burma pada tahun 1824-1826, 1852, dan 1885-1886. Tidak seperti koloni lain yang
mempertahankan identitas etnis mereka, Burma adalah provinsi di India Britania.
Burma, oleh karena itu, memiliki dua set penguasa, Inggris di atas dengan India di
tengah. Pada tahun 1935 Inggris setuju untuk memisahkan Burma dari India, dan
memberlakukan perjanjian ini pada tahun 1937. Burma mampu menegosiasikan
kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1948. Di semenanjung, perpanjangan kontrol
Inggris bertemu dengan beberapa oposisi tetapi tidak diatasi. Inggris belum tahu
bagaimana menciptakan lingkungan untuk ekspansi ekonomi. Industri timah yang telah
booming pada tahun 1840-an terus tumbuh, bergerak dari Cina 9 ke kontrol Barat
dengan kedatangan mekanisasi padat modal di abad ke-20. Pada dekade pertama abad
ke-20, penanaman karet meningkat. Pada 1930, dua pertiga dari tanah yang ditanami
di semenanjung itu berada di bawah karet. Timah Malaya dan karet Malaya akan
mendominasi pasar dunia mereka masing-masing, dan meskipun harganya tidak stabil,
akan menjadikan semenanjung itu salah satu harta kerajaan paling berharga di Inggris.
Keberhasilan komoditas ini berarti bahwa diversifikasi ekonomi terbatas (Church,
2009: 90-93). Jaringan jalan dan kereta api yang didirikan Inggris membentuk dasar
untuk infrastruktur komunikasi yang baik. Aktivitas Cina di bidang-bidang seperti
keuangan, transportasi, konstruksi, industri kecil, dan perdagangan ritel juga
membangun basis yang kuat untuk masa depan ekonomi daerah. Imigrasi Tiongkok
membengkak di era kolonial, ditarik oleh peluang ekonomi yang terbuka dan didorong
oleh kondisi mengerikan di Tiongkok. Inggris membiarkan imigrasi Tiongkok tidak
terkendali sampai 1930, ketika Depresi Hebat mengakhiri permintaan tenaga kerja
tambahan. Sementara itu, Inggris juga merekrut tenaga kerja India. Sensus tahun 1931
mengungkapkan bahwa orang Melayu tidak lagi membentuk mayoritas dalam total
populasi Negara-negara Melayu dan Pemukiman Selat. Ini terlepas dari aspek imigrasi
ke Semenanjung di era ini - kedatangan sejumlah besar orang Melayu-Muslim dari
berbagai penjuru nusantara. Perpecahan antara orang Melayu, Cina dan India, yang
sudah sangat besar secara budaya, diperdalam oleh persepsi dan kebijakan Inggris
(Church, 2009: 90-93). Pemisahan komunitas semacam itu membuat kemunculan
nasionalisme, dalam arti gerakan pan-etnis, tidak mungkin. Sebelumnya pada Perang
Dunia II, orang Inggris di Malaya hampir tidak terpengaruh oleh semacam sentimen
antikolonial yang mengganggu koloni-koloni Barat lainnya di Asia. Perpecahan dalam
komunitas Malaya memajukan keadaan ini. Kebanyakan orang Melayu masih
cenderung setia pada negara dan sultan mereka. Orang Cina terbagi oleh perbedaan
klan dan dialek, dan oleh pertempuran antara Kuomintang dan Partai Komunis
Tiongkok di Cina. Namun, pendidikan dalam berbagai bentuk mulai menghasilkan
orang-orang dalam setiap komunitas etnis yang tidak puas untuk menyerahkan masa
depan sepenuhnya kepada Inggris (Church, 2009: 90-93). 10 The English East India
Company (EIC) secara terus-menerus menambah cerita di India sejak awal abad ke-17.
Benggala, di pantai timur India yang berdekatan dengan Burma yang berada di luar
kota Ava, membuang Inggris ke batu ke India. Kalkunlah yang memiliki pengaruh dari
negara yang memiliki pengaruh EIC, ekspansi teritorial, dan transaksi komersial.
Myanmar terutama dilihat oleh EIC sebagai zona penyangga. Potensi komersial yang
penting tetapi yang lebih penting adalah strategis. Tidak ada kekuatan Eropa lain yang
dapat diizinkan untuk memengaruhi di sana dan para penguasa Burma diharapkan
untuk mengetahui bahwa mereka akan mengalami kemajuan di Inggris, India, dan
kondisi yang paling sulit untuk perdagangan yang sukses (Church, 2009: 111- 114).
Pada tahun 1822, pasukan Burma menginvasi Bengal dan mengancam Raja Chittagong
dalam perselisihan tentang kembalinya pengungsi politik dari Ava. Perang Vietnam-
Burma yang pertama berakhir tahun 1824 hingga 1826. Akhirnya, persenjataan dan
taktik Inggris yang superior, yang didukung oleh pangkalan belakang yang kuat di
Bengal, memastikan kemenangan Inggris. Orang-orang Burma dipaksa untuk
menyerahkan sejumlah besar cerai di pantai Teluk Bengal, memungkinkan EIC untuk
mengendalikan gerombolan eBay. Selama dua dekade berikutnya, EIC
mengeksploitasi potensi pertanian dari perkebunan baru, meningkatkan produksi empat
kali lipat dan mengembangkan perdagangan ekspor yang kuat untuk beras, kayu dan
pembuatan kapal(Church, 2009: 111-114). Pada tahun 1850-an, perang Anglo-Burma
yang kedua pecah, penyebab langsungnya adalah konflik antara pedagang Inggris dan
gubernur Myanmar di Myanmar. Hasilnya adalah Bengal memperoleh lebih banyak
wilayah di Myanmar yang lebih rendah. Tindakan terakhir dalam akuisisi Inggris atas
Myanmar terjadi pada tahun 1885 ketika Mandalay ditangkap dan Raja dan
keluarganya diasingkan ke Calcutta. Myanmar secara resmi dijelaskan oleh Britainon
pada 1 Januari, 1886. Dampak Inggris terhadap Myanmar sangat besar. Pada tingkat
politik, monarki dihapuskan dan aristokrasi Burma dilucuti dari kekuasaan mereka.
Myanmar diperintah dari Calcutta, sebagai bagian kecil dari kerajaan India Inggris.
Model administrasi India diberlakukan oleh orang Inggris, 11 yang pada umumnya,
tidak memiliki pemahaman atau rasa hormat terhadap struktur sosial lokal. Myanmar
Bawah, yang merupakan dataran aluvial yang secara etnis adalah Burma dan jantung
dari kerajaan Burma, diperintah langsung oleh pemerintah kolonial, dengan kekuatan
elit tradisional regional dan lokal dihancurkan (Church, 2009: 111-114). Kekuatan
perang di masyarakat Burma dihilangkan, tanpa penggantian penduduk asli. Undang-
undang kolonial Inggris yang diperkenalkan dalam birokrasi yang lama mendukung
pemeliharaan kontrol sosialnya oleh polisi dan tentara yang efisien. Inggris tidak
mempercayai Burma. Polisi dan tentara sebagian besar terdiri dari etnik minoritas yang
akan memiliki sedikit keraguan untuk meredam pertikaian Burma. Birokrasi diawasi
oleh Inggris tetapi sebagian besar dikelola oleh Anglo-Burma dan India. Birokrasi yang
baru dibuat oleh Inggris didominasi oleh orang Myanmar-Myanmar, yang model
budayanya lebih banyak dipengaruhi oleh Inggris daripada oleh Myanmar. Ini
menimbulkan masalah besar setelah kemerdekaan. kekerasan pada 1930-an. Apa yang
ada dalam kapitalisme ada di tangan asing: Perusahaan-perusahaan Eropa
mengendalikan perdagangan ekspor, pedagang kecil dan kapitalis kecil adalah orang
Cina; dan pemberi dana dan rentenir pedesaan adalah orang India. Myanmar adalah
masyarakat majemuk di mana posisi ekonomi dipenuhi oleh etnis. Perkembangan
ekonomi di bawah pemerintahan kolonial disertai dengan penyebaran pendidikan
Barat. Elit urban berpendidikan Barat baru muncul pada abad ke-20, yang darinya
muncul gerakan nasionalis (Church, 2009: 111-114).
e. Perancis
Prancis mengembangkan ambisi di Vietnam, yang dilanda sipil perang dan
pemberontakan. Pada 1770-an pemberontak yang dikenal sebagai Taysons, dipimpin
oleh tiga saudara lelaki dari desa Tayson di Vietnam Selatan, mulai a Perjuangan 30
tahun melawan kaisar Vietnam dan Perancis mereka kebohongan. Pemimpin Tayson
yang inspirasional, Nguyen Hue, mensponsori ekonomi ekspansi, mengumpulkan
orang-orang terhadap invasi Cina, terampil nipulasi sentimen terhadap bantuan asing
kepada kaisar, dan mengatasi kemiskinan yang semakin meningkat. The Taysons
adalah revolusioner sosial semboyannya adalah ―merebut milik orang kaya dan
mendistribusikannya kembali orang miskin, ‖ 12 7tetapi mereka juga berkomitmen
untuk bersatu tion setelah beberapa dekade divisi (Lockard, 2009: 97-116).
Kolonialisme memungkinkan Prancis untuk mengeksploitasi alam sumber dan juga
membuka pasar baru untuk barang-barang buatan Prancis. Perusahaanperusahaan
komersial Perancis yang kuat dan para pegawai negeri sipil terkemuka pered, bahkan
jika mengelola Indocina terbukti menguras keuangan pada Perancis. Pemerintah
kolonial menggerogoti otonomi Vietnam. desa Namese dengan menunjuk pemimpin
lokal mereka dan meningkatkan pajak beban untuk membiayai biaya administrasi
(Lockard, 2009: 97-116). Perancis mengambil tanah dari petani dan menyerahkan
mungkin setengah dari tanah yang diolah untuk pemilik tanah dan investor. Pemerintah
kolonial juga sangat memperluas produksi beras untuk ekspor, tetapi ekspansi tersebut
disukai besar pemilik tanah daripada petani. Di perkebunan karet, pekerja menghadapi
kondisi berbahaya dan tidak sehat. Dengan mencabut masyarakat pedesaan,
memperkenalkan kapitalisme kompetitif ke dalam komunitas yang kooperatif ikatan,
menghubungkan Vietnam dengan ketidakpastian ekonomi dunia, melemahkan sistem
kekaisaran, dan mengeksploitasi VietnamIni, Prancis juga menggerakkan kekuatan
yang akhirnya hancur aturan tidak populer mereka (Lockard, 2009: 97-116). Perancis
pindah ke Vietnam pada tahun 1858, menangkap Saigon pada tahun 1859.
Menggunakan selatan, kemudian disebut Cochin China, sebagai pangkalan, Perancis
bergerak ke barat dan utara menyelesaikan penaklukan Indocina pada tahun 1907.
(Indocina - lima wilayah di bawah otoritas Perancis: Cochin Cina, Annam, Tongking,
Laos, dan Kamboja.) Prancis juga ingin mempertahankan koloni mereka setelah Perang
Dunia Kedua. Vietnam menolak pemerintahan Prancis, dan setelah mengalahkan
Prancis di Dien Bien Phu, memperoleh kemerdekaan mereka di Konferensi Jenewa
pada tahun 1954.Prancis memulai serangan mereka terhadap Vietnam pada tahun 1859
dan pada tahun 1862 mendirikan koloni Cochin China di sekitar Saigon. Pada saat yang
sama seorang raja baru Kamboja, Norodom (memerintah tahun 1860–1904), sedang
mencari sekutu untuk mendukungnya melawan Thailand dan melawan rival
domestiknya untuk tahtanya (Church, 2009: 17-19). 13 Pada bulan Agustus 1863, ia
menandatangani perjanjian 'perlindungan' yang membangun Prancis Prancis di Phnom
Penh, memberi Prancis kendali atas hubungan luar negeri Kamboja, dan membuka
negara itu untuk kepentingan komersial Prancis. Raja Mongkut memprotes tetapi pada
tahun 1867, dengan enggan mengakui protektorat Perancis. Namun, orang-orang
Thailand mempertahankan provinsi-provinsi barat laut Kamboja; ini hanya akan
dikembalikan ke Kamboja pada tahun 1907 atas desakan Prancis (Church, 2009: 17-
19). Pada tahun 1880-an Prancis berubah Kamboja menjadi koloni. Tapi Kamboja tetap
menjadi perhatian kedua untuk Perancis dan, karena sebagian besar diabaikan,
mengalami kurang eksploitasi tasi daripada Vietnam, kecuali untuk banyak perkebunan
karet Prancis dikembangkan. Monarki Khmer tetap di tempatnya dan sebagian besar
petani mempertahankan kendali atas tanah mereka, tetapi beberapa orang Kamboja
membenci Prancis kontrol. Prancis juga membawa Vietnam sebagai administrator dan
pedagang, meningkatkan ketegangan KhmerVietnam (Lockard, 2009: 97-116). Prancis
menyatukan saingan negara-negara Lao di sepanjang Sungai Mekong dan suku-suku
pegunungan yang beragam dari pegunungan Laos menjadi kolonial bersama entitas,
Laos, di bawah kepemimpinan simbolis dari raja Lao Luang Prabang. Perancis tidak
berbuat banyak untuk membentuk persatuan nasional yang nyata, meningkatkan sosial
kesejahteraan, atau mendorong pembangunan ekonomi kecuali untuk membangun
beberapa perkebunan karet. Hasil pengabaian Prancis adalah retensi dari struktur sosial
tradisional tetapi juga kurang modernisasi (Lockard, 2009: 97-116). Pada tahun 1884,
Prancis memaksa Norodom — di bawah ancaman digulingkan dan diganti — untuk
menandatangani perjanjian yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah pejabat
Prancis di kerajaan, memberikan kontrol kebijakan kepada Prancis atas semua masalah
administrasi, keuangan, yudisial dan komersial, memulai suatu sistem sertifikasi tanah,
dan menghapus perbudakan (Church, 2009: 17-19). Pada 1886, Prancis bersedia
mengakui penghormatan terhadap adat istiadat Kamboja dan untuk dua dekade
perubahan adalah minimal dan diperkenalkan 14 dengan hati-hati. Namun, pada
kematian Norodom pada tahun 1904, Prancis menunjuk dari antara kemungkinan
pewaris seorang raja yang bersedia mematuhi kebijakan Prancis. Dia adalah yang
pertama dari tiga raja yang dipilih oleh Prancis berdasarkan kepatuhan mereka. Yang
ketiga adalah Norodom Sihanouk, yang naik tahta sebagai anak 19 tahun yang pemalu
pada tahun 1941. Karena itu, Perancis dapat membangun otoritas penuh atas protektorat
mereka. Sebelum 1940, mereka menghadapi sedikit pertentangan lebih lanjut. Pada
tahun 1925, Frisd Bardez, pejabat militer, menimbulkan sensasi, tetapi hanya karena
itu tampaknya merupakan tantangan yang terisolasi dan tidak seperti biasanya bagi
pemerintahan Prancis (Church, 2009: 17-19). Kamboja adalah negara di mana naluri
komersial telah lama dihancurkan oleh isolasi, perang, dan kelas penguasa yang
membenci perdagangan, selain sebagai sumber perpajakan. Di bawah pemerintahan
Prancis, pengusaha Cina dan Vietnam dengan cepat mengasumsikan dominasi
overtrade dan pinjaman uang. Dalam kolonial Kamboja, tidak ada industri konsekuensi
yang dikembangkan. Kota-kota di negara itu tetap kecil (pada tahun 1930-an populasi
Phnom Penh adalah sekitar 100.000; 20.000 Battambang) dan didominasi oleh alien —
Prancis, Cina, dan Vietnam (Church, 2009: 17-19). Prancis menaklukkan sisa Vietnam
antara 1883 dan 1885, dalam konflik yang rumit di utara negara itu. Utara telah runtuh
dalam kekacauan yang dipicu oleh keduanya Pemberontak Vietnam dan ekspatriat
Cina. Pemerintah kekaisaran Vietnam telah kehilangan semua kapasitas untuk
mengendalikan peristiwa. Baik Cina dan Prancis menganggap Vietnam sebagai
wilayah pengaruh masing-masing dan mengirim pasukan, dengan Prancis akhirnya
memukul mundur Cina. Prancis kemudian mendeklarasikan "protektorat" atas Vietnam
utara (Tonkin) dan Vietnam tengah (Annam), di mana mereka akan mempertahankan
"duppet''Nguyenemperorsuntil1926.Pada tahun 1885, beberapa mandarin Vietnam,
marah pada intrusi Perancis, mengorganisir gerakan perlawanan yang disebut Can
Vuong ('Bantuan Raja'), yang akan bertahan selama beberapa tahun. Setelah itu selesai,
Prancis akan memerintah dengan relatif aman sampai 1940 (Church, 2009: 186-188).
15 Kolonial Prancis akan membawa banyak unsur modernitas ke negara itu, di
antaranya kota-kota tampan dengan selokan dan penerangan listrik, kereta api Saigon-
Hanoi, fasilitas pelabuhan modern, jaringan jalan logam, dan pendidikan modern serta
obat-obatan untuk mereka — minoritas kecil — yang mampu membelinya. Di bawah
Perancis, output beras kota ini sangat diperluas dan Vietnam terhubung ke ekonomi
dunia berdasarkan ekspor beras dan, pada tingkat lebih rendah, karet dan produk
lainnya (Church, 2009: 186-188). Negara itu dibagi menjadi Cochin China Annam dan
Tonkin, yang pusatpusat administrasinya masing-masing adalah Saigon, Hu dan Hanoi.
Hal ini berdampak pada kemarahan nasionalis Vietnam dan meningkatnya
kecenderungan regionalis. Tiga segmen menjadi bagian dari Indocina Prancis, bersama
dengan Kamboja dan Laos. Perbedaan pendekatan administrasi utara dan selatan juga
tampaknya mendorong regionalisme. Cochin China, secara konstitusional merupakan
koloni Perancis, administrator berpengalaman Perancis dan bentuk hukum Prancis
(Church, 2009: 186-188). Cochin Cina adalah kisah sukses kolonialisme Prancis.
Ketika pemerintahan Prancis dimulai, Delta Mekong masih relatif sedikit
penduduknya, meskipun sebagian besar tanahnya masih rawa. Dari tahun 1870-an,
program pengontrolan air dan irigasi menyediakan lahan pertanian baru yang luas.
Kemudian Prancis akan membanggakan bahwa mereka telah meningkatkan lahan beras
Vietnam sebesar 420 persen. Pada 1920-an, pengembangan Delta Mekong telah
memungkinkan Vietnam untuk menjadi salah satu dari pengekspor kelas dunia yang
sulit, meskipun keunggulan utama beras - yang mencakup lebih dari 70 persen ekspor
kolonial Vietnam - membuat perekonomian tidak seimbang (Church, 2009: 186-188).
Sejarah Vietnam ingat dengan kebijakan perpajakan Prancis yang mengerikan,
mengklaim bahwa orang Vietnam adalah orang yang paling banyak mengenakan pajak
di dunia kolonial. Itu bisa diperdebatkan, tetapi biaya pertahanan, administrasi, dan
pekerjaan umum Prancis tinggi dan oleh karena itu, pajak mereka. Promosi monopoli
opium pemerintah, hingga tahun 1930-an, dikenang dengan ketidaksukaan tertentu.
Tagihan lainnya termasuk pajak polling dan pajak atas alkohol dan garam (Church,
2009: 186-188).
f. Amerika Serikat Sejarah anti-kolonialisme Amerika sendiri memastikan bahwa ada
perbedaan yang signifikan dalam pemerintahan AS di Filipina dari pemerintahan
kolonial di tempat lain di Asia Tenggara. Sejak awal, Amerika Serikat menegaskan
bahwa tujuannya adalah untuk memimpin Filipina menuju kemerdekaan. Nasionalisme
adalah kekuatan yang sah (tentu saja dibentuk dengan citra sendiri), bukan orang yang
tidak dipercaya dan ditindas. Dari sini disimpulkan bahwa peran negara kolonial adalah
untuk mengajari orang-orang Filipina dalam administrasi negara-bangsa modern agar
mereka mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk kemerdekaan secepat
mungkin. Mengingat bahwa orang Amerika melihat diri mereka berada di Filipina
untuk alasan terbaik - 'misi demokratis' - tidak mengherankan bahwa administrasi
kolonial AS menekankan pentingnya mengembangkan proses pendidikan, kesehatan,
dan demokrasi (Church, 2009: 113). Pada tahun 1934, Kongres Amerika Serikat
mengamanatkan kemerdekaan Filipina dalam 12 tahun terakhir. Pada tahun 1935,
Filipina adalah negara bagian pertama yang menjadi tempat persinggahan masyarakat
Filipina yang didirikan dan diatur dalam urusan domestik. Manuel Quezon adalah
presiden pertamanya. Meskipun perkembangan politik di Filipina unik di Asia
Tenggara, dalam jangka panjang pengaruhnya adalah untuk meningkatkan kekayaan
dan kekuatan elit yang mendarat. Pemerintah Amerika Serikat membelanjakan uang
untuk Filipina daripada mengambil uang darinya — hal unik lainnya (Church, 2009:
113). Bangsa Portugis dan Spanyol adalah dua bangsa pertama yang melakukan
ekspedisi untuk menemukan tempat penghasil rempah-rempah setelah pasar di Eropa
mengalami krisis rempah-rempah. Portugis masuk dan sempat menduduki Maluku di
Indonesia. Disusul kemudian Spanyol yang juga berencana menduduki Maluku namun
akhirnya pindah dan bergeser ke Filipina dan Sulu (Tarling, 1999). Ini terjadi setelah
dibuatnya perjanjian kesepakatan antara Portugis dan Spanyol. Selanjutnya memasuki
abad 16, bangsa Inggris, Prancis, dan Belanda mulai menjajah negara-negara Asia
Tenggara. Inggris memiliki andil besar terhadap negara-negara colonial di Asia
Tenggara. 17 Inggris yang mengendalikan dan memengaruhi kebijakan colonial
Belanda dan Prancis di Asia Tenggara (Tarling, 1999). Hampir sebagian besar
negaranegara di Asia Tenggara berada dalam kekuasaan Inggris ; Malaysia, Singapura,
Brunei Darussalam, dan Burma. Indonesia pun pernah mengalami masa colonial
Inggris sebelum kembali dijajah Belanda. Di pihak lain Prancis menguasai Laos,
Vietnam, dan Kamboja, sementara Filipina berada di bawah kendali Spanyol. Di masa
kolonialisme ini negara-negara Asia Tenggara dieksploitasi baik SDA maupun tenaga
SDM nya.
DAFTAR PUSTAKA

Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.

Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Jamaluddin. 2015. Asia Tenggara Masa Modern Awal. Jurnal Lektur Keagamaan, 13(1), 305-308.

Church, P. 2009. A Short History of South-East Asia. Singapore: John Wiley & Sons Asia Pte Ltd.

Tarling, Nicholas. 1999. The Cambridge of Southeast Asia. Vol. Three, From 1800 to the 1930.
Cambridge University Press.

Tarling, Nicholas. 1999. The Cambridge of Southeast Asia. Vol. Three, From 1800 to the 1930.
Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai