Anda di halaman 1dari 44

COVER

PERANG KEMERDEKAAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara

MAKALAH

Dosen Pengampu :a

aDrs. Sumarjono, M. Si.


NIP. 195803231987021001

Kelas C

Oleh

Zahwa Riska Tiffani (180210302116)


Tersita Diah Margareta (180210302117)
Bagas Anjas Nugraha (180210302118)
Firdatul Magfiroh (180210302126)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami sebagai
penulisan makalah yang berjudul “Perang Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan lancar. Semoga shalawat
serta salam juga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw yang telah
memberikan syafaatnya dan telah membawa kami semua pada kehidupan yang
lebih baik.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia
Tenggara, dan untuk menambah pengetahuan kita tentang materi yang kita bahas,
yaitu “Perang Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara”. Oleh karena itu
kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Sejarah Asia
Tenggara, yaitu bapak Drs. Sumarjono, M.Si., yang telah memberikan dukungan
penuh sekaligus bimbingan kepada kami untuk menyusun makalah ini, serta
memberikan motivasi kepada kami untuk terus meningkatkan kualitas dalam
berkarya.

Penyusunan makalah yang berjudul “Perang Kemerdekaan Bangsa-Bangsa


Asia Tenggara” masih terdapat banyak kesalahan. Sehingga, banyak pula
kekurangan yang harus diperbaik untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh
karena itu, dengan kelapangan hati dan tangan terbuka kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penyusunan
makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.

Jember, 20 Mei 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1

1.3 Tujuan ................................................................................................................ 2

BAB 2. PEMBAHASAN ............................................................................................ 2


2.1 Usaha-Usaha penguasaan kembali bangsa-bangsa terhadap Asia
Tenggara ........................................................................................................ 3

2.1.1 Bangsa Baru dan Negara Lama .......................................................... 5


2.1.2 Bangkitnya Nasionalisme dan Kepentingan Negara Besar di
Kawasan Asia Tenggara ............................................................................. 10
2.2 Bentuk-Bentuk Perjuangan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara untuk
mempertahankan Kemerdekaan................................................................. 16

2.3 Perang Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara .................................. 29

2.3.1 Myanmar ............................................................................................ 29


2.3.2 Brunei ................................................................................................. 31
2.3.3 Filiphina ............................................................................................. 34
2.2.4 Vietnam .............................................................................................. 36
BAB 3. PENUTUP .................................................................................................... 38
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 38

3.2 Saran ................................................................................................................ 38

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 39

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perang Dunia II memiliki dampak yang luar biasa di seluruh Asia
Tenggara. Tetapi, bagaimana persisnya tentu saja bervariasi dari satu tempat
ke tempat lainnya. Bagaimana sisa-sisa perang membentuk dekolonisasi yang
menyusul di kemudian hari? Ini sudah menjadi perdebatan panjang di
kalangan sejarawan. Sebagian berpendapat bahwa periode pendudukan
Jepang adalah epos historis sangat penting yang secara fundamental
mengubah Asia Tenggara karena telah membawa perubahan psikologis,
politik dan sosial. Periode ini memberi dampak yang penting bagi Negara-
negara di kawasan Asia Tenggara.

Negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki rasa Nasionalisme yg


cukup tinggi demi terbebas dari belenggu penjajahan. Alhasil, rasa
Nasionalisme tersebut ternyata juga membuahkan hasil yang cukup
signifikan. Dengan adanya rasa Nasionalisme yg tumbuh dan bangkit,
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara dapat memperoleh kemerdekaan
serta terbebas dari belenggu penjajagan. Namun, hal itu tidak selesai begitu
saja. Dalam memperoleh kemerdekaan maupun mempertahankan
kemerdekaan memerlukan usaha yang sangat menguras tenaga, waktu, serta
melalui perjuangan yang sangat panjang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana usaha-usaha penguasaan kembali bangsa-bangsa terhadap Asia
Tenggara?
2. Bagimanakah bentuk-bentuk perjuangan bangsa-bangsa untuk
mempertahankan Kemerdekaan?
3. Bagaimanakah terjadinya perang Kemerdekaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui usaha-usaha penguasaan kembali bangsa-bangsa
terhadap Asia Tenggara
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perjuangan bangsa-bangsa untuk
mempertahankan Kemerdekaan?
3. Untuk mengetahui terjadinya perang Kemerdekaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara?

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Usaha-Usaha penguasaan kembali bangsa-bangsa terhadap Asia


Tenggara
Apabila fokus penelitian sejarah hanya ditunjukkan pada peristiwa politik
menjelang pembentukkan negara-bangsa baru di Asia Tenggara pada akhir
masa Perang Dunia Kedua, kita kadang lupa akan akibat jangka panjang
dekolonisasi. Termasuk didalamnya hubungan yang bermasalah antara negara
lama dengan bangsa baru, dan perbedaan kontras antara optimisme yang
terpancar dari bangsa baru dan ledakan kekerasan masal yang terjadi dimana-
mana. Dalam tulisan ringkas ini, saya bertujuan untuk meraba hubungan-
hubungan ini dalam konteks Perang Dingin, yang mengubah kawasan ini
menjadi kancah perang yang „panas.‟

Dekolonisasi politik di Asia Tenggara punya jalur yang berbeda,


mengakibatkan hasil yang beragam dan meliputi periode yang lama. Pada
tahun 1946 Filipina menjadi republik merdeka setelah negosiasi dengan
Amerika Serikat, Birma mengikutinya pada tahun 1947 setelah tawar-
menawar dengan Inggris; pada tahun 1945 nasionalis Indonesia dan Vietnam
memproklamirkan kemerdekaan daripada republik masingmasing, walaupun
kedaulatan secara formal diberikan oleh Belanda dan Perancis baru pada
tahun 1949 dan 1954 setelah revolusi yang berat. Kemerdekaan kerajaan
Kamboja dan Laos dari Perancis dinegosiasikan pada tahun 1954, dan Malaya
– sebuah republik federal hibrid dibawah kedaulatan kesultanan masing-
masing – menyusul pada tahun 1957 setelah proses negosiasi yang panjang
dan bermasalah dengan Inggris. Pada tahun 1963, setelah serangkaian
pembicaraan, Malaya berubah menjadi Federasi Malaysia ketika Serawak,
Borneo Utara dan Singapura bergabung dalam negara-bangsa merdeka itu.
Setelah muncul konfl ik mengenai posisi dominan elit Melayu, Singapura
meninggalkan Federasi pada tahun 1965 dan menjadi kota-negara yang
merdeka.

3
Hanya negara kaya minyak Brunei dan Timor Leste yang miskin yang
tetap bertahan sebagai titik-titik kolonial dibawah kontrol kolonial Inggris dan
Portugis. Pada tahun 1984, Inggris mengabulkan kedaulatan utuh kepada
kesultanan toriter di Brunei. Pada tahun 1975, Portugis yang semenjak tahun
1511 merupakan penakluk Eropa di Asia Tenggara pertama ketika menguasai
Malaka, adalah kekuatan kolonial terakhir yang meninggalkan kawasan ini.
Daripada memperoleh kemerdekaan, Timor Leste dijajah (ditaklukkan?) oleh
Indonesia. Setelah perang gerilya yang berkepanjangan, Timor Leste
mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 2002 setelah Indonesia
mengacaukan negara itu pada tahun 1999 dan PBB mendirikan pemerintahan
sementara.

Kerajaan Thailand merupakan satu satunya daerah di kawasan ini yang


tidak pernah dijadikan wilayah jajahan Barat. Walaupun mendapatkan
tekanan yang besar dari Perancis dan Inggris dan dengan bayaran konsesi
kawasan, ekonomi dan politik, Thailand berhasil mempertahankan kedaulatan
formalnya. Pada 1946, Thailand secara resmi dimasukkan dalam „keluarga
bangsa-bangsa‟ ketika menjadi anggota dari PBB. Persamaan yang menonjol
diantara beragam negara-bangsa di Asia Tenggara adalah keberlanjutan dari
perbatasan kolonial lama yang diarsir pada awal abad ke-20. Ketika Asia
Selatan mengalami pemisahan berdarah pada tahun 1947, negara-negara baru
di Asia Tenggara tetap melanjutkan kerangka perbatasan negara kolonial
masing-masing. Dalam batas-batas ini ada keberagaman etnis dan agama
yang besar. Khususnya di kepulauan Indonesia dan Filipina dan di Federasi
Malaysia dimana kesatuan itu dipaksakan oleh negara kolonial. Berbeda
dengan di kepulauan Asia Tenggara, di kawasan benua Asia Tenggara,
kesatuan politik dibangun berdasarkan grup etnis inti (etnis Burma, Thai,
Khmer, Lao dan Vietnam) dan akibat dari sejarah panjang pembentukan
negara berdasarkan kerajaan dinastik yang menyebabkan proses perlahan
asimilasi dan homogenisasi etnis, agama dan budaya (Lieberman, 2003 dan
2009).

4
Penjajahan Jepang, revolusi dan efek berdarah dari Perang Dingin
menciptakan persamaan lain di kawasan ini. Ia mengajarkan kepada
aktoraktor politik bahwa konfl ik bisa diselesaikan lewat cara-cara yang
penuh kekerasan dan mengakibatkan terjalinnya kekerasan menjadi bagian
dari sistem politik di Asia Tenggara.

2.1.1 Bangsa Baru dan Negara Lama


Setelah kekacauan yang diakibatkan oleh penjajahan Jepang, yang
menghentikan periode kolonial dan menyebabkan perluasan peperangan di
seantero Asia Tenggara, bangsa-bangsa baru ini muncul sebagai alat guna
mendorong modernitas. Mereka berfi kiran ke masa depan dan
menjanjikan perubahan, pembangunan dan perbaikan. Ada periode singkat
semasa tahun 1950an dimana elit-elit nasional menunjukkan ketertarikan
yang tinggi akan perkembangan baru diberagam tempat di dunia, yang
dicirikan dari sikap keterbukaan yang luas. Terbebaskan dari ikatan rezim-
rezim kolonial lama, elit-elit nasional memperluas garis pandang pada saat
ketika ide-ide baru dibawa oleh koran, radio, musik, teater dan
mewujudkan dirinya dalam arsitektur urban, pakaian dan bahasa (Lindsay
dan Liem, 2012; Day dan Liem, 2004).

Contoh kuat dari sikap ini dialami oleh kru fi lm dari Amerika pada
tahun 1953 di Bali. Ketika mereka bertanya akan lokasi terbaik guna
merekam budaya tradisional Bali yang asli, jawaban orang Bali: “kenapa
tidak rekam saja gedung pos kantor, rumah sakit dan sekolah-sekolah baru
kami?” (Chegary, 1955: 129). Negara telah memenangkan Perang Dunia
Kedua dan dalam dunia sosialis dan kapitalis, negara dianggap sebagai
motor utama untuk mewujudkan perubahan (Farabi Fakih, 2014).

Di Asia Tenggara, negara merupakan lembaga-lembaga utama


guna menstimulir proses pembentukkan bangsa, memperluas pendidikan
dan bahasa nasional, menulis kembali sejarah nasional dan menciptakan
simbol-simbol persatuan yang baru. Pemimpin-pemimpin nasionalis yang
kharismatis seperti Presiden Sukarno di Indonesia, Perdana Menteri U Nu

5
di Birma, Raja Sihanouk di Kamboja, Presiden Ho Chi Minh di Vietnam,
Perdana menteri Tunku Abdul Rahman di Malay dan Presiden Magsasay
di Filipina, mengejawantahkan optimisme baru, menjanjikan kemajuan
dan mengarahkan warga mantan-koloni ini untuk menjadi partisipan aktif
dalam bangsa mereka. Negara kolonial yang diwariskan oleh pemimpin ini
merupakan rezim-rezim terpusat yang dikuasai oleh orang asing yang
dicurigai oleh pribumi dan bersekutu dengan elit lokal dan kelas kota
terpelajar yang kecil.

Fokus utama rezim-rezim ini ada pada eksploitasi sumber daya dan
pengarahan tenaga kerja murah. Infrastruktur dibangun utamanya guna
mendukung ekonomi kolonial, sementara investasi di bidang pendidikan
dan kesehatan sangat terbatas. Kelompok minoritas pedagang asing
menikmati hak istimewa ekonomi guna menghambat kemunculan borjuis
pribumi. Tantangan utama yang dihadapi pemimpin nasionalis baru ada
pada tiga bidang: (1) mengubah negara kolonial yang mereka wariskan
dari alat represi menjadi lembaga yang bisa mendorong partisipasi
populer; (2) mengubah ekonomi kolonial dari sifat eksploitasi menjadi
mesin pembangunan, dan (3) mengubah masyarakat kolonial yang
diwarnai pembatasan etnis dan agama menjadi bangsa yang satu. Karena
banyak birokrat tingkat menengah dan tinggi dididik dibawah kekuasaan
kolonial, mereka melanjutkan sikap-sikap negara kolonial lama dalam
negara-bangsa baru dan membentuk inti dari kelompok konservatif dalam
negarabangsa baru ini. Lebih lanjut, militer dalam negara bangsa baru juga
memperlihatkan kontinuitas yang sangat besar. Karena batasbatas koloinal
tidak pernah dipermasalahkan sebagai akibat dari kesepakatan bersama
antara pemegang kekuasan Barat, tentara kolonial punya tugas utama
sebagai polisi yang menjamin keamanan internal negara terhadap
pemberontak dan nasionalis. Di Vietnam dan terutama Birma dan
Indonesia tentara nasional baru memiliki peranan penting dalam

6
menggapai kemerdekaan dan akibatnya mereka mengklaim peran sebagai
pelindung persatuan nasional.

Setelah kemerdekaan mereka tetap melayani kepentingan negara


dengan menekan segala tanda-tanda ketidaksetiaan (Anderson 1983).
Perekonomian dilemahkan dan infrastruktur rusak parah sebagai akibat
dari krisis ekonomi tahun 1930an, penjajahan Jepang, revolusi dan
pergantian rezim. Di Birma dan Indonesia, pabrik pengolahan minyak
rusak, kota-kota seperti Manila dan Singapura hancur dan sektor ekspor
ekonomi kolonial lumpuh. Walaupun ada pertumbuhan yang singkat pada
awal tahun 1950an yang dirangsang oleh Perang Korea (1950-1953) tidak
ada investasi ekonomi skala besar ataupun inovasi ekonomi lainnya.

Usaha menjalankan kebijakan industrialisasi nasioinal lewat


substitusi impor yang bertujuan mendorong produksi domestik barang-
barang tertentu lewat penerapan tarif tinggi atas impor barang murah,
berhasil sampai taraf tertentu di Filipina tapi gagal di Indonesia. Ekonomi
Indonesia menjadi korban ketidak-efi siensi birokratis dan penyelundupan
sementara diseluruh kawasan Asia Tenggara, jumlah populasi naik pesat
ke level yang mengkhawatirkan, dari 177 juta pada tahun 1950 menjadi
295 juta pada tahun 1979. Walaupun ada usaha memobilisasi populasi,
sebagian besar politisi tidak punya banyak pengalaman dengan demokrasi
dan mereka juga tidak tertarik untuk memperkuat partisipasi populer
dalam proses pengambilan keputusan dan kontrol politik. Semenjak
1930an, Birma dan Filipina telah membatasi sistem pemerintahan dan
pemilu, yang di Birma didominasi oleh elit terpelajar urban, sementara di
Filipina dikontrol oleh elit mestizo pemilik lahan.

Sebelum merdeka, demokrasi juga diperkenalkan di Malaya


walaupun dipisah sesuai garis etnisitas dalam sebuah sistem yang
didominasi oleh elit Melayu. Pemilu beguna untuk melegitimasi
kekuasaan elit. Sebagian besar politisi dikawasan ini berbagi kekuasaan

7
dengan birokrat gaya lama dan generasi baru pejabat pemerintahan modern
yang punya keyakinan kuat bahwa populasi harus diarahkan dari sebuah
tradisi kenegaraan yang statis menuju modernitas dan mereka percaya
bahwa mereka dapat melakukan modernisasi kepada masyarakat hanya
lewat cara yang top-down. Walaupun kenyataan bahwa negara-bangsa
baru ini punya struktur administratif yang lemah, jaringan patronase
politik sangat berakar dalam masyarakat.

Patronase, bukan demokrasi, yang menjadi ciri dari politik pasca-


kolonial Asia Tenggara karena negara-bangsa baru tidak hanya
dipersatukan lewat lembaga administratif formal tetapi bahkan lebih lewat
jaringan patronase informal yang mengikat ibukota sampai ke desa-desa.
Tetapi, baik lembaga negara dan klien – yang karena sifatnya tidak
memberi akses kepada non-klien – tidak mampu menghilangkan perasaan
kekecewaan rakyat karena janjijanji bangsa baru tidak berhasil
diwujudkan. Perasaan tidak puas populer meningkat dan membiakkan
ketegangan-ketegangan etnis, agama dan kelas baru.

Ekonomi kolonial telah meningkatkan perbedaan antar kelas dan,


sebagai akibat dari kekuasaan kolonial, kelompok dalam masyarakat
dikategorisasi dan dipisahkan berdasarkan garis-garis etnis dan agama.
Kelas, etnisitas dan agama menentukan batas ketegangan (fault lines)
politik dalam masyarakat pasca-kolonial. Tidak lagi dibatasi oleh
monopoli kekuasaan negara kolonial dan didorong oleh konfl ik-konfl ik
baru, sentimen agama dan etnis dapat meledak dengan gampang ketika
pemimpin baru memobilisir dukungan guna membuka akses mereka
terhadap sumber daya negara yang terbatas pada saat ada ketidakpastian
dan kekurangan. Secara bersamaan, ketidakpuasan terkait dengan
eksploitasi dan pengucilan mendorong mereka yang miskin untuk
mengorganisir diri mereka di bawah ideologi komunisme. Segera setelah
Burma meraih kemerdekaannya pada tahun 1947, Burma mengalami
serangkaian konfl ik etnis yang berlangsung hingga beberapa dekade.

8
Pemuka suku Karen, Kachin, Chin, dan Shan berbalik melawan
pemerintah pusat di Rangoon. Agama dan kelas juga memainkan peranan
ketika kelompok muslim di Arakan dan faksi partai komunis melawan
pemerintah pusat. Ketika komandan militer justru berubah menjadi
pimpinan militer lokal, pemerintahan pusat hampir saja kolaps.

Di Indonesia, agama, kelas, dan etnisitas turut memicu konfl ik


politik selama periode revolusi dan tahun 1950an. Kristen Ambon dan
kelompok muslim radikal di Jawa Barat mencoba untuk mendirikan
negaranya sendiri, sementara pemberontakan PKI di Madiun berniat untuk
mengubah ideologi Indonesia ke arah kiri, meskipun kemudian berakhir
dengan kegagalan. Selama tahun 1950an, ketidakpuasan banyak pihak
terhadap dominasi Jawa dan Suku Jawa dalam kancah perpolitikan
Indonesia semakin meruncing, yang berimbas kepada meletusnya
pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi. Pada saat bersamaan pemerintah
Indonesia menetapkan kebijakan untuk membatasi posisi ekonomi para
pengusaha serta pedagang Tionghoa di Indonesia. Orang-orang gunung
yang tinggal di daratan Asia Tenggara, serta suku-suku lokal yang tinggal
di pedalaman Kalimantan, Papua, dan Semenanjung Malaya, semakin
termarginalisasi.

Para elit negara melihat rendang mereka dan bahkan


mengkategorikan mereka sebagai kelompok terbelakang yang akan sangat
sulit untuk dimodernisasi. Di Fi-lipina konfl ik antar kelas di tingkat desa
mendorong terjadinya pemberontakan Hukbalahap di tahun 1940an. Pasca
periode kolonial, minoritas Kristen di Asia Tenggara semakin terkucil;
Orang-orang Katolik di Vietnam semakin terpinggirkan oleh rezim sosialis
di Hanoi, sehingga mendorong terjadinya migrasi dalam jumlah besar ke
Vietnam Selatan, dimana mereka bersekutu dengan pemerintahan Diem;
namun setelah kemenangan rezim komunis pada tahun 1975, kembali
mereka teralienasi. Para perantau yang berasal dari India dan Tiongkok
yang sudah menetap sejak periode kolonial, semakin dibatasi

9
pergerakannya dan menjadi „orphans of empire‟ (Cribb dan Narangoa,
2004). Terbentuknya Malaya dan Federasi Malaysia jelas dipengaruhi oleh
jurang perbedaan antara orang-orang Tionghoa dan Melayu. Negara harus
mengatasi konfl ik-konfl ik tersebut dengan tujuan untuk mencapai
kesatuan nasional yang baru. Namun seringkali tindakan-tindakan represif
yang menjadi ciri khas negara kolonial, masih diterapkan oleh negara
merdeka tersebut.

2.1.2 Bangkitnya Nasionalisme dan Kepentingan Negara Besar di


Kawasan Asia Tenggara
Sejarah kelam era kolonialisme dan imperialisme yang menghantui
kehidupan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara pada akhirnya
memunculkan keinginan untuk bebas dari segala macam penindasan dan
penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Hal ini kemudian
mengakibatkan bangkitnya semangat self-determination dan nasionalisme
yang mendorong upaya bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk melepaskan
diri dari belenggu penjajahan.

Upaya-upaya yang dilakukan berdasarkan semangat nasionalisme


ini dapat berakhir manis ketika cukup banyak negara-negara di kawasan
ini yang mendeklarasikan kemerdekaannya pasca berakhirnya Perang
Dunia Kedua. Akan tetapi, kemerdekaan yang dicapai dengan susah payah
tersebut diusik oleh kemunculan dua kubu besar yang berseteru dalam
Perang Dingin dimana terdapat blok barat pimpinan Amerika Serikat yang
berusaha mewujudkan cita-cita liberalisme dan kapitalisme serta blok
timur pimpinan Uni Soviet yang berusaha mencapai cita-cita sosialisme
dan komunisme.

Hal ini mengakibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara


kemudian kembali terhimpit pada situasi yang tidak menguntungkan
karena adanya tekanan dari kepentingan dari kedua blok tersebut. Selain
itu, keberadaan Jepang sebagai salah satu negara besar di Asia juga mulai

10
memperluas peranan dan pengaruhnya di Asia Tenggara. Pada akhirnya,
kawasan Asia Tenggara kembali menjadi arena kontestasi kekuatan dan
pengaruh dari kekuatan-kekuatan besar dunia yakni Amerika Serikat, Uni
Soviet, dan bahkan Tiongkok serta Jepang.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai kepentingan negara-


negara besar di kawasan Asia Tenggara, disini penulis akan mencoba
memaparkan mengenai beberapa konsep nasionalisme yang menjadi salah
satu unsur esensial keberhasilan negara-negara Asia Tenggara
mendeklarasikan kemerdekaannya masing-masing. Nasionalisme pada
dasarnya adalah sebuah konsep yang tak memiliki suatu definisi dan teori
yang jelas karena tak ada literatur-literatur dan teks-teks klasik yang
memuat dan merujuk tentang apa itu sebenarnya nasionalisme beserta
dengan teori-teorinya (Miscevic, 2001).

Secara sederhana, nasionalisme dapat diartikan sense of


identity atau rasa keidentitasan suatu bangsa secara menyeluruh. Namun,
Ernst Gellner mencoba merumuskan nasionalisme sebagai suatu prinsip
politik utama, di mana negara dan bangsa harus bersifat kongruen.
Kongruen itu sendiri dapat memiliki arti bahwa setiap komponen negara
harus dapat sepaham sebagai suatu komunitas politik yang berdaulat
(Gellner dalam Miscevic, 2001). Menurut Halliday konsep nasionalisme
dapat terlihat dari dua aspek yakni aspek ideologis dan aspek politis.
Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme merupakan seperangkat aturan dan
moral yang menganggap eksistensi dari sebuah negara. Dari aspek politik,
nasionalisme dapat diartikan sebagai alat untuk meyakinkan warga negara
untuk secara sepenuhnya mengabdikan diri mereka secara sukarela bagi
kepentingan bangsa dan negara mereka (Halliday, 1997). Selain itu,
nasionalisme juga dapat diartikan sebagai cara pandang identitas seseorang
terhadap suatu komunitas politik yang terorganisir secara territorial
(Couloumbis & Wolfe, 1986).

11
Secara teoritis, Llobera kemudian menyatakan terdapat tiga teori
nasionalisme yakni teori sosiobiologis, teori modernisasi, dan teori
evolusioner. Teori sosiobiologis memiliki asumsi dasar berupa identitas
adalah suatu hal yang bersifat given sehingga nasionalisme kemudian
sengaja dikembangkan dan dikonstruksikan sehingga dengan tujuan
memperluas rasa persaudaraan serta rasa loyalitas terhadap negara.

Teori modernisasi memiliki pandangan bahwa rasa nasionalisme


muncul sebagai dampak dari dari proses-proses industrialisasi ekonomi
serta perkembangan pemikiran politik yang sebagian besar disebabkan
oleh arus globalisasi yang semakin menguat di era kontemprer deasa ini.
Teori yang terakhir yakni teori evolusioner yang menjelaskan bahwa
nasionalisme tak hanya dikonstruksikan berdasarkan pada teori yang
terjadi di era modern saja, tetapi juga berdasarkan pada nilai-nilai yang
telah muncul sebelumnya di abad sebelumnya terutama abad pertengahan
(Llobera, 1999).

Selain itu, terdapat pula teori nasionalisme statis dan kultural.


Menurut teori nasionalisme statis, di dalam upayanya membentuk rasa
nasionalisme sekaligus mencapai kesejahteraan di berbagai bidang
kehidupan secara menyeluruh, masyarakat sebuah negara kemudian
membutuhkan sebuah pemahaman akan kebudayaan dan nilai-nilai yang
bersifat homogen dan disepakati bersama. Sedangkan berdasarkan teori
nasionalisme kultural, nasionalisme akan cenderung terbentuk pada
sekelompok manusia di sebuah teritorial tertentu yang berbagai sebuah
latar belakang dan pengalaman kebudayaan yang sama (Gans, 2003).

Perkembangan nasionalisme di Asia Tenggara sangatlah


terpengaruh oleh pengalaman pahit yang mereka alami pada saat era
kolonialisme dan imperialisme. Sejalan dengan realitas yang terjadi di era
kolonialisme dan imperialisme tersebut, Syamsudin kemudian menyatakan
bahwa nasionalisme sebenarnya merupakan konsep yang „diimpor‟ dari

12
nilai-nilai Barat (Syamsudin, 1988). Hal ini kemudian diperjelas oleh
Chong bahwa terdapat tiga faktor utama yang mendasari lahirnya konsep
dan rasa nasionalisme di kawasan Asia Tenggara yakni keyakinan dan
religiusitas, nilai-nilai hasil pendidikan ala barat, dan radikalisme ala
sosialis komunis (Chong, 2009).

Pada awalnya, nilai-nilai religiusitas dan kultural yang terbentuk di


dalam kehidupan kemasyarakatan di kawasan Asia Tenggara yang bersifat
homogen kemudian memudahkan munculnya rasa kebersamaan dan sense
of belonging yang mampu mendorong pergerakan-pergerakan anti-
kolonial. Selain itu, munculnya rasa nasionalisme di kawasan Asia
Tenggara juga tak dapat dilepaskan dari peranan nilai-nilai kebebasan dan
nasionalisme ala barat yang tertanam pada sejumlah kalangan intelektual
yang sempat mengenyam pendidikan di negeri barat. Pada akhirnya,
masuknya nilai-nilai radikalisme ala sosialis komunis di kawasan Asia
Tenggara seperti yang terlihat di negara-negara Indocina dimana nilai-nilai
tersebut kemudian menjadi salah satu faktor pendorong yang signifikan
bagi kemunculan pergerakan nasional yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara (Chong, 2009).

Tetapi, kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki oleh negara-


negara tersebut tak berlangsung lama karena segera setelah Perang Dunia
Kedua berakhir, dunia kembali menyaksikan perang di antara dua
kekuatan besar dunia yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang
Dingin. Persaingan ideologi di antara kedua negara superpower tersebut
pada akhirnya masuk ke wilayah Asia Tenggara dimana pengaruh dan
kepentingan keduanya sangat terlihat pada Perang Vietnam dan berbagai
sikap keberpihakan yang ditunjukkan oleh negara-negara Asia Tenggara
terhadap kedua kubu. Perang Vietnam yang merupakan salah satu proxy
war yang terjadi di era Perang Dingin menjadi bukti nyata bahwa
persaingan ideologis liberal dan komunis telah mencapai salah satu titik
terpanasnya dimana keterlibatan Amerika Serikat dan Uni Soviet sangat

13
terlihat kala perang saudara kemudian pecah di Vietnam pada tahun 1956
(Crompton, 1997).

Amerika Serikat memberikan bantuan dari segi militer dan


ekonomi kepada pemerintahan Vietnam Selatan yang demokratis
sedangkan Uni Soviet menyuplai persenjataan pasukan Vietnam Utara
yang komunis (Crompton, 1997). Selain itu, sebagai salah satu upayanya
implementasi kebijakan containment, Amerika Serikat kemudian
menggunakan kekuatan ekonominya yang cukup besar di kawasan Asia
Tenggara mengingat pengaruh komunisme sudah mulai meluas sehingga
menyebabkan berbagai pergerakan sosialis komunis di beberapa negara
Asia Tenggara. Secara umum, Perang Dingin kemudian menyebabkan
munculnya tiga kubu di Asia Tenggara yakni negara yang pro Amerika
Serikat seperti Thailand dan Filipina, negara yang pro Uni Soviet seperti
negara-negara Indocina, serta negara yang netral seperti Indonesia
(Weatherbee, 2005). Selain itu, terdapat juga dua negara besar lain di Asia
yang juga turut menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara
yakni Tiongkok dan Jepang. Keberadaan Tiongkok dan pengaruhnya di
Asia Tenggara pada dasarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak sejak
sebelum era penjajahan bangsa barat dimana hal tersebut dibuktikan
dengan tersebarnya masyarakat keturunan Tiongkok di hampir seluruh
wilayah Asia Tenggara.

Karena dikenal sebagai salah satu etnis yang memiliki etos kerja
tinggi dan manajemen perdagangan yang baik, mereka kemudian berperan
aktif dalam pengembangan kondisi pasar regional Asia Tenggara yang
cukup pesat. Oleh karena itu, Tiongkok dan Asia Tenggara kemudian
mengembangkan hubungan kooperasi di bdiang industri dan perdagangan
mengingat Asia Tenggara adalah salah satu mitra terpenting bagi upaya
pembukaan pasar baru bagi Tiongkok (Acharya dan Stubbs, 1999). Selain
Tiongkok, terdapat pula Jepang yang berusaha kembali membangun
citranya sebagai negara yang kalah pada saat Perang Dunia Kedua. Oleh

14
karenanya, ia kemudian menggunakan kekuatan ekonominya sebagai salah
satu upaya pembukaan dan normalisasi hubungan dengan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara. Selain itu, kawasan Asia Tenggara juga memiliki
nilai yang strategis bagi pengembangan industrialisasi Jepang mengingat
kayanya sumber daya mentah yang dimiliki oleh negara-negara di kawasan
Asia Tenggara (Acharya dan Stubbs, 1999).

Pada akhirnya, perasaan senasib, ketakutan akan terulangnya


imperialisme dan kolonialisme pada era Perang Dingin, dan keinginan
untuk mencapai kemajuan di berbagai aspek kemudian mendasari
terbentuknya asosiasi negara-negara Asia Tenggara di Bangkok pada
tanggal 8 Agustus 1967. Asosiasi yang bernama Association of Southeast
Asian Nation atau ASEAN tersebut merupakan salah satu bentuk nyata
semangat kerja sama dan persatuan di antara negara-negara Asia Tenggara
untuk memperkuat posisi bangsa-bangsa Asia Tenggara di level
internasional dan mencapai sebuah kesejahteraan sosial kawasan tersebut
(ASEAN, n.y.). Regionalisme kawasan Asia Tenggara yang dipelopori
oleh Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura ini pada
awalnya berorientasikan pada kerja sama ekonomi mengingat kondisi
negara-negara Asia Tenggara yang masih berstatus sebagai negara yang
baru merdeka dan belum memiliki pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi yang baik dan memadai. Akan tetapi, situasi Perang Dingin yang
semakin memanas dan semakin gencarnya penyebaran pengaruh ideologi
kedua negara superpower di kawasan ini kemudian membuat ASEAN juga
melahirkan beberapa kerja sama yang berorientasi pada keamanan dan
pertahanan bersama seperti yang terlihat pada pembentukan SEATO
atau Southeast Asian Threaty Organization serta ZOPFAN atau Zone of
Peace, Free, and Neutrality (ASEAN, n.y.).

Pada akhirnya, ASEAN adalah sebuah wadah kerja sama yang


berusaha untuk memperkuat solidaritas bangsa-bangsa Asia Tenggara
sehingga tak terjadi perpecahan kawasan yang akan memudahkan

15
kekuatan eksternal untuk kembali masuk dan mengambil keuntungan di
kawasan ini.

Dari berbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan secara


sederhana bahwa nasionalisme kemudian menjadi salah satu pendorong
utama pergerakan-pergerakan kemerdekaan di kawasan Asia Tenggara
meskipun pada akhirnya kemerdekaan yang mereka capai masih
mengalami beberapa „usikan‟ dari kepentingan serta pengaruh negara-
negara besar di era Perang Dingin. Akan tetapi, „usikan‟ tersebut juga
membawa suatu dampak positif ketika mampu mendorong terbentuknya
ASEAN sebagai salah satu bentuk semangat solidaritas dan kerja sama di
antara bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sedang berusaha melepaskan
diri dari identitas lama mereka sebagai bangsa terjajah dimana mereka
kemudian berjuang untuk memperbaiki diri serta mencapai kemajuan di
berbagai aspek kehidupan, baik di level nasional, regional, maupun
internasional.

2.2 Bentuk-Bentuk Perjuangan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara untuk


mempertahankan Kemerdekaan
Secara umum pola nasionalisme di kawasan Asia Tenggara adalah reaksi
untuk mengusir penjajah dari tanah mereka, akan tetapi adanya perbedaan
corak politik dan faktor-faktor intern tiap wilayah menyebabkan tidak mudah
untuk membuat generalisasi proses lahirnya nasionalisme negara-negara Asia
Tenggara dengan tepat. Terlebih dalam konteks sejarah kawasan tidaklah adil
apabila kita mengesampingkan keunikan dan perjalanan historis masing-
masing negara tersebut. Untuk dapat membuat perbandingan yang lebih jelas,
maka perlu dilihat perkembangan nasionalisme dan pembentukan nation state
di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Philipina Perjalanan nasionalisme
Philipina tergolong nasionalisme tertua di Asia Tenggara dalam proses
menentang penjajahan. Hal ini disebabkan karena Philipina mendapat
pendidikan modern tertua di luar Eropa. Pendidikan tersebut diselenggarakan
oleh Ordo Yesuit yang berkarya di Philipina. Karya Ordo tersebut dilindungi

16
oleh pemerintah Spanyol sebab dinilai turut mengkonsolidasi kekuasaan
pemerintah. Gerakan nasional yang pertama di Philipina adalah Liga
Philipina yang berdiri tahun 1880 dipimpin oleh Jose Rizal. Perjuangan Rizal
melawan pemerintah Spanyol dipropagandakan lewat dua novelnya yakni
Noli me Tangere dan El Filibusterisme.

Sekitar tahun 1890-an gerakan nasional Philipina mulai menunjukkan


sifat-sifat radikal. Gerakan yang bersifat radikal tersebut berlanjut ke
pergolakanpergolakan. Selama penjajahan Spanyol (1571-1898) ada sekitar
100 pergolakan melawan pemerintah kolonial itu (Lightfoot, 1973: 92). Sejak
tahun 1897, dibawah pimpinan Emmilio Aquinaldo salah satu gerakan yang
paling keras yaitu Katipunan berubah menjadi gerakan yang sangat
nasionalis. Katipunan berarti persekutuan tertinggi dan yang paling dihormati
di antara putera-putera negeri. Aquinaldo membantu Amerika Serikat
menumbangkan pemerintah Spanyol di Philipina (1898) dan
memproklamasikan kemerdekaan Philipina pada tanggal 12 Juni 1898.
Namun Amerika Serikat tidak mengakui kemerdekaan Philipina itu tetapi
justru menghancurkannya. Dari peristiwa itu kemudian diketahui motif
sebenarnya Amerika adalah untuk mengambil alih kekuasaan di Philipina,
bukan membebaskan negara itu dari penajahan.

Berada dibawah penajahan Amerika, kaum nasionalis Philipina


mengubah strategi perjuangan. Jalur perjuangan diplomasi dilakukan dengan
mendirikan partai sebagai wadah perjuangan. Tahun 1907 didirikan Partindo
Nacionlista (Partai Nasionalis) dengan pimpinan Sergio Osmena, Manuel
Quezon dan Manuel Roxas. Partai tersebut menjadi lembaga politik yang
besar dan bersifat kompromistis.

Dampak positifnya adalah diberi kemudahan legislatif dan pelayanan


sipil. Kurun waktu 1920an teradi krisis pergerakan setelah Amerika berusaha
menghambat emansipasi, berbagai usaha dilakukan kaum nasionalis antara
lain melalui usaha mempengaruhi publik lewat seni, pertunjukan dan upaya

17
diplomasi langsung kepada pemerintah Amerika agar memberikan
kemerdekaan kepada Philipina. Osmena dan Roxas pada tahun 1930-an ke
Amerika, untuk mendapat dukungan dan upaya tersebut didukung oleh tokoh-
tokoh Amerika yang mempunyai kepentingan ekonomi.

Sebagai tindak lanjut pada tahun 1932 dibuat RUU Hare Haves Cutting
yang menyatakan bahwa setelah 10 tahun menjalani masa peralihan, maka
Philipina akan dimerdekakan. Undang-undang kemerdekaan Philipina
tersebut ditolak oleh Quezon dengan alasan adanya syarat kemudahan militer
Amerika Serikat setelah merdeka berlawanan dengan harga diri bangsa
Philipina. Tahun 1934 Quezon menyempurnakan RUU sebelumnya dengan
eda kemerdekaan Philipina 12 tahun kemudian, perubahan itu mendongkrak
nama Quezon yang akhirnya membawa dirinya menjadi presiden pertama
pemerintah otonomi tahun 1935.

Pada masa peralihan itu meletuslah Perang Dunia II, dan Philipina jatuh
ke tangan Jepang. Akan tetapi para pemimpin Philipina tetap setia kepada
Amerika sehingga membantu Amerika melawan Jepang. Setelah Jepang
menyerah, Amerika kembali ke Philipina, dan menepati janjinya yakni
memberi kemerdekaan Philipina pada tanggal 4 Juli 1946 dengan menjadikan
Roxas sebagai presidennya.
a. Myanmar
Gerakan nasional Myanmar dimulai pada tahun 1906 yang ditandai
dengan pembentukan YMBA (Young Man Budhis Asociation) atau
Persatuan Pemuda Birma. Mula-mula organisasi tersebut bergerak dalam
bidang agama dan sosial sehingga belum bercorak politik, tetapi lebih
banyak bergerak dalam bidang pendidikan (Donison, 1970: 102).
Perkembangan nasionalisme Myanmar mulai kelihatan setelah Perang
Dunia I, terutama setelah Inggris memisahkan Myanmar dari konstitusi
India (Inggris). PD I cukup mengguncangkan Myanmar dan segera
mendorong lahirnya kesadaran politik yang lebih nasionalistis.

18
Hal ini ditandai dengan berlangsungnya pemogokan di universitas,
dan kemudian dilanjutkan dengan perubahan YMBA menjadi GCBA
(Dewan Umum Persatuan Burma) pada tahun 1921, yang merupakan
organisasi politik nasionalis yang luas. Setelah gerakan nasional Burma
menunjukkan tujuan politik yang jelas, maka Inggris mengubah haluan
politik kolonialnya. Tahun 1923 Inggris memperkenalkan sistem Dyarchy
seperti yang diterapkan di provinsi di India. Usaha Inggris itu dapat
memecah GCBA dalam dua partai yaitu Partai Dua Puluh Satu yang puas
dengan perubahan itu dan bersedia duduk dalam dewan
perundangundangan serta Partai U Chit Hlaing yang membela prinsip non-
koperasi dan ingin berjuang untuk memperoleh konsesi baru. Dalam
perkembangannya, maka muncullah tokoh-tokoh nasionalisme Myanmar
seperti DR Ba Maw dari Partai Sinyetha, U Ba Pe dari Partai Dua Puluh
Satu, dan U Saw dari Partai U Chit Hlaing, kemudian muncul pula Thakin
Nu dan U Aung San dari Partai Thakin (Donison, 1970: 117).
Tahun 1930an Komisi Simon mengajukan ide untuk pemisahan
Myanmar dari India. Pada awalnya ide pemisahan tersebut berasal dari
kaum nasionalis, akan tetapi kemudian kaum nasionalis mencurigai bahwa
Inggris akan mengambilalih Myanmar setelah India lepas dari Inggris.
Karena pertimbangan tersebut, kemudian kaum nasionalis mendirikan liga
anti pemisahan. Kaum nasionalis berupaya untuk mempengaruhi publik
Myanmar dan pada akhirnya berhasil memperoleh dukungan publik
setelah diadakan pemungutan suara.
Peristiwa tersebut membuat Inggris marah dan memutuskan untuk
mengadakan memorandum guna memilih untuk tetap bersatu dengan India
atau memisahkan diri dan menolak usul kaum nasionalis untuk menyutujui
memasukkan Myanmar dalam federasi India dengan hak mengundurkan
diri. Pemisahan pun terjadi pada tahun 1935. Pada tahun 1935 lahir
organisasi Dobama Asiayone (Kami Masyarakat Burma).
Gerakan ini diilhami paham sosialis dan ajaran komunis, serta
terpengaruh modernisasi Jepang (Koen, 1956: 223). Karena para

19
anggotanya saling menyebut thakin (tuan), maka partai itu juga disebut
partai Thakin. Tujuan penyebutan itu adalah agar Inggris juga menyebut
thakin kepada para anggota partai itu, misalnya Thakin Nu, Thakin U
Aung San, dan lain-lain. Dengan demikian secara tidak langsung Inggris
mengakui kedudukan yang sama dengan orang-orang Myanmar. Partai
Thakin bersifat revolusioner, tuntutannya bersifat radikal karena mereka
menuntut kemerdekaan penuh bagi Myanmar. Untuk mencapai tujuannya
itu, partai Thakin bersedia menerima bantuan dari manapun datangnya
(Wiyono, 1982: 10).
Taktik perjuangan partai Thakin adalah membangkitkan semangat
nasionalisme rakyat dengan mengorganisir petani, buruh dan gerakan
pemuda. Dengan meningkatnya agitasi partai Thakin maka menjadi
semakin besar gerakan menentang Inggris dan secara tidak langsung
menjadi penyebab jatuhnya kabinet pertama saat itu. Saat itu
sesungguhnya nasionalisme Myanmar berada di simpang jalan antara
kelompok nasionalis moderat yang berkuasa dengan kelompok nasionalis
radikal yang mencoba mencari dukungan rakyat guna merebut
kepemimpinan dari tangan politisi yang lebih tua. Akhirnya generasi muda
pimpinan U Aung San berhasil merebut kepemimpinan pergerakan di
Myanmar. Setelah Perang Dunia II Inggris kembali ke Myanmar.
Gerakan politik Myanmar yang dipimpin U Aung San diajak
berunding tentang kemerdekaan Myanmar. Pada saat sidang
mempersiapkan kemerdekaan Myanmar, tiba-tiba segerombolan orang
bersenjata masuk dan membunuh U Aung San. Ternyata gerombolan
tersebut atas suruhan U Saw, sehingga U Saw akhirnya dihukum mati. U
Aung San diganti U Nu dan pada tanggal 4 Januari 1948 kemerdekaan
Myanmar diproklamasikan.
b. Indocina
Seperti pada umumnya daerah-daerah lain di Asia Tenggara,
nasionalisme di Indocina dipelopori oleh kaum intelektual yang telah
mengenyam pendidikan Barat. Gerakan nasional di Indocina dipelopori

20
oleh bangsa Vietnam, sebab penduduknya paling besar dan punya
nasionalisme tradisional (kebiasaan mengusir penjajah dari Cina). Gerakan
nasional yang tertua di Vietnam adalah Vietnam Restoration League
(1907) yang didirikan oleh Cong De. Kemudian disusul berdirinya
Vietnam Quak Dan Dang yang dalam perkembangannya memimpin
pemberontakan kaum nasionalis tahun 1930.
Keduanya gerakan non-komunis yang sering terlibat konflik intern.
Konflik-konflik itu banyak makan korban, sehingga kurang menarik hati
rakyat. Para pemimpinnya cenderung akan menjadikan Vietnam sebuah
negara model Barat. Akibat pemberontakannya tahun 1930, gerakan
nasionalisme Vietnam ditindas dengan kejam oleh Prancis. Sisa-sisa
gerakan tersebut tinggal kelompok-kelompok komunis yang militant. Pada
tahun 1930 itu pula Nguyen Ai Quoc mengumpulkan kelompok-kelompok
komunis itu dan dibentuk menjadi Partai Komunis Indocina (Sardiman,
1983: 11).
Nguyen Ai Quoc lalu berganti nama Ho Chi Minh (pencari
kecerahan). Sedangkan nama kecilnya adalah Nguyen Tat Tanh dan lahir
di Kim Lien, tanggal 19 Mei 1890. Seperti pemimpinpemimpin
pergerakan nasional di Indocina sebelumnya, maka Ho Chi Minh termasuk
pemimpin nasionalis yang mengenyam pendidikan Barat. Dengan
demikian jelaslah bahwa nasionalisme Vietnam tumbuh dan berkembang
setelah Prancis mendirikan sekolah-sekolah di Vietnam (Karnow, 1975:
97). Ho Chi Minh menjadikan teman-temannya sebagai tangan kanan.
Kebanyakan dari mereka pernah dipenjarakan oleh Perancis. Gerakan ini
berkembang pesat karena didukung oleh kondisi sosial ekonomi yaitu
propaganda untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Pasca Perang
Dunia II berakhir, Ho Chi Minh memproklamasikan kemerdekaan
Vietnam pada tanggal 2 September 1945 dengan wilayah hanya meliputi
Vietnam Utara, sedangkan Vietnam Selatan diduduki Prancis.
Karena itu Republik Vietnam pimpinan Ho Chi Minh disebut
Vietnam Utara sedangkan Vietnam Selatan dijadikan negara boneka

21
Prancis. Pasca proklamasi perang Vietnam dengan Perancis masih terus
berkobar. Pada pertempuran di Dien Bien Phu tahun 1953, Prancis
menderita kekalahan besar dan membawa masalah Vietnam ke Perjanjian
Jenewa pada tahun 1954. Hasil perjanjian tersebut mengakui lahirnya
negara-negara nasional di Indocina, yaitu Vietnam Utara, Vietnam Selatan,
Laos dan Kamboja sebagai negara yang merdeka penuh. Di sisi lain, hasil
perjanjian itu memberi peluang bagi Vietnam Utara untuk menguasai
Vietnam Selatan.
Dengan bantuan Rusia dan Cina, Vietnam Utara terus menekan
Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat. Akhirnya Amerika
Serikat mengundurkan diri dari Vietnam Selatan sehingga dengan mudah
Vietnam Utara mencaplok Vietnam Selatan pada tahun 1975. Sejak itu
Indocina hanya terdiri dari negaranegara Vietnam, Laos dan Kamboja
yang kesemuanya berpaham komunis.
c. Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam
Masalah utama dalam upaya konsolidasi nasional Malaysia adalah
adanya perbedaan tiga etnis utama, yaitu Melayu, Cina dan India.
Modernisasi yang dihembuskan oleh pemerintah kolonial Inggris terhadap
Malaya diterima secara tidak merata oleh ketiga etnis penghuni jazirah
Melayu.
Kecenderungan elite intelektual yang ingin mengadakan modernisasi
di antara ketiga etnis besar (Melayu, Cina, dan India), terutama difokuskan
ke masyarakatnya sendiri. Nasionalisme orang Cina dan India dikaitkan
dengan perkembangan politik di India dan di Cina. Orang Melayu setia
kepada kerajaan-kerajaan Melayu, mereka menentang kedudukan imigran
Asia terutama Cina, bahkan kurang mempedulikan daerahnya yang
diduduki Inggris. Pemerintah kolonial Inggris bisa memahami dengan
cermat susunan masyarakat feodal di Malaya. Inggris mengerti bahwa
orang-orang Melayu lebih membenci orang-orang Cina dari pada Inggris.
Ada ketakutan dikalangan orang-orang Melayu jika kemudian hari orang
Cina dan India menguasai mereka.

22
Karena itu Inggris terus berusaha melindungi posisi orang Melayu
dengan cara memberikan posisi khusus pada mereka. Posisi khusus orang-
orang Melayu itu memberikan kesan bahwa satu-satunya yang mampu
menjamin atau melestarikan masyarakat Melayu hanyalah Inggris, dan
perlindungan seperti itu cukup untuk mencegah orang-orang Melayu
memberontak pemerintah kolonial Inggris. Sementara itu usaha Inggris
memberi kondisi dan kesempatan kepada pembangunan ekonomi secara
besar-besaran membuat orang Cinapun tetap tidak menentang kekuasaan
Inggris.
Keberatan mereka adalah masalah diskriminasi terhadap hak khusus
dan pernyataan orang Melayu bahwa Malaya adalah sebuah negeri
Melayu. Persimpangan jalan perkembangan nasionalisme Malaya tidak
hanya diwarnai oleh perbedaan etnis, tetapi di kalangan orang-orang
Melayu sendiri terdapat perbedaan konsep hari depan Malaya. Perbedaan
konsep ini mencakup identitas bangsa Melayu dan jalan politik yang harus
mereka pilih di masa depan. Pada umumnya para Sultan merasa lebih
aman di bawah Inggris sebab mereka khawatir kalau setelah Malaya
merdeka akan kehilangan kekuasaaannya.
Tokoh lain seperti Jacob Ibrahim, berkeinginan agar jajahan Belanda
(Indonesia) dengan jajahan Inggris (Malaya) dikemudian hari dijadikan
satu menjadi Indonesia Raya dan Melayu Raya sehingga bangsa Melayu
akan menjadi bangsa yang besar di Asia Tenggara. Sedangkan Datuk Onn
bin Jaafar ingin membentuk Negara Malaya yang mencakup ketiga etnis
dengan Melayu sebagai pemegang kekuasaan politik. Berbeda dengan
beberapa kawasan di Asia Tenggara, di Malaya Perang Dunia II tidak
membawa dampak yang begitu berarti. Itulah sebabnya, Malaya tergolong
lambat perkembangannya nasionalismenya. Di bawah pimpinan Tengku
Abdul Rahman, Malaya pada tanggal 31 Agustus 1957 memperoleh
kemerdekaannya. Sementara itu Singapura dan Brunei Darussalam juga
bekas rumpun jajahan Inggris di Malaya.

23
Akan tetapi pada saat Malaya merdeka tanggal 31 Agustus 1957
sebagai PTM (Persekutuan Tanah Melayu), Singapura dan Brunei tidak
ikut merdeka. Setelah PTM berkembang menjadi Malaysia pada 16
Sepetember 1963, Singapura bergabung dengan Malaysia tetapi Brunei
tetap menjadi protektorat Inggris. Pada awalnya tokoh Singapura
berpendapat apabila mereka berdiri sendiri sebagai negara pulau kecil
yang terletak di daerah yang strategis, maka akan merasa sulit untuk
mempertahankan diri. Setelah masalah ras semakin memanas di Malaysia,
di mana ras Cina banyak dibatasi, maka Singapura yang mayoritasnya
Cina merasa terancam. Pada tanggal 9 Agustus 1965 Singapura di bawah
Perdana Menteri Lee Kuan Yew memisahkan diri dari Malaysia, dan
Singapura berdiri sendiri sebagai negara republik. Sementara itu raja
Brunei yang ditolak oleh Malaysia untuk menjadi Raja Malaysia, akhirnya
tidak mau bergabung dengan Malaysia. Setelah melalui berbagai
perundingan dengan Inggris, pada tanggal 1 Januari 1984 Brunei
memproklamasikan kemerdekaannya.
Gerakan nasional di Singapura dan Brunei memang tidak sehebat di
Indonesia maupun di Vietnam, namun proses nasionalisme tetap ada, yang
akhirnya terwujud sebagai negara nasional Singapura dan Brunei
Darussalam.
d. Thailand
Gerakan nasionalisme yang dilancarkan oleh raja dan para
bangsawan, bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan negeri itu dari
ancaman bangsa Barat. Nasionalisme Thailand terwujud dalam diplomasi
dan modernisasi. Nasionalisme Thailand tidak bertujuan mengusir
penjajah untuk membentuk negara merdeka, melainkan mempertahankan
kemerdekaan dengan jalan memajukan bangsa lewat diplomasi dan
modernisasi. Politik diplomasi Thailand adalah berusaha agar jangan
sampai kebijakan Thailand dapat dijadikan alasan bagi bangsa-bangsa
Barat untuk menyerang Thailand.

24
Di samping membina hubungan baik dengan Inggris, Thailand juga
membina hubungan baik dengan Amerika Serikat, Denmark (1858),
Belanda (1860), dan Prusia (Jerman). Langkah tersebut terbukti sangat
efektif membentuk image Thailand sebagai negara yang bersahabat
dengan Barat. Selain Inggris, bangsa Barat yang paling berbahaya bagi
kemerdekaan Thailand adalah Prancis. Untuk mencegah ancaman Prancis,
raja Thailand menghapus sama sekali hak-hak istimewa orang Inggris di
Thailand, antara lain orang Inggris bebas berdagang di Thailand. Hal
tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan kecemburuan Prancis sehingga
dijadikan alasan menyerbu Thailand. Meskipun hak-hak istimewa Inggris
itu sudah ditukar dengan Malaya, namun Inggris dan Prancis tetap
menekan Thailand.
Tahun 1896 kedua bangsa Barat itu sepakat untuk menempatkan
Thailand sebagai negara pemisah antara kekuasaan Inggris di Myanmar
dan Prancis di Indocina. Dengan demikian kedua negara Barat itu
sungguh-sungguh menghormati bahkan menjaga kedaulatan Thailand.
Kehebatan politik diplomasi Thailand juga diperlihatkan pada masa
berikutnya, sewaktu Jepang mulai mengancam Thailand, maka pada tahun
1898 raja Chulalongkorn mengadakan perjanjian dengan negeri matahari
terbit itu. Sedangkan untuk menghindari bangsa Barat yang lain, maka
dalam Perang Dunia I Thailand memihak Sekutu sehingga negeri itu
benar-benar terhindar dari ancaman bangsa Barat.
Dalam rangka untuk mengimbangi kemajuan bangsa Barat maupun
Jepang, Thailand melancarkan modernisasi di segala bidang, terutama
politik dan militer. Tindakan yang pertama yaitu menghapus nama Siam
(1939) yang biasa digunakan banyak negara untuk menyebut Thailand atau
Muangthai. Adapun alasan penggantian nama tersebut karena Siam
diartikan sebagai bangsa budak, sedangkan Muangthai berarti negerinya
orang-orang bebas (Kusumohamidjojo, 1985: 50).

25
e. Indonesia
Elson (2009: 22-23) menjelaskan, yang memberi kekuatan kepada
gagasan Indonesia bukanlah kesatuan yang dibangun atas solidaritas etnis
atau ras, keterikatan keagamaan, atau bahkan kedekatan geografis,
melainkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang
mengalir darinya. Sejarah membuktikan, nasionalisme politik Indonesia
cukup mampu merajut kepentingan masyarakat plural yang sulit
menemukan kehendak bersama. Akan tetapi, keampuhan nasionalisme
politik ini baru teruji sebagai kekuatan nasionalisme negatif-defensif,
ketika dihadapkan pada keburukan musuh bersama daru luar (penjajahan).
Padahal, dengan berlalunya kolonial, proyek kebangsaan Indonesia
yang berlandaskan pada penemuan “batas” dan “lawan” dengan kolonial
itu bersifat kadaluwarsa (Latif, 2011: 366). Indonesia sendiri dari sisi
istilah baru ada pada abad ke- 19 lebih tepatnya pada 1850 ketika seorang
pelancong dan pengamat sosial asal Inggris, George Samuel Winsor Earl
menggunakan kata “Indu-nesians” (Elson, 2008:2) dalam tulisannya. Ini
pun bukan berarti dengan sendirinya bangsa Indonesia terbentuk secara
otomatis setelah nama Indonesia muncul. Semangat nasionalisme
Indonesia dimulai justru ketika munculnya golongan terpelajar yang
menyadari betapa pentingnya rasa identitas bersama sebagai landasan
untuk melawan praktik kolonialisme dan imperialisme bangsa asing. Lebih
lanjut Yudi Latif (2011:358) memaparkan; bangsa Indonesia tidak seperti
kebanyakan bangsa yang mengambil namanya dari kelompok etnik
terdahulu: England dari Angles, Finland dari Finns, France dari Franks,
Rusia dari Rus, Vietnam dari Viet, Thailand dari Thai, Malaysia dari
Melayu, dan lain sebagainya. Ditinjau dari sudut ini, kesadaran
kebangsaan Indonesia jelas bukanlah suatu perpanjangan dari kesadaran
etno-kultural.
Fakta tersebut menjelaskan bahwa secara sadar Indonesia adalah
negara yang disepakati akan melindungi dan menempatkan setiap suku, ras
dan etnis yang terdapat didalamnya secara sejajar, tidak memihak etnis

26
tertentu. Sikap nasionalisme yang dikembangkan para pendiri bangsa
tersebut tentu saja diantaranya didasari oleh adanya persepsi positif
terhadap keberagaman budaya bangsa. Para pendiri bangsa menyadari
bahwa keberagaman yang ada telah menjadi kekuatan dalam perjuangan,
terlebih pada masa revolusi. Oleh karena itu, untuk mengerti sifat
nasionalisme Indonesia dan gerakan revolusioner di mana isme itu
berkembang, perlu diliki suatu pengetahuan tentang ciri-ciri terpenting dari
lingkungan sosial yang melahirkannya. Lingkungan penjajahan abad
keduapuluh yang menentukan tahap nasionalisme Indonesia modern yang
jelas dan konkrit, adalah tahap yang menuntut analisis menyeluruh. Akan
tetapi, analisis semacam itupun tidak akan memuaskan tanpa adanya
pemahaman terlebih dahulu tetang proses historis sebelumnya dari
pembentukan ciri-ciri lingkungan yang lebih menonjol (Kahin, 1995: 1).
Sehubungan dengan latar belakang sejarah nasionalisme Indonesia
Sartono Kartodirjo (1998) menjelaskan, pertumbuhan negara-nasion dalam
abad ke-19 bersamaan dengan perkembangan demokrasi,
parlementarianisme dan konstitusionalisme, kesemuanya memantapkan
pembangunan civil society. Sejarah perkembangan nasionalisme di dunia
ketiga senantiasa sebagai counterideology kolonialisme, sebagai ideologi
yang bertujuan memperjuangkan kebebasan untuk membangun negara
nasion mencakup komunitas multi etnis sebagai kesatuan. Sebagaimana
halnya dengan kebanyakan negara baru yang berasal dari kancah
perjuangan menentang kolonialisme lainnya, Indonesia tidak tumbuh dari
perpecahan negara yang multi etnis.
Secara simbolis dapat dikatakan bahwa kelahiran Indonesia sebagai
bangsa dan negara adalah hasil perjuangan kaum nasionalis untuk
menciptakan sebuah bangsa yang bisa menjawab tantangan zaman modern
(Taufik Abdullah, 1998). Adanya intervensi dari kekuatan luar telah
menunjukkan bahwa kekuatan nasionalisme sebagai ideologi yang
disepakati menjadi penting untuk membawa bangsa menuju kemerdekaan
(Hobsbawm, 1990). Dengan demikian jelas bahwa nasionalisme Indonesia

27
merupakan nasionalisme yang terbentuk melalui suatu proses perjuangan
dan kesadaran. Bukan merupakan nasionalisme yang tumbuh secara alami
karena persamaan ras, suku, atau bahasa, akan tetapi nasionalisme yang
muncul karena adanya persamaan nasib dan sekaligus merupakan jawaban
atas keinginan memecah belah dan menguasai yang dilakukan oleh bangsa
asing.
Gerakan nasional di Indonesia dimulai dengan berdirinya Budi
Utomo pada tahun 1908, yang sekaligus menandai lahirnya nasionalisme
Indonesia yang pertama. Wadah kaum nasionalis yang pertama ini dalam
perkembangannya mengalami pasang surut. Hal ini dapat kita lihat
peristiwa keluarnya tokoh-tokoh radikal seperti dr Cipto Mangunkusumo
dan Suwardi Suryaningrat dari organisasi tersebut setelah Pangeran
Notoprojo dari Pakualaman memegang pimpinan pada tahun 1911(Niel,
1984: 94). Meskipun demikian dalam perkembangan sejarah, para
sejarawan mengkritik jika organisasi ini dijadikan tonggak awal gerakan
nasional Indonesia karena sifatnya yang sangat eksklusif ke-Jawa-an.
Berikutnya tercatat Sarekat Islam yang moderat tetapi akhirnya
menjadi radikal setelah kemasukkan Marxisme dan menjadi oposisi
pemerintah (1916), dengan anggota sekitar 960 ribu orang, Sarekat Islam
itu menuntut pemerintahan sendiri dan pada tahun 1919 dengan jumlah
anggota 2,5 juta orang telah mencantumkan program kemerdekaan penuh
(Kahin, 1995). Selama antara setahun sampai dua tahun ada semacam
kerjasama tertentu antara Sarekat Islam dan Partai Komunis (PKI). PKI itu
berdiri pada tanggal 23 Mei 1920, dan partai inilah yang melakukan
infiltrasi ke dalam tubuh Sareka Islam. Sebagai akibat infiltrasi komunis
itu, maka akhirnya terjadi perbedaan pendapat yang memecah Sarekat
Islam pada tahun 1921. Usaha ketua Sarekat Islam (Cokroaminoto) untuk
mengembalikan Sarekat Islam gagal total (Utrecht, 1984: 31).
Setelah gerakan nasional yang berdasarkan Islam dan komunis
mengendor, maka muncullah gerakan nasional yang lebih nasionalistis.
Dalam tahun 1927 Soekarno mendirikan PNI yang berkarakteristik agitasi

28
kuat dan sikap nonkooperatif terhadap pemerintah Belanda. Akhirnya
Belanda tidak menerima kegiatan semacam itu, karena itu PNI kemudian
dibubarkan dan para pemimpinnya ditahan (Moedjanto, 1988: 59-60).
Penahanan tersebut tidak mengakhiri perjuangan nasionalisme
Indonesia, berbagai organisasi dan gerakan-gerakan kelompok yang
bercita-cita Indonesia merdeka terus berkembang meskipun banyak di
antara tokoh mereka harus menerima nasib seperti Soekarno. Pada masa
perang dunia II perjuangan nasionalisme Indonesia terus berlangsung,
bahkan pada masa pendudukan Jepang perjuangan tersebut semakin
terstruktur. Para pemimpin pergerakan seolah-olah mau bekerjasama
dengan Jepang, namun mereka menggunakan organisasi-organisasi yang
didirikan Jepang untuk melanjutkan perjuangan mencapai kemerdekaan.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu (14 Agustus 1945), para
pemimpin pergerakan nasional mempersiapkan kemerdekaan, dan pada
tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.

2.3 Perang Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara

2.3.1 Myanmar
Ketika Burma masih berada di bawah kuasa pendudukan Inggris
keinginan puncak rakyat Burma untuk segera memperoleh kemerdekaan
sudah tidak bisa dipatahkan Adalah seorang pejuang kemerdekaan bernama
Aung San ayah dari Aung San Suu Kyi yang kemudian memulai perjuangan
nasionalnya itu dengan cara menciptakan satu partai politik bernama Anti
Fascist People s Burmese Forces (AFPBF). Partai ini awalnya hanya sebuah
organisasi Anti Fasis (Anti Fascist Organization AFO) yang berjuang
menolak segala bentuk fasisme dari kekuatan asing Namun dalam
perkembangannya kemudian Aung San melihat perjuangan lewat organisasi
ini dirasakan kurang memiliki daya tekan maksimal bagi perjuangan ke arah
pembebasan Pada pertengahan tahun 1945 Aung San mengubah
organisasinya ini menjadi partai politik dengan harapan perjuangan untuk

29
mencapai kemerdekaan lewat sebuah partai dapat segera terwujud. (Irewati,
A)

Perjuangan Aung San ini sebenarnya tidak baru dimulai lewat


pembentukan partai tersebut. Jauh sebelumnya ketika Perang Dunia II
dimulai dia sebagai seorang nasionalis bersama dengan yang lainnya sudah
menggalang kekuatan melawan penjajahan Inggris di bumi Burma. Akan
tetapi perjuangannya ini segera tercium oleh Pemerintah Kolonial Inggris
yang kemudian melakukan penangkapan terhadap pejuang-pejuang nasional
lainnya Jepang melihat perjuangan mereka ini memerlukan bantuan. Karena
itu Jepang segera memberi dukungan kepada mereka dengan langsung
mendeklarasikan kemerdekaan Burma pada Desember 1941. Namun sejatinya
kemerdekaan yang diinginkan itu belum diperoleh Burma Ini hanya sebagai
taktik Jepang mencari muka pada Burma. Awalnya Aung San bergabung
dengan satu organisasi bernama Dohbama Asi ayone Organization We
Burmese yang jika mencermati arti dari organisasi tersebut menunjuk pada
satu upaya untuk menyamakan langkah dan visi dari para nasionalis Burma.
Tidak berhenti sampai di situ akhir tahun 1941 Aung San kemudian
membentuk Burmese Independence Army BIA yang mana pembentukan ini
merupakan cara perlawanan yang lebih frontal untuk mencapai kemerdekaan
daripada sebelumnya. Tentara Kemerdekaan Burma ini mendapat dukungan
dan latihan militer dari Jepang. Dukungan dari Jepang ini bisa diperoleh
dengan mudah lantaran antara kebutuhan Burma lewat perantara Aung San
dan kebutuhan Jepang bisa dipersatukan untuk menghadapi Inggris.

Ketika ibu kota Burma Rangoon jatuh ke tangan Jepang pada Maret
1942 Aung San dan kelompoknya tidak berusaha menampakkan satu
perlawanan kuat terhadap Jepang. Apa yang dilakukan Aung San dengan
mengganti Burmese Independence Army menjadi Burma Defence Army
BDA tahun 1942 bisa dimaknai sebagai wujud sikapnya yang merasa lebih
aman berada di bawah pendudukan Jepang daripada Inggris Jumlah anggota
BDA dari waktu ke waktu semakin bertambah. Ini merefleksikan semakin

30
besarnya harapan rakyat Burma untuk dapat segera mencapai kemerdekaan.
Tahun 1943 BDA diubah namanya menjadi Burma National Army BNA.
Meski perubahan nama ini terkesan lebih nasionalis daripada sebelumnya
sesungguhnya upaya ini belum mendatangkan hasil positif. Janji
kemerdekaan di bawah penjajahan Jepang ternyata hanya sebagai omong
kosong belaka. (Irewati, A)

Segala upaya dilakukan termasuk memanfaatkan keinginan Inggris


untuk mengusir Jepang dari Burma. Pada akhirnya keinginan Burma itu
terwujud lewat bantuan Inggris mengusir Jepang dari Burma pada Mei 1945
meski pada akhirnya Inggris menguasai kembali tanah jajahan Burma.Upaya
Aung San masih terus berlanjut Dia mengubah wujud BNA menjadi Patriotic
Burmese Forces PBF yang bisa dimaknai sebagai upaya kembalinya
semangat perjuangan untuk membersihkan bumi Burma dari pendudukan
asing. Namun perubahan ini tidak diakui juga oleh Inggris sebaliknya Inggris
justru menawarkan kekuatan baru ini untuk bergabung ke dalam Burma Army
yang berada di bawah kontrol langsung Inggris. Penawaran ini langsung
ditolak Aung San yang sejatinya memang sangat tidak menyukai penjajahan
Inggris Pada 27 Januari 1947 antara Burma yang diwakili oleh Aung San dan
Inggris yang diwakili oleh Clement Attlee menandatangani satu perjanjian
yang berisikan adanya jaminan pemberian kemerdekaan dalam jangka waktu
satu tahun mendatang.

2.3.2 Brunei
Pasca perang dingin, karakteristik dari sifat peperangan berubah seiring
dengan berubahnya teknologi dan zaman. Sejarah menunjukan bahwa pola-
pola Gerakan insurjen juga ikut berevolusi baik itu taktik, strategi maupun
motif Gerakan insurjensi yang semakin berkembang dan semakin canggih.
Berkembangnya strategi dan taktik yang dilakukan oleh gerakan insurjen di
Brunei Darussalam harus juga diimbangi oleh pemerintah Brunei Darussalam
khususnya strategi dan taktik untuk melawan kelompok insurjensi tersebut.
Perkembangan strategi kelompok insurjen harus diwaspadai oleh

31
pemerintahan agar dapat beradaptasi dengan perubahan dari segi ancaman
dan cara bertempur agar dapat menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah
Brunei Darussalam. Untuk menghadapi insurjen, pemerintah tidak hanya
fokus pada pendekatan/instrument militer, melainkan harus juga
mensinergikannya dengan politik/ideologi. (Gunawan, Dkk. 2018)

Pada dasarnya cara yang digunakan pemberontak adalah mereka tidak


akan menghadapi kekuatan lawan secara langsung dan hanya menyerang titik
lemah atau rawan dari lawan dan kemudian membaur dengan masyarakat
seperti teori yang dikemukakan oleh seorang ahli perang dari china Mao Tse
Tung, ia menganalogikan taktik kelompok insurjen seperti “ikan yang masuk
kedalam air,” dalam artian bahwa akan sulit bagi pasukan reguler untuk
mendeteksi keberadaan kelompok insurjen tersebut. Kelompok insurjen
dalam pergerakannya membutuhkan dukungan masyarakat untuk melakukan
kamuflase dan juga mendapatkan dukungan berupa simpati dari masyarakat.

Insurgency di Brunei Darussalam dilakukan oleh Partai Rakyat Brunei


(PRB) yang telah dinyatakan sebagai partai politik yang dilarang di Brunei.
PRB didirikan sebagai partai berhaluan kiri pada tahun 1956 dan bertujuan
untuk membawa Brunei ke dalam kemerdekaan penuh dari Inggris Raya.
Partai berusaha untuk mendemokrasikan pemerintah dengan menggeser
kepemimpinan nasional dari istana kepada rakyat. Partai Rakyat Brunei
awalnya sebagai cabang dari Malaysian People Party (MPP) pada tanggal 21
Januari 1956, di rumah yang dimiliki oleh seorang pemimpin terkemuka, H.
M. Salleh di Kampong Kianggeh, Kota Brunei, dua bulan setelah MPP
didirikan di Malaya. Sekitar 150 orang menghadiri acara tersebut. Beberapa
dari mereka termasuk Manan bin Muhammad, Muhammad bin Sulaiman,
Zaini bin Haji Ahmad, Jais bin Haji Karim, Muhammad Jamaluddin, H. B.
Hidup dan Jasin bin Affandy. Pertemuan itu diketuai oleh A. M. Azahari, dan
dibantu oleh H. M. Salleh. (Gunawan, Dkk. 2018)

32
Pada awal juli 1955, A. M. Azahari telah mengunjungi Semenanjung
Malaya dan Singapura. Sementara di Singapura, ia bertemu dengan seorang
terkenal tokoh politik, Harun Muhammad Amin (Harun Aminurrashid). Ia
pernah didaftar hitamkan oleh pemerintahan Inggris di Malaya dan Brunei.
Pertemuan secara substansial telah mempengaruhi pikiran dan tindakan dia.
M. Azahari juga bertemu dengan beberapa pemimpin radikal Melayu seperti
Burhanuddin al-Helmy, Ishak Haji Muhammad dan Harun Muhammad Amin
di rumah Ahmad Boestaman di Kampung Baru, Kuala Lumpur. Pada tahun
1961, PRB menolak proposal untuk keanggotaan dalam federasi dengan
Malaysia, yang diusulkan oleh Malaya's Perdana Menteri, Tunku Abdul
Rahman meskipun pemerintah Brunei diuntungkan dalam federasi. Pada
tanggal 12 Januari 1962, pemimpin PRB A. M. Azahari diangkat menjadi
Majelis Negara Brunei dan PRB memenangkan 16 kursi terpilih dari 33 kursi
legislatif pada bulan agustus tahun 1962.

Pertemuan pertama Dewan Legislatif dijadwalkan pada 5 Desember


1962 dan PRB menyatakan bahwa ia akan mengajukan sebuah resolusi untuk
kembali dari Koloni Mahkota Borneo Utara dan Sarawak ke Brunei untuk
membentuk sebuah negara merdeka yang dikenal sebagai North Borneo
Federasi, sebuah penolakan terhadap masuknya Brunei ke Malaysia dan
kemerdekaan Brunei pada tahun 1963. Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin III
menolak usulan resolusi dan menunda pembukaan Dewan Legislatif untuk 19
desember 1962. Pada tanggal 8 desember 1962 pemberontakan bersenjata
oleh PRB sekarang dikenal sebagai Brunei Pemberontakan pecah di Brunei
dan daerah perbatasan Kalimantan Utara dan Sarawak. Para pemberontak
yang dikenal sebagai Angkatan Nasional Kalimantan Utara (TNKU) atau
Kalimantan Utara Tentara Nasional dan beberapa kota utama yang diduduki
oleh TNKU. Namun, polisi Brunei tetap setia kepada Sultan dan
pemerintahannya dan tambahan pasukan Inggris mendarat dari Singapura
pada malam di hari yang sama. (Gunawan, Dkk. 2018)

33
Pada 9 Desember 1962, pemberontakan itu secara efektif rusak ketika
Sultan Omar Ali Saifuddin III menyatakan PRB ilegal dan mengutuk TNKU
untuk pengkhianatan meskipun insiden sporadis masih terus terjadi. Sultan
juga menyatakan secara terbuka niat Brunei untuk tidak bergabung dengan
federasi Malaysia. Pemberontakan berakhir lima bulan kemudian dengan
penangkapan Yassin Affandi. Pemimpun PRB, A. M. Azahari, yang berada di
Manila selama pecahnya pemberontakan, melarikan diri ke pengasingan di
Jakarta. Pada 13 oktober 1973 tahanan PRB yang menolak untuk
meninggalkan partai melancarkan pelarian diri dan membangun kembali
partai di pengasingan. Pada bulan desember, sebuah Komite Ad Hoc untuk
Kemerdekaan Brunei didirikan di Kuala Lumpur. Selanjutnya pada 7 Mei
1974, PRB secara resmi diaktifkan Kembali dengan diberi nama komite
eksekutif dengan A. M. Azahari sebagai presiden.

2.3.3 Filiphina
Menurut (Waridah Q.Siti, 1997) di dalalm (Sormin, 2018) Sejak abad
ke16 Filipina merupakan daerah kekuasaan Spanyol. Guna menjalankan
kekuasaanya pemerintah Spanyol menempatkan seorang Gubernur Jenderal
yang bertanggung jawab langsung kepada raja. Di samping kekuasaan politik,
Spanyol juga melakukan politik assimilasi dengan menyebarkan agama
Katolik kepada seluruh masyarakat. Secara struktur kelembagaan di Manila
ditempatkan seorang Uskup yang berada langsung di bawah Paus. Dengan
demikian imperialis Spanyol tidak hanya dilakukan secara politik, namun
juga secara keagamaan.

Gaya imperialisme Spanyol yang ortodok dan kolot itu menimbulkan


tekanan dan penderitaan bagi rakyat Filipina, sehingga pada akhirnya
menimbulkan perlawanan. Dibandingkan dengan negara negara Asia
Tenggara lainnya kebangkitan nasionalisme Filipina lebih awal. Gerakan
nasionalisme Filipina dimulai lahirnya Companerismo pada tahun 1880, yang
kemudian disusul oleh Liga Filipina di bawah Jose Rizal dua tahun
berikutnya. Pada tahun 1893 Andres Banifacio mendirikan gerakan

34
Katipunan Partai partai yang muncul kemudian mempelopori perlawanan
terhadap pemerintah Spanyol. Akibatnya muncul pemberontakan rakyat di
berbagai tempat. Pemerintah Spanyol yang kewalahan akhirnya mengikat
kaum nasionalis dalam sebuah perjanjian Biaena Bato tahun 1897, yang
isinya pemerintah akan melakukan perbaikan sistem pemerintahan dalam tiga
tahun (Mukhtar kamal, 1986) di dalam (Sormin, 2018).

Perjanjian Biaena Bato ternyata tidak mampu meredam perlawanan


rakyat Filipina, sehingga memicu terjadinya perang terbuka. Amerika Serikat
yang terlibat perang dengan Spanyol di Laut Karibia (perang kemerdekaan
Cuba) memberikan bantuan langsung kepada rakyat Filipina. Keterlibatan
Amerika Serikat dalam perang amat menentukan sehingga Spanyol terusir
dari Filipinan pada tahun 1898. Menurut (Farida Welly, 2005) di dalam
(Sormin, 2018) Bantuan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Filipina
ternyata tidak cuma cuma. Berdasarkan Perjanjian Paris yang ditandatangani
Amerika Serikat dan Spanyol pada tanggal 10 Desember 1898 maka Filipina
diserahkan oleh Spanyol kepada Amerika Serikat. Perjanjian Paris mengawali
imperialisme Amerika Serikat di Filipina hingga berakhir tahun 1946,
bersamaan dengan masuknya Jepang.

Menurut (Farida Welly, 2005) di dalam (Sormin, 2018) Masa


kekuasaan Amerika Serikat di Filipina dapat dibagi dalam tiga fase, yakni:
Periode 1898- 1942, Periode 1942-1945, dan Periode 1945-1946.

a. Fase pertama ditandai dengan usaha memperkokoh kekuasaan Amerika


dengan jalan mengikat perjanjian dengan tokoh tokoh nasionalis dan
agama, dengan jaminan bahwa Filipina akan dimerdekakan 50 tahun
kemudian.Dalam rangka membimbing rakyat Filipina kea rah persipan
pemerintahan sendiri, Amerika membentuk pemerintahan sipil dengan
William Taff sebagai Gubernur pertama. Setelah itu segera dibentuk
undang undang “The Tydings Me Duffie Act” pada tahun 1934 sebagai
undang undang Filipina merdeka.

35
b. Fase kedua adalah masa masa kekalahan Amerika melawan Jepang, yang
mengakibatkan Filipina jatuh ke tangan Jepang. Pemerintah Jepang
membentuk pemerintahan boneka di Filipina di bawah Jose Laurel.
Pemerintahan militeristik Jepang yang kejam ditentang oleh rakyat Filipina
dalam bentuk gerakan Hukbalahap (Gerakan Rakyat Anti Jepang) di
bawah Luis Taruc dan Alejandreno (Mukhtar Kamal, 1986) di dalam
(Sormin, 2018).
c. Fase ketiga dimulai dengan kekalahan Jepang. Amerika yang sudah
berjanji untuk memerdekakan Filipina segera menepati janjinya dengan
memberikan kemerdekaan kepada Filipina pada tanggal 4 Juli 1946.
Sebagai presiden pertama terpilih Manuel Roxas. Kemerdekaan yang
diberikan Amerika hanyalah secara politik. Amerika yang tidak ingin
kehilangan pengaruh di kawasan Asia Tenggara, serta Perang Dingin yang
baru saja dimulai melawan Uni Soviet (Rusia), tetap mempertahankan
eksistensinya secara militer dan ekonomi. Amerika membangun pangkalan
militer di Filipina pada dua tempat, yakni Clark dan Subic.

2.2.4 Vietnam
Perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1954-1975, perang ini
merupakan perang yang dianggap paling bersifat kontroversi, memecah
belah, dan juga merupakan perang terlama yang pernah dialami Amerika.
Perang Vietnam memperjuangkan kemerdekaan Vietnam, selain
mengikutsertakan peran para komunis dalam menjunjung keyakinan politik
dan memberikan dominasi penting dalam negara. Peran komunis disini
maksudnya adalah proses penyebaran paham komunis di negara kawasan
Asia Tenggara yang membuat resah negara Barat. Walaupun taktik yang
digunakan oleh para komunis adalah taktik gerilya revolusioner yang sudah
cukup familiar dan mudah ditebak, negara-negara Barat yang sudah jauh lebih
berpengalaman tetap saja gagal dalam menghadapi serangan Vietnam.

Perang Vietnam ini sendiri sebenarnya terbagi menjadi ke dalam dua


bagian, Perang Vietnam I dan Perang Vietnam II.

36
1. Vietnam terbagi menjadi 2 bagian, Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Pemisahan terjadi karena terdapat perbedaan ideologi negara. Vietnam
Utara menganut paham komunis, yang didukung oleh negara Rusia dan
Cina, sedangkan Vietnam Selatan didukung oleh Amerika Serikat dan
negara-negara Barat, terutama Perancis yang menganut paham
Liberalisme. Perbedaan ideologi inilah yang memunculkan konflik, antara
Ho Chi Minh yang menginginkan Vietnam Selatan berubah haluan
menjadi Komunis dengan kolonial Perancis yang memerdekan Vietnam.
Konflik inilah yang merupakan awal mula dari Perang Vietnam I. (Diana,
S)
2. Pada Perang Vietnam II (1960-1975), AS merasa perlu membantu
Vietnam Selatan karena anti-komunis, dan menyebutnya sebagai bagian
dari Perang Dingin. Perang Vietnam adalah sebuah titik balik yang penting
dalam sejarah Amerika maupun sejarah dunia. Serangan Tet tahun 1968
merupakan peristiwa yang sangat penting perang tersebut. Sesudah Perang
Dunia ke-2, Amerika Serikat yakin akan perannya sebagai negara
adikuasa. Pada waktu yang bersamaan, Amerika melihat dirinya sebagai
pemimpin dunia yang diberi tanggung jawab untuk memelihara tatanan
dan keseimbangan kekuatan dunia. Sebagian dari peran terkait juga dilihat
sebagai sebuah mandat untuk menghentikan gelombang pasang
komunisme agar tidak menenggelamkan bangsa-bangsa yang lebih kecil di
seluruh dunia. (Diana, S).

37
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam perang kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Tenggara, terdapat usaha-
usaha penguasaan kembali bangsa-bangsa terhadap Asia Tenggara, selain itu
juga terdapat adanya usaha-usaha penguasaan kembali bangsa-bangsa
terhadap Asia Tenggara terdapat pula Berbagai bentuk perjuangan bangsa-
bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannya.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki kekurangan, baik dari segi isi maupun cara penulisannya. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat berharap ada
kritikan dan saran yang sifatnya untuk membangun. Terakhir penulis
berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis begitu juga
pembaca.

38
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 1998. “Dinamika Regionalisme dalam Konteks Negara Nasional”,


dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional.
Jogjakarta: UGM Press.

Anderson, Benedict. 1983. “Old State, New Society: Indonesia‟s New Order in
Comparative Historical Perspective,” The Journal of Asian Studies 42:
477-496.
Anderson, B. 2001. Imagined Communities. Jogjakarta: Insist.

Barrington, L. W. t.t. Nationalism and Independence. The university of Michigan


press.

Chong, Terence. 2009. “Nationalism in Southeast Asia: Revisiting Kahin, Roff,


and Anderson”. Journal of Social Issues in Southeast Asia,Vol.24,
No.1, pp 1-17.

Diamond, dkk. 1998. Nasionalisme, Konflik Etnis, dan Demokrasi. Bandung:


Penerbit ITB. Donnison, F.S.V., 1970. Burma, London: Ernest Benn
Limited

Diana, S. Kekalahan Amerika Sebagai Negara Super Power Pada Saat Perang
Vietnam (1954- 1975).
Edi S. 1998. “Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional: Satu
Tinjauan dari Segi Strategi Hankam”, dalam Regionalisme,
Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Jogjakarta: UGM Press.

Elson, R.E. 2008. The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Gunawan, Dkk. 2018. Melayu Islam Beraja sebagai instrumen pencegahan


insurjensi di Brunei Darussalam. Jurnal Prodi Perang Asimetris. 4 (1):
94-96

Irewati, A. Myanmar Dan Matinya Penegakan Demokrasi.

Kartodirdjo, S. 1998. “Kesukuan dan Masyarakat Adab”, dalam Regionalisme,


Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Jogjakarta: UGM Press.

Kellas, J. G. 1998. The politics of nationalism and ethnicity. New York: st martin
press.
King, Victor T. & Wilder, William D. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara,
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

39
Koen, A. Peng. 1956. Perang Pasifik 1941-1945. Jakarta: Keng Po

Kusumohamidjojo, B. 1985. Asia Tenggara dalam Perspektif Netralitas dan


Netralisme. Jakarta: PT. Gramedia
Latif, Y. 2011. Negara Peripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Leightfoot, K. 1973. The Philippines, London: Ernest Benn limited

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20, jilid I, Cetakan I. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius
Niel, R. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia (terjemahan). Jakarta: Pustaka
Jaya

Sormin, Salman Al Paris. 2018. Hegemoni Amerika Serikat Di Asia Tenggara.


Jurnal Education and Development . 6 (30): 24-26

Syamsudin, Nazaruddin. 1988. Bung Karno Kenyataan Politik dan Kenyataan


Praktik. Jakarta: CV. Rajawali.

40
41

Anda mungkin juga menyukai