MAKALAH
Kelas B
Dosen Pengampu
Drs. Sumarjono, M.Si
Kelompok : 10
1. Enis Awalia Fauziah NIM 190210302044
2. Ellysa Aulia Rahmi NIM 190210302050
3. Rofiq Septianto NIM 190210302057
4. Mochamad Rizal Budi Saputra NIM 190210302076
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang memberikan
kami kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini
dengan judul “Asia Tenggara pada Masa Perang Dingin”. Kami mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Drs. Sumarjono, M.Si selaku dosen pengampu
Matakuliah Sejarah Asia Tenggara
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Maka dari itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untukmakalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.3 Tujuan........................................................................................................6
2.1 Pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur di kawasan Asia Tenggara 7
2.1.1 Vietnam..............................................................................................9
2.1.2 Laos..................................................................................................11
2.1.3 Filipina.............................................................................................13
2.1.4 Thailand...........................................................................................15
2.1.5 Myanmar..........................................................................................17
2.1.6 Indonesia..........................................................................................20
3.1 Kesimpulan...................................................................................................42
3.2 Saran.............................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................43
BAB 1. PENDAHULUAN
Perang Dingin dipicu oleh keinginan Presiden AS, Harry S.Truman dalam
konferensi Potsdam (1945) agar diselenggarakan pemilu yang bebas di seluruh
Eropa Timur pasca kalahnya koalisi Jerman-Italia-Jepang dalam Perang Dunia
II.1 Namun, pimpinan Uni Soviet, Stalin, menolak tegas rencana tersebut
karena adanya kekhawatiran negara-negara Eropa Timur hasil pemilu yang
bebas akan memusuhi Komunisme dan Uni Soviet. Perbedaan pandangan ini
dianggap sebagai faktor kunci terjadinya Perang Dingin. Perbedaan
pandangan ini kemudian diikuti dengan pembagian Jerman menjadi dua
negara, yaitu Jerman Barat yang berada dalam kubu AS dan Jerman Timur
berada dalam kubu Uni Soviet.
Selain itu, komitmen antara kedua negara super power tersebut melalui
pertemuan di Malta (1989) dan Washington (1990) untuk bekerjasama di masa
depan juga dianggap sebagai tanda berakhirnya Perang Dingin. Kedua
pertemuan tersebut menghasilkan perjanjian pada akhir 1990 di mana
dilakukannya pengurangan dan pembatasan senjata konvensional secara
drastis di Eropa dan disepakatinya pakta non-agresi antara NATO and
Organisasi Keamanan Warsawa. Perang Dingin memberikan pengaruh yang
besar terhadap perubahan sistem politik internasional dan implikasinya
khususnya berkaiatan dengan daerah Asia Tenggara. Seperti pengaruhnya di
Asia Tenggara seperti Perang Vietnam, Pembentukan Aliansi Milititer, SATO
dan GNB (Gerakan Non Bok) yang diperkarsai oleh Indonesia.
1.3 Tujuan
2.1 Pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur di kawasan Asia
Tenggara
2.1.2 Laos
Ketika perang di Vietnam mulai berlangsung pada tahun 1961, terdapat pula
perang lain yang tidak terlalu diliput oleh media massa pada saat itu, yakni perang
yang terjadi di Laos. Adapun pihak yang terlibat dalam perang di Laos ialah dari
kelompok Komunis Pathet Lao dengan kelompok sayap kanan Phoumi Nosavan.
Perang yang juga berupa perang sipil ini kemudian dikenal dengan sebutan Perang
Rahasia.
Perang Rahasia Laos juga melibatkan Central Intelligence Agency (CIA)
dan etnis Hmong. Amerika Serikat pun secara rahasia mengirimkan pasukan CIA
untuk memberikan pelatihan militer untuk masyarakat Hmong yang nantinya
digunakan untuk menghentikkan invasi pasukan Komunis yang masuk ke Laos
dari bagian utara. Amerika Serikat memberikan iming-iming berupa pemberian
bantuan secara ekonomi sesudah perang berakhir apabila masyarakat Hmong
bersedia, maka tawaran ini pun tentu saja diterima.
Singkatnya, pada sekitar Maret 1968, aliansi Amerika Serikat mengalami
kemunduran ditandai dengan jatuhnya instalasi dan radar rahasia milik Amerika
Serikat ke tangan pasukan Komunis Vietnam. Meski dengan dukungan kekuatan
udara milik Amerika Serikat, ternyata kelompok Phoumi tidak senantiasa dapat
memenangkan peperangan melawan Phatet Lao dengan mudah . Sebaliknya,
ketergantungan atas bantuan yang diberikan Amerika Serikat untuk pemerintahan
resmi Laos dan gerilyawan justru bergerak bagai bumerang yang menyerang
balik. Pada tahun 1975, Amerika Serikat yang berangsur-angsur mengalami
kemunduran menarik tentara Vietnam Selatan, tim pelatihan, senjata militer serta
memberhentikan bantuan finansial terhadap Laos. Dengan demikian, kubu
pemerintah menjadi semakin lemah. Hal ini lalu dimanfaatkan oleh Pathet Lao
untuk mengambil alih Laos bagian barat. Tidak terhenti di sana, kelompok
Komunis ini juga melakukan genosida terhadap etnis Hmong, karena dianggap
telah melakukan pengkhianatan telah bergabung dengan aliansi Amerika Serikat.
Hingga saat ini, janji yang diberikan oleh Amerika Serikat pada kelompok Hmong
sama sekali tidak terlaksana. Kenyataanya, Amerika Serikat bahkan menutup
rapat-rapat informasi mengenai Perang Rahasia yang terjadi di Laos ini.
Laos sendiri berada di bawah kendali Uni Soviet. Pada periode tersebut,
Laos yang sedang menggencarkan insurjensi demi melepaskan diri dari Perancis
mendapatkan bantuan militer dari Uni Soviet. Selagi memberikan bantuan
tersebut, Uni Soviet juga memasukkan unsur-unsur ideologi pada Laos. Dengan
persenjataan yang mumpuni dan dorongan moral berupa ideologi, bantuan-
bantuan Uni Soviet kemudian berhasil menggeser keberadaan pemerintahan
Perancis dari Laos. Akhirnya pada Desember 1975, Laos resmi mendeklarasikan
diri mereka sebagai Republik Rakyat Demokratis Laos setelah sebelumnya
menggunakan sistem pemerintahan berbentuk monarki (Mediansky dan Court,
1984).
Intervensi Uni Soviet yang berujung pada kemenangan Laos dalam
menggulingkan pemerintahan kolonial Prancis mengindikasikan bahwa campur
tangan kekuatan asing memiliki peran siginifikan dalam pembentukan sistem
politik dan administrasi Laos. Maka dari itu, dapat ditarik benang merah bahwa
Laos merespon secara positif keterlibatan pihak asing. Di era Perang Dingin, Laos
memang memiliki nilai strategis tersendiri karena letak geografisnya yang dekat
dengan Vietnam yang notabene merupakan medan tensi utama antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Meski pada akhirnya Uni Soviet yang memiliki andil
lebih besar dalam mewujudkan kemerdekaan Laos, tidak dapat dipungkiri bahwa
Amerika Serikat juga pernah berusaha untuk memperluas pengaruhnya ke wilayah
Laos, khususnya dengan memberikan dukungan intens pada kubu administrasi
kerajaan di masa insurjensi. Namun demikian, Laos gagal dalam memanfaatkan
bantuan luar negeri Amerika Serikat secara optimal sehingga rakyat kecil di
berbagai penjuru negara pun cenderung tidak mendukung administrasi
pemerintahan kerajaan yang disokong oleh Amerika Serikat. Momentum tersebut
pun dimanfaatkan oleh Pathet Lao dan ideologi Komunisnya untuk
mengkonsolidasi legitimasi mereka di mata para petani dan rakyat jelata (Tarling,
1999). Kendati afiliasi Laos terlihat condong ke Uni Soviet, eksistensi sejumlah
tokoh yang pro terhadap Amerika Serikat tidak dapat diremehkan. Hal ini
kemudian menjadi keunikan tersendiri bagi Laos dalam responsnya terhadap
intervensi asing, dimana masyarakat Laos tidak hanya memihak oleh satu
kekuatan sehingga Laos tidak dapat mendukung Amerika Serikat ataupun Uni
Soviet secara bulat.
2.1.3 Filipina
2.1.4 Thailand
2.1.5 Myanmar
Myanmar sebagai salah satu negara bekas jajahan telah merdeka pada 4
Januari 1948. Pasca kemerdekaan Myanmar sebagai suatu negara yang berdaulat,
kondisi dari sistem internasional pada saat itu masih diwarnai oleh ketegangan
paska Perang Dunia II. Situasi politik internasional yang terjadi saat itu adalah
munculnya dua negara besar pemenang Perang Dunia II, yakni Amerika Serikat
dan Uni Soviet, yang mana masing-masing negara memiliki ideologi yang kuat
hingga terjadilah Perang Dingin. Secara garis besar, Burma merupakan negara
yang netral atau tidak memihak pada pihak manapun dalam Perang Dingin.
Namun, seiring dengan pergantian kepemimpinan yang terjadi beberapa kali pada
masa itu, kedekatan Burma baik dengan kubu Barat maupun Timur mengalami
dinamikanya sendiri.
Pada Blok Timur, usaha-usaha Partai Komunis Burma mewarnai dinamika
politik sebagai isu yang panas pada periode-periode pemerintahan. Burma yang
dulu pada awal Perang Dingin dipimpin oleh Aung San yang cenderung sosialis
bahkan komunis karena ia mendirikan partai komunis di Burma pada tahun 1947.
Namun, masyarakat Burma sendiri sebenarnya adalah netral dan tidak ingin
terlibat dalam aliansi mana pun, sehingga muncul ketidaksukaan masyarakat
terhadap pemerintah dan Aung San. Aung San kemudian terbunuh di tahun yang
sama dan digantikan oleh U Nu yang bersikap netral. Di bawah U Nu, pemerintah
tetap menghadapi permasalahan dengan kaum komunis yang telah berkembang di
Burma. U Nu dalam kepemimpinannya tetap berusaha untuk bersikap netral. Hal
tersebut dapat dilihat dari upaya U Nu menggagas Konferensi Asia Afrika
bersama tokoh-tokoh dari negara lain, yang mana dalam Konferensi Asia Afrika
sendiri muncul ide-ide terkait gerakan non-blok (Brown, 1996).
Upaya yang dilakukan oleh Myanmar dalam melaksanakan kebijakan luar
negerinya saat itu dipengaruhi oleh beberapa konflik internal yang menjadi akar
masalah dalam dinamika kehidupan politik di Myanmar. Konflik-konflik internal
yang terjadi di Myanmar seringkali dilatarbelakangi oleh adanya isu-isu
pemberontakan yang dilakukan oleh suatu kelompok atau masyarakat etnis
minoritas di Myanmar. Selain itu, pemerintah Myanmar juga dipersulit degan
menjamurnya paham komunisme di Myanmar, sehingga juga didapati banyaknya
kudeta yang dilakukan oleh organisasi atau kelompok komunis.
Dinamika politik yang terjadi di Myanmar saat itu berada di titik puncak
ketika berhasilnya kudeta yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
struktur pemeritahan Myanmar, yang ditandai dengan diangkatnya Ne Win
menjadi pemimpin Myanmar (Kamalakaran, 2016). Ne Win merupakan salah satu
tokoh sosialis di Myanmar yang memiliki hubungan dekat dengan Tiongkok dan
Uni Soviet, namun Ne Win tidak mau untuk dikatakan sebagai tokoh komunis.
Dengan diangkatnya Ne Win, haluan kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh
Myanmar cenderung untuk condong ke Blok Timur yang dipimpin oleh Uni
Soviet (Brown, 1996).
Pemerintahan Myanmar di bawah kepemimpinan Ne Win dinilai telah
melanggar prinsip demokrasi. Dengan demikian, muncul Aung San Suu Kyi
sebagai salah satu tokoh yang berusaha menegakkan demokrasi di Myanmar
dengan mengusulkan dibentuknya People’s Consultative Committee. Namun
usaha Suu Kyi dalam mewujudkan hal tersebut gagal dengan adanya kudeta yang
dilakukan State Law and Order Restoration Council (SLORC), yang mana
merupakan junta militer yang dapat menggulingkan pemerintahan. Hingga saat
ini, SLORC yang berubah nama menjadi State Peace and Development Council,
memegang kekuasaan di Myanmar dengan sistem oligarki militer (Hack & Wade,
2009).
Di sisi lain, penyebaran paham komunisme yang semakin meluas tersebut
menjadi masalah dan menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat. Maka
Amerika Serikat beserta aliansinya dengan negara-negara Barat juga mulai
mendatangi wilayah Asia Tenggara untuk memastikan komunisme tidak
menyebar. Amerika Serikat mulai menaruh perhatiannya terhadap Burma karena
Burma merupakan salah satu pengekspor beras terbesar saat itu sehingga akan
sangat merugikan bila Burma jatuh ke tangan komunis (Clymer, 2015). Selain itu,
pada tahun 1950, pasukan nasionalis Tiongkok yang disebut dengan Kuomintang
(KMT) kalah dari Komunis dalam perang sipil dan singgah di Burma. Hal ini
semakin mendorong Amerika Serikat untuk datang ke Burma dan menjadikannya
negara aliansi.
Amerika Serikat kemudian mulai melakukan berbagai tindakan untuk
melakukan pendekatan dengan Burma. Pertama, Amerika mulai membantu Burma
dalam memerangi kaum komunis domestik dengan memberi bantuan senjata dan
tentara. Kemudian, Amerika juga mendukung KMT dengan memberi suplai
senjata dan makanan. Namun, untuk bertahan hidup di Burma, KMT melakukan
perdagangan heroin dan obat-obatan terlarang di bagian utara Burma. Hal ini
kemudian membuat pemerintah Burma tidak menaruh simpati terhadap KMT dan
akhirnya Amerika Serikat melakukan evakuasi total dengan memindahkan
kelompok KMT ke Kamboja dan Laos. Lebih lanjut, untuk tetap menjaga
hubungan baiknya dengan Burma, Amerika mengadakan kerjasama ekonomi
antara Amerika Serikat dan Burma yang mana Amerika akan memberikan
bantuan ke Burma baik dalam bentuk dana maupun aliansi militer (Clymer, 2015).
Lebih lanjut, Tiongkok terus mengirimkan ancaman terhadap Burma sehingga Ne
Win, salah satu tentara Burma mengambil alih kekuasaan pemerintah dan
membasmi seluruh kaum komunis yang ada di Burma. Lalu pada saat U Nu
kembali memerintah, Burma mengadakan Perjanjian Persahabatan dengan
Tiongkok. Hal tersebut menunjukkan bahwa Burma tetap merupakan negara
independen yang tidak memihak kubu mana pun di Perang Dingin.
Masyarakat Myanmar pada masa Perang Dingin pada faktanya cenderung
apatis terhadap intervensi dan problematika luar negeri yang banyak terjadi di
sekitarnya. Apatisme masyarakat Myanmar terhadap berbagai intervensi negara
luar terhadap Myanmar tersebut disebabkan oleh adanya konflik-konflik internal
yang kerap terjadi di Myanmar.
Dari sini dapat dipahami bahwa Myanmar memiliki dinamika yang
siginifikan pada era Perang Dingin. Pergantian pemimpin dari Aung Sang, U Nu,
kemudian Ne Win menjadi sorotan yang penting karena siginfikansi dari dua
pengaruh besar di era Perang Dingin, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Burma sendiri sebenarnya memilih sikap netral dan tidak ingin terlibat dalam
aliansi mana pun. Namun, seiring berkembangnya waktu muncul berbagai
pemerontakan pada isu kaum minoritas dan komunis sehingga membawa
perubahan struktur di Myanmar. Berbagai isu tersebut menarik perhatian dua
kekuatan besar, salah satunya Amerika yang kemudian mengintervensi dengan
memberi bantuan senjata pada KMT. Respon yang terjadi kemudian menciptakan
suatu perpecahan di Myanmar, namun dimenangkan oleh pihak militer dan
dilanjutkan dengan pendirian The Socialist Republic of the Union Burma yang
kemudian dikuasai oleh militer Myanmar. Pemerintahan oligarki berbasis militer
tersebut kemudian menjadi latar belakang digantinya Burma menjadi Myanmar
untuk mencegah perpecahan di kemudian hari.
2.1.6 Indonesia
Ketika Perang dunia II berakhir pada tahun 1945, Amerika Serikat dan Uni
Soviet hadir sebagai dua negara adikuasa yang memiliki kekuatan besar dan
dominan dalam sistem internasional. “At the end of Second World War the
destinies of the world did, indeed, at last appear to be likely to be dominated by
two great and very differing systems of power, one based in what had been Rusia,
one in the United States of America” (Roberts 1996, 507). Dikala itu Uni Soviet
maupun Amerika Serikat saling berlomba untuk menyebarluaskan ideologinya
hingga kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu sasaran pegaruh ideologi kedua
negara ini. Meluasnya ideologi Uni Soviet yang begitu pesat di Eropa Timur
membuat Amerika Serikat gelisah yang pada akhirnya salah satu balasan Amerika
Serikat terhadap Uni Soviet yakni mendirikan SEATO (Southeast Asia Treaty
Organization) pada tahun 1954 (Weatherbee 2005, 59). Pada awalnya kawasan
Asia Tenggara banyak mendapat pengaruh komunis, hal tersebut menjadi faktor
bagi Amerika Serikat untuk mengeluarkan kebijakan ‘contaiment policy” dimana
Amerika mempropagandakan akan adanya ‘keamanan bersama’ bagi Asia
Tenggara sebagai bentuk perlawanan terhadap komunis (Weatherbee 2005, 57).
Peran aktor Perang Dingin sangat besar bagi kawasan regional Asia
Tenggara baik sejak Perang Dingin hingga paska Perang Dingin. Uni Soviet dan
Amerika jelas memiliki kepentingan untuk menyebarluaskan ideologinya di Asia
Tenggara melalui kebijakan Containment Policy-nya sehingga menjadi era
konfrontasi tak langsung yang dilakukan melalui persaingan persenjataan, militer,
politik, dan teknologi. Dunia cenderung terbagi ke dalam suatu aliansi, namun
semua berubah ketika runtuhnya Uni Soviet dan menjadi tonggak baru bagi
kerjasama bilateral maupun multilateral mampu mewujudkan perdamaian dunia.
Paska Perang Dingin negara kekuatan besar baru pun bermunculan, seperti Cina
yang memiliki kekuatan ekonomi dan memiliki kepentingan mencari pasar untuk
barang produksinya di Asia Tenggara. Dalam bidang sosial budaya, salah satu
perwujudan hubungan harmonis diantara keduanya adalah dengan meresmikan
ASEAN-China Centre.. Kekuatan hierarki di Asia Tenggara itu sendiri
menunjukkan bahwasannya ASEAN masih membutuhkan kekuatan luar demi
kesejahteraan negaranya.
Gerakan Non Blok (GNB) pertama kali dibentuk pada awal tahun 1960-
an, yang dipelopori negara-negera merdeka untuk melancarkan aksi politiknya
menghadapi situasi dunia dengan memuncaknya perang dingin antara Blok Barat
dengan Blok Timur. Lahirnya Gerakan Non Blok berkaitan dengan Konferensi
Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung tanggal 18-24 April 1955 yang
dihadiri 29 kepala negara dan pemerintahan dari benua Asia dan Afrika yang baru
saja merdeka.
Tujuan dari Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada saat
itu untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia pada saat itu,
serta merumuskan kebijakan bersama negara pada tatanan hubungan internasional.
Selain itu, konferensi ini juga mengeluarkan resolusi menentang penjajahan,
diantaranya penjajahan Perancis atas Guinea Baru. KAA juga menjadi
pendahuluan dari terbentuknya Organisasi GNB.
Persaingan antara dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok TImur tersebut
memunculkan apa yang disebut “Perang Dingin”. Negara-negara dunia ketiga
yang baru merdeka tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya menonton sambil
melihat perkembangan tersebut dengan penuh rasa kecemasan dan keprihatinan.
Didasarkan pada keadaan dunia yang terpecah belah itu dan juga didasarkan pada
semangat Bandung, maka berdirilah Gerakan Nonblok, tepatnya pada tanggal 1
September 1961 ketika Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok I diselenggarakan di
Beograd, Yugoslavia.
Pada masa ini, Gerakan Non-Blok dihadapkan pada situasi dunia yang
sangat menegangkan. Situasi tersebut berwujud perpecahan dunia yang terbagi
dalam dua blok, yaitu Blok Barat dengan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya,
dan Blok Timur dengan Uni Soviet sebagai pemimpinnya, dimana antara kedua
blok tersebut dengan masing-masmg pengikutnya saling bersaing untuk
mempengaruhi dunia. Dihadapkan pada situasi yang demikian itu, yang tidak
ingin terjebak dalam pengaruh blok adidaya, maka Gerakan Non-Blok senantiasa
dituntut secara aktif untuk mencari jalan dalam usaha meredakan ketegangan-
ketegangan intenasional agar tidak terjadi suatu akibat yang lebih dasyat lagi,
yaitu meletusnya Perang Dunia. Oleh karena itu Gerakan Non-Blok menempatkan
perdamaian dunia yang kekal berdasarkan kemanan international yang
menyeluruh, dengan usaha-usaha perdamaian, perlucutan senjata, serta orientasi
Gerakan Non-Blok yang utama. Orieritasi itu dapat dilihat dalam setiap keputusan
yang dihasilkan dalam setiap KTT, mulai dari KTT I di Beograd 1961 sampai
KTT IX di Beograd tahun 1989.
KTT VII di New Delhi tahun 1983 telah menghasilkan suatu deklarasi
yang menegaskan bahwa politik Non-Blok tetap memberikan sumbangan terhadap
usaha-usaha peningkatan perdamaian, pelucutan senjata, peredaan ketegangan,
penyelesaian masalah internasional secara damai. Mengenai perlucutan senjata,
KTT mendesak agar negara-negara nuklir segera mengambil langkah-langkah
yang praktis untuk mencegah timbulnya perang nuklir serta menghentikan
produksi dan penempatan senjata tersebut. Deklarasi juga menyatakan pentingnya
pembentukan zona bebas senjata nuklir di berbagai bagian dunia sebagai
sumbangan ke arah perlucutan senjata yang umum dan menyeluruh. Deklarasi
menolak adanya doktrin penangkal nuklir maupun non nuklir. Mengenai masalah
penyelesaian sengketa secara damai KTT telah menegaskan kembali prinsip-
prinsip perlunya dihormati kedaulatan, kemerdekaan dan keutuhan wilayah serta
batas-batas internsional yang sah dan tidak dapat diganggu gugat serta tidak
mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Setiap pertikaian haruslah
diselesaikan dengan cara damai melalui perundingan, mediasi dan jasa-jasa baik,
tanpa paksaan, ancaman ataupun kekerasan serta campur tangan dari luar.
KTT VIII di Harare tahun 1986 lebih banyak memfokuskan pada masalah-
masalah Afiika bagian selatan. Diantara dokumen-dokumen yang dihasilkan yang
cukup menonjol adalah Deklarasi Khusus mengenai Afidka bagian selatan yang
mencakup dukungan sepenuhnya terhadap kemerdekaan Namibia dan tuntutan
diberlakukannya sanksi-sanksi yang komprehensif terhadap rezim Selatan serta
anjuran memberikan bantuan material dan keuangan kepada gerakan pembebasan
dalam perjuangannya untuk menghapuskan sistem aparhcid. Deklarasi politik
meliputi pula masalah-masalah regional dan internasional, konsep-konsep politik
Non- Blok dan masalah besar lainnya yang dihadapi bersama mengenai
perdamaian pelucutan senjata
Relevansi GNB untuk Asia Tenggara sejak 1992 dalam rangka keamanan
internasional dan multilateralisme yang dibangun secara sosial ini. Sekilas, GNB
memiliki relevansi yang pasti karena semua negara Asia Tenggara menghadiri
KTT Kesepuluh di Jakarta dan dua non-anggota bergabung satu tahun kemudian.
Secara simbolis, GNB memberi negara tuan rumah, Indonesia, kedudukan
internasional sebagai penyelenggara pertemuan yang melibatkan delegasi lebih
dari 100 negara. Mempersiapkan dokumen final konsensus dan Pesan Jakarta
menandakan status dan reputasi Indonesia di antara negara-negara nonblok. Pada
saat yang sama, kehadiran seluruh anggota ASEAN dan partisipasi mereka dalam
hasil konsensus KTT secara jelas mengaitkan sikap dan gagasan mereka dengan
solidaritas GNB saat itu.
Pada KTT GNB Kesebelas pada bulan Oktober 1995 yang bertempat di
Cartagena de Indias, Kolombia, anggota GNB menjabarkan arti keamanan
internasional yang terkait langsung dengan perlucutan senjata. Seruan umum ini
lebih simbolis dan idealis daripada praktis, karena seruan mereka ditujukan pada
negara-negara bersenjata nuklir. Namun, anggota GNB merekomendasikan
alternatif yang agak kurang meyakinkan untuk perlucutan senjata universal dalam
bentuk wilayah non-proliferasi berbasis. Anggota GNB menganggap non-
proliferasi regional menggarisbawahi keseriusan dan pentingnya penghapusan
senjata pemusnah massal dan merekomendasikan pembentukan zona bebas
senjata nuklir sebagai langkah pertama yang diperlukan. Mereka mendesak
negara-negara untuk membuat kesepakatan dengan tujuan untuk menciptakan
zona bebas senjata nuklir di wilayah di mana mereka tidak ada pada tahun 1995.
Menjawab seruan untuk membuat zona bebas senjata nuklir di antara negara-
negara berkembang akan menunjukkan solidaritas dan menandakan pendekatan
multilateral yang bertujuan untuk mengendalikan mereka. nasib sendiri tentang
senjata nuklir.
Selain itu, komitmen antara kedua negara super power tersebut melalui
pertemuan di Malta (1989) dan Washington (1990) untuk bekerjasama di masa
depan juga dianggap sebagai tanda berakhirnya Perang Dingin. Kedua pertemuan
tersebut menghasilkan perjanjian pada akhir 1990 di mana dilakukannya
pengurangan dan pembatasan senjata konvensional secara drastis di Eropa dan
disepakatinya pakta non-agresi antara NATO and Organisasi Keamanan Warsawa.
Perang Dingin memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan sistem
politik internasional dan implikasinya khususnya berkaiatan dengan high politics.
High politics meliputi isu-isu yang berkaitan dengan politik keamanan dan
pertahanan, kedaulatan dan juga militer.
Konflik antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan telah dimulai sejak
Vietnam dibelah menjadi dua oleh Perancis pada tahun 1954 melalui sebuah
konferensi yang diadakan di Jenewa, Swiss. Uni Soviet sempat mengusulkan
kepada PBB agar Vietnam Utara diterima sebagai anggota PBB pada tahun 1957.
Namun, AS memveto usulan tersebut dikarenakan Vietnam Utara berhaluan
Komunis. Keterlibatan AS dalam perang Vietnam mendukung Vietnam Selatan
memberikan kerugian besar di pihak AS. Karena berada di bawah desakan
masyarakatnya sendiri, AS di bawah kepemimpinan Richard M. Nixon segera
merubah kebijakan politik AS di Vietnam dari semula ‘bagaimana caranya
memenangkan perang’ menjadi ‘bagaimana caranya mundur dari gelanggang
tanpa kehilangan muka.’
2.4.2.3 SEATO
Munculnya AS dan Uni Soviet sebagai kekuatan baru pasca Perang Dunia
II telah mampu menarik negara-negara di dunia, khususnya Eropa ke dalam Blok
Barat dan Blok Timur, di mana AS dan Uni Soviet adalah pimpinannya. Namun,
Perang Dingin tidak hanya berimplikasi pada terbentuknya polarisasi dua
kekuatan tersebut. Kekhawatiran negara-negara dunia ketiga terhadap persaingan
ideologi dan militer AS-Uni Soviet memberikan inspirasi terbentuknya kekuatan
baru di luar pusaran polarisasi tersebut, yaitu Gerakan Non-blok (Non-Alligned
Movement). Gerakan Non-Blok dibentuk setelah diadakannya konferensi Asia
Afrika di Bandung, Indonesia pada tahun 1955. Gerakan Non-Blok dimotori oleh
Indonesia, India, Mesir, Ghana dan Yugoslavia. Gerakan ini umumnya
beranggotan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Selain menghindari
aliansi dengan Blok Barat dan Blok Timur, gerakan ini juga bertujuan untuk
menentang kolonialisme, neo-kolonialisme dan dominasi Barat. Pembentukan
Gerakan Non-Blok berupaya untuk membuka jalan bagi politik dunia yang
independen tanpa komando dan dominasi AS dan Uni Soviet. Walau demikian,
pengaruh AS dan Uni Soviet ternyata mampu mempenetrasi kebijakan negara-
negara anggota GNB. Ini disebabkan negara-negara tersebut memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan kedua super power tersebut, terutama
berkaitan dengan ekonomi dan militer.35 Walaupun demikian, keberadaan GNB
secara umum telah memberikan pengaruh terhadap sistem politik internasional
selama periode Perang Dingin, berkaitan dengan kerjasama politik dan diplomasi.
Selain itu, dunia ketika era Perang Dingin sebenarnya menjadi terbagi ke dalam
tiga kelompok. Amerika Serikat memimpin Blok Barat dengan sistem politik
liberalisme-demokrasi. Uni Soviet memimpin Blok Timur dengan sistem politik
komunisme. Kelompok ketiga adalah negara-negara yang tidak ingin terikat pada
Amerika Serikat ataupun Uni Soviet yang tergabung dalam GNB.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AS dan Uni Soviet menjadi dua kekuatan baru setelah perang Dunia II.
Perbedaan pandangan dalam rekontruksi Jerman dan Eropa pasca kekalahan Nazi
Jerman, berimbas pada persaingan ideologi, politik dan militer. Persaingan ini
menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan dunia. Persaingan yang kemudian
menjadi ketegangan AS-Uni Soviet tidak hanya terjadi di kawasan Eropa, tapi
juga di kawasan benua lainnya. Polarisasi kekuatan dunia antara AS dan Uni
Soviet tersebut mendorong terbentuknya NAM atau GNB yang menjadi aktor
dalam sistem politik internasional dalam periode Perang Dingin.
Dengan kata lain, Perang Dingin dibawa oleh ke-dua super powers
tersebut ke berbagai wilayah dunia dalam bentuk krisis-krisis dan kemudian
mampu mempengaruhi sistem politik internasional dalam hal politik (munculnya
polarisasi politik ideologis), keamanan (terbentuknya berbagai aliansi pertahanan
strategis dan perlombaan persenjataan nuklir) dan kedaulatan negara (munculnya
negara-negara berdaulat baru).
Perang Dingin ini juga membawa dampak di kawasan Asia Tenggara juga
seperti adanya Perang Vietnam sehingga Vietnam terpecah menjadi Vietnam
Selatan dan Vietnam Utara. Banyak negara di Asia Tenggara juga mendukung AS
karena menang seperti dengan adanya pertemua SATO di Manila. Namun
Indonesia memperkarsai Gerakan Non Blok yang tidak berpihak ke siapun atau
tidak memihak negara yang terlibat dalam perang Dingin.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu
penulis berharap kritik dan masukan-masukan saran yang membangun demi
membuat makalah ini menjadi sempurna. Tidak lupa syukur dan banyak terima
kasih atas bantuan-bantuan yang diberikan terutama kepada Drs. Sumarjono, M.Si
selaku dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Asia Tenggara dan segenap teman-
teman yang membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Goh, Evelyn. 2007. Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia:
Analyzing Regional Security Strategies, International Security 32 (3): pp.
113-157
Sukma, Rizal. 2000. Us-Southeast Asia Relations After The Crisis: The Security
Dimension. Jakarta: CSIS.
Fitriany, D. 2015. Peran Thailand Dalam South East Asia Treaty Organization
(Seato) Tahun 1954-1977. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.