Anda di halaman 1dari 44

ASIA TENGGARA PADA MASA PERANG DINGIN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Sejarah Asia Tenggara

Kelas B

Dosen Pengampu
Drs. Sumarjono, M.Si

Kelompok : 10
1. Enis Awalia Fauziah NIM 190210302044
2. Ellysa Aulia Rahmi NIM 190210302050
3. Rofiq Septianto NIM 190210302057
4. Mochamad Rizal Budi Saputra NIM 190210302076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang memberikan
kami kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini
dengan judul “Asia Tenggara pada Masa Perang Dingin”. Kami mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Drs. Sumarjono, M.Si selaku dosen pengampu
Matakuliah Sejarah Asia Tenggara

Makalah berjudul “Asia Tenggara pada Masa Perang Dingin” disusun


untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara. Makalah ini
menjelaskan berbagai situasi yang terjadi pada negara-negara yang terletak
kawasan Asia Tenggara pada masa perang dingin.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Maka dari itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untukmakalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Jember, 24 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................5

1.1 Latar Belakang..........................................................................................5

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................6

1.3 Tujuan........................................................................................................6

BAB II. PEMBAHASAN........................................................................................7

2.1 Pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur di kawasan Asia Tenggara 7

2.1.1 Vietnam..............................................................................................9

2.1.2 Laos..................................................................................................11

2.1.3 Filipina.............................................................................................13

2.1.4 Thailand...........................................................................................15

2.1.5 Myanmar..........................................................................................17

2.1.6 Indonesia..........................................................................................20

2.2 Dampak-Dampak Perang Dingin bagi Kawasan Asia Tenggara............25

2.3 Gerakan Non-Blok di Kawasan Asia Tenggara......................................29

2.3.1 Latar Belakang Gerakan Non Blok..................................................29

2.3.2 Gerakan Non Blok Pada Masa Perang Dingin.................................30

2.3.3 Pengaruh Gerakan Non Blok di Asia Tenggara...............................34

2.4 Berakhirnya Perang Dingin dan Pengaruhnya di Kawasan Asia Tenggara


38

2.4.1 Berakhirnya Perang Dingin..............................................................38

2.4.2 Pengaruh Perang Dingin bagi Asia Tenggara..................................39


BAB 3. PENUTUP................................................................................................42

3.1 Kesimpulan...................................................................................................42

3.2 Saran.............................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................43
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah Cold War pertama kali digunakan oleh Bernard Baruch dan Walter
Lippman dari Amerika Serikat pada tahun 1947, yang merupakan ketegangan
antara dua kekuatan besar yang bersaing dan berebut pengaruh setelah
berakhirnya Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat dengan ideologi
Liberalisme-Demokrasi dan Uni Soviet dengan ideologi Komunisme, dimulai
dari tahun 1947-1991. Ketegangan ini tidak hanya membawa dampak pada ke-
dua negara tersebut, tapi juga negara-negara lain yang terlibat dalam blok
pimpinan AS (Blok Barat) dan blok pimpinan Uni Soviet (Blok Timur).
Persaingan yang terjadi meliputi berbagai bidang seperti politik, ideologi,
militer dan pertahanan, ekonomi, sosial-budaya dan teknologi ruang angkasa.

Perang Dingin dipicu oleh keinginan Presiden AS, Harry S.Truman dalam
konferensi Potsdam (1945) agar diselenggarakan pemilu yang bebas di seluruh
Eropa Timur pasca kalahnya koalisi Jerman-Italia-Jepang dalam Perang Dunia
II.1 Namun, pimpinan Uni Soviet, Stalin, menolak tegas rencana tersebut
karena adanya kekhawatiran negara-negara Eropa Timur hasil pemilu yang
bebas akan memusuhi Komunisme dan Uni Soviet. Perbedaan pandangan ini
dianggap sebagai faktor kunci terjadinya Perang Dingin. Perbedaan
pandangan ini kemudian diikuti dengan pembagian Jerman menjadi dua
negara, yaitu Jerman Barat yang berada dalam kubu AS dan Jerman Timur
berada dalam kubu Uni Soviet.

Perang Dingin berakhir ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin pada


1989 dan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1990. Kemudian
diikuti dengan peristiwa bubarnya Uni Soviet pada 1991 dan mundurnya
Mikhail Gorbachev sebagai pemimpin Uni Soviet. Sebelumnya, Gorbachev
memperkenalkan kebijakan glasnost (keterbukaan) pada tahun 1985 dan
perestroika (rekonstruksi/reorganisasi) pada tahun 1987. Kebijakan ini
mengakibatkan gelombang revolusi di Uni Soviet dan negara-negara satelitnya
yang kemudian mengakhiri kedigdayaan Uni Soviet.

Selain itu, komitmen antara kedua negara super power tersebut melalui
pertemuan di Malta (1989) dan Washington (1990) untuk bekerjasama di masa
depan juga dianggap sebagai tanda berakhirnya Perang Dingin. Kedua
pertemuan tersebut menghasilkan perjanjian pada akhir 1990 di mana
dilakukannya pengurangan dan pembatasan senjata konvensional secara
drastis di Eropa dan disepakatinya pakta non-agresi antara NATO and
Organisasi Keamanan Warsawa. Perang Dingin memberikan pengaruh yang
besar terhadap perubahan sistem politik internasional dan implikasinya
khususnya berkaiatan dengan daerah Asia Tenggara. Seperti pengaruhnya di
Asia Tenggara seperti Perang Vietnam, Pembentukan Aliansi Milititer, SATO
dan GNB (Gerakan Non Bok) yang diperkarsai oleh Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur di


kawasan Asia Tenggara?
2. Bagaimanakah dampak-dampak perang dingin bagi kawasan Asia
Tenggara?
3. Bagaiamanakah Gerakan Non-Blok di Kawasan Asia Tenggara?
4. Bagaimanakah berakhirnya perang dingin dan pengaruhnya di kawasan
Asia Tenggara?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur di


kawasan Asia Tenggara
2. Untuk mengetahui dampak-dampak perang dingin bagi kawasan Asia
Tenggara
3. Untuk mengetahui Gerakan Non-Blok di Kawasan Asia Tenggara
4. Untuk mengetahui berakhirnya perang dingin dan pengaruhnya di kawasan
Asia Tenggara
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur di kawasan Asia
Tenggara

Berakhirnya Perang Dunia II tidak serta merta menghentikan konflik


internasional, namun justru melahirkan konflik baru berupa Perang Dingin.
Amerika Serikat dan Uni Soviet selaku aktor utama dalam peristiwa ini
menggunakan kekuatannya untuk menyebarkan pengaruh pada berbagai wilayah
di dunia, termasuk ke Asia Tenggara dengan tujuan mencapai kepentingan
nasional. Kepentingan yang dimiliki ini tidak lain untuk menekan ideologi lawan
sehingga menjadi satu-satunya negara hegemon yang ada di sistem internasional.
Usainya Perang Dunia II diikuti dengan  dekolonisasi pada negara-negara di
Asia Tenggara. Namun, sebagai negara-negara dunia ketiga yang baru saja
merdeka, nasionalitas dan kestabilan politik negara-negara tersebut diibaratkan
masih seumur jagung, sehingga wajar apabila Asia Tenggara menjadi sebuah
wilayah yang rentan untuk berbagai macam konflik di tengah ketidakstabilan
politik akibat persaingan dua kekuatan dunia.  Hal ini juga merujuk pada situasi
ekonomi negara-negara di Asia Tenggara yang notabene merupakan negara
berkembang. Ketidakstabilan tersebut kemudian berdampak pada kehidupan
masyarakatnya, dimana masih banyak terjadi kemiskinan, kelaparan, kurangnya
pendidikan, dan juga kebobrokan dalam pemerintahan seperti terjadinya praktik
korupsi dan pemerintahan yang kurang demokratis Oleh sebab itu, kondisi ini
lantas mengundang perhatian negara-negara lain untuk ikut campur guna
“menyelamatkan” situasi negara-negara berkembang yang cenderung chaos. Hal
inilah yang dikenal sebagai bentuk intervensi. Disamping bertujuan untuk
“menyelamatkan” negara-negara di Asia Tenggara, sejatinya tujuan implisit
dilakukannya intervensi ini adalah untuk memperkuat aliansi bagi masing-masing
kubu.
Pada mulanya, negara-negara di Asia Tenggara tidak masuk dalam agenda
aliansi baik dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat. Akan tetapi, pada waktu itu,
Tiongkok yang merupakan aliansi Uni Soviet mulai melakukan ekspansinya
hingga ke Korea dan Asia Tenggara. Demi mendukung kepentingan aliansinya,
Uni Soviet pun turut masuk ke Asia Tenggara. Dengan memanfaatkan kacaunya
situasi dekolonisasi, Uni Soviet masuk ke beberapa negara di Asia Tenggara
dengan memberikan pasokan senjata. Hal ini dikarenakan negara-negara di Asia
Tenggara yang tengah sibuk menggulingkan pemerintah kolonial tidak memiliki
oleh persenjataan yang memadai. Melihat upaya Uni Soviet, Amerika Serikat pun
turut memperluas aliansinya hingga ke Asia Tenggara. Tidak berbeda dengan cara
Uni Soviet, Amerika Serikat memanfaatkan fenomena perlawanan dari negara-
negara eks-Indocina untuk melawan Perancis. Dalam situasi tersebut, Laos
mendapat pengaruh, bantuan, dan terafiliasi dengan Uni Soviet. Hal ini dibuktikan
dengan arah ideologi Laos, Vietnam, dan Kamboja yang condong pada
Komunisme, sebagaimana yang dibawa oleh Uni Soviet. Sementara itu, Amerika
Serikat membentuk aliansi dengan Filipina dan Thailand. Malaysia, Brunei
Darussalam, dan Singapura masih berada dibawah persemakmuran Inggris.
Sedangkan Myanmar dan Indonesia pada waktu itu memilih untuk bersikap netral
dengan tidak memihak kedua kubu (Weatherbee, 2005).
Terdapat suatu pola yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara di Asia
Tenggara pada umumnya. Diawali dengan situasi di negara Asia Tenggara yang
cenderung belum stabil, negara-negara besar seperti Uni Soviet, Amerika Serikat,
Perancis, dan lainnya mencoba masuk dengan kedok “membantu” baik secara
ekonomi, politik, militer, ataupun keamanan agar negara tersebut lebih stabil.
Akan tetapi, adalah suatu kemustahilan bila suatu negara bersedia memberikan
bantuan dengan cuma-cuma. Negara yang telah memperoleh bantuan akan lebih
bersimpati dan berfokus pada relasi dengan negara pendonornya. Dari hal ini
dapat dilihat adaya motif dibalik tindakan pemberian bantuan tersebut. Salah
satunya adalah penyebaran ideologi yang dianut. Kemudian, dalam konteks situasi
Perang Dingin ini, setelah negara tujuan menganut ideologi yang sama, maka
negara pendonor bantuan akan membentuk aliansi dengan negara tersebut.
Strategi intervensi tersebut adalah strategi yang umum untuk digunakan. 
2.1.1 Vietnam
Salah satu negara Asia Tenggara yang dijadikan lahan dua negara adidaya
ini untuk melakukan proxy war adalah Vietnam yang pada saat itu masih terbagi
ke dalam dua kubu ideologi. Vietnam Selatan didukung oleh Amerika Serikat
dengan paham liberalisnya, sedangkan Vietnam Utara didukung oleh Uni Soviet
dengan paham Komunisnya.
Perang Vietnam, atau dikenal juga dengan Perang Indochina kedua, adalah
perang yang secara umum terjadi di Semenanjung Indochina—saat ini wilayah
Vietnam, Laos, dan Kamboja—yang dimulai dengan adanya insurjensi dari
kelompok pemberontak Vietnam Selatan terhadap Vietnam Utara pada 1
November 1955, dan diakhiri dengan kejatuhan Kota Saigon sebagai kota utama
dalam kepemilikan Vietnam Selatan pada 30 April 1975.
Perang ini, merupakan salah satu dari rangkaian perang proksi Perang
Dingin, dan merupakan puncak dari Perang Dingin di Asia Tenggara. Perang
Vietnam itu sendiri dapat dikatakan sebagai Perang Indochina kedua karena
merupakan kelanjutan dari Perang Indochina pertama yang terjadi pada tahun
1950-1954. Pada perang tersebut, Pemerintah Kolonial Perancis mendukung
pemerintah Vietnam Selatan dalam upayanya untuk melakukan perlawanan
terhadap pemberontak komunis Viet Minh yang berbasis di bagian utara Vietnam.
Namun, hal ini gagal khususnya dikarenakan adanya insurgensi internal di pihak
Vietnam Selatan dari National Liberation Front (NLF) Viet Cong yang didanai
oleh pemerintahan Viet Minuh. Viet Minh sebagai tokoh pergerakan nasional dari
Vietnam menginginkan agar Vietnam menjadi satu negara. Beliau menolak
Konferensi Jenewa dan menganggap Vietnam Selatan sebagai penghalang
penyatuan seluruh tanah Vietnam.
Demi mengalahkan Vietnam Selatan, Ho Chi Minh dibantu oleh negara-
negara komunis seperti Cina dan Uni Soviet. Amerika Serikat dan Sekutunya pun
langsung bergerak demi menghalangi upaya Vietnam Utara dan sekutu-sekutunya.
Amerika Serikat memiliki kepentingan di Vietnam Selatan, sehingga harus
mempertahankan daerah tersebut. Pecahlah Perang Vietnam yang merupakan
salah satu dari efek Perang Dingin. Perang Vietnam adalah perang terlama bagi
Amerika Serikat di Asia tenggara.
Berlandaskan “teori domino,” yang menyatakan bahwa jika satu negara Asia
Tenggara jatuh ke komunisme, banyak negara lain yang meningkatkan bantuan
AS. Upaya perang Vietnam Selatan-AS di selatan lebih difokuskan terutama di
lapangan, sebagian besar di bawah komando Jenderal William Westmoreland,
berkoordinasi dengan pemerintah Jenderal Nguyen Van Thieu di Saigon.
Westmoreland mengeluarkan komando untuk membunuh sebanyak mungkin
pasukan musuh daripada mencoba mengamankan wilayah. Pada 1966, wilayah-
wilayah besar Vietnam Selatan telah ditetapkan sebagai “zona perang”, tempat
semua warga sipil yang tidak bersalah harus dievakuasi dan hanya musuh yang
tersisa.
Pemboman berat oleh pesawat B-52 atau penembakan membuat zona-zona
ini tidak bisa didiami. Oleh sebab itu para pengungsi diempatkan di dalam kamp-
kamp di daerah-daerah aman yang ditentukan dekat Saigon dan kota-kota lain.
Namun, serangan besar Vietnam Selatan dan AS itu tidak menggentarkan pasukan
Vietnam Utara. Bahkan ketika jumlah pasukan musuh terus meningkat, pasukan
DRV dan Viet Cong tetap menolak untuk berhenti bertempur. Justru pasukan
Vietnam Utara mampu menduduki kembali wilayah yang lepas dengan bantuan
pasukan dan suplai melalui jalur Ho Chi Minh yang melewati Kamboja dan Laos.
Selain itu, Vietnam Utara juga didukung oleh Cina dan Uni Soviet dalam
memperkuat pertahanan udara.
Memasuki tahun-tahun terakhir perang, pasukan Amerika Serikat telah
mengalami kemunduran fisik dan psikologis. Hal ini menyebabkan permasalahan
baru di tubuh pasukan As, karena banyak di antara mereka mengalami depresi.
Antara Juli 1966 dan Desember 1973, lebih dari 503.000 personel militer AS
terlantar dan gerakan anti perang yang kuat di antara pasukan Amerika melahirkan
protes-protes terhadap pembunuhan, dan penahanan massal yang dilakukan oleh
personil AS yang ditempatkan di Vietnam.Pada bulan Oktober 1967, sekitar
35.000 demonstran melancarkan protes besar-besaran di luar Pentagon. Para
penentang perang berpendapat bahwa warga sipil Vietnam adalah korban utama
dan Amerika Serikat dinilai mendukung kediktatoran yang korup di Saigon,
Vietnam Selatan.
Singkatnya dengan atas desakan dari berbagai pihak dibuatlah perjanjian
damai antara Vietnam Utara dan Amerika Serikat yang disepakati pada 27 Januari
1973. Pada bulan Januari 1973, Amerika Serikat dan Vietnam Utara
menyelesaikan perjanjian damai tahap akhir yang sekaligus mengakhiri
permusuhan terbuka antara kedua negara. Namun, perang antara Vietnam Utara
dan Selatan tetap berlanjut hingga 30 April 1975, ketika pasukan DRV merebut
Saigon, mengganti namanya menjadi Kota Ho Chi Minh (Ho sendiri meninggal
pada 1969).
Konflik kekerasan selama lebih dari dua dekade telah menyebabkan
kerugian besar pada penduduk Vietnam. Setelah bertahun-tahun berperang, sekitar
2 juta orang Vietnam tewas, sementara 3 juta lainnya terluka dan 12 juta lainnya
menjadi pengungsi. Perang telah menghancurkan infrastruktur dan ekonomi
negara, dan rekonstruksi berjalan lambat.Pada tahun 1976, Vietnam bersatu
sebagai Republik Sosialis Vietnam.

2.1.2 Laos

Ketika perang di Vietnam mulai berlangsung pada tahun 1961, terdapat pula
perang lain yang tidak terlalu diliput oleh media massa pada saat itu, yakni perang
yang terjadi di Laos. Adapun pihak yang terlibat dalam perang di Laos ialah dari
kelompok Komunis Pathet Lao dengan kelompok sayap kanan Phoumi Nosavan.
Perang yang juga berupa perang sipil ini kemudian dikenal dengan sebutan Perang
Rahasia.
Perang Rahasia Laos juga melibatkan Central Intelligence Agency (CIA)
dan etnis Hmong. Amerika Serikat pun secara rahasia mengirimkan pasukan CIA
untuk memberikan pelatihan militer untuk masyarakat Hmong yang nantinya
digunakan untuk menghentikkan invasi pasukan Komunis yang masuk ke Laos
dari bagian utara. Amerika Serikat memberikan iming-iming berupa pemberian
bantuan secara ekonomi sesudah perang berakhir apabila masyarakat Hmong
bersedia, maka tawaran ini pun tentu saja diterima.
Singkatnya, pada sekitar Maret 1968, aliansi Amerika Serikat mengalami
kemunduran ditandai dengan jatuhnya instalasi dan radar rahasia milik Amerika
Serikat ke tangan pasukan Komunis Vietnam. Meski dengan dukungan kekuatan
udara milik Amerika Serikat, ternyata kelompok Phoumi tidak senantiasa dapat
memenangkan peperangan melawan Phatet Lao dengan mudah . Sebaliknya,
ketergantungan atas bantuan yang diberikan Amerika Serikat untuk pemerintahan
resmi Laos dan gerilyawan justru bergerak bagai bumerang yang menyerang
balik. Pada tahun 1975, Amerika Serikat yang berangsur-angsur mengalami
kemunduran menarik tentara Vietnam Selatan, tim pelatihan, senjata militer serta
memberhentikan bantuan finansial terhadap Laos. Dengan demikian, kubu
pemerintah menjadi semakin lemah. Hal ini lalu dimanfaatkan oleh Pathet Lao
untuk mengambil alih Laos bagian barat. Tidak terhenti di sana, kelompok
Komunis ini juga melakukan genosida terhadap etnis Hmong, karena dianggap
telah melakukan pengkhianatan telah bergabung dengan aliansi Amerika Serikat.
Hingga saat ini, janji yang diberikan oleh Amerika Serikat pada kelompok Hmong
sama sekali tidak terlaksana. Kenyataanya, Amerika Serikat bahkan menutup
rapat-rapat informasi mengenai Perang Rahasia yang terjadi di Laos ini.
Laos sendiri berada di bawah kendali Uni Soviet. Pada periode tersebut,
Laos yang sedang menggencarkan insurjensi demi melepaskan diri dari Perancis
mendapatkan bantuan militer dari Uni Soviet. Selagi memberikan bantuan
tersebut, Uni Soviet juga memasukkan unsur-unsur ideologi pada Laos. Dengan
persenjataan yang mumpuni dan dorongan moral berupa ideologi, bantuan-
bantuan Uni Soviet kemudian berhasil menggeser keberadaan pemerintahan
Perancis dari Laos. Akhirnya pada Desember 1975, Laos resmi mendeklarasikan
diri mereka sebagai Republik Rakyat Demokratis Laos setelah sebelumnya
menggunakan sistem pemerintahan berbentuk monarki (Mediansky dan Court,
1984).
Intervensi Uni Soviet yang berujung pada kemenangan Laos dalam
menggulingkan pemerintahan kolonial Prancis mengindikasikan bahwa campur
tangan kekuatan asing memiliki peran siginifikan dalam pembentukan sistem
politik dan administrasi Laos. Maka dari itu, dapat ditarik benang merah bahwa
Laos merespon secara positif keterlibatan pihak asing. Di era Perang Dingin, Laos
memang memiliki nilai strategis tersendiri karena letak geografisnya yang dekat
dengan Vietnam yang notabene merupakan medan tensi utama antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Meski pada akhirnya Uni Soviet yang memiliki andil
lebih besar dalam mewujudkan kemerdekaan Laos, tidak dapat dipungkiri bahwa
Amerika Serikat juga pernah berusaha untuk memperluas pengaruhnya ke wilayah
Laos, khususnya dengan memberikan dukungan intens pada kubu administrasi
kerajaan di masa insurjensi. Namun demikian, Laos gagal dalam memanfaatkan
bantuan luar negeri Amerika Serikat secara optimal sehingga rakyat kecil di
berbagai penjuru negara pun cenderung tidak mendukung administrasi
pemerintahan kerajaan yang disokong oleh Amerika Serikat. Momentum tersebut
pun dimanfaatkan oleh Pathet Lao dan ideologi Komunisnya untuk
mengkonsolidasi legitimasi mereka di mata para petani dan rakyat jelata (Tarling,
1999). Kendati afiliasi Laos terlihat condong ke Uni Soviet, eksistensi sejumlah
tokoh yang pro terhadap Amerika Serikat tidak dapat diremehkan. Hal ini
kemudian menjadi keunikan tersendiri bagi Laos dalam responsnya terhadap
intervensi asing, dimana masyarakat Laos tidak hanya memihak oleh satu
kekuatan sehingga Laos tidak dapat mendukung Amerika Serikat ataupun Uni
Soviet secara bulat.

2.1.3 Filipina

Setelah meraih kemerdekaan pada tahun 1946, Filipina mulai menjalankan


pemerintahannya secara berdaulat. Sebagai negara baru yang independen, tidak
mudah bagi Filipina untuk menjalankan pemerintahannya secara internal maupun
eksternal. Setelah Marcos Quezon meninggal dunia pada Agustus 1944, beliau
digantikan oleh Wakil Presiden Sergio Osmena yang menjabat hingga tahun 1946.
Memasuki periode pasca perang, ada beberapa tantangan dan peluang Republik
Filipina yang dihadapi melalui hubungannya dengan Amerika Serikat. Setelah AS
memberikan kemerdekaan kepada Filipina tahun 1945, sebagian besar
infrastruktur yang dibangun oleh AS di negara tersebut dibongkar. Filipina
mengalami masa-masa sulit diawal kemerdekaannya. Wilayah tempat tinggal
masyarakat sipil, fasilitas sosial seperti sekolah dan rumah sakit, hingga krisis
persediaan obat-obatan dan makanan melanda Manila. Biaya hidup melejit 800
persen lebih tinggi dibandingkan masa sebelum perang (Perang Dunia II). Namun
berselang beberapa bulan setelah memberikan kemerdekaan bagi Filipina,
pemerintah AS kemudian memberikan bantuan kepada Filipina melalui uang
sebesar US$ 71.500.000 yang merupakan akumulasi dari pajak cukai yang
dikumpulkan atas impor minyak kelapa Filipina serta pemberian pinjaman sebesar
US$ 75.000.000 dari United States Reconstruction Finance Corporation pada
pertengahan 1946.
Setelah menggantikan Presiden Roxas tahun 1947, pada masa pemerintahan
Quirino, Amerika Serikat kembali memberikan bantuan kepada Filipina melalui
desakan terhadap reformasi di pedesaan. AS mengirimkan penasihat CIA, Kolonel
Edward Lansdale dengan bantuan utama dari United States-Republic of the
Philippines Military Group atau Joint United States Military Advisory Group
(JUSMAG) yang dibentuk pada pertengahan 1950 untuk mengendalikan
kampanye kontra pemberontakan masyarakat sipil terhadap HUKs2 . Langkah
pertama yang dilakukan oleh AS dalam kerjasama ini adalah pemberian pinjaman
kepada tentara Filipina berupa uang senilai US$ 10.000.000. Kelompok komunis
ini kemudian berhasil dikalahkan pada Oktober 1950 oleh program Ramon
Magsaysay melalui perubahan besar dalam struktur organisasi Arm Forces of the
Philippines (AFP) dengan melancarkan perang psikologi kepada HUKs. Setelah
berhasil melumpuhkan organisasi komunis yang berkembang sejak awal Perang
Dunia II tersebut, pemerintah Filipina menggunakan kesempatan kekalahan
HUKs untuk menyebarkan banyak kebijakan domestik terkait program-program
ekonomi yang intensif terkhusus pada daerah-daerah pedesaan.
Pada pemerintahan Presiden selanjutnya, yakni Ramon Magsaysay, Carlos
Garcia dan Diosdado Macapagal, hubungan bilateral antara Filipina dan Amerika
Serikat tidak begitu mengalami konflik dan pertentangan kebijakan, karena
pemerintah di era pasca PD II berfokus pada pengembangan dan pertumbuhan
ekonomi domestik melalui kebijakan yang merakyat dan kebijakan-kebijakan
yang mendorong kesejahteraan sosial. Hubungan kedua negara kemudian mulai
lebih terikat satu sama lain melalui pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos
yang dimulai pada tahun 1965. Program restrukturisasi ekonomi, politik dan
militeristiknya menyatu dengan kebijakan luar negeri AS saat itu yang
mendukung pengembangan ekonomi berbasis ekspor dan memperkuat militer
untuk memerangi ancaman komunis. Hubungan baik kedua negara sebagai mitra
kerja sama diawali dengan penandatanganan perjanjian Mutual Defense Treaty
pada tahun 1951. Salah satu bentuk realisasinya terlihat pada masa pemerintahan
Presiden Marcos.
Meningkatnya penumpukan pasukan militer AS yang memerangi
komunisme, terutama di Vietnam, pemerintah AS kemudian memanfaatkan
Filipina untuk membangun basis militernya. Subic Naval Base dan Clark Air Base
yang berada di wilayah Filipina bahkan dikenal sebagai basis militer AS terbesar
di dunia masa itu. Pangkalan militer AS di Filipina berfungsi sebagai landasan
utama untuk memfasilitasi perang di Vietnam, sementara komunitas warga
Filipina di sekitar basis militer diubah menjadi kawasan istirahat dan rekreasi bagi
tentara AS. Hal tersebut menciptakan ledakan aktivitas ekonomi di Filipina.
Melihat kebutuhan AS yang besar di wilayahnya, khususnya penggunaan lahan
untuk kepentingan perang, pemerintahan Presiden Marcos kemudian mulai
menarik biaya sewa untuk penggunaan lahan sebagai basis militer dan hal-hal
yang berkaitan. Bantuan militer AS ke Filipina naik dari US$ 18.500.000 pada
tahun 1972 menjadi US$ 45.300.000 pada tahun 1973. Tidak hanya biaya sewa
untuk lahan yang dijadikan basis militer, namun juga tentara AS memfasilitasi
pelatihan militer dan pengalihan peralatan militer AS yang sudah tidak lagi
digunakan kepada Filipina. Meskipun terlilit kasus yang memperburuk catatan
hak asasi manusia di Filipina pada dekade tersebut, pemerintahan Marcos tetap
menerima bantuan keamanan dari pemerintahan AS yang baru di bawah Presiden
Jimmy Carter (1977-1981) sejumlah US$ 500.000.000.

2.1.4 Thailand

Meluasnya pengaruh ideologi Liberal dan juga ideologi Komunis ke seluruh


penjuru dunia ketika Perang Dunia II berakhir mengakibatkan wilayah Asia
Tenggara ikut terpengaruh dengan masuknya kedua ideologi tersebut. Pengaruh
komunisme yang mulai memasuki Asia Tenggara tentunya memberikan ketakutan
terhadap berbagai negara, tidak terkecuali Thailand. Meluasnya pengaruh
komunis memberikan perubahan juga terhadap politik luar negeri Thailand, di
mana terjadi perubahan haluan politik yang sebelumnya memihak Jepang dan
setelah Perang Dunia II berakhir Thailand menjadi Sekutu Amerika Serikat.
Alasan Thailand melakukan perubahan haluan politiknya karena melihat kondisi
keamanan Thailand pada saat itu.
Sejalan dengan hal tersebut Thailand memutuskan untuk bergabung dan
menjadi anggota SEATO. Keikutsertaan Thailan menjadi anggota SEATO adalah
untuk membendung masuknya komunis ke wilayah Thailand. Masuknya Thailand
dalam organisasi pertahanan yang dibuat oleh Amerika Serikat pada tahun 1954
diawali dengan adanya Konferensi di Manila, Filipina. Dengan adanya konferensi
tersebut cukup membawa pengaruh bagi keamanan, politik dan ekonomi
Thailand.
Sebagai anggota SEATO Thailand memiliki peran yang sangat penting
antara lain sebagai markas besar yang digunakan untuk membendung masuknya
komunis di Asia Tenggara. Namun dengan masuknya Thailand sebagai anggota
SEATO membawa keikutsertaannya dalam perang khususnya di Asia Tenggara
Thailand adalah negera sekutu Amerika Serikat yang memiliki sejarah
hubungan yang panjang, bermula sejak tahun 1945. Hubungan antara Amerika
Serikat dan Thialand terjalin sejak perang dingin, diperluaskan hubungannya
berbasis kepentigan kemanan dan ekonomi, Thailand adalah negara partner
Amerika yang memiliki sektor perdagangan dan investasi yang cukup besar.
Penyediaan A.S. terhadap fasilitas militer Thailand dan koperasi militer-to-militer
yang berkelanjutan memebuat Thailand menjadi bagian penting bagi Amerika
Serikat dalam implimentasi strategi kebijakannya di wilayah Asia- Pasifik. Lebih
dari 50 agen pemerintah AS , dengan operasi reginal berbasis di Thailand.

Pada tahun 1954, kedua negara menandatangani perjanjian Manila, dengan


membangun The Southeast Asia Treaty organization (SEATO) (sekarang telah
tidak berfungsi).2 Amerikat Serikat dan Thailand juga menyetujui The Thanat-
Rusk communique, menyediakan sebuah dasar yang berkelanjutan untuk
hubungan kerja sama keamanan antar dua negara. Dan ikatan diperkuat dengan
ikut bersama dalam peperangan di Korea, perang Vietman dan Irag. Thailand
mengirim lebih dari 6,500 pasukan untuk membantu komando Perserikatan
Bangsa-bangsa (The Unitate Nations Command) selama peperangan di Korea,
dimana pasukan Thailand cedera lebih dari 1,250 korban.3 Setelah satu dekade
Amerika Serikat menyerang Vietnam Utara dan Loas dengan robongan bom dari
Thailand. Selama perang Vietnam lebih dari 50,000 pasukan Amerika Serikat
berpusat di Thailand dan AS menuangkan bantuan kepada Thailand untuk
melawan bemberontokan komunis domestik negaranya.4 Thailand sendiri juga
mengirim pasukannya ke Vietnam Selatan dan Loas untuk membantu AS.
Hubungan keamanan yang erat berlanjut sepanjang perang dingin, Thailand
melayani sebagai negara sekutu AS anti komunis di wilayahnya. Dan
menyediakan bantuan dalam perang Irak di tahun 1991 dan 2003, perisiden
Georgr W. Bush pernah mengungkap bahwa Thailand adalah negara persekutuan
non- NATO (major non-NATO)

2.1.5 Myanmar

Myanmar sebagai salah satu negara bekas jajahan telah merdeka pada 4
Januari 1948. Pasca kemerdekaan Myanmar sebagai suatu negara yang berdaulat,
kondisi dari sistem internasional pada saat itu masih diwarnai oleh ketegangan
paska Perang Dunia II. Situasi politik internasional yang terjadi saat itu adalah
munculnya dua negara besar pemenang Perang Dunia II, yakni Amerika Serikat
dan Uni Soviet, yang mana masing-masing negara memiliki ideologi yang kuat
hingga terjadilah Perang Dingin. Secara garis besar, Burma merupakan negara
yang netral atau tidak memihak pada pihak manapun dalam Perang Dingin.
Namun, seiring dengan pergantian kepemimpinan yang terjadi beberapa kali pada
masa itu, kedekatan Burma baik dengan kubu Barat maupun Timur mengalami
dinamikanya sendiri.
Pada Blok Timur, usaha-usaha Partai Komunis Burma mewarnai dinamika
politik sebagai isu yang panas pada periode-periode pemerintahan. Burma yang
dulu pada awal Perang Dingin dipimpin oleh Aung San yang cenderung sosialis
bahkan komunis karena ia mendirikan partai komunis di Burma pada tahun 1947.
Namun, masyarakat Burma sendiri sebenarnya adalah netral dan tidak ingin
terlibat dalam aliansi mana pun, sehingga muncul ketidaksukaan masyarakat
terhadap pemerintah dan Aung San. Aung San kemudian terbunuh di tahun yang
sama dan digantikan oleh U Nu yang bersikap netral. Di bawah U Nu, pemerintah
tetap menghadapi permasalahan dengan kaum komunis yang telah berkembang di
Burma. U Nu dalam kepemimpinannya tetap berusaha untuk bersikap netral. Hal
tersebut dapat dilihat dari upaya U Nu menggagas Konferensi Asia Afrika
bersama tokoh-tokoh dari negara lain, yang mana dalam Konferensi Asia Afrika
sendiri muncul ide-ide terkait gerakan non-blok (Brown, 1996).
Upaya yang dilakukan oleh Myanmar dalam melaksanakan kebijakan luar
negerinya saat itu dipengaruhi oleh beberapa konflik internal yang menjadi akar
masalah dalam dinamika kehidupan politik di Myanmar. Konflik-konflik internal
yang terjadi di Myanmar seringkali dilatarbelakangi oleh adanya isu-isu
pemberontakan yang dilakukan oleh suatu kelompok atau masyarakat etnis
minoritas di Myanmar. Selain itu, pemerintah Myanmar juga dipersulit degan
menjamurnya paham komunisme di Myanmar, sehingga juga didapati banyaknya
kudeta yang dilakukan oleh organisasi atau kelompok komunis.
Dinamika politik yang terjadi di Myanmar saat itu berada di titik puncak
ketika berhasilnya kudeta yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
struktur pemeritahan Myanmar, yang ditandai dengan diangkatnya Ne Win
menjadi pemimpin Myanmar (Kamalakaran, 2016). Ne Win merupakan salah satu
tokoh sosialis di Myanmar yang memiliki hubungan dekat dengan Tiongkok dan
Uni Soviet, namun Ne Win tidak mau untuk dikatakan sebagai tokoh komunis.
Dengan diangkatnya Ne Win, haluan kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh
Myanmar cenderung untuk condong ke Blok Timur yang dipimpin oleh Uni
Soviet (Brown, 1996).
Pemerintahan Myanmar di bawah kepemimpinan Ne Win dinilai telah
melanggar prinsip demokrasi. Dengan demikian, muncul Aung San Suu Kyi
sebagai salah satu tokoh yang berusaha menegakkan demokrasi di Myanmar
dengan mengusulkan dibentuknya People’s Consultative Committee. Namun
usaha Suu Kyi dalam mewujudkan hal tersebut gagal dengan adanya kudeta yang
dilakukan State Law and Order Restoration Council (SLORC), yang mana
merupakan junta militer yang dapat menggulingkan pemerintahan. Hingga saat
ini, SLORC yang berubah nama menjadi State Peace and Development Council,
memegang kekuasaan di Myanmar dengan sistem oligarki militer (Hack & Wade,
2009).
Di sisi lain, penyebaran paham komunisme yang semakin meluas tersebut
menjadi masalah dan menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat. Maka
Amerika Serikat beserta aliansinya dengan negara-negara Barat juga mulai
mendatangi wilayah Asia Tenggara untuk memastikan komunisme tidak
menyebar. Amerika Serikat mulai menaruh perhatiannya terhadap Burma karena
Burma merupakan salah satu pengekspor beras terbesar saat itu sehingga akan
sangat merugikan bila Burma jatuh ke tangan komunis (Clymer, 2015). Selain itu,
pada tahun 1950, pasukan nasionalis Tiongkok yang disebut dengan Kuomintang
(KMT) kalah dari Komunis dalam perang sipil dan singgah di Burma. Hal ini
semakin mendorong Amerika Serikat untuk datang ke Burma dan menjadikannya
negara aliansi.
Amerika Serikat kemudian mulai melakukan berbagai tindakan untuk
melakukan pendekatan dengan Burma. Pertama, Amerika mulai membantu Burma
dalam memerangi kaum komunis domestik dengan memberi bantuan senjata dan
tentara. Kemudian, Amerika juga mendukung KMT dengan memberi suplai
senjata dan makanan. Namun, untuk bertahan hidup di Burma, KMT melakukan
perdagangan heroin dan obat-obatan terlarang di bagian utara Burma. Hal ini
kemudian membuat pemerintah Burma tidak menaruh simpati terhadap KMT dan
akhirnya Amerika Serikat melakukan evakuasi total dengan memindahkan
kelompok KMT ke Kamboja dan Laos. Lebih lanjut, untuk tetap menjaga
hubungan baiknya dengan Burma, Amerika mengadakan kerjasama ekonomi
antara Amerika Serikat dan Burma yang mana Amerika akan memberikan
bantuan ke Burma baik dalam bentuk dana maupun aliansi militer (Clymer, 2015).
Lebih lanjut, Tiongkok terus mengirimkan ancaman terhadap Burma sehingga Ne
Win, salah satu tentara Burma mengambil alih kekuasaan pemerintah dan
membasmi seluruh kaum komunis yang ada di Burma. Lalu pada saat U Nu
kembali memerintah, Burma mengadakan Perjanjian Persahabatan dengan
Tiongkok. Hal tersebut menunjukkan bahwa Burma tetap merupakan negara
independen yang tidak memihak kubu mana pun di Perang Dingin.
Masyarakat Myanmar pada masa Perang Dingin pada faktanya cenderung
apatis terhadap intervensi dan problematika luar negeri yang banyak terjadi di
sekitarnya. Apatisme masyarakat Myanmar terhadap berbagai intervensi negara
luar terhadap Myanmar tersebut disebabkan oleh adanya konflik-konflik internal
yang kerap terjadi di Myanmar.
Dari sini dapat dipahami bahwa Myanmar memiliki dinamika yang
siginifikan pada era Perang Dingin. Pergantian pemimpin dari Aung Sang, U Nu,
kemudian Ne Win menjadi sorotan yang penting karena siginfikansi dari dua
pengaruh besar di era Perang Dingin, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Burma sendiri sebenarnya memilih sikap netral dan tidak ingin terlibat dalam
aliansi mana pun. Namun, seiring berkembangnya waktu muncul berbagai
pemerontakan pada isu kaum minoritas dan komunis sehingga membawa
perubahan struktur di Myanmar. Berbagai isu tersebut menarik perhatian dua
kekuatan besar, salah satunya Amerika yang kemudian mengintervensi dengan
memberi bantuan senjata pada KMT. Respon yang terjadi kemudian menciptakan
suatu perpecahan di Myanmar, namun dimenangkan oleh pihak militer dan
dilanjutkan dengan pendirian The Socialist Republic of the Union Burma yang
kemudian dikuasai oleh militer Myanmar. Pemerintahan oligarki berbasis militer
tersebut kemudian menjadi latar belakang digantinya Burma menjadi Myanmar
untuk mencegah perpecahan di kemudian hari.
2.1.6 Indonesia

Sejak Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945 dan pancasila


ditetapkan sebagai Dasar Negara serta UUD 1945 menjadi konstitusi bangsa,
Indonesia telah menentukan untuk menganut politik luar negeri yang bebas-aktif.
Itu berarti bahwa Indonesia tidak berpihak kepada blok Barat maupun blok Timur.
Sudah tentu sikap Indonesia itu tidak disenangi Amerika Serikat maupun Uni
Soviet, terutama kerena posisi geopolitik dan geostrategi Indonesia amat
berpengaruh terhadap Perang Dingin. Hal ini menjadi alasan kuat bagi AS untuk
lebih memihak Belanda sebagai anggota daripada mendukung Indonesia atau
bersifat netral.
Sikap Uni Soviet yang kurang senang menjadi kenyataan ketika Muso
dikirim oleh Moskow untuk memimpin Partai Komunis Indonesia dan menjadikan
Republik Indonesia negara komunis. Itu berakibat meletusnya pemberontakan
PKI di Madiun pada 1948. Belanda dengan cepat berusaha memanfaatkan
peristiwa itu untuk lebih memperkuat dukungan AS dengan mengajukan bahwa
sedikit harapan Indonesia dapat lepas dari kekuasaan komunis. Akan tetapi,
Republik Indonesia berhasil mengalahkan pemberontakan komunis itu dalam
waktu dua bulan, meskipun pada waktu yang sama harus terus-menerus siap
menghadapi serbuan militer Belanda terhadap daerah-daerah Republik .
Keberhasilan Indonesia itu membuat AS lebih percaya kepada RI, sekurang-
kurangnya bahwa Indonesia tidak berpihak kepada blok Komunis dan sanggup
menghadapinya kalau diganggu.
Dalam perkembangan selanjtnya, hubungan Indonesia-Amerika Serikat
tidak menjadi lebih mudah. Perang dingin makin menguat sedangkan Indonesia
telah menetapkan diri sebagai negara non-blok yang menganut politik luar negeri
bebas-aktif. Pada 1955, Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-
Afrika di Bandung yang menimbulkan sikap dan kepercayaan diri lebih kuat dari
bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang umumnya tidak atau belum menentukan
pemihakan mereka dalam konfrontasi Barat-Timur. Konferensi ini menjadi
landasan kuat bagi terselenggaranya Konferensi Non-Blok di Beograd pada 1961.
Bahkan Indonesia menjadi salah satu pelopor dalam pembentukan Grakan Non-
Blok (GNB) bersama India dan Yugoslavia.
Buat AS sikap non-blok dinilai amoral, sebagaimana dinyatakan John
Dulles, menteri luat negeri AS pada 1950-an. Mengingat pentingnya Indonesia
dalam konstelasi internasional, baik karena jumlah penduduknya yang besar (pada
1950-an sudah sekitar 150 juta orang), banyaknya sumber daya alam yang
dikandung buminya maupun karena berada di posisi silang yang amat strategis
antara dua samudra dan dua benua, maka blok Barat, lhususnya AS,
berkepentingan Indonesia berada di pihaknya mengghadapi Uni Soviet.
Meskipun politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia tidak berpihak pada blok
komunis, malahan pada 1948 menumpas pemberontakan komunis ketika sedang
sulit-sulitnya mengahadapi Belanda, itu belum cukup bagi AS. Sebab AS
berkepentungan untuk memanfaatkan aspek-aspek tertentu dari Indonesia untuk
memenangkan konfrontasinya dengan komunis. Kepentingan tersebut seperti
penguasaan lalu lintas laut antara Samudera Hindia dan Pasifik, antara lain dengan
dipentuknya Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) pada 1954 dengan AS,
Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Thailand, dan Filipina
sebagai anggota. AS juga berusaha mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk
lebih condong kepadanya. Dilakukan usaha-usaha untuk memberikan pendidikan
kepada pemuda Indonesia di AS di berbagai lembaga termasuk pendidikan
militer. Juga AS menunjukkan kesediaan membantu Indonesia dalam ekonomi
dan berbagai usaha lainnya. itu semua diterima Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan negara dan bangsa.
Usaha mempengaruhi itu berakibat bahwa ada sebagain rakyat Indonesia
terangsang untuk berpihak kepada AS. Terjadi berbagai gerakan di Indonesia yang
secara langsung atau tidak langsung menggangu kekuasaan pemerintah Indonesia.
Gangguan itu smapai menimbulkan kegusaran Presiden Soekarno yang merasa
kekuasaannya dan bahkan hidupnya terancam, sebagaimana terjadi dalam
percobaan pembunuhan Cikini. Hal itu justru menjauhkan Presiden Soekarno dari
AS sehingga dituduh berpihak kepada komunis. Terjadinya pemberintakan
PRRI/Permesta pada 1957 dikatakan akibat pengaruh AS. Hal itu antara lain
didalihkan karena besarnya dukungan AS dalam peralatan dan personil militer
serta biaya pemberontakan itu. Maksud AS tidak lain agar di Indonesia berkuasa
satu pemerintah yang sepenuhnya berpihak kepada blok Barat. Akan tetapi,
ternyata RI berhasil mengatasi pemberontakan itu dengan cukup cepat. Dukungan
AS serta sekutunya kepada pemeberontakan baru berakhir ketika Indonesia makin
menunjukkan kemampuan dan kekuatan untuk mengalahkan pemberontakan, baik
di Sumatera maupun Sulawesi. Juga larena para pemimpin Indonesia dapat
membuktikan bahwa RI dan TNI sama sekali tidak dikuasai komunis.
Peran AS dalam pemberontakan PRRI/Permesta mulai menimbulkan
kesangsian dalam pendapat umum rakyat Indonesia tentang maksud baik AS.
Akan tetapi, di pihak lain juga banyak rakyat yang khawatir terhadap
perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terus bergerak dengan
bantuan Uni Soviet untuk memperkuat posisinya kembali di Indonesia.
Uni Soviet juga memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk
melakukan pendidikan di negaranya. Selain itu Uni Soviet memungkinkan
Indonesia membeli peralatan militer untuk menjadikan TNI kekuatan militer yang
tanggu. Ini adalah keberhasilan diplomasi Indonesia yang di tolak AS membeli
peralatan militer di negara itu. Hal ini merupakan akibat dari masalah Irian Barat
yang belum kunjung terselesaikan sejak berakhirnya KMB 1949.
Dalam persejutuan KMB ditetapkan bahwa setelah satu tahun Indonesia dan
Belanda akan merundingkan penyerakan Irian Barat kepada RI. Akan tetapi,
Belanda terus saja menolak mengadakanperundingan dan AS menutup mata.
Untuk mencegah Indonesia melakukan gerakan militer terhadap Irian, AS
menolak menjual peralatan militer kepada Indonesia
Akan tetapi dengan peralatan militer yang dibeli Uni Soviet, TNI
berkembang menjadi kekuatan yang andal. Dengan kekuatan itu, Indonesia
berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan Irian Barat masuk ke wilayah
RI dan kemudian dinamakan Irian Jaya. Hal itu tercapai tanpa adanya penggunaan
kekerasan, karena AS mendesak Belanda untuk mengalah dan mundur tanpa
terjadi perang. AS khawatir Indonesia menyerang Irian dan dapat mengalahkan
Belanda secara militer dengan peralatan yang diperolehnya dari Uni Soviet. Hal
demikian akan menjadi keuntukan besar bagi citra Uni Soviet di Asia Tenggara
dan dunia. Dengan pekembangan itu, wilayah RI meliputi seluruh bekas Hindia
Belanda.
Hubungan Indonesia dengan AS mengalami perubahan positif ketika pada
1965 Indonesia dapat mengalahkan pemberontakan komunis kedua dan
mengakhiri riwayah Partai Komunis Indonesi (PKI) yang telah menjadi partai
komunis terbesar di dunia di luar negara komunis. Meskipun selalu ada insinuasi,
baik dari pihak pendudkun PKI maupun dari AS sendiri, namun dalam kenyataan
Indonesia telah bertindak sepenuhnya karena kehendak sendiri untuk
menyelamatkan kepentingan nasionalnya.
Sejak 1960 pengaruh komunis makin kuat dan meluas di Indonesai dan
makin jelas bahwa PKI berambisi menguasai pemerintahan. Hal ini juga sangat
dipengaruhi oleh penjualan peralatan militer Uni Soviet kepada Indonesia. Posisik
PKI makin kuat dan berkembang mejadi partai komunis terbesar di dunia luar
negara komunis. Sikpa Presiden Soekarno makin condong dan dekat kepada PKI
dengan alasan bahwa harus dilandasi kekuatan NASAKOM, yaitu nasionalis-
agama-komunis. PKI cukup pandai memanfaatkan sikap Presiden itu. Sangat
besar bahaya bahwa pengaruh yang makin meluas dan kuat itu suatu saat
menjadikan PKI kekuatan yang berkuasa di Indonesia.
Akan tetapi, pemimpin PKI kurang tergerak melakukan perebutan
kekuasaan pada 1965. Maka kekuatan-kekuatan di Indonesia yang tidak muapu
negaranya dikuasai kaum komunis dan masih mempunyai kekuatan dan
kemampuan melawan, bertindak dan mengalahkan pemeberontakan itu.
Baru kali ini ada pemberontakan komunis dikalahkan tanpa bantuan dan
peran AS atau sekutu. Biasanya satu negara yang diganggu oleh komunis dengan
apa yang dalam jargon komunis dinamakan “perang pembebasan nasional” (war
of national liberation) selalu meminta bantuan militer dan dukungan peralatan,
personil, keuangan A, sehingga menimbulkan beban bagi AS. Akan tetapi,
indonesi bertindak tanpa bantuan ataupun dukungn dari AS dan berhasil
mengakhiri partai komunis terbesar di dunia. Jadi amat menguntungkan blok
Barat. Sebab itu, dalam periode tahun 1965 dan sesudahnya, hubungan Indonesia
dengan AS menjadi cukup dekat. Namun demikian, Indonesia tetap negara non-
blok dengan politik luar ngeri bebas-aktif.
Hubungan yang membaik dengan AS digunakan Indonesia untuk
memperbaiki enkominya yang sejak tahun 1960 amat ditelantarkan Presiden
Soekarno. AS mempengaruhi sekutunya untuk membantu Indonesia dalam
membangun ekonominya yang disalurkan lewat Inter Government Gropu on
Indonesia (IGGI). Setiap tahun IGGI bersidang di Belanda dengan seorang
menteri Belanda sebagai pimpinan dan setiap negara yang menjadi anggota
menyatakan berapa besar bantuan yang akan diberikan kepada Indoensia. Juga
lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IInternational Monetary
Fund (IMF) yang sangat didominasi AS, turut dalam IGGI.
Makin kuat pengaruh AS masuk Indonesia, mejadi makin sulit bagi
Indonesia untuk mejalankan kebijakan tanpa persetujuan AS, terutama di bidang
ekonomi. Akan tetapi karena makin kuta faktor ekonomi dalam kehidupan umay
manusia, maka juga bidang-bidang lain sukar untuk bebas dari pengaruh AS.
Namun demikian, Indonesia masih tetap mejalankan politik bebas-aktif, tetapi
berada di bagian kanan dari poros bebas-aktif yang ditempunya (right of the
center).

2.2 Dampak-Dampak Perang Dingin bagi Kawasan Asia Tenggara

Ketika Perang dunia II berakhir pada tahun 1945, Amerika Serikat dan Uni
Soviet hadir sebagai dua negara adikuasa yang memiliki kekuatan besar dan
dominan dalam sistem internasional. “At the end of Second World War the
destinies of the world did, indeed, at last appear to be likely to be dominated by
two great and very differing systems of power, one based in what had been Rusia,
one in the United States of America” (Roberts 1996, 507). Dikala itu Uni Soviet
maupun Amerika Serikat saling berlomba untuk menyebarluaskan ideologinya
hingga kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu sasaran pegaruh ideologi kedua
negara ini. Meluasnya ideologi Uni Soviet yang begitu pesat di Eropa Timur
membuat Amerika Serikat gelisah yang pada akhirnya salah satu balasan Amerika
Serikat terhadap Uni Soviet yakni mendirikan SEATO (Southeast Asia Treaty
Organization) pada tahun 1954 (Weatherbee 2005, 59). Pada awalnya kawasan
Asia Tenggara banyak mendapat pengaruh  komunis, hal tersebut menjadi faktor
bagi Amerika Serikat untuk mengeluarkan kebijakan ‘contaiment policy” dimana
Amerika mempropagandakan akan adanya ‘keamanan bersama’ bagi Asia
Tenggara sebagai bentuk perlawanan terhadap komunis (Weatherbee 2005, 57).

Lahirnya politik domino yang terbentuk selama Perang Dingin berlangsung


membuat Vietnam sebagai negara pertama di Asia Tenggara menjadi fokus utama
Amerika dalam containment policy-nya, mengingat Asia Tenggara sangat rentan
akan paham komunis. Secara geopolitik Vietnam terbagi atas dua daerah yakni
Vietnam Utara yang dikuasai oleh Komunis dan Vietnam selatan yang dikuasai
oleh Amerika Serikat. Perang Vietnam pada akhirnya membawa malapetaka
kekalahan bagi Amerika Serikat, yang pada akhirnya tepat 29 April 1975 Vietnam
Utara mengunifikasikan Vietnam Selatan hingga menjadi Vietnam (Weatherbee
2005, 64-65). Kekuatan baru lainnya yang muncul selama Perang Dingin yakni
Cina yang juga berideologi komunis dimana pada tahun 1950, RRC terbentuk.
Dengan munculnya Cina turut memberi warna dalam pengaruh Perang Dingin di
Asia Tenggara, seperti interfensi Cina dalam membantu Vietnam Utara akan
bantuan materi serta senjata yang, hal ini membuat Amerika Serikat tidak
membedakan containment policy baik untuk Uni Soviet maupun Cina
(Weatherbee 2005, 58-59).

Derasnya pengaruh dua kekuatan besar di Asia Tenggara membawa


pengaruh yang cukup besar, tidak hanya di Asia namun Afrika pun turut
demikian. Perang Dingin telah menimbulkan dampak dekolonialiasasi, hal ini
dikarenakan munculnya self-determination dari negara Asia Tenggara. Sementara
itu, bangsa-bangsa di dunia terutama bangsa Asia-Afrika pun sedang dilanda
kekhawatiran akibat gencarnya perkembangan pembuatan senjata nuklir yang
memusnahkan banyak umat manusia. Oleh sebab itu, lahirnya gagasan untuk
mengadakan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1954 sebagai bentuk pernyataan
akan ketidakberpihakan pada dua kekuatan adidaya, konferensi ini dihadiri oleh
29 negara Asia dan Afrika dan diselenggarakan di Bandung dimana konferensi ini
diprakarsai oleh Presiden RI Soekarno (Weatherbee 2005, 61). Tujuan utama
konferensi ini guna membentuk kubu kekuatan negara-negara dunia ketiga untuk
menghadapi dua kubu adidaya Barat dan Timur.

Indonesia saat berada dibawah kekuasaan Soekarno  pada masa demokrasi


terpimpin partai komunis, saat itu sangat menggambarkan politik luar negeri
Indonesia yang cenderung ke arah ‘kiri’. Hal ini terealisasi ketika Soekarno
pernah memberlakukan adanya jalur Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-
Pyongyang yang mana hal tersebut jelas menegaskan akan bentuk
penentanganannya terhadap dominasi Amerika Serikat. Selain itu dinamika dalam
negeri seperti kasus perebutan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda yang
dimanfaatkan oleh Amerika untuk mendapatkan nama baik di mata Indonesia
dengan mengajukan diri sebagai mediator dalam kasus sengketa Irian Barat
(Weatherbee 2005, 65-66). Tidak hanya itu, pengaruh Perang Dingin bagi Asia
Tenggara pun juga mengakibatkan adanya peristiwa Konfrontasi Indonesia dan
Malaysia, yang disebabkan atas terbentuknya negara Federasi Malaysia oleh
Inggris atau ‘Boneka Inggris”. Soekarno menganggap Federasi Malaysia sebagai
bentuk kolonialisme dan imperialisme serta konsolidasi Malaysia tersebut hanya
akan menambah kontrol Inggris di kawasan Asia Tenggara, akan hal tersebut
Indonesia memberlakukan konfrontasi atas Malaysia dalam “Ganyang Malaysia”
(Weatherbee 2005, 66).

Perubahan sosial pun muncul sebagai implementasi atas dampak Perang


Dingin di kawasan Asia Tenggara dimana pada tahun 1967, saat situasi regional
dan internasional yang sedang berubah akibat gencarnya pengaruh Perang Dingin,
ASEAN pun terbentuk oleh lima negara pendiri yaitu Indonesia, Thailand,
Filipina, Singapura, dan Malaysia (Weatherbee 2005, 68). Namun kemudian
Perang Indocina ketiga pun terjadi, ketika Vietnam melakukan invasi terhadap
Kamboja. ASEAN memandang invasi Vietnam ke Kamboja sebagai tindakan
pelanggaran prinsip-prinsip atas dasar hubungan antar negara yakni non-
interference. Melalui proses panjang pada akhirya konflik Kamboja terselesaikan
melalui perjanjian Pemerintahan Koalisi Kamboja Demokratis (Cipto 2007, 46-
57).

Dengan runtuhnya Tembok Berlin sebagai akhir Perang Dingin, perubahan


paska Perang Dingin pun turut pula dirasakan bagi dunia. Era Perang Dingin
identik dengan adanya aliansi yang dibentuk dari dua kekuatan besar saat itu,
namun keruntuhan Uni Soviet menunjukkan bahwa ternyata kerjasama aliansi
tidak menjanjikan akan terbentuknya perdamaian dunia, justru kerjasama bilateral
lebih menjanjikan. Tetapi tidak menutup kemungkinan kerjasama multilateral
tidak dibutuhkan, karena kerjasama multilateral juga turut berkontribusi bagi
terciptanya perdamaian dunia, seperti ASEAN, NATO, OAS, African Union, dan
lain sebagainya (Tow 2003, 2). Era paska Perang Dingin ini menjadi kejatuhan
bagi Uni Soviet, tetapi tidak bagi Amerika yang keluar sebagai pemenang dan
juga keluarnya kekuatan baru bagi dunia yaitu Cina yang saat ini terbukti berperan
sebagai kekuatan ekonomi dunia.

Bagi ASEAN isu keamanan paska Perang Dingin mencakupi keamanan


lingkungan dan keamanan ekonomi yang merujuk pada akses umber daya,
keuangan, pasar, serta upaya memelihara dan meningkatkan tingkat kesejahteraan
dan kemakmuran (Cipto 2007, 223). Karena itu, ASEAN melakukan kerjasama
baik dengan Amerika Serikat, Cina, Rusia, Jepang, dan lain-lain sebagai kekuatan
besar di Asia Tenggara. Strategi mengembangkan keamanan regional ASEAN
dengan menggandeng kekuatan negara besar yang secara hierarkis dapat diurutkan
pertama, Amerika sebagai kekuatan adidaya; kedua, Cina sebagai kekuatan besar
regional; ketiga, Jepang dan India sebagai kekuatan regional; serta keempat,
Australia dan Korea Selatan sebagai pemeran utama regional (Goh 2007, 149).
Paska Perang Dingin  hubungan antara ASEAN dan Amerika masih terjalin
dengan baik, bahkan hubungan Amerika dengan 5 negara yang mempelopori
ASEAN justru semakin kuat, hal ini diperkuat oleh Sukma (2000) “The
importance of the US for the ASEAN has been evident both economic and
strategic terms”. Dalam bidang keamanan, kekuatan Cina paska Perang Dingin
juga membuat ASEAN semakin dekat dengan Cina dalam bidang militer untuk
menjaga stabilitas kawasan. Hal ini dibuktikan dengan konsep keamanan yang
disebut dengan New Security Concept yang menekankan pada “pengaturan dialog,
konsultasi, dan negosiasi pada sebuah langkah sama untuk menyelesaikan
perdebatan dan perlindungan perdamaian” (Yasuhiro 2009, 182).

Peran aktor Perang Dingin sangat besar bagi kawasan regional Asia
Tenggara baik sejak Perang Dingin hingga paska Perang Dingin. Uni Soviet dan
Amerika jelas memiliki kepentingan untuk menyebarluaskan ideologinya di Asia
Tenggara melalui kebijakan Containment Policy-nya sehingga menjadi era
konfrontasi tak langsung yang dilakukan melalui persaingan persenjataan, militer,
politik, dan teknologi. Dunia cenderung terbagi ke dalam suatu aliansi, namun
semua berubah ketika runtuhnya Uni Soviet dan menjadi tonggak baru bagi
kerjasama bilateral maupun multilateral mampu mewujudkan perdamaian dunia.
Paska Perang Dingin negara kekuatan besar baru pun bermunculan, seperti Cina
yang memiliki kekuatan ekonomi dan memiliki kepentingan mencari pasar untuk
barang produksinya di Asia Tenggara. Dalam bidang sosial budaya, salah satu
perwujudan hubungan harmonis diantara keduanya adalah dengan meresmikan
ASEAN-China Centre..  Kekuatan hierarki di Asia Tenggara itu sendiri
menunjukkan bahwasannya ASEAN masih membutuhkan kekuatan luar demi
kesejahteraan negaranya.

2.3 Gerakan Non-Blok di Kawasan Asia Tenggara

2.3.1 Latar Belakang Gerakan Non Blok

Gerakan Non Blok (GNB) pertama kali dibentuk pada awal tahun 1960-
an, yang dipelopori negara-negera merdeka untuk melancarkan aksi politiknya
menghadapi situasi dunia dengan memuncaknya perang dingin antara Blok Barat
dengan Blok Timur. Lahirnya Gerakan Non Blok berkaitan dengan Konferensi
Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung tanggal 18-24 April 1955 yang
dihadiri 29 kepala negara dan pemerintahan dari benua Asia dan Afrika yang baru
saja merdeka.
Tujuan dari Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada saat
itu untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia pada saat itu,
serta merumuskan kebijakan bersama negara pada tatanan hubungan internasional.
Selain itu, konferensi ini juga mengeluarkan resolusi menentang penjajahan,
diantaranya penjajahan Perancis atas Guinea Baru. KAA juga menjadi
pendahuluan dari terbentuknya Organisasi GNB.

Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah,


Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, Presiden
Yugoslavia Joseph Broz Tito, kelima tokoh dunia ini dikenal sebagai pendiri
Gerakan Non Blok. Pemikiran-pemikiran kelima kepala negara ini menjadi asal
usul Gerakan Non Blok. Indonesia yang termasuk kedalam pendiri GNB sudah
sepantasnya menjadi tuan rumah pada acara KTT. Tahun 1992 Indonesia menjadi
penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi GNB X yang diadakan di Jakarta
tanggal 1-6 September 1992.

Persaingan antara dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok TImur tersebut
memunculkan apa yang disebut “Perang Dingin”. Negara-negara dunia ketiga
yang baru merdeka tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya menonton sambil
melihat perkembangan tersebut dengan penuh rasa kecemasan dan keprihatinan.
Didasarkan pada keadaan dunia yang terpecah belah itu dan juga didasarkan pada
semangat Bandung, maka berdirilah Gerakan Nonblok, tepatnya pada tanggal 1
September 1961 ketika Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok I diselenggarakan di
Beograd, Yugoslavia.

2.3.2 Gerakan Non Blok Pada Masa Perang Dingin

Pada masa ini, Gerakan Non-Blok dihadapkan pada situasi dunia yang
sangat menegangkan. Situasi tersebut berwujud perpecahan dunia yang terbagi
dalam dua blok, yaitu Blok Barat dengan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya,
dan Blok Timur dengan Uni Soviet sebagai pemimpinnya, dimana antara kedua
blok tersebut dengan masing-masmg pengikutnya saling bersaing untuk
mempengaruhi dunia. Dihadapkan pada situasi yang demikian itu, yang tidak
ingin terjebak dalam pengaruh blok adidaya, maka Gerakan Non-Blok senantiasa
dituntut secara aktif untuk mencari jalan dalam usaha meredakan ketegangan-
ketegangan intenasional agar tidak terjadi suatu akibat yang lebih dasyat lagi,
yaitu meletusnya Perang Dunia. Oleh karena itu Gerakan Non-Blok menempatkan
perdamaian dunia yang kekal berdasarkan kemanan international yang
menyeluruh, dengan usaha-usaha perdamaian, perlucutan senjata, serta orientasi
Gerakan Non-Blok yang utama. Orieritasi itu dapat dilihat dalam setiap keputusan
yang dihasilkan dalam setiap KTT, mulai dari KTT I di Beograd 1961 sampai
KTT IX di Beograd tahun 1989.

Dari setiap KTT tersebut Gerakan Non-Blok perjuangannya tetap


ditekankan pada upaya untuk meredakan ketegangan serta mengusahakan
perlucutan senjata. KTT I di Beograd tahun 1961 diselenggarakan pada saat
suasana dunia dalam keadaan ketegangan yang memuncak, dan pada saat
pembukaan KTT I. Uni Soviet meledakkan bom nuklir 50 megaton. Hal ini
membuat masalah keamanan dan perlucutan senjata menjadi lebih relevan bagi
KTT sehingga melahirkan Deklarasi Beograd yang isinya antara lain menuntut
agar segera diwujudkan suatu perjanjian internasional yang melarang semua
percobaan dan dimulainya perundingan mengenai perlucutan senjata secara umum
dan tuntas serta menjamin diadakannya suam sistem yang efektif dalam
pengawasan dan pemeriksaan. Deklarasi itu selanjutnya meminta agar semua
perundingan dan pembicaraan mengenai peducutan senjata seyogyanya dilakukan
dibawah naungan PBB dan negara-negara Non-Blok diikut sertakan dalam
konferensi-konfrensi itu. Deklarasi juga mengajukan suatu usul penting agar
Majelis Umum PBB mengambil keputusan untuk mengadakan sidang khusus
pelucutan senjata sedunia yang disponsori PBB.

Pada KTT II di Kairo, masalah peelucutan senjata lebih bayak mendapat


perhatian. Bagian terakhir dari keputusan KTT II memberikan dukungan kepada
Perjanjian test-ban (larangan pcrcobaan) Moskow, serta menuntut larangan itu
mencakup juga percobaan di bawah tanah. Pada KTT III di Lusaka tahun 1970
berhasil di luncurkan suatu resolusi yang mencantumkan dengan tekanan terkuat
agar konvensi mengeaai kerusakan yang disebabkan satelit ruang angkasa
diselesaikan secara tuntas. Di samping itu juga tetap mendesak agar konferensi
perlucutan senjata sedunia diadakan. Pada KTT IV di Aljier tanggal 5-9
September 1973, Gerakan Non-Blok menyoroti masalah campur tangan kekuatan
asing di negara-negara yang baru merdeka serta usaha-usaha untuk memecah
belah bangsa-bangsa dari negara berkembang. Dalam KTT ini Gerakan NonBlok
telah mendesak Amerika Serikat untuk menghormati kedaulatan Kuba dan juga
untuk menghentikan campur tangannya di kawasan IndoChina. Gerakan Non-
Blok meaganjurkan untuk diadakan perundingan antara pihak-pihak yang
bersengketa. Di samping itu KTT juga menyinggung masalah pangkalan militer.

Pada KTT V di Kolombo tanggal 16-19 Agustus 1976, telah diputuskan


untuk membentuk Komite Politik yang diketuai oleh Kuba dengan wakil ketua
Guinea dan Komite ekonomi yang diketuai oleh Nigeria dengan wakil ketua
Indonesia. Di dalam sidang Komite Politik terjadi perdebatan yang cukup ramai
dalam merumuskan mengenai pengertian Non-Blok. Kuba, Angola dan Vietnam
ingin menghilangkan penyebutan kekuatan blok-blok (Power Blocs), dan
meneruskan perjuangan negara-negara NonBlok kepada perjuangan menentaug
kekuatan-kekuatan kolonialisme dan neokolonialisme. India, Srilangka, Indonesia
dan Yugoslavia menghendaki agar pengertian Non-Blok di lihat lebih luas,
mengingat konstelasi dunia sudah berubah dibandingkan dengan pada saat
gagasan Non-Blok dicetuskan, dan tanpa mengabaikan adanya persaingan antara
kekuatankekuatan blok-blok. Akhirnya Komite Poltik ini menerima rumusan yang
disusun oleh suatu kelompok perumus yang terdiri dari Irak, Srilangka, Zaire,
Guinea dan Aljazair yangmeniadakan kata-kata “Power Blocs" dan
menggantikannya dengan menyebut adanya kata-kata “New Tensions and Power
Rivalries" (Ketegangan baru dan perlawanan antar kekuasaan).

KTT VI di Havana tahun 1979 telah berhasil menetapkan pendirian


Gerakan Non-Blok dalam mencapai tujuan utama Non-Blok. Dalam rumusan itu
Non-blok akan senantiasa berusaha mengakhiri perlombaan p'ersenjataan,
terutama pelucutan senjata nuklir dan penciptaan senjata umum dan komplit di
bawah pengawasan Internasional yang efektif, menjamin kemerdekaan nasional,
kedaulatan, integritas teritorial dan keamanan negara-negara Non-Blok,
memperkuat Non-Blok sebagai unsur blok bebas dan memperluas lebih lanjut
Non-Blok didunia, memelihara perdamaian dan kekmanan internasional, melebur
fakta-fakta negara adidaya dan aliansi militer dan aturan yang terpaut dengannya,
penarikan mundur pasukan militer asing dan membongkar pangkalan-pangkalan
miiliter asing.

KTT VII di New Delhi tahun 1983 telah menghasilkan suatu deklarasi
yang menegaskan bahwa politik Non-Blok tetap memberikan sumbangan terhadap
usaha-usaha peningkatan perdamaian, pelucutan senjata, peredaan ketegangan,
penyelesaian masalah internasional secara damai. Mengenai perlucutan senjata,
KTT mendesak agar negara-negara nuklir segera mengambil langkah-langkah
yang praktis untuk mencegah timbulnya perang nuklir serta menghentikan
produksi dan penempatan senjata tersebut. Deklarasi juga menyatakan pentingnya
pembentukan zona bebas senjata nuklir di berbagai bagian dunia sebagai
sumbangan ke arah perlucutan senjata yang umum dan menyeluruh. Deklarasi
menolak adanya doktrin penangkal nuklir maupun non nuklir. Mengenai masalah
penyelesaian sengketa secara damai KTT telah menegaskan kembali prinsip-
prinsip perlunya dihormati kedaulatan, kemerdekaan dan keutuhan wilayah serta
batas-batas internsional yang sah dan tidak dapat diganggu gugat serta tidak
mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Setiap pertikaian haruslah
diselesaikan dengan cara damai melalui perundingan, mediasi dan jasa-jasa baik,
tanpa paksaan, ancaman ataupun kekerasan serta campur tangan dari luar.

KTT VIII di Harare tahun 1986 lebih banyak memfokuskan pada masalah-
masalah Afiika bagian selatan. Diantara dokumen-dokumen yang dihasilkan yang
cukup menonjol adalah Deklarasi Khusus mengenai Afidka bagian selatan yang
mencakup dukungan sepenuhnya terhadap kemerdekaan Namibia dan tuntutan
diberlakukannya sanksi-sanksi yang komprehensif terhadap rezim Selatan serta
anjuran memberikan bantuan material dan keuangan kepada gerakan pembebasan
dalam perjuangannya untuk menghapuskan sistem aparhcid. Deklarasi politik
meliputi pula masalah-masalah regional dan internasional, konsep-konsep politik
Non- Blok dan masalah besar lainnya yang dihadapi bersama mengenai
perdamaian pelucutan senjata

KTT IX di Beograd tahun 1989 menghasilkan sejumlah keputusan dengan


prioritas utama pada usaha-usaha untuk mendaptkan perdamaian dunia, pelucutan
senjata serta penyelesaian sengketa secara damai. KTT IX juga menghasilkan satu
Dokumen Politik yang mencakup masalah yang hidup di berbagai benua,
termasuk masalah sengketa Arab-Israel di Timur Tengah dan masalah Aparhdd di
Afrika Selatan. Mengenai penyelesaian sengketa Kamboja para kepala Negara.
Kepala Pemerintahan menyambut baik Jakarta Informal Meeting (FlM) baik JIM I
maupun JIM II yang di adakan pada bulan Juli 1988 dan Februari 1989 di
Indonesia, serta mencatat adanya kemajuan yang dicapai oleh Konferensi
Internasional di Paris bulan Agustus 1989.

Gerakan Non-blok senantiasa berusaha untuk meredakan ketegangan,


sebab jika hal ini dibiarkan akan dapat mengancam perdamaian dunia. Dunia
kemungkinan akan dihadapkan pada suatu peperangan yang lebih dasyat bila
dibandingkan dengan perang sebelumnya, di mana negaranegara yang bertikai
telah memiliki persenjataan yang jauh lebih maju dan lebih berbahaya akibatnya
bagi kehidupan manusia yaitu penggunaan senjata nuklir

2.3.3 Pengaruh Gerakan Non Blok di Asia Tenggara

Relevansi GNB untuk Asia Tenggara sejak 1992 dalam rangka keamanan
internasional dan multilateralisme yang dibangun secara sosial ini. Sekilas, GNB
memiliki relevansi yang pasti karena semua negara Asia Tenggara menghadiri
KTT Kesepuluh di Jakarta dan dua non-anggota bergabung satu tahun kemudian.
Secara simbolis, GNB memberi negara tuan rumah, Indonesia, kedudukan
internasional sebagai penyelenggara pertemuan yang melibatkan delegasi lebih
dari 100 negara. Mempersiapkan dokumen final konsensus dan Pesan Jakarta
menandakan status dan reputasi Indonesia di antara negara-negara nonblok. Pada
saat yang sama, kehadiran seluruh anggota ASEAN dan partisipasi mereka dalam
hasil konsensus KTT secara jelas mengaitkan sikap dan gagasan mereka dengan
solidaritas GNB saat itu.

Keanggotaan sepuluh negara Asia Tenggara menjadikan ASEAN identitas


kawasan yang dominan. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman bersama dalam
GNB tentang Asia Tenggara menunjukkan bahwa pendekatan ASEAN terhadap
masalah keamanan lebih dominan. Pada saat yang sama, deklarasi dari dua KTT
ASEAN (KTT ASEAN Keempat di Singapura pada Januari 1992 dan KTT
ASEAN Kelima di Bangkok pada Desember 1995) merujuk langsung pada visi
GNB tentang tatanan internasional baru: peran sentral dari demokratisasi, lebih
efektif. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mempromosikan tatanan politik dan
ekonomi internasional yang lebih adil dan menjaga perdamaian dan keamanan
internasional.

Selama awal dan pertengahan 1990-an, masalah keamanan Asia Tenggara


paling relevan, yang juga termasuk dalam konsep keamanan internasional GNB,
adalah non-proliferasi dan pelucutan senjata nuklir.  

Pada KTT GNB Kesepuluh di Jakarta pada tahun 1992, negara-negara


anggota menyusun agenda untuk mencakup keamanan internasional dan
perlucutan senjata di era pasca-perang dingin sebagai satu area isu. Negara-negara
anggota mengamati bahwa agenda perlucutan senjata masih belum selesai. Visi
GNB selalu menjadi dunia bebas senjata nuklir, dan ini dilihat sebagai tanggung
jawab kolektif semua negara. Tindakan terhadap isu-isu prioritas terkait didesak,
terutama melarang semua senjata pemusnah massal. Anggota GNB selanjutnya
menyarankan bahwa masalah keamanan yang khusus wilayah sebaiknya ditangani
dalam konteks wilayah yang sesuai.

Pada KTT GNB Kesebelas pada bulan Oktober 1995 yang bertempat di
Cartagena de Indias, Kolombia, anggota GNB menjabarkan arti keamanan
internasional yang terkait langsung dengan perlucutan senjata.  Seruan umum ini
lebih simbolis dan idealis daripada praktis, karena seruan mereka ditujukan pada
negara-negara bersenjata nuklir. Namun, anggota GNB merekomendasikan
alternatif yang agak kurang meyakinkan untuk perlucutan senjata universal dalam
bentuk wilayah  non-proliferasi berbasis. Anggota GNB menganggap non-
proliferasi regional menggarisbawahi keseriusan dan pentingnya penghapusan
senjata pemusnah massal dan merekomendasikan pembentukan zona bebas
senjata nuklir sebagai langkah pertama yang diperlukan. Mereka mendesak
negara-negara untuk membuat kesepakatan dengan tujuan untuk menciptakan
zona bebas senjata nuklir di wilayah di mana mereka tidak ada pada tahun 1995.
Menjawab seruan untuk membuat zona bebas senjata nuklir di antara negara-
negara berkembang akan menunjukkan solidaritas dan menandakan pendekatan
multilateral yang bertujuan untuk mengendalikan mereka. nasib sendiri tentang
senjata nuklir.

Pada Desember 1995, ASEAN tampaknya dengan cepat menjawab seruan


GNB untuk tindakan regional ketika mereka menandatangani Perjanjian tentang
Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Perjanjian Bangkok). Relevansi GNB
di bidang isu ini, serta kekuatan solidaritas ASEAN patut diperhatikan. Penting
untuk disadari bahwa negara-negara anggota ASEAN secara konsisten
menyatakan bahwa hingga pertengahan tahun 1990-an, konteks kerja sama
mereka pada prinsipnya adalah ekonomi dan sosial budaya. Dalam konteks
regionalnya, ASEAN berusaha menghindari sebagian besar masalah politik dan
keamanan, meskipun lima anggota asli ASEAN mendeklarasikan Zona Damai,
Kebebasan dan Netralitas (ZOPFAN) pada tahun 1971 (Tarling, 2009: 1-12).
Deklarasi ZOPFAN memiliki kata dan frase yang mirip dengan formulasi GNB
dan bahkan menyebutkan zona bebas senjata nuklir regional di tempat lain di
dunia. Namun, dampak Perang Dingin, penghindaran masalah tertentu dan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan perbedaan utama di antara lima anggota
ASEAN menghasilkan deklarasi ide-ide yang kontradiktif daripada perjanjian apa
pun yang melibatkan tanggung jawab bersama atau tindakan bersama.

Perjanjian Bangkok 1995 menyampaikan pemahaman bersama di antara


kesepuluh anggota ASEAN pada beberapa poin solidaritas daerah dan relevansi
GNB. Pertama, mereka yakin bahwa membangun Zona Bebas Senjata Nuklir Asia
Tenggara adalah komponen penting dari ZOPFAN, yang akan berkontribusi untuk
(1) memperkuat keamanan negara-negara di zona tersebut dan (2) meningkatkan
perdamaian dan keamanan internasional secara keseluruhan (3) Perjanjian
Bangkok juga mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan untuk nonproliferasi dan
pelucutan senjata, dengan prinsip bahwa perjanjian dan protokol yang relevan
dapat mencapai efektivitas maksimum melalui kerjasama dari semua negara
bersenjata nuklir, termasuk penghormatan dan dukungan mereka untuk protokol
yang relevan.

Setiap anggota ASEAN menerima serangkaian tanggung jawab mengenai


tidak adanya produksi, pengujian, penggunaan atau pembuangan senjata nuklir,
meskipun hak untuk menggunakan energi nuklir untuk tujuan damai terkait
dengan pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial telah ditegaskan. Poin-poin
ini sepenuhnya konsisten dengan komitmen yang diserukan pada KTT GNB
Kesebelas. Di tingkat internasional, Perjanjian Bangkok mewajibkan setiap negara
ASEAN untuk menjadi anggota dan menerapkan cakupan penuh pengamanan
Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Pada tahun 2014, kesepuluh negara
ASEAN adalah anggota IAEA, meskipun Brunei, Kamboja dan Laos bukan
anggota pada tahun 1995. Di tingkat regional, ASEAN membentuk Komisi untuk
Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara di sepanjang dengan Komite Eksekutif
untuk mengawasi implementasi dan memastikan kepatuhan, termasuk verifikasi
melalui sistem kontrol. Namun, mengirimkan laporan tentang peristiwa penting
atau bertukar informasi akan bergantung pada masing-masing negara bagian.

Analisis yang cermat terhadap Perjanjian Bangkok dan cakupan kewajiban


yang mencakup zona bebas senjata nuklir Asia Tenggara (NWFZ) oleh Goldblatt
(2004: 65) menemukan beberapa celah yang melemahkan atau mengaburkan
kewajiban. Selain itu, area yang mengalami denuklirisasi memiliki potensi
perselisihan, jika bukan perselisihan. Artinya, landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif (ZEE) dianggap sebagai bagian dari wilayah mereka, meskipun
beberapa tumpang tindih satu sama lain atau tunduk pada klaim oleh China atau
dianggap perairan internasional oleh negara lain yang mungkin memiliki senjata
nuklir di atas kapal angkatan laut. dan pesawat terbang.

Perjanjian Bangkok menjadikan sepuluh anggota ASEAN satu-satunya


negara yang ditetapkan. Komisi untuk bersidang jika protokol dilanggar . Namun,
sebagaimana dicatat, komisi semacam itu kemungkinan tidak akan mengambil
tindakan, mengingat kekurangannya jaminan keamanan yang mengikat secara
hukum dari negara-negara senjata nuklir karena tidak ada yang memilikinya
menandatangani protokol. Selain itu, mereka tidak dapat memastikan apakah
senjata nuklir itu melewati wilayah pesisir atau maritim Asia Tenggara. Dan
bahkan jika salah negara diberitahu, ia memiliki keleluasaan untuk mengizinkan
bagian atau bahkan penempatan angkatan laut kapal atau pesawat terbang.

2.4 Berakhirnya Perang Dingin dan Pengaruhnya di Kawasan Asia


Tenggara

2.4.1 Berakhirnya Perang Dingin

Perang Dingin berakhir ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin pada


1989 dan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1990. Kemudian
diikuti dengan peristiwa bubarnya Uni Soviet pada 1991 dan mundurnya Mikhail
Gorbachev sebagai pemimpin Uni Soviet. Sebelumnya, Gorbachev
memperkenalkan kebijakan glasnost (keterbukaan) pada tahun 1985 dan
perestroika (rekonstruksi/reorganisasi) pada tahun 1987. Kebijakan ini
mengakibatkan gelombang revolusi di Uni Soviet dan negara-negara satelitnya
yang kemudian mengakhiri kedigdayaan Uni Soviet.

Selain itu, komitmen antara kedua negara super power tersebut melalui
pertemuan di Malta (1989) dan Washington (1990) untuk bekerjasama di masa
depan juga dianggap sebagai tanda berakhirnya Perang Dingin. Kedua pertemuan
tersebut menghasilkan perjanjian pada akhir 1990 di mana dilakukannya
pengurangan dan pembatasan senjata konvensional secara drastis di Eropa dan
disepakatinya pakta non-agresi antara NATO and Organisasi Keamanan Warsawa.
Perang Dingin memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan sistem
politik internasional dan implikasinya khususnya berkaiatan dengan high politics.
High politics meliputi isu-isu yang berkaitan dengan politik keamanan dan
pertahanan, kedaulatan dan juga militer.

2.4.2 Pengaruh Perang Dingin bagi Asia Tenggara

2.4.2.1 Perang Vietnam 1959-1975

Konflik antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan telah dimulai sejak
Vietnam dibelah menjadi dua oleh Perancis pada tahun 1954 melalui sebuah
konferensi yang diadakan di Jenewa, Swiss. Uni Soviet sempat mengusulkan
kepada PBB agar Vietnam Utara diterima sebagai anggota PBB pada tahun 1957.
Namun, AS memveto usulan tersebut dikarenakan Vietnam Utara berhaluan
Komunis. Keterlibatan AS dalam perang Vietnam mendukung Vietnam Selatan
memberikan kerugian besar di pihak AS. Karena berada di bawah desakan
masyarakatnya sendiri, AS di bawah kepemimpinan Richard M. Nixon segera
merubah kebijakan politik AS di Vietnam dari semula ‘bagaimana caranya
memenangkan perang’ menjadi ‘bagaimana caranya mundur dari gelanggang
tanpa kehilangan muka.’

Atas dasar desakan internasional, AS menandatangani perjanjian


perdamaian Paris pada 27 Januari 1973. Perjanjian ini memuat hal bahwa AS akan
segera menarik bantuan langsungnya di Selatan secara berangsur, batas teritori
Utara dan Selatan dikukuhkan ulang dan pemilihan umum akan segera
dilangsungkan untuk menyelesaikan masalah Utara-Selatan. Namun, perjanjian ini
ditentang oleh Vietnam Selatan karena Vietnam Selatan masih membutuhkan
bantuan AS. AS sebenarnya masih enggan melaksanakan isi perjanjian tersebut
sampai krisis minyak dunia terjadi pada tahun yang sama. AS terancam
mengalami kebangkrutan dan akhirnya menarik seluruh pasukan dan
menghentikan bantuan ke Vietnam Selatan. Tanpa bantuan dan kekuatan finansial
dan militer dari AS, Vietnam Utara dengan mudah melumpuhkan dan mengabil
alih Vietnam Selatan.
2.4.2.2 Terbentuknya Aliansi Militer Strategis

Persaingan AS dan Uni Soviet selama periode Perang Dingin


mempengaruhi pandangan kedua negara tentang keamanan, militer dan
pertahanan. Persaingan tersebut dapat dilihat dengan dibentuknya berbagai blok
atau pakta pertahanan yang dipelopori oleh kedua negara super power tersebut.
Pembentukan berbagai pakta pertahanan tersebut berdasarkan kepentingan
geostrategis di berbagai kawasan yang berbeda. Artinya, medan persaingan antara
AS dan Uni Soviet tidak lagi berpusat di Eropa saja, tapi juga di kawasan Asia
dan Pasifik. Namun, pakta pertahanan tersebut memiliki tujuan yang sama sebagai
aliansi militer strategis untuk menjaga keamanan kedua negara beserta negara-
negara yang bergabung dalam keanggotaannya. Beberapa pakta pertahanan yang
terbentuk selama periode perang dingin diantaranya adalah NATO, SEATO,
CENTO, ANZUS dan Pakta Warsawa.

2.4.2.3 SEATO

South-east Asia Treaty Organization (SEATO) dibentuk setelah


ditandatanganinya pakta Manila (Manila Pact) pada September 1954 yang
bermarkas di Bangkok. Pembentukan SEATO merupakan respon atas kekalahan
dan penarikan diri Perancis dari Indochina (Vietnam).22 Pakta pertahanan ini
dibentuk karena adanya kekhawatiran penyebaran Komunisme di wilayah
tersebut. Selain itu, SEATO dibentuk untuk membendung kekuatan Komunisme
di Asia Tenggara. Kekuatan Barat khususnya AS berkepentingan dalam
pembentukan pakta pertahanan ini. Walaupun SEATO dibentuk untuk melindungi
Asia Tenggara agar tidak jatuh ke komunisme, secara geografis tidak semua
anggota SEATO merupakan negara-negara yang berada dalam kawasan Asia
Tenggara. Pembentukan SEATO ditandatangani oleh Australia, Inggris, Perancis,
Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thailand, dan AS.23 Sedangkan Malaysia,
Indonesia, dan India menolak untuk bergabung dengan pakta pertahanan ini.
Selain untuk membendung komunisme, motivasi keterlibatan negaranegara non-
blok Barat, khususnya Pakistan, dalam keanggotaan SEATO adalah untuk
medapatkan paket bantuan pertahanan dan militer dari AS.24 SEATO melibatkan
diri dalam berbagai konflik internasional dan salah satunya adalah dalam Perang
Vietnam. Namun, dalam perjalanannya negara-negara yang tergabung dalam
SEATO tidak selalu satu suara dalam beberapa operasi militer. Kegagalan
intervensi dalam krisis Vietnam dan Laos akhirnya meruntuhkan keyakinan
anggota-anggotanya terhadap eksistensi SEATO, sampai kemudian bubar pada
tahun 1977.

2.4.2.4 Terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB)

Munculnya AS dan Uni Soviet sebagai kekuatan baru pasca Perang Dunia
II telah mampu menarik negara-negara di dunia, khususnya Eropa ke dalam Blok
Barat dan Blok Timur, di mana AS dan Uni Soviet adalah pimpinannya. Namun,
Perang Dingin tidak hanya berimplikasi pada terbentuknya polarisasi dua
kekuatan tersebut. Kekhawatiran negara-negara dunia ketiga terhadap persaingan
ideologi dan militer AS-Uni Soviet memberikan inspirasi terbentuknya kekuatan
baru di luar pusaran polarisasi tersebut, yaitu Gerakan Non-blok (Non-Alligned
Movement). Gerakan Non-Blok dibentuk setelah diadakannya konferensi Asia
Afrika di Bandung, Indonesia pada tahun 1955. Gerakan Non-Blok dimotori oleh
Indonesia, India, Mesir, Ghana dan Yugoslavia. Gerakan ini umumnya
beranggotan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Selain menghindari
aliansi dengan Blok Barat dan Blok Timur, gerakan ini juga bertujuan untuk
menentang kolonialisme, neo-kolonialisme dan dominasi Barat. Pembentukan
Gerakan Non-Blok berupaya untuk membuka jalan bagi politik dunia yang
independen tanpa komando dan dominasi AS dan Uni Soviet. Walau demikian,
pengaruh AS dan Uni Soviet ternyata mampu mempenetrasi kebijakan negara-
negara anggota GNB. Ini disebabkan negara-negara tersebut memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan kedua super power tersebut, terutama
berkaitan dengan ekonomi dan militer.35 Walaupun demikian, keberadaan GNB
secara umum telah memberikan pengaruh terhadap sistem politik internasional
selama periode Perang Dingin, berkaitan dengan kerjasama politik dan diplomasi.
Selain itu, dunia ketika era Perang Dingin sebenarnya menjadi terbagi ke dalam
tiga kelompok. Amerika Serikat memimpin Blok Barat dengan sistem politik
liberalisme-demokrasi. Uni Soviet memimpin Blok Timur dengan sistem politik
komunisme. Kelompok ketiga adalah negara-negara yang tidak ingin terikat pada
Amerika Serikat ataupun Uni Soviet yang tergabung dalam GNB.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
AS dan Uni Soviet menjadi dua kekuatan baru setelah perang Dunia II.
Perbedaan pandangan dalam rekontruksi Jerman dan Eropa pasca kekalahan Nazi
Jerman, berimbas pada persaingan ideologi, politik dan militer. Persaingan ini
menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan dunia. Persaingan yang kemudian
menjadi ketegangan AS-Uni Soviet tidak hanya terjadi di kawasan Eropa, tapi
juga di kawasan benua lainnya. Polarisasi kekuatan dunia antara AS dan Uni
Soviet tersebut mendorong terbentuknya NAM atau GNB yang menjadi aktor
dalam sistem politik internasional dalam periode Perang Dingin.

Dengan kata lain, Perang Dingin dibawa oleh ke-dua super powers
tersebut ke berbagai wilayah dunia dalam bentuk krisis-krisis dan kemudian
mampu mempengaruhi sistem politik internasional dalam hal politik (munculnya
polarisasi politik ideologis), keamanan (terbentuknya berbagai aliansi pertahanan
strategis dan perlombaan persenjataan nuklir) dan kedaulatan negara (munculnya
negara-negara berdaulat baru).

Perang Dingin ini juga membawa dampak di kawasan Asia Tenggara juga
seperti adanya Perang Vietnam sehingga Vietnam terpecah menjadi Vietnam
Selatan dan Vietnam Utara. Banyak negara di Asia Tenggara juga mendukung AS
karena menang seperti dengan adanya pertemua SATO di Manila. Namun
Indonesia memperkarsai Gerakan Non Blok yang tidak berpihak ke siapun atau
tidak memihak negara yang terlibat dalam perang Dingin.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu
penulis berharap kritik dan masukan-masukan saran yang membangun demi
membuat makalah ini menjadi sempurna. Tidak lupa syukur dan banyak terima
kasih atas bantuan-bantuan yang diberikan terutama kepada Drs. Sumarjono, M.Si
selaku dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Asia Tenggara dan segenap teman-
teman yang membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik
DAFTAR PUSTAKA

Cipto, Bambang. 2007. “Hubungan Internasional Di Asia Tenggara”: Teropong


Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Peajar

Goh, Evelyn. 2007. Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia:
Analyzing Regional Security Strategies, International Security 32 (3): pp.
113-157

Sukma, Rizal. 2000. Us-Southeast Asia Relations After The Crisis: The Security
Dimension. Jakarta: CSIS.

Walter N. Ziering and Marjorie Suriyamongko. 2016. Relevance of the Non-


Aligned Movement in Southeast Asia:Security, Solidarity and Symbolism.
Thailand : Researchers Bangkok

Fathoni, R. 2018. Perang Vietnam (1955-1973 M).


https://wawasansejarah.com/perang-vietnam/. Dikases pada 25 Mei 2021)

Nauvarian, D. 2019. Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam: Faktor


Ideologi, Identitas, dan Idealisme. Jurnal Hubungan Internasional. 9(2):265-
282.

Fitriany, D. 2015. Peran Thailand Dalam South East Asia Treaty Organization
(Seato) Tahun 1954-1977. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.

Suryohadiprojo, S. 2006. Hubungan Indonesia-Amerika yang Tidak Mudah.


Jurnal Hukum Internasional. 3(3): 297-315
Luerdi dan Faruki, Ahmad. 2017. Perang Dingin dan Implikasinya terhadap
Sistem Politik Internasional dalam Tinjauan High Politics. Universitas
Abdurrab International Society, Vol. IV, No. 1, 2017

Anda mungkin juga menyukai